24. Rencana Lucca

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 24 Rencana Lucca

‘Maafkan ibu, sayang.’

‘Maafkan ibu. Ibu sama sekali tak bermaksud melakukan semua ini dengan sengaja.’

‘Ibu benar-benar minta maaf.’

Rintihan pilu Selena kembali membangunkan tidur Lucca. Dan ini bukan pertama kalinya Selena mengigau di tengah malam dan mengganggu tidurnya. Pendengarannya sangat sensitif. Gerakan dan suara sekecil apa pun akan tertangkap telinganya dengan baik.

Lucca memutar kepalanya ke samping. Menatap wajah Selena yang tampak berkilau oleh keringat di tengah pencahayaan kamar yang remang. Mata Lucca terpejam, tepat ketika Selena tergeragap dan membuka mata. Dengan napas yang tersengal dan isakan pilu yang lepas dari celah bibirnya.

Selena mengerjapkan mata beberapa kali, menyadari semua itu hanyalah mimpi buruk. Yang masih tak berhenti mengganggu tidurnya di tengah malam. Matanya yang basah menatap wajah Lucca yang masih tertidur. Ia melepaskan lengan pria itu yang melingkari perutnya di balik selimut, dengan sangat hati-hati membalik tubuh memunggungi pria itu. Tanpa menyadari seringai yang tersamar di ujung bibir Lucca.

Mata Lucca kembali terbuka. Menatap pundak Selena yang masih bergetar pelan. Menahan isak tangis terlepas lebih keras dari sebelumnya.

Dan saat itulah, Lucca menyadari ada secercah kesempatan mendadak muncul di benaknya. Rasa bersalah dan penyesalan Selena. Ia bisa menggunakan kedua perasaan sentimentil tersebut untuk memanipulasi Selena sehingga bersedia mengandung anaknya.

Ya, ide yang sangat cemerlang. Ia harus membuat rasa bersalah dan penyesalan Selena berubah menjadi keinginan yang sama dengan keinginannya.

*** 

Selena berpikir kata-kata Lucca yang akan membiarkannya melakukan apa pun di rumah ini hanyalah omong kosong untuk mempermainkan harapannya. Pun setelah tadi malam pria itu mengijinkannya makan malam di lantai bawah. Membiarkannya makan dan minum apa pun yang diinginkannya. Pagi ini, Lucca juga membawanya turun ke lantai satu untuk makan pagi.

Lucca menatap isi piring dan gelas di depan Selena yang sudah tandas. Kepuasan tersamar di ujung bibirnya. Ya, ia sudah menaburkan obat penyubur kandungan di dalam makanan dan minuman yang disiapkan untuk Selena.

“Kau sangat lahap,” gumam Lucca, meletakkan cangkir kopinya yang sudah tandas kembali ke meja.

Selena hanya terdiam, menatap piring dan gelasnya yang habis lebih cepat daripada pria itu. Ya, dibiarkan kehausan dan kelaparan selama tiga minggu. Kemudian sekarang ia dihadapkan dengan hidangan yang mengundang selera. Tentu saja naluri bertahan hidupnya berbicara lebih banyak ketimbang rasa malunya terhadap Lucca. Ia butuh tubuh yang sehat untuk membantu tekadnya yang bulat terhadap Lucca.

Lucca terkekeh geli. Tangannya terulus untuk mengelus ujung kepala Selena. “Makanlah sebanyak yang kau inginkan.”

“Aku sudah kenyang.” Selena tak berusaha menarik kepalanya menjauh meski keinginan itu terbentuk begitu Lucca mengulurkan tangan ke arahnya.

Lucca hanya memberikan satu anggukan. Bangkit berdiri dan membungkuk untuk mendaratkan satu lumatan di bibir Selena sebelum benar-benar berdiri. “Aku pergi dulu.”

Selena tak membalas. Toh Lucca memang bisa pergi dan datang kapan pun pria itu suka tanpa memberitahunya.

Hingga langkah Lucca tak terdengar lagi, barulah Selena menatap ke pintu penghubung. Tempat pria itu baru saja menghilang dari pandangannya. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Mengamati setiap wajah pelayan yang ada, tapi tak menemukan Pamela.

Terakhir kali ia melihat Pamela adalah ketika wanita itu bercumbu dengan Lucca di kamar tidur. Setelahnya, ia tak lagi melihat wanita itu datang ke kamar tidur untuk mengantar makanan, pakaian, dan membersihkan kamar lagi.

Bibir Selena sudah bergerak, hendak menanyakan di mana Pamela. Tetapi ia tak ingin membuat masalah. Di tengah kebebasan yang baru saja diberikan oleh Lucca.

Menahan diri dari rasa penasarannya, Selena kembali merapatkan mulut.

Beranjak dari meja makan, Selena pikir akan ada seseorang. Pelayan atau pengawal Lucca akan menghalangi jalannya selain menuju ke kamar. Tapi saat ia berbelok ke halaman belakang, berjalan-jalan ke sekitar kolam renang.

Sepertinya Lucca memang mengijinkannya untuk melakukan apa pun di rumah ini. Bahkan begitu ia duduk di sofa santai, seorang pelayan menghampirinya dan menawarkan camilan atau minuman.

Sepanjang hari ini, Selena berpura berkeliling ke seluruh rumah. Menghilangkan kebosanan sekaligus mencari keberadaan Pamela, yang rupanya sudah tak ada lagi di rumah ini.

Atau …

Mungkinkah Lucca menempatkan wanita itu di tempat lain. Seperti dirinya yang dulu ditempatkan di apartemen mewah, kemungkinan Pamela mendapatkan tempat yang lebih baik pasti ada.

Selena mengenyahkan pikirannya tentang Pamela. Hubungan Lucca dan Pamela memang bukan urusannya. Mencoba menebak apa yang direncakan Lucca pada dirinya, sudah cukup menguras otaknya.

Sepanjang dua minggu di rumah ini, ia masih belum bisa membaca apa yang akan dilakukan Lucca terhadapnya. Dan ketika tiba-tiba Lucca memberinya kebebasan seperti ini, ia semakin kesulitan menebak.

*** 

“Kau ingin keluar?” Pertanyaan Lucca yang tiba-tiba dan memecah keheningan di meja makan tersebut tentu saja membuat Selena menghentikan kunyahan di mulutnya.

Kepala gadis itu terangkat pelan, menatap keseriusan Lucca yang tak main-main. Lagi. Kerutan membentuk di antara kedua alisnya. Seolah pria itu sedang kehilangan kewarasannya.

Lucca tersenyum tipis. Yang tak sampai di matanya. “Wajahnya terlihat pucat. Sepertinya kau kurang menghirup udara segar.”

“Kenapa kau harus peduli? Bukankah kau memang sengaja bermain-main dengan nyawaku? Untuk membayar satu keinginanku yang akhirnya menjadi kenyataan.”

Senyum Lucca melengkung lebih tinggi. Matanya menatap geli pada tatapan sinis Selena. Tangannya terulur, mengusap ujung bibir Selena lalu menyentuh ujung dagu gadis itu agar sedikit terdongak ke arahnya. Memutar ke kanan dan ke kiri, seolah memeriksa. “Juga kekurangan paparan sinar matahari.”

Selena menarik wajahnya. “Kau tak mungkin sudah memaafkanku semudah ini, kan?”

“Belum.” Lucca mencondongkan tubuhnya ke arah Selena. Meletakkan kedua lengannya di meja dan mengajukan pertanyaan yang berhasil membuat wajah Selena membeku. “Kau berpikir aku yang membunuh kedua orang tuamu, sehingga kau membunuh anakku. Ya, mungkin itu bisa dikatakan impas. Meski aku masih belum bisa menerima sepenuhnya atas kehilangan ini.” Lucca memasang ekspresi sedih yang dibuat-buat.

“Dan yang menjadi pertanyaan.” Lucca sengaja mengulur suaranya. “Apakah kau bisa memaafkan dirimu sendiri?”

Wajah Selena memias. Mengedipkan mata beberapa kali dan membuang muka dari tatapan Lucca yang begitu intens.

“Kau begitu membencinya. Menolak keberadaannya di tubuhmu. Tapi … kau tak bisa membantah bahwa dia telah menjadi bagian dirimu. Yang telah kau bunuh dengan tanganmu sendiri.”

“Cukup, Lucca.” Suara Selena mendadak berubah emosional. Menggigit bibir bagian dalam dengan keras demi menahan gelombang kesedihan yang menerjang dadanya. Pegangannya pada sendok dan garpu di tangannya menguat. Tampak bergetar. 

Lucca terkekeh. Menarik tubuhnya dan bersandar. “Ya, aku memutuskan itu akan menjadi hukuman untukmu.”

Rasa panas mulai merebak di kedua mata Selena. Tapi gadis itu menolak untuk meneteskan air mata di depan Lucca.

“Rasa bersalah dan penyesalanmu.”

“Aku tidak menyesal. Aku juga tidak merasa bersalah telah membunuhnya.”

Senyum mengejek Lucca semakin lebar. “Seharusnya kau berkaca, seberapa berantakaannya wajahmu saat ini.”

Meata Selena mengerjap dua kali. Melompat berdiri dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan meja makan.

Lucca tak mencegah. Ia memang harus memberi Selena waktu untuk meluapkan emosi. Perlahan, gadis itu akan menerima kenyataan. Memaafkan diri sendiri sebelum kemudian siap menerima kehamilan selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro