5. Kesalahan Yang Fatal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 5 Kesalahan Yang Fatal

Selena Eileen, seorang gadis yang terlahir di tengah ketidak beruntungan dan kesialan yang beruntun. Hidup dengan seorang paman biadab yang menjualnya untuk bekerja di sebuah klub malam sebagai bayaran untuk semua hutang-hutang sang paman. 

Akan tetapi, di usianya yang akan mencapai 20 tahun bulan depan, dan di tengah kesialan yang diberikan sang paman. Ia tetap berhasil mempertahankan keperawanannya. Tak ada satu orang pria pun yang pernah menidurinya.

Selena mencabut jarum infus yang menempel di punggung tangannya. Setengah membentak pada sang dokter aat mengungkapkan ketidak percayaannya. “Itu tidak mungkin, Dok. Ini pasti adalah kesalahan. Saya tidak mungkin hamil. S-saya …”

Selena tentu tahu bagaimana sebuah kehamilan terjadi. Pasti ada kontak fisik antara laki-laki dan perempuan. Dan tak dibutuhkan kecerdasan tingkat tinggi untuk mengetahui bagaimana sebuah proseskehamila terjadi.

Ingatannya berusaha menelisik, mengingat setiap pria yang muncul di hidupnya. Terakhir kali adalah bersama seorang pria mesum yang nyaris memperkoanya. Tapi ia sangat yakin pria itu sudah hampir mati kehilangan banyak darah sebelum menggerayangi tubuhnya lebih jauh. 

Dan Lucca, tidak mungkin Lucca. Pria itu hanya menciumnya di acara pernikahan mereka. Sebuah ciuman tak mungkin membuatnya hamil.

“Nona, Anda tidak boleh …”

“Aku harus pergi.” Selena melompat turun dari ranjang pasien. Melewati sang dokter dan bertabrakan dengan salah satu teman sekerjanya.

“Selena, kau sudah bangun?”

Selena hanya memberikan satu anggukan singkat dan menyelipkan tubuhnya dengan tergesa. Setengah berlari ketika menuju pintu keluar rumah sakit. Kakinya terus melangkah mencari jalan keluar, mengabaikan rasa pusing dan napasnya yang tersengal. Satu-satunya tempat yang harus ia tuju hanyalah apartemen Lucca. Karena ia tak mungkin kembali ke restoran dengan tubuhnya yang lemah.

Sisa uang yang ada di kantong celana hanya cukup untuk membawanya naik transportasi umum. Dan ia harus jalan cukup jauh untuk sampai di kawasan elit tempat apartemen Lucca berada.

Keringat membasahi seluruh wajah dan pelipisnya ketika sampai di depan pintu apartemen. Menempelkan kartu aksesnya di gagang pintu, Selena mendorong pintu terbuka. Dibuat terkejut ketika melangkah masuk dan menemukan seseorang duduk di ruang tamu. Di sofa tunggal dengan kedua kaki saling menyilang dan kedua lengan di atas lengan sofa.

Sudah sebulan sejak pernikahan mereka, Lucca tak pernah muncul di hadapannya. Dan kemunculan mendadak pria itu di apartemen ini mengingatkan dirinya bahwa ternyata ia sudah memiliki seorang suami. Meski hanya sebagai istri simpanan.

“K-kau di sini?” Selena menelan ludahnya. Sekaligus menelan rasa mual yang mulai muncul di pangkal lidahnya.

Lucca mengangguk singkat, mengangkat pergelangan tangan untuk melirik jam tangannya dan tatapannya kembali menelisik lebih dalam kepucatan di wajah Selena. “Kau pulang lebih awal.”

Selena mengangguk. Lucca tentu saja pasti tahu rutinitas hariannya. “A-aku … sedikit tidak enak badan sehingga pulang lebih awal.”

Lucca diam. Selena pun ikut diam. Hening yang cukup lama.

“Kenapa kau tidak memberitahuku akan datang kemari?” Selena tak tahan dengan keheningan yang semakin lama semakin terasa mencekiknya tersebut. Terutama setelah kesalahan fatal yang dilakukan dokter di rumah sakit. “Apakah ada yang ingin kau bicarakan denganku?”

Lucca tetap bergeming. Pandangannya masih mengarah lurus pada ketegangan yang menyelimuti tubuh Selena. Ujung bibirnya menyeringai ketika menjawab, “Kenapa aku harus memberitahu kedatanganku padamu? Kita suami istri, Selena. Tak perlu ada alasan bagiku untuk mengunjungi istriku sendiri. Kau lupa?”

Napas Selena tertahan dengan jawaban tersebut. “Dan kau lupa kalau aku hanya istri simpananmu.”

Senyum Lucca sempat membeku, tetapi ia mengabaikan kata-kata Selena. Mengedikkan bahunya ke arah dua kantung besar di meja. “Ada oleh-oleh untukmu.”

Selena menatap dua kantung yang ditunjuk Lucca, tapi tak cukup menarik perhatiannya. Pun begitu, ia tahu Lucca tak suka ditolak. “Terima kasih.”

Kerutan tipis membentuk di kening Lucca dengan kedataran reaksi Selena. Karena kebanyakan wanita akan berteriak dengan girang dan bentuk terima kasih mereka tak hanya dari mulut. Melainkan dengan tubuh mereka.

“Hanya terima kasih?” Salah satu alis Lucca terangkat.

Selena mengerutkan kening dengan heran. Tatapannya menajam dengan sorot Lucca yang mengarah lurus padanya. Seketika ia memahami apa yang diinginkan pria itu. Namun, tentu saja kesepakatan mereka tidak akan menjadi seperti yang diinginkan Lucca darinya. “Sejujurnya, apa pun isi di dalam kantong itu, aku tak membutuhkannya, Lucca. Jika kau memberikan padaku karena ingin ucapan terima kasih dalam bentuk yang lain, kau bisa membawanya kembali.”

Mata Lucca mengerjap, dagu Selena yang sedikit terangkat dan kata-kata penolakan gadis itu berhasil menyinggung harga dirinya. Apakah bocah ingusan itu masih tak juga memahami posisi dirinya? dengusnya dalam hati dengan ujung bibir yang menyeringai.

Selena menelan ludahnya. Perjalanan kembali menuju apartemen yang melelahkan dan terlalu lama berdiri, membuat kepalanya kembali pusing. Ditambah perutnya yang kembali bergejolak, Selena tak bisa menahan rasa mualnya lebih lama lagi. Dengan tangan membekap mulut, Selena berjalan menuju kamar dan langsung menyeberangi ruangan menuju kamar mandi. Muntah dengan keras di lubang toilet.

“Apa yang terjadi?” Lucca muncul dan langsung menghampiri Selena. Tetapi gadis itu menolak sentuhan pria itu dengan membalikkan tubuh.

“Hanya kelelahan dan tidak enak badan. Aku sudah mengatakan padamu, kan?”

Mata Lucca semakin menyipit dengan sikap Selena, yang sekarang sudah keluar dari kamar mandi. Tetapi langkah gadis itu terhenti ketika Lucca memanggil semua pelayan yang ada di apartemen. Yang dengan bergegas dan patuh sudah ada di dalam kamar hanya dalam hitungan detik. Selena semakin dibuat tercengang ketika dengan suara menggelegar, Lucca memecat semuanya tanpa belas kasih sedikit pun dan mengusir kesemuanya untuk segera enyah dari hadapannya.

“Apa yang kau lakukan, Lucca?” protes Selena.

“Aku tidak suka orang yang tidak becus mengerjakan tugasnya. Seharusnya mereka memanggil dokter untuk memeriksamu.” Jawaban Lucca sangat ringan dan santai. “Dan aku butuh dokter baru karena tak tahu kau sakit.”

Mata Selena membeliak semakin lebar. “Aku yang melarang mereka memanggil dokter.”

Salah satu alis Lucca terangkat. “Benarkah?”

“Jadi semua ini kesalahanku. Sekarang kau bisa mempekerjakan mereka kembali.”

Ujung bibir Lucca terangkat, membentuk seringai licik saat menjawab, “Aku tak pernah menarik kata-kataku.”

Mulut Selena membulat sempurna, sepenuhnya kehilangan kata-kata akan jawaban tanpa hati Lucca. 

“Selain tak tahu terima kasih, hidup sendirian dan bisa melakukan apa pun yang kau inginkan selama sebulan ini rupanya membuatmu mulai melupakan posisimu, ya?” dengus Lucca. Menepukkan kedua telapak tangan di depan dada dan berjalan mendekati Selena yang masih berdiri di tengah ruangan. Langkah pria itu perlahan, tetapi tak mengurangi aura dominan yang menguar dari tubuh pria itu. Yang berhasil membuat tubuh Selena membeku.

Tanpa sadar, tubuh Selena beringsut menjauh ketika salah satu tangan Lucca menarik sabuk dari pinggang. Dan ia sudah berhasil membalikkan tubuh, meraih gagang pintu kamar dan hendak membukanya ketika pinggangnya berhasil ditangkap oleh lengan Lucca. Dibopong di pundak layaknya sekarung beras sebelum kemudian dibanting ke tengah ranjang.

Selena berusaha meronta dengan keras ketika tubuh Lucca yang setengah duduk di atas perutnya berhasil menangkap kedua pergelangan tangannya dan mengikatkan ke kepala ranjang dengan ikatan yang kuat.

“Kau lupa?” Seringai licik Lucca tersungging lebih tinggi ketika kedua tangan pria itu mulai mengurai simpul dasi di leher dan menarik dengan satu sentakan yang kuat. Kemudian menggunakan kain itu untuk membungkam teriakannya. “Tidak ada yang harus kau lakukan setelah semua bantuan dan perlindungan yang kuberikan untukmu.”

Dengan mulut terumpal dan tubuh yang tak berdaya, kepala Selena menggeleng-geleng dengan pilu. Kepanikan gadis itu hanya tampak dari kedua matanya yang mulai berair oleh ketakutan sekaligus permohonan. Dan seketika menyadari kesalahan fatal yang telah dilakukannya pada seorang Lucca Enrico.

Tetapi semua itu tak membuat hati Lucca tersentuh sedikit pun. Pria itu malah menyentakkan kemeja yang dikenakan dan melemparnya ke lantai. “Karena aku sendiri yang akan mendapatkannya darimu.”

***
Next part 6 Inseminasi Buatan. Bisa dibaca cepat di Karyakarsa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro