6. Inseminasi Buatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 6 Inseminasi Buatan

Hanya butuh satu tarikan kuat dari tangan Lucca untuk mengoyak pakaian atas Selena. Menampilkan dada sang gadis yang tertutup bra. Tubuh Lucca bergerak turun, berhenti tepat di atas wajah Selena ketika salah satu tangannya menyelip di belakang punggung. Melepaskan pengait bra di sana.

“Tenanglah,” bisik Lucca, membiarkan napasnya berhembus di permukaan wajah Selena. Salah satu tangannya mengelus ujung kepala Selena dengan lembut. Sementara tangannya yang lain bergerak meremas dada gadis itu terasa pas dalam genggamannya. Dan dengan penuh kepuasan akan ketidak berdayaan Selena, Lucca mulai menciumi sisi leher gadis itu. Mengabaikan teriakan Selena yang terbungkam oleh dasinya.

Ciuman Lucca semakin panas dan mulai bergerak turun. Meninggalkan jejak basah di sepanjang tulang selangka, berhenti sejenak di dada Selena dan turun lagi ke perut. Ciuman itu berhenti sebentar, Lucca mengangkat kepalanya dan sedikit menarik tubuhnya ke belakang. Memberikan akses yang lebih leluasa untuk menikmatika seluruh tubuh Selena dengan melepaskan celana panjang gadis itu.

Air mata Selena mengalir semakin deras. Membuang wajahnya ke samping ketika Lucca meletakkan diri di antara kedua kakinya. Matanya terpejam, dalam keputus asaan yang memeluknya erat.

Selanjutnya, satu-satunya pilihan yang ia miliki hanyalah berusaha melumpuhkan ingatannya. Akan setiap sentuhan dan cumbuan Lucca yang ditinggalkan pria itu di setiap senti kulit telanjangnya. Di seluruh tubuhnya.

Puas bermain-main, tubuh pria itu kembali bergerak naik. Napas panas pria itu berhembus dengan keras tepat di telinga Selena. Sebelum kemudian gadis itu dibuat tercengang keras ketika sesuatu mendesak masuk dengan paksa ke dalam tubuhnya.

Tubuh Selena kembali meronta meski tak 

“Jadi ini pertama kalinya untukmu?” bisik Lucca menampilkan keterkejutan yang dibuat-buat. Ujung jemarinya bergerak menyisihkan helaian rambut Selena dari wajah basah tersebut. Kemudian menyeka air mata yang mengalir semakin deras.

Tatapan pria itu sedikit melembut. Ia tahu gadis di bawahnya ini sedang kesakitan, tetapi gairah dan hasratnya yang sudah mencapai ubun-ubun tak bisa dihentikan begitu saja. “Shhh, aku tak bisa berhenti, tapi aku akan melakukannya dengan lembut.”

Lucca memenuhi janjinya. Tubuhnya mulai bergerak lebih perlahan. Pun tak mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh Selena. 

Bergerak lebih ke dalam, membelah tubuh Selena untuk mencari ritme yang tepat. Hingga akhirnya Lucca mendapatkan puncak kenikmatannya, erang kepuasan lolos dari mulutnya.

Untuk beberapa saat, seluruh ruangan diselimuti keheningan. Tubuh Lucca bergerak memisahkan tubuh mereka, jatuh ke samping tubuh Selena dengan napas yang terengah dan penuh kepuasan. Menatap langit-langit kamar dengan kabut gairah yang mulai memudar dari kedua matanya.

Ketika napas pria itu mulai kembali normal, Lucca menoleh ke samping. Melepaskan ikatan sabuk di pergelangan tangan Selena dan dasinya yang menyumpal mulut gadis itu.

Tubuh Selena beringsut menjauh, menarik selimut untuk menutupi ketelanjangannya. Dengan isakan tertahan, tubuhnya yang bergetar hebat meringkuk seperti bola di ujung kepala ranjang.

Lucca hanya tersenyum tipis dengan sikap defensif Selena. Duduk di tepi ranjang sembari memperbaiki celana dan mengancingkan kemejanya. “Lain kali, aku akan melakukannya sedikit lebih lembut. Dan lama-lama kau akan mulai terbiasa.”

“Semua ini sama sekali tak ada dalam kesepakatan kita,” desis Selena dengan bibirnya yang masih bergetar.

Lucca menoleh ke samping. Berhasil menautkan kancing terakhir kemejanya dan berdiri. Seringai tersamar di ujung bibirnya. “Aku tak akan menyentuh tubuhmu. Kecuali kau berhasil memberiku keturunan.”  Ada nada geli ketika kalimat itu terucap. Selena tak mungkin hamil jika ia tidak bisa menyentuh gadis itu. Betapa konyolnya kesepakatan tersebut. 

Selena terpaku dengan jawaban tersebut. Tentu saja ia mengetahui poin penting yang tercantum dalam kesepakatan tersebut. Hanya saja. “Aku tak mungkin hamil.”

Lucca tersenyum penuh arti. Sebelum kemudian tatapannya bergerak turun ke bawah. Berhenti di perut Selena. “Kau yakin?”

Kepucatan di wajah Selena semakin tak tertahankan. Apa yang dikatakan oleh dokter adalah sebuah kesalahan. Dan … bagaimana mungkin Lucca mengetahui tentang kesalahan tolol yang membawa pria itu dalam kesalah pahaman seperti ini.

“Itulah masalahmu, gadis kecil.” Lucca berdiri. Berhenti tepat di depan Selena yang masih terbengong, mencerna lebih dalam kalimatnya. Ya, kesepakatan di antara mereka memang terdengar konyol. Tetapi tentu saja ia lebih cerdik untuk mengakali Selena. “Kau melupakan poin penting tersebut. Kau pikir hanya bersetubuh satu-satunya cara untuk membuat seorang gadis hamil?”

Selena tetap bergeming, masih kesulitan mencerna kalimat Lucca. Tubuhnya beringsut menjauh ketika tangan Lucca terulur ke wajahnya. Akan tetapi lengan atasnya berhasil ditangkap pria itu dan rahangnya ditangkap dalam cengkeraman yang kuat. Mendongakkan kepalanya hingga wajah keduanya saling berhadap-hadapan.

“Kau merasa tenang karena aku tak mungkin bisa menghamilimu sehingga pernikahan ini membuat tubuhmu terlindungi dariku?” dengus Lucca mengejek. “Aku tidak setolol itu, gadis. Untuk apa aku memiliki istri simpanan jika tidak bisa kumanfaatkan sebaik mungkin?”

Selena ingin mengaduh dengan cengkeraman Lucca yang semakin kuat. Tetapi ia tetap berusaha berbicara meski tulang rahangnya nyaris remuk. “K-kau mempermainkanku.”

Lucca hanya terkekeh geli. Menyentakkan wajah Selena dan menegakkan punggungnya. “Kau sudah menyadarinya.”

Air mata Selena jatuh semakin deras. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Pamannya yang b*adab, tak lebih buruk dari permainan Lucca. Pada akhirnya, tubuhnya harus terjual dengan sebuah nominal. 

“Hanya tubuh dan rahimmu, satu-satunya hal yang bisa kau berikan untuk kesepakatan ini. Untuk seorang gadis muda yang tak memiliki apa pun, kau terlalu serakah, Selena. Kau pikir aku melakukan semua ini karena aku seorang dermawan yang baik hati?” Salah satu alis Lucca terangkat, tatapan mengejeknya tampak geli dengan wajah Selena yang tak bisa lebih pucat lagi. “Well, sekarang kau mulai sedikit mengenal siapa Lucca Enrico, kan?”

Selena berusaha menghentikan isakannya. Menatap keangkuhan di wajah Lucca yang dihiasi kelicikan. “A-aku tak mungkin hamil. Bagaimana mungkin aku mengandung anakmu?”

Kedua tangan Lucca bersilang di depan dada. “Aku sudah melakukan inseminasi buatan padamu dengan menggunakan benihku. Seminggu sebelum kau datang dan memohon perlindungan padaku. Itulah alasanmu sekarang tengah mengandung anakku. Dokter di rumah sakit sudah mengonfirmasi hasilnya padaku.”

Seminggu sebelum pernikahan? Selena mengais ingatannya. Dan semakin ia berhasil meraih kepingan ingatannya, wajahnya yang sepucat mayat tak bisa lebih pucat lagi. 

Saat itu ia pulang kerja dari restoran, ia berusaha kabur dari kejaran sang paman dan menabrak mobil Lucca. Pria itu menolongnya dengan bersembunyi di dalam bagasi mobil. Tapi kepalanya mendadak pusing dan jatuh pingsan. Ketika tersadar, Selena menemukan dirinya terbaring di ranjang rumah sakit dengan Lucca. Yang mendadak menawarkan kesepakatan tersebut. Dengan alasan bahwa pamannya bukanlah orang yang akan melepaskan dirinya begitu saja.

Dan ia baru menyadari, saat Lucca menolongnya dan dirinya terbangun dari pingsan tersebut, hari sudah berganti. Yang artinya, saat itulah Lucca melakukan inseminasi buatan tersebut saat ia tal sadarkan diri.

Kemarahan seketika berkobar di kedua mata Selena. “Sejak awal kau memang sudah mengincarku, kan?”

Lucca sama sekali tak menyangkal. Pria itu malah terkekeh. Menertawakan kebodohan gadis itu. “Sekarang kau tahu dengan siapa sedang berurusan, kan?”

Selena menggelengkan kepalanya. Masih tak mempercayai semuanya meski semua kebenaran tersebut sudah terpampang nyata di hadapannya. “T-tidak.”

“Semua fasilitas yang kau dapatkan, ini semua tidak gratis, bocah. Sedikitlah bersikap dewasa.” Lucca memungkasi kalimatnya. Berjalan meninggalkan Selena yang masih tenggelam dalam kebingungannya seorang diri.

*** 

Selena hanya berbaring di ranjang. Tak berhenti menangis dan meratapi kesialan yang masih saja melekat di hidupnya. Bahkan setelah ia mengambil keputusan terbesar di hidupnya dengan menikahi seorang pria yang berumur lima belas tahun lebih tua darinya. Nyaris dua kali lipas dari umurnya sendiri.

Bekas memar masih menghiasi pergelangan tangannya. Rasa sakit di pangkal pahanya pun masih terasa begitu nyeri. Begitu pun dengan perutnya.

“Aku tak mungkin hamil,” gumamnya pada diri sendiri. Entah untuk yang keberapa ratus kalinya. “Semua ini hanyalah permainan dan omong kosong Lucca.”

Pagi harinya, ia bangun tidur dengan disambut oleh rasa mual yang membuat perutnya tak nyaman sehingga tak menghabiskan makan pagi. Yang lagi-lagi disiapkan oleh pelayan dengan wajah-wajah baru. 

Ia berangkat bekerja seperti biasa. Melakukan rutinitas hariannya seolah tak ada apa pun yang terjadi. Tahu bahwa setiap gerak-geriknya diawasi oleh kamera CCTV dan setiap pasang mata yang melihatnya. 

Hanya di tempat kerjalah ia benar-benar merasa aman. Bisa menghindari pengawasan Lucca.

Meski sepanjang hari ini ia sedikit lebih sehat dark kemarin dan menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tetap saja tubuhnya masih terasa lemah.

“Kau baik-baik saja?” Jenny, salah satu teman terdekat Selena menghampiri sang teman yang tampak melamun di depan loker. Pandangan wanita itu menyipit lebih tajam, mengamati kepucatan di wajah Selena.

Selena tersentak pelan dan menggeleng singkat. Mengambil tas lalu menutup pintu lokernya dan memaksa sebuah lengkungan senyum untuk sang teman. “Kau sudah akan pulang?”

Jenny mengangguk.

Selena terdiam sejenak, ketika ide itu muncul di kepalanya. “Ehm, Jenny. Bolehkah hari ini aku menumpang pulang dengan motormu?”

Jenny tak langsung mengangguk, tetapi ekspresi wanita itu yang mendadak berubah murung berkata dengan penuh penyesalan. “Aku tak masalah. Hanya saja, manager mencarimu.”

Kening Selena berkerut terheran. “Kenapa?”

“Kau harus lembur, untuk mengganti jam kerjamu kemarin.”

Selena mendesah pelan. Memaksa kepalanya mengangguk dengan pasrah. Kembali membuka lokernya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja. Lalu bergegas menghampiri sang manager.

“Ke mana saja kau?” sergah sang manager dengan rambut pendek sebahu dan tatapan sinis. Ujung bibirnya berkedut kesal, tetapi tak bisa melampiaskan kedongkolannya pada Selena. Mendorong meja troli yang sudah dipenuhi menu makanan ke arah gadis itu. “VVIP ruang 1,” perintahnya kemudian.

Selena terdiam. Menatap meja troli di hadapannya dengan penuh keheranan. Bukankah ia hanya pelayan untuk melayani pelanggan biasa?

 “Pastikan kau tak membuat kesalahan apa pun,” peringat sang manager yang menghentikan keheranan Selena. “Cepat! Mereka sudah menunggu.”

Selena tak membantah. Mengangguk pelan dan lekas mendorong meja tersebut keluar dari area dapur. Menuju lorong khusus yang akan membawanya ke ruang-ruang pribadi. Matanya mencari, mencari ruangan yang dimaksud sang manager dan memastikan telinganya tak salah dengar. VVIP 1. Selena berhenti di depan pintu ganda hitam yang ada di hadapannya. Mengetuk dua kali untuk memberitahu kedatangannya.

Suara feminim yang terdengar dari dalam mempersilahkannya untuk masuk. Selena pun mendorong pintu terbuka dan melangkah masuk. Akan tetapi, baru dua langkah ia masuk ke dalam ruangan dengan nuansa remang tersebut, kedua kakinya membeku melihat pria yang duduk di salah satu kursi. Yang tak lain dan tak bukan adalah Lucca Enrico.

Suami yang tadi malam sudah melecehkannya.

***

Next part double. Baca cepat hanya tersedia di karyakarsa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro