Behind the S-Rankers

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Behind the S-Rankers
Karya: Wulan Irawan

    Menjadi paladin rank S sama sekali bukan sebuah pencapaian yang menyenangkan—atau setidaknya, itulah pendapat Ivy, yang berulang kali dikatakannya pada semua temannya yang memberikan ucapan selamat. Sebuah perkataan yang membuat Rin ingin menonjoknya tepat di hidung.

    Bagaimana bisa ia berkata begitu di saat menjadi paladin rank S adalah impian semua paladin di Kerajaan West, atau bahkan di seluruh perserikatan kerajaan ini? Itu sama seperti ia berkata bahwa ia tidak menyukai kado ulang tahun dari orang tuanya, di hadapan anak yatim piatu yang telah mendambakan sebuah perayaan ulang tahun seumur hidupnya.

    Rin bisa saja melakukan tindakan yang lebih agresif—mungkin menjotos, mencolok, atau minimal menjegal langkah Ivy—tapi untungnya, ia masih sadar diri. Ia, yang hanya merupakan seorang paladin rank C, tidak mungkin memiliki kesempatan untuk mengatur suatu “kecelakaan” kecil bagi Ivy tanpa membuat dirinya sendiri menjadi korban.

    Jika ia menjotos Ivy, mungkin buku-buku jarinya yang memar. Jika ia menjegal langkah Ivy, barangkali justru kakinya yang terkilir, atau malah patah. Namun, ia tidak tahu apa yang akan terjadi kalau ia mencolok Ivy. Apakah ia bisa mencolok Ivy?

    Tentu saja tidak.

    Rin harus cukup gila untuk membuat seorang paladin rank S menjadi musuhnya, tetapi untungnya—atau sialnya—ia tidak segila itu. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengulurkan tangan pada Ivy sambil mengulas sebuah senyum manis, ceria, dan ramah, tetapi sepenuhnya palsu. Sama sekali tidak sulit; setelah bertahun-tahun melakukannya, semakin lama akan terasa semakin mudah.

"Selamat, Ivy!" seru Rin. Ivy menyambutnya tanpa semangat, sementara Rin berkata lagi, "Semoga aku bisa menyusulmu jadi rank S juga!"
Namun, seperti sebelum-sebelumnya, Ivy justru menggeleng. “Menjadi rank S tidak seindah yang kau kira. Toh menjadi paladin rank C seperti ini saja juga sudah cukup menyenangkan, bukan? Kau sudah memperoleh gaji yang cukup untuk hidup dengan layak.”
Lagi-lagi jawaban merendah seperti itu. Rin harus mengerahkan seluruh kontrol dirinya untuk menahan diri agar tidak berdecak kesal.

"Apa menurutmu hidup di rusun berisi ratusan elf lain yang berisik dan hobi mencari perkara dengan tetangganya itu menyenangkan?" sembur Rin. "Mudah saja kau bicara begitu, karena sebentar lagi kau akan tinggal di rumah pribadi yang nyaman!"

Ivy menariknya agar duduk di sebelahnya.

Dari posisi mereka yang duduk di tepi atap rusun C, yang merupakan bangunan tertinggi di Kerajaan West, mereka bisa melihat hampir keseluruhan kerajaan itu.
Jika ada satu kata yang tepat untuk menjelaskan kondisi Kerajaan West, maka itu adalah "kumuh".

Dari ujung paling utara yang berbatasan langsung dengan Kerajaan North, hingga ujung paling selatan yang berbatasan dengan Kerajaan South, semua yang terlihat hanyalah jejeran atap-atap kusam kedai, toko, rusun B alias tempat tinggal para paladin rank B yang lebih kecil dari rusun C, serta rusun A alias tempat tinggal para paladin A yang lebih kecil dari rusun B.

Luas wilayah kerajaan ini bahkan tidak mencapai separuh dari luas wilayah Kerajaan Central, yang tembok pembatasnya—Tembok Dalam—bisa dilihat pada bagian paling timur sebelah sana. Tempat ke mana Ivy akan pergi begitu misinya sebagai paladin rank S dimulai.

Sementara paladin dengan rank yang lebih rendah harus bertahan di luar sini, di luar Tembok Dalam, dan harus siap menghadapi makhluk apa pun yang mungkin tertarik untuk menjadikan elf sebagai makan malam mereka, para elf Kerajaan Central menghadapi hari-hari mereka dengan bertanya-tanya pakaian apa yang harus mereka kenakan pada hari itu, makanan pencuci mulut apa yang bisa dicicipi, dan hal-hal lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan pertaruhan nyawa.

Rin sudah sering sekali berhadapan dengan pemandangan kumuh ini, sambil bertanya-tanya kapan dia bisa mendapatkan cukup kekuatan untuk diakui sebagai rank S, sehingga dia menolak untuk memandanginya lebih lama lagi. Dia memalingkan wajah.
Pandangannya mendarat pada Ivy. Sahabatnya sedari kecil. Sahabat yang selalu berlari lebih cepat darinya, bertahan lebih lama darinya, mengayunkan pedang lebih kuat darinya, dan selalu lebih segala-galanya darinya.

Tatapan Ivy tertuju pada satu titik di barat. Rambut pirangnya yang diikat ekor kuda bergoyang-goyang mengikuti belaian angin kencang.

Ketika Rin mengikuti pandangannya, yang ia temukan hanyalah padang luas yang membentang di luar Tembok Luar, tembok yang melingkari Kerajaan West, North, East, dan South dan membatasinya dari Padang Hijau.

"Pernahkah kau bertanya-tanya ada apa di luar sana, Rin?" tanya Ivy.

"Alcypete," jawab Rin tanpa ragu. Makhluk jelek, beracun, bercakar tajam, dan—seolah hal-hal itu saja kurang mengerikan—bisa terbang. "Oetheleoy, celaenost, heardzh—"

Ivy menabok bahunya keras. "Maksudku selain monster! Tidak mungkin kita adalah satu-satunya peradaban di dunia ini, bukan? Apakah kau pernah bertanya-tanya, bisakah kita pergi ke luar sana dan pergi mencari … entahlah, kerajaan lain, mungkin?"

"Tidak ada kerajaan lain." Rin menggerutu sambil mengusap bahunya yang ngilu. "Sudah ratusan tahun sejak Perserikatan Kardinal berdiri. Jika ada peradaban lain di luar sana, mestinya kita sudah tahu."

"Banyak hal yang bisa tersembunyi untuk waktu yang lama," gumam Ivy. "Apalagi jika kita tidak berusaha mencarinya."

Tatapan Ivy masih tertuju pada Padang Hijau, dan jika Rin tidak salah mengidentifikasi, tatapan itu menyiratkan gairah. Gairah untuk pergi ke luar sana.

"Kau bicara apa, sih?" tanya Rin dengan ngeri. "Kau ingin pergi ke luar sana?"
Ivy pasti sudah gila. Mereka semua bahkan boro-boro selamat ketika terjadi serangan para monster. Tembok Luar yang hanya setinggi 30 kaki tidak sungguh-sungguh berguna untuk melindungi kerajaan dari alcypete yang bisa terbang hingga setinggi 50 kaki. Gabungan serangan paladin rank A hingga C saja belum pasti bisa mengusir mereka dalam 24 jam.

Oh, tunggu. Ivy sudah pasti selamat. Ia sudah rank S sekarang.
Namun, setiap paladin yang lulus ujian rank S selalu dikirim menuju Kerajaan Central dan diberi misi yang lebih bergengsi: melindungi keluarga kerajaan.

Lucu sekali. Seolah-olah nyawa merekalah yang lebih terancam bahaya di istana mereka yang megah dan dilindungi oleh Tembok Dalam yang setinggi 60 kaki.

"Jangan aneh-aneh." Rin menggertakkan gigi. "Posisimu sudah enak sekarang. Kau bahkan tidak perlu lagi memikirkan keamanan hidupmu lagi."
"Rin." Ivy terdengar lelah. "Kau tidak tahu apa-apa. Menjadi paladin rank S tidak seindah bayanganmu, atau bayangan kita semua."

"Kau bicara apa, sih?" tanya Rin lagi, dengan emosi yang lebih memuncak. "Maksudmu apa? Dan, jika tidak seindah bayanganku, kenapa kau tetap berjuang untuk menjadi rank S selama ini?"

Ivy menunduk. Mata birunya menatap kosong pada telapak tangannya yang kasar dan penuh kapalan. Ada bekas luka yang melintang di telapak tangan kirinya, serta di sepanjang lengan kanannya, yang menjadi bukti kerasnya latihan yang selama ini ia lakukan demi lulus ujian rank S.

"Karena hanya itulah satu-satunya cara untuk pergi ke Kerajaan Central." Ivy mengulas senyum sinis. "Aku harus tahu kenapa ayahku berhenti mengirimiku surat sejak lima tahun yang lalu."
Enam tahun yang lalu, Ayah Ivy menjadi paladin rank S. Hingga setahun setelah beliau berangkat ke Kerajaan Central, Ivy rutin berlari-lari ke rusun Rin untuk mengabari bahwa ia baru saja menerima surat dari ayahnya. Namun pada suatu hari, mendadak Rin tersadar bahwa Ivy tidak pernah lagi menunjukkan surat dari ayahnya.

"Tidak ada," kata Ivy waktu itu. "Tidak ada surat lagi."

Dan tidak pernah ada lagi hingga sekarang.

"Mungkin ada suatu kendala," begitu Ivy berpendapat dengan cemas. "Mungkinkah beliau terkena masalah?"
Rin tidak ingin memberitahunya apa yang sudah jelas: ayah Ivy sudah memiliki kehidupan baru. Kehidupan baru yang lebih menyenangkan. Untuk apa ia masih mengurusi anaknya di luar Tembok Dalam yang barangkali saja sudah mati sejak lama?

Ivy tidak pernah membalas surat-surat dari ayahnya. Bukannya tidak mau, melainkan tidak bisa. Ia tidak punya uang untuk itu.

Kehidupan Kerajaan Central sangat terisolasi sehingga satu-satunya hal yang bisa keluar melewati Tembok Dalam itu hanyalah desas-desus kehidupan mewahnya, serta kertas-kertas surat yang licin dan bersih dari orang terkasih sebagai pembenaran desas-desus itu; dan tidak ada yang bisa masuk kecuali lulusan baru rank S.
Namun, di sinilah Ivy duduk dan mengobrol bersama Rin, barangkali menjadi obrolan terakhir mereka, sebelum gadis elf itu berangkat ke kerajaan terisolasi yang sempurna itu.
Rin menggigit pipi bagian dalamnya kuat-kuat, selagi pahitnya iri hati mulai terasa pada pangkal kerongkongannya.

"Semoga beruntung, kalau begitu," kata Rin.

Ivy merangkulnya. "Aku akan rutin mengirimimu surat," janjinya. "Kau sahabatku satu-satunya, Rin. Pokoknya, ingat pesanku baik-baik: jangan mengikuti ujian rank S. Dan, jika sampai aku berhenti mengirimmu surat, kau akan tahu bahwa itu artinya … aku sedang tidak baik-baik saja."

***

Dua tahun setelah kepergian Ivy, Rin sudah tidak lagi menerima suratnya, dan ia sudah melupakan pesan terakhirnya.

Ia mengikuti ujian rank S.
Siapa yang tidak? Semua temannya juga sangat bergairah untuk meninggalkan kerajaan rongsok ini.

Frekuensi serangan monster meningkat akhir-akhir ini, dan itu membuat Rin yakin bahwa jika selama ini ada peradaban lain di luar sana, maka peradaban itu pasti sudah di ambang kehancuran karena semua monster itu telah berpindah kemari demi mangsa yang lebih banyak.

Namun, Rin sadar diri. Ia adalah paladin yang payah. Dulu, ia butuh waktu tiga tahun baginya untuk naik dari rank D ke rank C, dan dua tahun untuk naik ke rank B. Kecil kemungkinan dia bisa langsung melompat ke rank S—jika dia jujur.
Namun, dia tidak perlu jujur.
Ada seorang elf tua yang ahli membuat ramuan penguat, yaitu ramuan yang bisa meningkatkan kecepatan, kekuatan, dan pertahanannya dalam jangka waktu tertentu. Hebatnya lagi, ramuan itu tidak akan terdeteksi oleh pendeteksi mana yang digunakan pada setiap peserta sebelum ujian rank S dimulai.

Kelicikan semacam ini bukan lagi hal baru. Sudah banyak paladin yang nekat mengambil jalan curang seperti ini demi lulus ujian, hingga para penyelenggara kini lebih berantisipasi dengan menyediakan alat pendeteksi mana untuk mendeteksi lonjakan mana yang mencurigakan.

Rin sudah meminum ramuan itu diam-diam tadi, di salah satu bilik toilet yang bau, tepat sebelum ia memasuki lorong untuk menuju ke arena ujian.
Jantungnya berdentum-dentum. Titik-titik keringat dingin mulai terbentuk pada dahinya. Seluruh tubuhnya menegang, seakan ia sudah siap dan akan langsung melompat untuk menyerang apa pun.

Ketika kegelapan lorong berkurang, dan pintu cahaya di depan menyambutnya, ia menarik napas.

Aku harus bisa! tekadnya dalam hati.
Kemudian, ia melewati pintu cahaya itu. Ia memandang ke sekelilingnya.
Arena ujian itu berbentuk bundar dan luas, dikelilingi pagar tinggi yang tersusun dari jejeran papan-papan kayu, dan terdapat deretan kursi-kursi yang mengelilingi area bundar itu seperti kursi penonton.

"Kenapa ada banyak sekali kursi penonton?" tanya Rin, pada seorang panitia ujian yang mendekatinya. "Memangnya akan ada yang menonton?"

"Untuk simulasi," sahut elf panitia itu. Suaranya sengau, dan Rin menduga sepertinya ia sedang flu.

"Simulasi apa?" Rin bertanya lagi.

"Simulasi, ya, simulasi. Kau tidak tahu apa itu simulasi?" Sepertinya kondisi kesehatannya yang buruk membuat kesabaran elf itu menipis dan tidak mau repot-repot menjelaskan. Ia menempelkan semacam cap pada pergelangan tangan Rin. "Bersumpahlah kau tidak akan membocorkan satu pun hal dari ujian ini, termasuk apa yang kau ketahui, lihat, dan dengar."
Jadi, karena inilah Ivy tidak bisa mengatakan apa-apa soal ujian rank S ini waktu itu.

Rin berkata, "Aku bersumpah."
Bertepatan dengan ucapannya, cap itu menyengat kulitnya dengan rasa panas yang teramat sangat hingga ia menjerit.

"Jika kau melanggar, jantungmu akan terbakar," kata panitia itu. Ia mengesat hidungnya. "Ujian akan dimulai. Berdirilah di titik tengah itu."
Rin menurutinya. Ia berdiri di tengah lingkaran merah yang digambar di tengah lapangan itu, meskipun itu membuatnya merasa seperti sebuah … target. Entah target apa.

Bel berbunyi. Suaranya berat dan menggema, dan terdengar seakan diciptakan oleh sebuah sangkakala raksasa.

Kemudian, mendadak salah satu papan kayu di satu sisi arena itu terbuka, dan seekor alcypete muncul di baliknya.
Rin membeku. Ini ujiannya?

"Monster berikutnya akan dikeluarkan setiap 3 menit." Sebuah suara menggema di arena itu, tanpa terlihat di mana sumbernya. "Jika kau berhasil mengalahkan sepuluh monster, kau lulus. Jika kau tidak bisa mengalahkan sepuluh monster, tetapi berhasil bertahan selama dua jam di sini, kau tetap lulus."

Mengalahkan sepuluh alcypete sendirian? Ia bahkan membutuhkan seorang paladin rank B lain untuk bisa mengalahkan satu alcypete bersama-sama, dan itu membutuhkan waktu paling tidak 15 menit.  Terlebih lagi, bertahan selama dua jam di bawah gempuran monster-monster ini tanpa ruang untuk bersembunyi atau beristirahat? Cara apa yang bisa ia lakukan? Menyamar menjadi batu?

"Jika kau menyerah, kata kuncinya adalah 'passe' dan kami akan segera mengeluarkanmu dari sini. Semoga beruntung. Jangan mati."
Rin pasti sudah berterima kasih atas pesannya itu, seandainya saja alcypete pertamanya tidak mendadak mengangkasa.

Tubuh monster itu mengingatkannya pada elang—lebih tepatnya elang tanpa bulu sehingga monster itu lebih tampak konyol dan culun daripada gagah. Namun, kepalanya adalah kepala kadal yang keji, lengkap dengan lidahnya yang berbisa, serta gigitannya yang sanggup meremukkan tulang dalam sekali gigit. Ekornya melengkung di belakangnya seperti ekor cambuk kalajengking, dan oh, apakah cakar tajamnya sudah disebutkan?

Alcypete itu terbang tinggi, terus meninggi—dan langsung menabrak kubah tak kasatmata yang melindungi bagian atas koloseum itu. Monster itu menjerit marah, kepalanya menggeleng-geleng kalut, dan mendadak saja, sepasang mata reptilnya tertuju pada Rin.

Rin seketika berlari. Ia menghunus pedangnya. Mananya mengaliri mata pedang itu, melapisinya dengan energi sihir yang tajam.

Ia tidak akan sanggup memburu monster itu sendirian. Ia bahkan tidak yakin masih bisa bertahan dari lima monster itu, apalagi bertahan selama dua jam.

Namun, itu Rin yang biasanya.
Rin yang sekarang sudah mengonsumsi ramuan penguat, yang telah dibelinya dengan seluruh tabungannya selama sembilan tahun, dan ia tidak akan menyia-nyiakannya sekarang.

Begitu alcypete itu terbang menukik, cakarnya teracung pada Rin, ia langsung menunduk, memutar tubuh, dan mengangkat pedangnya.
Bilah pedangnya membelah tubuh alcypete itu semudah membelah daging rebus yang terlalu matang. Darah hitam yang menodai seluruh tubuhnya serta aroma anyir busuk tidak diacuhkannya.
Rin memandang jasad monster itu dengan puas. Setitik rasa bangga terbit dalam hatinya.

Namun, ia tidak bisa berlama-lama berbangga hati. Sebuah papan kayu terangkat lagi, dan monster keduanya langsung meraung ganas begitu melihatnya.

Rin mengangkat pedangnya.
Ini akan menjadi pertarungan yang panjang.

***
Ia berhasil, tentu saja.
Akan sangat memalukan jika ia sudah menghabiskan seluruh tabungannya dan masih gagal juga.

Rin berhasil mengalahkan monster kesepuluhnya setelah satu jam, dengan kondisi tubuh bersimbah darah hitam dan pegal ngilu di sekujur tubuh. Ia akan diberangkatkan ke Kerajaan Central besok.

Ia tidak memiliki banyak kenalan yang cukup dekat untuk berpamitan. Hanya beberapa kenalan di sekitar rusunnya, beberapa kenalan paladin rank B, dan sedikit lebih banyak kenalan paladin rank C.

Ketika ia berangkat menggunakan kereta sihir yang khusus untuk menjemputnya, ia masih tidak percaya ia benar-benar berhasil. Sesaat lagi, ia akan berada di kerajaan yang sama dengan Ivy, sahabat lamanya.
Perjalanannya mencapai Tembok Dalam tidak jauh, hanya sekitar satu jam, tetapi ternyata butuh waktu beberapa jam lagi untuk memutari tembok itu dan mencapai pintunya. Dan setelah beberapa jam yang menjemukan, akhirnya ia sampai di kerajaan yang terisolasi itu.

Rin menyipitkan matanya karena silau begitu pintu gerbang Tembok Dalam yang megah terbuka.

Segala tembok bangunan yang dilihatnya dicat putih. Ornamen-ornamen yang menghiasi pagar dan atapnya berwarna emas yang megah. Dan di kejauhan, dari posisinya yang sedikit lebih tinggi dari pusat kota, ia sudah bisa melihat Istana Central, istana tempat para keluarga kerajaan yang pada mereka nantinya ia akan mengabdi.

Ia diberikan sebuah rumah kecil yang sederhana di area permukiman khusus paladin rank S, yang tetap jauh lebih bagus daripada rusunnya di Kerajaan West. Satu rumah dihuni oleh dua orang paladin rank S.

Teman serumahnya bernama Cyd East, yang tadinya berasal dari Kerajaan East. Ia adalah seorang elf yang muram; tatapannya selalu kosong, helaan napasnya selalu berat, dan baginya mungkin terasa hampa jika ia tidak melirik Rin dengan sinis paling tidak tiga kali sehari. Ia telah menjadi paladin rank S selama empat tahun, yang berarti ia sudah berada di sini lebih lama dari Ivy.

“Kau kenal Ivy West?” tanya Rin padanya, saat suatu malam ketika ia sedang memakan makan malamnya. Sesi latihannya baru selesai, dan ia lega ketika akhirnya ia sudah kembali ke rumahnya. “Dia pindah ke sini sekitar dua tahun lalu.”

Dari posisinya yang berbaring di sofa malas, Cyd meliriknya, masih dengan kesinisannya yang khas. “Ivy sang Eksekutor? Tidak ada yang tidak kenal dia. Dia adalah jagoan penonton.”
Rin menatapnya tidak paham. Begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi Cyd sudah mendahuluinya bertanya, “Kenapa? Dia kenalanmu?”

“Iya,” sahut Rin. Ia menimang-nimang apel di tangannya. “Dulu dia sahabatku.”

Namun, Cyd justru tertawa. Tawa lepas yang mengejek. Rin tidak menyukai tawa itu.

“Apa yang lucu?” tanya Rin tersinggung.

“Tidak ada.” Cyd mengelap titik air mata pada sudut matanya. “Hanya saja, sudah lama sekali aku tidak mendengar kata itu. Sahabat." Cyd terbahak lagi.

"Dengar, Nak, biasanya aku tidak cukup peduli untuk memberi ospek pada anak baru sepertimu, tapi aku paling tidak tega pada anak naif sepertimu yang terlihat seperti anak bebek kehilangan induknya.”

Rin membuka mulut, siap membantah, tetapi lagi-lagi Cyd lebih cepat dalam menyela, “Pesanku cuma satu: tidak ada paladin di sini yang bisa menjadi temanmu, apalagi sahabat.”

"Termasuk kau?"

Cyd mengangguk. "Termasuk aku."

"Termasuk Ivy?"

"Terutama Ivy," sentak Cyd. "Dia tidak disebut Eksekutor tanpa alasan, Nak."

"Eksekutor apa? Apa yang dia eksekusi? Jangan bicara setengah-setengah!" teriak Rin. Rasa muaknya sudah mencapai puncak.

Namun, wanita elf itu justru menggeleng. Mendadak, ia tampak sangat lelah. "Suatu saat kau akan mengerti."

***

Dan, memang pada akhirnya, Rin mengerti.

Akan tetapi, itu baru terjadi setelah ia sudah digiring oleh dua paladin lain menyusuri lorong yang terasa familier, melewati sebuah pintu cahaya, dan langsung disambut oleh sorak-sorak ratusan—tidak, ribuan orang yang mengelilingi arena.

Untuk simulasi, kata panitia ujian rank S waktu itu. Lebih spesifiknya, simulasi dari pertunjukan pertaruhan nyawa. Ketika Rin mendengar jawaban panitia itu, bukan ini yang ada di pikirannya.
"Sambutlah! Rin West, si Pendatang Baru!"

Sorak sorai meledak lebih keras, dan Rin mulai merasakan gigil ngeri menjalari seluruh tubuhnya. Bulu kuduknya berdiri. Samar-samar bau anyir darah menusuk penciumannya.
Papan kayu menutup pintu di belakangnya, dan sekarang ia resmi terkurung di arena ini.

Rin mendongak dan menemukan sebuah panggung tertinggi dari kerumunan penonton. Tanpa perlu memicingkan mata, ia sudah mengetahui siapa mereka: para keluarga Kerajaan Central. Di mata mereka, para paladin rank S bukanlah pelindung, melainkan hiburan.
Tiba-tiba saja, suara Ivy dari bertahun-tahun yang lalu bergema dalam kepalanya.

Menjadi rank S tidak seindah yang kau kira.

Apakah pada saat itu ia sudah mengetahuinya?

Semakin lama Rin memikirkannya, semakin ia mengerti. Waktu itu, Ivy tidak mendambakan keluar dari Tembok Luar; ia mendambakan kebebasan. Kebebasan yang ia tahu tidak akan pernah dicicipinya lagi.

"Kemudian, sambutlah … yang paling ditunggu-tunggu!"

Semua penonton berdiri. Seruan dan tepuk tangan mereka semakin membahana dan menggema di arena itu hingga Rin tergoda untuk menutup telinganya.

"Paladin muda yang paling berbakat! Paladin yang sanggup mengalahkan sang Algojo hanya dalam sebulan setelah kedatangannya! Ini dia, sambutlah … Ivy sang Eksekutor!"
Sebuah papan kayu di hadapannya terbuka, dan di sanalah Ivy West berdiri. Tatapannya kosong, raut wajahnya keras. Setiap langkahnya tegas ketika ia memasuki arena.
Dan, seketika itu juga Rin mengerti. Tidak ada paladin yang bisa dipercaya di sini, bahkan termasuk teman serumahnya maupun sahabat lamanya. Mereka semua adalah musuh, meskipun di mata orang-orang yang berseru-seru ini, mereka hanyalah pion hiburan.

"Pertarungan akan segera dimulai. Kedua paladin diharap segera menyiapkan diri. Nah, siapakah jagoanmu?"

Ivy menghunus pedangnya, tetapi Rin bergeming. Sedari awal, ia tidak punya harapan. Ia hanya seorang paladin rank S yang palsu, yang dengan naifnya berpikir bahwa Kerajaan Central adalah tempat teraman. Nyatanya, bahaya terbesar justru terletak di sini.

Rin memandangi tatapan beku Ivy. Banyak sekali yang ingin ia tanyakan: Apakah kau menemukan ayahmu? Kenapa kau berhenti mengirimiku surat? Apakah itu berarti kau sedang tidak baik-baik saja?

Bunyi sangkakala menggema di arena itu.

"Ivy," kata Rin.

Namun, Ivy sudah menerjang.

Fin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro