25. Dendam Yang Saling Berpelukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 25 Dendam Yang Saling Berpelukan

Selena menutup pintu di belakangnya. Menyandarkan punggung di sana dan membiarkan tubuhnya jatuh ke lantai. Bersama emosi yang memenuhi dadanya. Kepalanya tertunduk, kedua telapak tangan menangkup seluruh permukaan wajah dan menangis tersedu. 

Kata-kata Lucca mengena tepat di hatinya. Menusuk-nusuk perasaannya dan ia tak memiliki dalih untuk menyangkal perasaan tersebut. Nalurinya sebagai seorang wanita dan calon ibu, tak bisa mengabaikan hal tersebut. Keberadaan janin dalam kandungannya ternyata mempengaruhinya sedalam ini. 

 Ya, sejak kecil ia selalu merasa haus akan kasih sayang orang tua. Tetapi ia selalu disibukkan dengan sikap kasar dan kekerasan yang dilakukan oleh pamannya. Saat meringkuk kesakitan di kamarnya, saat itulah ia begitu merindukan pelukan kedua orang tuanya. Berharap keduanya akan datang dan memeluknya. Melindunginya dari semua bahaya yang datang.

Namun, apa yang sudah dilakukan pada anak dalam kandungannya sendiri. Ia membunuh janin yang tengah bertumbuh dan menggantungnya hidup padanya, dengan tangannya sendiri. Isakan pilu Selena menyelimuti ruangan yang luas tersebut. Meringkuk seperti bola yang gemetar.

*** 

Senyum licik Lucca tak lepas dari ekspresi wajah datar dan dingin Selena yang sejak tadi menghindar bertatap muka dengannya. Terus menatap ke arah jendela mobil, sejak keduanya naik ke dalam mobil.

Tangan Lucca terulur. Meraih salah satu tangan Selena dan mengenggamnya di atas pangkuan. Selena tak mengatakan apa pun. Penolakannya tak akan memberikan apa pun selain kesiaan. Ia sangat sadar akan hal tersebut. Begitu pun ketika Lucca tiba-tiba menarik tubuhnya. Duduk di pangkuan pria itu.

Setelah makan siang dan membiarkannya meluapkan seluruh emosi di dadanya hingga lega, menjelang sore hari pria itu kembali ke kamar. Menyuruhnya untuk berganti pakaian dan membawanya keluar. Entah ke mana.

“Apa yang kau inginkan, Lucca?” Selena menahan dada Lucca yang membawa tubuh mereka semakin merapat. Begitu pun dengan kepala pria itu yang semakin merunduk.

“Kau tahu apa yang kuinginkan.” Lucca diam sejenak. “Kau sudah bersih, kan?”

Selena menelan ludahnya.

“Aku butuh sesuatu yang lebih dari biasanya.”

Merasakan napas panas Lucca yang menerpa seluruh permukaan wajahnya. “A-aku …” Suaranya yang bergetar kembali tertelan tenggorokannya. Ia memang sudah bersih sejak beberapa hari yang lalu. Tetapi Lucca belum pernah menyentuhnya, pun pria itu sering mencumbunya. Kapan dan di mana pun pria itu ingin. Pria itu mendapatkan kepuasan darinya tidak dengan cara menyetubuhinya.

“Aku tidak bisa.”

“Sepertinya aku tidak bertanya kau bisa atau tidak.” Telapak tangan Lucca yang menempel di pinggang, menarik tubuh gadis itu hingga dada keduanya saling menempel dan jarak di antara wajah mereka semakin menipis. “Kau mendengarnya. Kita berdua tahu apa yang kuinginkan darimu.”

Napas Selena tertahan. Ia pikir, dengan jarak setipis ini, Lucca akan langsung menyambar mulutnya. Akan tetapi, bibir mereka saling bersentuhan hanya sepersekian detik, ketika tiba-tiba wajah Lucca bergerak ke samping. Tangan pria itu yang berada di punggung menurunkan resleting dressnya, cukup untuk membuka kulit pundaknya seperti yang diinginkan pria itu. Sebelum kemudian menggigit daging kenyal di antara cekungan lehernya.

“Dari tubuhmu,” bisik pria itu. Di tengah gigitan yang kuat, tetapi cukup lembut dan tidak menyakiti Selena. Tujuan gigitan tersebut memang untuk menggoda dan merayu gadis itu. 

Selena terkesiap pelan, merasakan tubuhnya yang mulai menghangat. Seberapa pun kerasnya ia berusaha mengabaikan pengaruh sentuhan dan cumbuan Lucca pada tubuhnya. Kehangatan dan rasa panas yang membakar tubuhnya, hasrat dan gairah pria itu seolah menghipnotisnya. Membuat tubuhnya begitu saja meleleh, seberapa pun keras dan kuatnya ia berusaha menolak pengaruh tersebut.

Mencoba menolak sentuhan Lucca hanya akan membuat pria itu berbuat lebih hanya untuk menyakiti tubuhnya. Sengaja membuat dirinya lebih menyedihkan. Menginjak-injak harga diri. Namun, membiarkan dirinya pasrah dan menyenangkan pria itu. Akan semakin memberikan pria itu kepuasan. Yang meski tidak mengurangi perasaan terhina dan harga dirinya yang dicabik-cabik, setidaknya ia tak perlu direpotkan dengan kemarahan pria itu. Dengan emosi pria itu yang malah lebih membuatnya frustrasi dan kewalahan.

“L-lucca?” Selena memegang kedua pundak Lucca. Ada permohonan yang terselip dalam suara panggilannya. 

“Hmm …” Ciuman Lucca bergerak ke rahang dan bermain-main di belakang telinga Selena. 

“Aku akan melakukan apa pun untuk menyenangkanmu.” Selena memastikan pegangannya di tangan Lucca tak cukup kuat agar pria itu tak berpikir dirinya menolak sentuhan yang semakin membuat tubuhnya menghangat dan mulai mendekati rasa panas.

Gerakan lidah Lucca yang bermain-main di ujung daun telinga Selena seketika terhenti. Tubuh pria itu membeku dan napas Selena tertahan.

Hening selama beberapa detik, Lucca mengangkat kepalanya. Menatap seluruh permukaan wajah Selena. Wajah tanpa polesan make up, tetapi tak menutupi kecantikan alami yang terpancar dari gadis kecil tersebut. Beberapa detail yang begitu familiar. Bentuk mata dan alis, hidung dan bibir tersebut. Memiliki kemiripan yang nyaris mendekati 100 persen dengan Serra. Namun, entah bagaimana kemiripan tersebut terlihat seperti sebuah perbedaan yang begitu mencolok antara ibu dan anak itu.

“Hanya saja aku tak ingin hamil lagi.”

Syarat yang diajukan Selena memecah lamunan Lucca. Mata pria itu mengerjap, tersadar akan kalimat Selena yang belum sepenuhnya selesai.

“Kau bisa melakukan apa pun pada tubuhku. Melampiaskan dendammu padaku. Menggunakan diriku untuk membayar entah apa yang telah dilakukan oleh ibuku padamu di masa lalu kalian. Tapi aku hanya ingin satu hal itu darimu. Jangan hamili aku.”

Lucca masih bergeming. Mendengarkan setiap kata Selena dengan cermat. Sejujurnya, dengan sangat mudah. Ia bisa melakukan apa pun pada tubuh Selena. Melampiaskan dendamnya terhadap gadis kecil tersebut. Juga menggunakan gadis kecil itu untuk membayar semua yang terlah terjadi di masa lalu. Yang membuatnya tak pernah lagi mempercayai perasaan sentimentil yang merepotkan bernama cinta tersebut.

Akan tetapi, sayangnya satu-satunya hal yang ia butuhkan saat ini dari Selena hanyalah membuat gadis itu hamil. Mengandung darah dagingnya. Keinginan yang mulai berkembang menjadi obsesi tersebut sudah tak bisa lagi diganggu gugat.

Mata Lucca berkilat licik, seulas senyum menyamarkan seringai jahatnya ketika ia bertanya, “Hanya itu yang kau inginkan?”

Selena tak yakin pertanyaan Lucca adalah sebuah kesungguhan atau hanya sekedar pertanyaan yang digunakan untuk mengejeknya. “A-aku … benar yang kau katakan. Meski aku melakukannya dengan sengaja, menggunakan tanganku sendiri karena aku begitu membenci kebaradaannya. Rasa bersalah dan penyesalan yang kau katakan itu benar-benar menyiksaku. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri.”

Lucca mendengarkan dengan seksama.

“Aku terbutakan keinginan dan kebencianku terhadapmu. Dan melupakan naluriku yang lemah terhadap anak yang seharusnya kulindungi. Aku tak seharusnya membunuhnya.”

Emosi dan perasaan yang tersirat dari kedua mata Selena, tepat seperti apa yang diinginkan dari gadis itu.

“Ya, aku memahami rasa kehilangan yang kau rasakan.” Suara dan ekspresi wajah Lucca dibuat sesendu mungkin. “Aku begitu mengharapkan anak itu. Dengan harapan yang begitu besar. Seharusnya aku melindunginya dengan lebih baik. Seharusnya aku memperlakukanmu dengan lebih baik. Kesalahan tak sepenuhnya berada di tanganmu.”

Selena cukup terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Lucca. Membuat gadis itu terpaku untuk tiga detik penuh. Seseorang seperti Lucca, yang tak memiliki hati. Bagaimana mungkin bisa memiliki rasa bersalah. Semua kekejaman dan kekejian pria itu, berbanding terbalik dengan hati nurani yang baru saja dikatakan oleh Lucca.

Dan perasaan Selena mengatakan bahwa semua yang keluar dari mulut Lucca adalah kebohongan. Dirinya yakin bahwa setiap kata yang diucapkan oleh Lucca tak lebih dari sekedar omong kosong.

Namun, Selena tak bisa memperlihatkan ketidak percayaannya pada Lucca. Pilihan yang dimilikinya saat ini hanyalah membiarkan dirinya masuk ke dalam permainan Lucca.

Selena berusaha sangat keras untuk membuat kedua matanya digenangi air mata. Tak perlu menetes, tapi setiap kali mengingat kesedihan dan kesialan yang datang silih berganti di hidupnya. Tak sulit membuat rasa panas mulai merebak di kedua kelopak matanya.

“A-aku yang membunuhnya.” Tubuh Selena mulai bergetar, membiarkan tubuhnya ditarik ke dalam pelukan Lucca. Yang semakin mempermudah dirinya untuk menampilkan isak tangis pilunya. 

“Shhh, anak itu adalah bagian dari kita berdua. Darah daging dari kita berdua. Tanggung jawab untuk melindunginya adalah milik kita berdua,” bisik Lucca lembut. Masih dengan seringai licik dan jahat yang menghiasi ujung bibirnya. Telapak tangannya mengusap lembut punggung Selena. Membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya. Dan hanya dalam pelukannya.

“Shhh …”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro