29. Cinta Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 29 Cinta Pertama

Lucca tak membalas. Berjalan mendekati Selena tetapi berhenti sedikit di depan sang istri sebelum memutar tubuh berhadapan dengan Amber. “Tunggu di ruanganku.”

Senyum Amber semakin melebar, ujung matanya melirik pada Selena yang sedikit terhalang oleh tubuh besar dan tinggi Lucca. “Dia sangat mirip dengan ibunya. Seperti pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya, bukan. Apakah dia juga akan melakukan ketololan yang sama seperti ibunya? Sepertinya itu sudah turun temurun dari keluarganya.”

Wajah Lucca mengeras. Tatapannya menajam. 

“Terutama dengan darah Rocco yang mengalir di nadinya.”

“Kau sudah selesai bicara?”

Amber hanya memberikan seulas senyum tipis. Tanpa melepaskan tatapan Lucca yang melekat padanya.

“Bawa istriku ke kamar,” perintah Lucca pada Rome. Tanpa melepaskan ketajaman tatapannya pada Amber.

Keangkuhan di wajah Amber membeku, dipuctkan oleh satu kata Lucca yang mengejutkannya. “Apa kau bilang?”

“Apa?” Seringai tersamar di ujung bibir Lucca. Tahu apa yang begitu mengusik seorang Amber Coralie. 

“I-istri?” Amarah dan keterkejutan berkilat jadi satu di kedua manik hitamnya yang semakin memekat. “Kau sungguh menikahi bocah sialan ini?”

Rome yang segera menyadari ketegangan menguar dari tubuh Amver gegas mendekati Selena. “Ayo, Selena.”

Selena tak langsung beranjak. Kata-kata Amber tentang ibunya yang diselimuti nada ketidak sukaan tentu saja mengusik rasa penasarannya. Rasanya semua orang tahu lebih banyak tentang ibunya dibandingkan dirinya sendiri.

“Sekarang, Selena,” desis Lucca tajam. Mendorong tubuh Selena menjauh untuk mengikuti Rome.

Selena pun membalikkan tubuh, membiarkan Rome mengarahkannya menuju anak tangga.

“Apakah kau memang semenyedihkan itu, Lucca? Kau sungguh menikahinya?”

Ujung bibir Lucca mengeras, pun begitu ia tetap menampilkan ketenangan yang luar biasa.

Bibir Amber menipis, tak sulit menangkap kepuasan di senyum Lucca yang memang sengaja pria itu pamerkan. Pandangannya bergerak turun, menemukan cincin yang terselip di jari manis Lucca. Dan saat itu juga ia tahu Lucca tak main-main dengan kata-kata pria itu. Lucca Enrico memang tak pernah main-main dengan apa yang diucapkan. Pun itu suatu kegilaan yang berada di luar nalar.

“Dua puluh tahun yang lalu, kau mencampakkan segalanya dan dibutakan oleh cinta monyetmu itu. Dan sekarang kau mengulang ketololanmu lagi?” Amber menarik napas. Berhasil dibuat kesulitan bernapas oleh ketenangan Lucca. “Menikahi bocah sialan itu? Kau sungguh berhasil membuatku sebal, Lucca.”

“Itu bukan hal baru, kan? Aku tak pernah tidak membuat orang sebal. Itu keahlianku.”

Mata Amber menyipit, melangkah maju dan berhenti tepat di depan Lucca. Wajahnya sedikit terdongak, mengunci tatapan Lucca ketika tangannya bergerak menyentuh dada Lucca. Satu tangannya yang lain mengalung di leher pria itu. “Kau berpkir telah menciptakan seluruh hidupmu dengan bocah ingusan itu untuk memuaskan cinta pertamamu yang berakhir menyedihkan?”

“Kau tak berubah, Amber. Jangan bilang kau masih mengharapkanku? Itulah sebabnya kau bekerja sama dengan ayahku untuk menghancurkan Pamela.”

“Dia hanya salah pionmu, aku tak akan membuang waktu untuk hal sepeleh itu. Ayahmu melakukannya karena dendam khusus yang dimiliki pada anak turun Rocco. Jangan lupa kau sendirilah yang melemparnya pada ayahmu.” Amber mengerlingkan mata dengan geli. Telapak tangannya bergerak mengusap dada Lucca dengan gerakan yang lembut dan menggoda. “Aku melakukan segala cara yang kubisa, dan ini adalah sebuah penghinaan, Lucca. Dan sekarang, apa yang harus kulihat dari bocah ingusanmu yang tidak kumiliki sehingga kau berbuat setolol ini padaku?”

“Apa yang tidak kau miliki?” Salah satu alis Lucca terangkat. Tampak berpura memikirkan jawaban untuk Amber. “Dia tidak menginginkanku?”

Wajah Amber seketika membeku. Tidak menginginkan Lucca adalah hal yang tidak pernah ia lakukan. Bahkan ia sudah menyukai Lucca sejak mereka pertama kali bertemu, dan ia masih ingat ketika merengek pada kedua orang tuanya untuk dipindahkan ke sekolah yang sama dengan pria itu setelah pertemuan pertama mereka di salah satu pesta ulang tahun kerabat dekat pria itu. Dan saat itu, umurnya masih tujuh tahun. Sejak saat itu, seluruh hidup dan perasaannya hanya tentang Lucca.

Lucca menurunkan tangan Amber dari leher dan dadanya. Mundur satu langkah dengan senyum kepuasan. “Cobalah untuk tidak menginginkanku. Mungkin aku akan mempertimbangkan untuk memilikimu.”

Amber menekan kemarahan di ujung bibirnya. “Maka hanya satu cara yang tersisa. Aku akan membuatnya enyah dari hidupmu.”

“Seperti yang kau lakukan pada Serra?”

Sekali lagi wajah Amber memucat. Matanya mengerjap dua kali, dan detik berikutnya wanita itu berhasil menguasai ekspresi wajahnya. “Itu tuduhan yang serius, Lucca.”

“Tuduhan hanya sebuah omong kosong tanpa bukti, Amber. Kenapa kau sepucat ini?” Lucca terdiam sejenak. “Ah, bukti yang belum kutemukan.”

Amber tampak menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang kering. “Belum adalah kata lain dari tidak ada. Itu sudah dua puluh tahun yang lalu.”

“Dan itu tak membuat fakta bahwa mereka dibunuh tidak ada, kan?”

Amber menghela napas pendek. “Perasaanmu yang berlebihan membuat fakta kematian mereka karena dibunuh, Lucca. Kau tahu kematian mereka adalah sebuah kecelakaan. Dan kalaupun menjadi sebuah pembunuhan, itu karena dendam Rocco terhadapmu yang membuat Serra berada dalam bahaya. Kau tahu Rocco akan melakukan segala cara untuk membuatmu menderita. Termasuk jika itu mengorbankan nyawanya.”

Sekilas emosi menyelimuti kedua manik biru Lucca. Kata-kata Amber kali ini berhasil mengena tepat di dadanya. Dan untuk beberapa detik, ia berhasil terpengaruh. Dendam, amarah, dan kesedihan bercampur aduk jadi satu. Memenuhi dadanya dengan cara paling buruk dan familiar.

“Satu-satunya alasan kematiannya adalah untuk membuatmu menderita, Lucca. Dan dia tahu alasan yang paling tepat dan bagus untuk menghancurkanmu.” Amber sengaja memberi jeda sesaat untuk mengamati lebih lekat ekspresi wajah Lucca. “Serra.”

*** 

‘Maka hanya satu cara yang tersisa. Aku akan membuatnya enyah dari hidupmu.’

Selena membekap mulut dengan telapak tangan demi mencegah kesiap yang hendak lolos dari celah bibirnya. 

Rome menghela napas rendah. Keduanya baru saja menaiki beberapa anak tangga ketika Selena tiba-tiba berubah pikiran dan kembali turun untuk mendengarkan pembicaraan rahasia antara Lucca dan Amber. “Sudah kukatakan, kau harus naik ke kamarmu, Selena,” ucapnya kemudian. “Jika Lucca tahu kau menguping pembicaraannya, dia tak akan …”

Selena tak benar-benar mendengarkan peringat Rome, tetapi gadis itu lekas membalikkan badan dan berlari ke arah anak tangga. Hanya dalam hitungan detik menghilang dari pandangan Rome.

Sekali lagi Rome menghela napas, lebih panjang dari sebelumnya. Kemudian memutar kepala dan mendengarkan pembicaraan Lucca dan Amber yang semakin serius. Saat itu juga ia menyadari harus segera angkat kaki dari tempatnya. Masa lalu antara Lucca dan ibu Selena sama sekali bukan ranahnya untuk tahu lebih banyak. Dan meski ia sedikit tahu lebih banyak, ia tak akan ikut campur.

“Kau takut?” Rome memecah lamunan Selena. Meletakkan mangkuk berisi buah anggur.

Selena mengerjap, menoleh ke arah Rome yang berdiri di samping sofa. Matanya menyipit, mengamati ketenangan di wajah Rome.

“Itu akan membuatmu merasa lebih baik.” Rome menunjuk ke arah mangkuk buah anggur di meja.

“Aku tidak membutuhkannya,” sengit Selena kesal. Tangannya mendorong mangkuk di meja menjauh. “Katakan itu pada dirimu sendiri.”

“Lucca tak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu. Termasuk Amber.”

“Seolah kau adalah orang yang paling tahu tentang semua ini,” dengus Selena mengejek.

“Setidaknya sedikit lebih banyak dibandingkan denganmu.”

Selena memutar kepalanya dengan cepat ke arah Rome. Napasnya keluar dengan penuh kekesalan, beranjak dari duduknya dan menghadapkan tubuhnya ke arah Rome. Wajahnya terdongak oleh tubuh Rome yang dua puluh senti lebih tinggi darinya. “Ya, memang hanya aku satu-satunya orang yang paling tidak tahu. Bahkan jika itu tentang ibu kandungku sendiri. Kau puas?” 

Rome tak mengatakan apa pun, meski ia sama sekali tak berniat membuat Selena tersinggung.

Selena melewati tubuh Rome, sengaja menabrakkan pundaknya pada lengan pria itu dengan kasar. Dan tepat pada saat itu, Lucca melangkah masuk ke dalam kamar mereka. 

Sedetik pandangan mereka sempat bertemu. Rome berjalan menuju pintu dan Lucca melangkah lebih ke dalam. Keduanya bertemu di tengah saat Lucca berkata, “Bawakan apa yang diinginkan Amber di bawah.”

Rome mengangguk dan berjalan keluar. Meninggalkan Lucca dan Selena yang bergeming di tempatnya ketika pria itu berjalan mendekat.

“Masalahnya bukan terletak pada berapa banyak kau tidak mengetahui tentang ibumu sendiri, Selena.” Lucca berhenti satu langkah di depan sang istri. “Tapi di mana kepercayaanmu berada.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro