23. Rencana Di Atas Kebohongan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 23 Rencana Di Atas Kebohongan

“Inilah yang kulakukan pada bonekaku.” Lucca menyambar lengan Selena. Menyeret ke arah tempat tidur dan membanting Selena ke tengah ranjang. 

Selena berusaha bangkit, menggunakan kedua sikunya untuk menopang tubuhnya agar bisa terduduk. Menatap tubuh tingga Lucca yang menjulang di samping ranjang. Ketakutan yang merebak di seluruh permukaan wajahnya tak bisa ia sembunyikan dengan baik.

Lucca pernah mengikat kedua tangannya di kepala ranjang. Meninggalkan bekas memerah dan lebam yang tak hanya di pergelangan tangannya. Tetapi juga di ingatannya. Dan melihat kekejaman di kedua mata Lucca saat ini, ia tahu pria itu bisa melakukan lebih mengerikan dari yang sebelumnya.

“A-aku tidak bisa, Lucca.” Suara Selena bergetar hebat. “Aku belum bersih.”

“Aku tahu.” Lucca melemparkan handuk yang melingkari pinggangnya ke lantai. Seringai jahat tersungging penuh kepuasan di kedua ujung bibirnya. “Tapi kau bisa menggunakan bagian tubuhmu yang lain untuk memuaskanku.”

*** 

Selena hanya terduduk di tepi tempat tidur. Hanya mengenakan pakaian dalam, menatap pilu ke arah dress yang teronggok di lantai. Tenaganya benar-benar sudah terkuras habis setelah beberapa kali memuntahkan isi perutnya di lubang toilet. Apa yang telah dilakukan Lucca benar-benar menjijikkan. Berapa kali pun ia mencuci mulutnya, rasa jijik dan muak itu masih terasa membekas.

Dan setelah memuaskan diri dengan mulutnya, pria itu meninggalkannya berbaring di ranjang. Begitu saja. Seperti barang yang sudah tak berguna. Ya, memang seperti itulah Lucca menggunakan dirinya sebagai boneka. Ia bahkan tak diijinkan berpakaian, bagaimana mungkin ia keluar dari kamar ini. Sementara perutnya melilit oleh rasa lapar.

Selena membaringkan tubuhnya di tepi ranjang. Meringkuk, memeluk dirinya sendiri. Menahan rasa lapar, lelah, dan lemah. Yang membawanya ke dalam tidur yang lelap.

*** 

Dua kali seminggu, seorang dokter datang untuk memeriksa jahitan di perutnya. Sepanjang dua minggu itu. Jahitan di perut Selena sudah mengering dan tak lagi terasa nyeri. Meski dokter masih melarang Selena untuk melakukan pekerjaan yang berat-berat.

“Apakah rahimnya masih bisa digunakan?” Pertanyaan Lucca begitu menutup pintu di belakangnya. 

Dokter tersebut mengangguk. “Ya, luka tusukan istri Anda tidak sampai di lapisan rahim. Hanya dua lapisan kulit luar. Dan seperti yang saya katakan sejak awal, penyebab keguguran bukan karena luka tusukan tersebut. Melainkan karena pertumbuhan janin yang tidak normal dan lemah. Sehingga janin tidak bisa bertahan.”

Lucca mengangguk paham. “Apakah ini karena inseminasi buatannya?”

“Saya sudah memastikan semua berjalan sesuai prosedur. Janin berkembang normal pada awalnya. Sepertiny ini dampak dari tubuh istri Anda yang melemah. Mungkin pengaruh stress atau beliau yang bekerja terlalu keras.”

Ujung bibir Lucca menipis keras. Stress dan bekerja terlalu keras. Sepertinya itu memang alasan yang cukup kuat. Ia memberikan stress yang cukup banyak untuk gadis itu. Juga bekerja di restoran memang tidak semudah yang terlihat. Jadwal makan yang teratur dan makanan bergizi yang ia masukkan ke mulut Selena rupanya bukan segalanya agar janinnya tetap bertahan hingga siap dilahirkan. Ia pikir semua itu sudah lebih dari cukup.

Seharusnya begitu menanamkan benihnya di rahim Selena, ia tak mengijinkan gadis itu bekerja keras. Ya, rencana untuk menanamkan benihnya di rahim Selena memang begitu mendadak. Ia melakukannya dengan tanpa perhitungan. Melakukan semuanya dengan terburu-buru begitu vonis yang dikatakan oleh dokter Tiaga.

“Dan saat pemeriksaan beberapa hari sebelum keguguran, saya menemukan luka dalam yang cukup serius di tubuh istri Anda. Saya pikir, itu juga …” Tatapan tajam Lucca seketika membuat sang dokter terbungkam. “M-maafkan saya,  Tuan. Saya sama sekali tak bermaksud ikut campur. Saya hanya melakukan tugas saya sebagai seorang dokter dan demi kebaikan istri Anda.”

Lucca terdiam. Menelaah kalimat sang dokter yang memang ada benarnya, Tubuh Selena adalah aset yang seharusnya ia jaga dengan baik. Begitu gadis itu datang kepadanya, seharusnya ia memberikan perlindungan. Meski bukan demi gadis itu, tetap saja ia harus melindungi darah dagingnya.

“Dia pernah mengalami kekerasan.” Suara Lucca lebih lunak. “Aku tak melihatnya secara langsung. Tapi kupikir memang cukup serius.”

Ketakutan di kedua mata sang dokter sedikit memudar, meski begitu ia tak bisa bernapas dengan lega.

“Jadi apa yang kau sarankan untuk membuatnya kembali hamil?”

“Pembuahan secara alami,” jawab sang dokter. “Rahim istri Anda dalam kondisi yang bagus dan subur. Ditambah beliau masih muda dan sehat. Kehamilan selanjutnya tidak akan menjadi masalah yang serius. Meski saat ini masih butuh waktu untuk pemulihan.”

Lucca tentu saja tak keberatan dengan cara yang disarankan. Toh ini bukan pertama kalinya ia menyetubuhi Selena. “Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk siap kembali?”

“Sebenarnya dua minggu setelah keguguran, rahim bisa kembali berevolusi. Akan tetapi, kesiapan mental sang calon ibu seharusnya menjadi prioritas utama.”

Kalimat terakhir sang dokter membuat Lucca terpaku. Kesiapan mental?

Kepala Lucca dipaksa berpikir dengan keras untuk menyiapkan mental Selena. Di tengah hubungannya dan Selena saat ini yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Pun memang tak pernah baik-baik saja sebelumnya. Tentu saja kesiapan mental Selena untuk kembali mengandung anaknya adalah sebuah kemustahilan. Dan ditambah masa lalu mereka yang cukup rumit. Sepertinya ia butuh mengerahkan seluruh pikiran dan tenaganya hanya untuk gadis muda yang ceroboh tersebut.

Alessio benar-benar berhasil mempengaruhi pikiran Selena. Seperti apa yang dilakukan ayah pria itu pada Serra. Ya, buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya, kan? Licik dan manipulatif.

“Aku hanya butuh obat penyubur kandungan. Berikan resepnya pada pengawalku di bawah,” pintah Lucca sebelum sang dokter berpamit dan berjalan pergi.

Lucca kembali masuk ke dalam kamar. Melihat Selena yang masih duduk bersandar di kepala ranjang. Gadis itu masih tampak seperti patung. Patuh meski ia tahu dalam hati menolak dan setengah mati ingin memberontak. Ketidak berdayaan gadis itu setidaknya menjadi pelajaran yang cukup berharga, kan?

“Ada yang ingin kau katakan?” Lucca berdiri di samping ranjang, mengulurkan tangan untuk mendongakkan kepala Selena menatapnya.

Selena tak menjawab. Lucca bertanya seolah-olah pria itu akan mendengarkan apa yang dikatakannya.

“Untuk sikap patuhmu sepanjang dua minggu ini, aku akan memberimu satu permintaan untuk dikabulkan.”

Hanya satu? Selena mendengus dalam hati. Sementara banyak hal yang diinginkannya untuk kebebasannya saat ini. Mulai dari berpakaian, keluar kamar, makan dan minum, juga banyak hal lainnya yang diinginkannya hanya untuk sekedar hidup dengan normal. Bahkan pelayan di rumah ini tidak membutuhkan semua itu.

“Kebebasan?” Salah satu alis Lucca terangkat. Tepat seperti yang ada di pikiran Selena. Ya, kedua mata Selena yang polos, terlalu polos hingga tak dibutuhkan usaha keras untuk membaca apa yang ada di pikiran gadis itu.

“Aku tak ingin apa pun.” Selena menarik wajahnya. Menundukkan pandangan. Tahu semua yang ditawarkan oleh Lucca tak mungkin gratis, dan kalau pun ia memenuhi semua keinginan pria itu. Belum tentu juga Lucca akan menepati janji pria itu.

Pria itu adalah pembunuh ibu dan ayahnya. Selena menekan kuat-kuat dorongan dirinya yang ingin membalaskan dendamnya pada pria itu. Sangat sadar diri akan kemampuan yang dimilikinya. Nyawanya terlalu berharga untuk diserahkan begitu saja pada orang seperti Lucca. 

Nyawanya adalah satu-satunya hal yang masih dimilikinya. Satu-satunya senjata untuk merajut dendamnya terhadap pria itu. Dendamnya akan sia-sia jika ia tak bernapas, kan?

Lucca terdiam dengan jawaban penuh keputus asaan Selena. Tubuh Selena memang berada dalam genggamannya. Ia bisa melakukan apa pun terhadap tubuh itu. Sesukanya. Seperti yang diinginkanya. Akan tetapi, bukannya ia tak menyadari kedua mata Selena yang tak menyorotkan kehidupan. Gadis itu hanya bernapas dan hidup. Menjadi boneka pemuas nafsunya di atas ranjang.

Mata Lucca mengerjap, menyadarkan diri akan pikirannya yang mulai melantur. Ia tak seharusnya peduli pada Selena. Yang ia butuhkan dari Selena hanyalah tubuh sehat dan gadis itu yang masih bernapas. Sebagai pemuas nafsu hanyalah bonus.

“Mulai besok kau bisa keluar dari kamar.”

Tubuh Selena membeku. Mencegah harapan yang muncul di dadanya.

“Lakukan apa pun yang kau suka di rumah ini.”

Selena masih bergeming. Memastikan telinganya memang tak salah dengar. Perlahan, kepalanya bergerak naik. Menatap kesungguhan di mata Lucca dengan penuh kesangsian.

Lucca hanya mendengus tipsis. Sebelum berbalik pergi, ia berkata, “Kita makan malam di bawah.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro