28. Mencoba Mengais Informasi Dengan Sia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 28 Mencoba Mengais Informasi Dengan Sia

“Aku baik-baik saja, Lucca.” Selena menarik wajahnya dari pegangan Lucca. Dengan gerakan senormal mungkin demi menghindari tatapan menelisik Lucca yang begitu dalam. “Aku sudah terbiasa sendirian.”

Lucca hanya tersenyum. “Bersiaplah. Kita makan bersama di bawah,” ucapnya kemudian membalikkan tubuh dan berjalan menuju ruang ganti.

Selena menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya. pandangannya tak lepas dari punggung Lucca yang menghilang di balik pintu. Apakah kali ini Lucca akan melibatkan Jenny dalam permasalahan mereka? Sementara hubungannya dan Jenny bahkan tak bisa benar-benar dikatakan sebagai sesama teman. Pun gadis itu banyak membantu kesulitannya.

Senyum penuh arti pria itu tak pernah membuatnya tenang. Pun saat di meja makan dan tak lagi mengungkit tentang Jenny. Hanya memperkenalkan Rome, pria muda yang akan membantu dan memenuhi kebutuhannya sepanjang Lucca pergi ke luar kota.

Saat keduanya selesai makan, Lucca menggandengnya ke teras rumah. Mengantar pria itu naik ke dalam mobil. Telapak tangan Lucca merangkum wajahnya dan dengan senyum serta tatapan intens, pria itu mendaratkan satu lumatan panjang di bibir Selena.

“Aku pasti akan merindukanmu,” bisik Lucca. Masih dengan senyum yang melengkung terlalu lebar. Telapak tangannya yang menahan pinggang Selena agar sedikit berjinjit, bergerak lebih turun dan ke belakang untuk meremas pantat sang istri.

Selena nyaris memekik ketika menyadari ada beberapa pengawal dan pelayan Lucca yang masih berada di sana. Meski mereka selalu tutup mata akan kemesuman yang terang-terangan ditampilkan oleh Lucca, tetap saja ia merasa malu. Wajahnya seperti dikelupas.

Lucca akhirnya mengurai pelukan tersebut, berjalan menuruni undakan dan masuk ke dalam mobil. Dua mobil di depan dan belakang mengiringi mobil yang dinaiki pria itu. Dan kecuali mobil Lucca, empat mobil lainnya dipenuhi anak buah Lucca yang dipersenjatai lengkap tersembunyi di balik jas hitam mereka.

Selena tak tahu pekerjaan Lucca yang sebenarnya di balik semua yang ia ketahui dari pemberitaan, majalah, maupun artikel di internet. Lucca Enrico adalah seorang pengusaha yang sangat berpengaruh dengan seluruh anak cabang yang menyebar di penjuru negeri. Akan tetapi, entah kenapa Selena yakin ada yang tersembunyi di balik kekuasan besar pria itu. Melihat dengan mudahnya pria itu membunuh seseorang di halaman belakang.

“Apakah hari ini kau berencana keluar?” Pertanyaan Rome memecah lamunan Selena yang tak melepaskan pandangan dari gerbang tinggi.

Selena menoleh. Menatap pria muda yang wajahnya tampak familiar tersebut. Ya, Rome memang seumuran dengannya dan Lucca sudah mengatakan untuk berbicara santai dengannya. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke kamar. Hari ini ia memang tak berencana pergi ke mana pun. Setidaknya sampai ia menemukan satu hal untuk dikerjakan. Di luar sana.

Sepanjang hari ini, Selena hanya menikmati kesendiriannya. Sembari memikirkan semua informasi Lucca dan Alessio yang saling bertentangan. Siapakh di antara mereka yang bisa dipercayanya. Dan di mana ia bisa menggali informasi tentang asal usulnya?

‘Rumah pamanmu?’ Lucca mengulang kalimat Selena di seberang sana. ‘Kenapa kau mendadak ingin mengunjungi rumah pamanmu?’

Selena menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Ia sudah menyiapkan alasan yang masuk akal. “Aku menyimpan benda berharga yang ditinggalkan ibuku di sana. Aku tiba-tiba mengingatnya.”

‘Dan apakah itu?’

“Hanya sebuah kalung.” Selena tak sepenuhnya berbohong. Pamannya selalu melarangnya masuk ke kamar tidur pria itu. Terlalu berlebihan hingga sekarang ia yakin pamannya itu menyembunyikan sesuatu di dalam sana.

‘Apakah harus sekarang?’

“Ehm, tidak. Jika kau melarangku, aku tak akan pergi. Aku hanya memikirkannya karena kau bilang kau sudah mengurus pamanku.”

Diam. Untuk lima detik yang cukup lama. ‘Pergilah. Rome akan menemanimu.’

Selena merapatkan bibirnya, menahan pekik bahagia yang sudah ada di ujung lidah. “Ya, terima kasih, Lucca.”

*** 

Lagi-lagi keberuntungan tersebut berakhir menjadi sebuah kekecewaan ketika menemukan rumah pamannya yang sudah menjadi abu. Keterkejutan memucatkan seluruh permukaan wajah Selena. Menatap puing-puing rumah yang begitu menggenaskan terhampar di hadapannya.

“A-apakah ini semua perbuatan Lucca?” Suara Selena terjepit di tenggorokan. Kepalanya bergerak ke samping, menatap Rome yang berdiri beberapa langkah di sampingnya. “Apakah ini yang Lucca bilang tentang mengurus pamanku?”

Rome menghadap Selena dengan ekspresi sedatar tembok. “Aku tak tahu apa yang kau katakan, Selena.”

“Kau pasti tashu,” tandas Selena penuh emosi. Dengan air mata yang mulai merebak di kedua matanya. Pikirannya yang liar kini telah menjadi kenyataan. Aku tahu kau pasti mengetahuinya. Kau bekerja padanya, kan?”

Rome mengerjap sekali meski permukaan wajahnya tetap tertampil seapik mungkin.

“Lucca membunuhnya. Mengurus yang dia  maksud adalah membunuhnya, kan?” Selena merasakan air matanya meleleh.

“Kau salah paham, Selena. Jika Lucca mengatakan akan mengurus, dia benar-benar akan mengurusnya. Dan membunuh adalah hal yang berbeda.

Selena menggeleng. Membalik tubuhnya dan kembali masuk ke dalam mobil. Meraih ponselnya dan menghubungi pria itu. Yang langsung dijawab di deringan pertama.

“Kau membunuh pamanku?” cecar Selena begitu panggilan tersambung.

‘Kau sudah melihatnya?’

“Aku tak memintamu membunuhnya!”

‘Sepertinya apa pun yang kukatakan tak akan membuatmu mempercayaiku,’ gumam Lucca lebih ke pada diri sendiri meski tak peduli Selena mendengarkan. ‘Apakah ada yang ingin kau katakan lagi?’

“Kau benar-benar jahat, Lucca.”

‘Hm, aku tahu.’

Selena sudah akan menjerit saling frustrasinya. Tetapi ia berhasil menenangkan diri, memutus panggilan dan membanting ponselnya ke ujung jok.

Dan tepat pada saat itu, Rome naik ke dalam mobil. Pemuda itu mendapatkan panggilan dari Lucca. Berbicara sejenak, sebelum panggilan berakhir, tangan Rome membuka penutup di antara jok depan. Mengeluarkan sesuatu dari sana dan mengulurkannya pada Selena.

“Lucca bilang, hadiah darinya,” ucap Rome.

Betapa terkejutnya Selena melihat benda berkilau yang ada di telapak tangan Rome adalah kalung dengan bandul berinisial S. Satu-satunya pemberian ibunya yang berhasil ia sembunyikan dari sang paman. Hanya saja, dari mana Lucca mendapatkannya?

*** 

Sepanjang sisa dua hari menunggu kepulangan Lucca, Selena hanya berdiam diri di dalam kamar.  Sesekali turun untuk makan hanya untuk menghilangkan rasa bosan. Dan bertemu dengan Rome yang tampaknya begitu santai di rumah ini. Bersikap seolah pemuda itu sedang berlibur. Berenang dan bahkan menikmati waktu sepanjang hari.

Langkah Selena sempat terhenti melihat Rome yang duduk santai di halaman samping. Menikmati camilan dan suasana hari yang begitu cerah. Pandangan mereka bertemu, Rome mengangkat gelas berisi cairan merah ke arahnya dengan seulas senyum menyapanya.

Selena tak membalas sapaan tersebut. Membuang muka dan melanjutkan langkah menuju ruang makan. Bertahan hidup dengan menandaskan isi makanan di piring dan sebisa mungkin menikmati setiap hidangan yang disajikan koki Lucca dengan harapan untuk memanjakan lidahnya.

Selesai menandaskan isi piringnya dengan lahap, Selena hendak kembali ke atas dengan perut kenyang ketika mendengar suara mesin mobim dari arah halaman depan. Rome muncul dari pintu samping dan menghampiri siapa pun yang datang.

Selena pikir Luccalah yang datang, tetapi langkah terhenti melihat seorang wanita melangkah keluar dari mobil sedan berwarna putih yang dibukakan oleh Rome.

Wanita tinggi semampai itu menatap jijik ke arab Rome, dan dengan kedua lengan bersilang dada bertanya, “Kau di sini?”

Rome hanya memberikan satu anggukan singkat. Ketika bersamaan pandangan keduanya beralih pada Selena.

Wanita itu mendengus tipis. “Lucca menyuruhmu menjaganya?”

Kerutan membentuk di antara kedua alis Selena menyadari wanita itu mengenalinya. Dan tepat pada saat itu, mobil hitam mengkilat yang datang dan berhenti tepat di belakang mobil putih menarik perhatian ketiganya.

“Sepertinya aku datang di saat yang tepat,” gumam wanita itu. Menyeringai melihat Lucca yang turun dari dalam mobil.

Pandangan Lucca beralih dari wanita itu dan Rome kepada Selena. “Aku tak ingat mengundangku ke rumahku, Amber.”

Amber mendengus tipis. Melirik ke arah Rome dan menjawab, “Seingatku, aku mengatakan akan menghubungimu dalam waktu dekat.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro