Rise of the Tortoragon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rise of the Tortoragon
By Imelia Fei

            Air di dalam gelas bergetar untuk sekian kalinya pada hari ini. Kafetaria yang tadinya bising oleh denting piring mulai hening lagi. Beberapa dari mereka berbisik ngeri, sebagiannya lagi keluar untuk mencari halaman kosong.
Di salah satu meja, Ronan masih duduk anteng menikmati daging panggang beraroma asap begitu kawannya menceletuk, “Gempa lagi.”

Pemuda bersurai hitam legam itu membalas Lucius dengan gumaman malas. Kemudian, iris biru malamnya beralih dari kudapan ke luar jendela. Ia menopang dagu selagi memicing ke arah lekukan gunung yang mencuat di balik hutan sana.

Samar-samar, penglihatannya menemukan batu-batu besar mulai menggelinding—disusul gemuruh dari kejauhan.

“Aku curiga gunung itu benar-benar hidup,” Lucius berbicara lagi. “Kau ingat penjelasan Guru Evos di kelas Sejarah dulu? Tentang Legenda Gunung Tortoragon.”

Ronan mendengkus sinis. “Kau memercayai legenda bodoh itu?” tanyanya sembari mengalihkan perhatian dari luar jendela dan lanjut memakan steak-nya.

“Yah, mana tahu legenda itu benar.” Kawannya itu tertawa santai. “Kalau dipikir-pikir lagi, Tortoragon mungkin memang masih hidup. Lihat tuh, bergerak, seperti sedang bernapas.”

“Kita menyebutnya ‘gempa’,” dengkus Ronan lagi. “Sebuah pergeseran.”

“Sebuah kebangkitan kembali kura-kura raksasa,” ralat Lucius, cengar-cengir.
Ronan ikut menyeringai. Ia lantas menyudahi perbincangan bodoh itu dengan mengibaskan tangan dan berkata, “Terserah kau saja.”

Sesudah itu, tidak ada lagi yang membuka suara. Mereka sibuk menuntaskan kudapan steak masing-masing. Hingga sesuatu tiba-tiba terjadi di beberapa menit kedepan, membuat situasi kafetaria akademi berubah kalut.

“Kawan-kawan, jangan ada yang pergi ke luar!” teriak seorang pemuda yang baru saja mendatangi kantin dengan napas terengah-engah.

“Apa yang terjadi?”

“Kenapa? Kenapa?”

“Hei, jangan membuat kita panik, Bung!”

Berbagai pertanyaan terlontar untuk pemuda itu dari seisi kafetaria.
Ronan dan Lucius ikut mengarahkan sorot penasaran kepada si pemuda yang masih mengontrol deru napasnya.

“G-Gunung itu,” pemuda tadi menunjuk ke balik pundak Ronan—arah jendela yang menunjukkan lekukan gunung Tortoragon, “m-membawa penyakit.”
Ronan sedikit bergeser tatkala seluruh pandangan terarah ke luar jendela.

Namun tentunya, siapa pun yang melihat ke arah sana pasti akan melihatnya juga. Ia akhirnya ikut berbalik menghadap jendela. Tepat ia melakukannya, gelombang sinar keunguan menggulung dengan cepat ke arah akademi.

Pupil biru malam Ronan melebar sejenak sebelum ia merentangkan telapak kanannya dengan spontan. Gelombang sinar itu seketika tersapu habis sebelum mengenai akademi.

“A-Apa yang terjadi?” Lucius menahan napas syok.

Ronan meliriknya melalui sudut netra, kemudian menghela napas. Belum sempat ia mengeluarkan satu pun kata, tiga sosok lain mendatangi kafetaria. Mereka mengenakan jubah putih dengan emblem akademi. Bagian dari dewan siswa.

“Teman-teman, segeralah mengungsi ke bawah tanah akademi!” seru salah satu dewan siswa, satu-satunya gadis yang datang kemari. “Ikuti Neo sekarang.”
Salah seorang pemuda yang bernama Neo itu mengangkat tangan kanannya.

“Ayo, semua. Ikut aku.”

“Bagaimana dengan barang-barang kami di kelas?”

“Kami akan mengambilnya untuk kalian. Tenang saja,” jawab pemuda satunya di sisi dewan siswa yang gadis.

“Sebenarnya apa yang terjadi?”

“Cukup panjang untuk menjelaskannya sekarang. Yang pasti, kalian harus ikuti aku sekarang,” jawab Neo seadanya dengan nada final.

Pemuda yang sebelumnya datang paling pertama di kafetaria dengan cepat mengikuti Neo. Kepergian Neo mulai disusul oleh segelintir siswa-siswi akademi lain, sedangkan dua dewan sisanya menetap. Mereka masih menunggu sampai semua murid itu beranjak.

Hingga hanya menyisakan Ronan dan Lucius sekarang.

“Hei, kalian berdua. Cepat pergilah.” Kedua dewan siswa itu menyamperi Ronan dan Lucius dengan raut kewalahan.

Lucius menyikut Ronan yang tampak tidak berminat pergi. Ia hanya melipat tangan di depan dada sembari melihat ke arah luar.

“Pergilah dulu,” Ronan akhirnya menegap walau tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak, “aku menyusul.”

Kawannya tak ayal menghela napas. “Tidak, aku akan menetap.”

Kedua dewan siswa yang mendengar perbincangan sepasang sobat itu berdecak. “Jika kalian berdua ingin terkena penyakit dari arus angin Tortoragon, silakan,” kata si gadis.

“Sudahlah, Ron. Ayo kita pergi dulu,” ujar Lucius.

Walau enggan, akhirnya Ronan menurut. Mereka lantas keluar menyusuli rombongan murid akademi yang sudah cukup jauh. Namun, langkah mereka yang lebar membuat keduanya berhasil membaurkan diri dengan kerumunan tersebut.

Mereka semua dibawa ke sebuah pintu tersembunyi akademi. Tidak ada yang tahu jika akademi memiliki satu pintu rahasia ke bawah tanah. Letak sekitaran pintu tersebut jarang terjamah, ditambah lagi wujudnya hanya serupa dinding.

Kali ini, dinding putih gading sudah digantikan oleh lubang hitam persegi panjang yang menganga. Tidak terlihat apa-apa, bagian dalamnya kelewat gelap. Neo memimpin paling depan dengan memegang obor. Pantulan sinarnya memperlihat undakan menurun yang cukup terjal.

Ronan—bersama Lucius di samping—segera menuruni undakan tersebut hingga tiba di undakan terakhir. Mereka saat ini berada di ruang megah berbau pengap. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali pintu besar yang menjulang di beberapa meter depan.
Untuk sementara, Neo meminta mereka untuk duduk di lantai. Beberapa siswi ada yang mengeluh untuk berdiri saja karena takut kotor akibat debu. Namun, Neo memaksanya duduk. Dewan siswa itu tidak terlihat dalam suasana ingin mengindahkan protes.

Selama beberapa menit, mereka semua hanya sibuk dengan dunia sendiri—sama seperti Ronan saat ini.

“Tadi aku tidak salah lihat, bukan?” Tiba-tiba Lucius bergeser merapat ke arah sang kawan sambil bisik-bisik. “Kau menghentikan gelombang aneh itu. Bagaimana bisa?”

“Kau salah lihat.”

“Tidak mungkin. Aku seratus persen yakin—”

Sebuah tepukan keras di depan pintu besar membuat Lucius berhenti bicara. Ronan meliriknya tak acuh, kemudian mengikuti pandangan ke arah depan. Seluruh dewan siswa yang berjumlah enam itu rupanya sudah berkumpul di sana.

“Siswa-siswi Adcena, kami memohon perhatian dari kalian semua,” ujar Calder, sang ketua dewan, berdiri di tengah-tengah jajaran anggotanya.

Ketika semua murid akademi telah memusatkan atensi kepada pemuda itu, Calder kembali berbicara, “Ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan kepada kalian.”

Lalu, gadis dewan di sebelah Calder maju selangkah ke depan. “Legenda Gunung Tortoragon nyata adanya,” ucap Luna, sebagai wakil dewan siswa. Kalimat awalnya itu berhasil menciptakan gemuruh dari arah siswa-siswi akademi.

“Teman-teman, tolong tenang.” Calder berhasil meredakan kericuhan para murid hanya dalam waktu singkat. “Luna, silakan dilanjutkan.”

Luna mengangguk. “Gundukan batu dan tanah raksasa yang selama ini kalian kira adalah gunung, sebenarnya itu bukan gunung. Seperti dalam legenda, Tortoragon adalah kura-kura raksasa yang telah tidur panjang selama ribuan dekade,” jelasnya, lalu menarik napas. “Dan gempa yang kita semua rasakan hari ini—beserta penyakit yang dialami beberapa teman kita di luar sana—merupakan pertanda jika kura-kura raksasa itu akan bangun dalam beberapa waktu kedepan.”
Suara kesiap langsung tercipta pada detik itu juga. Mulai ada kepanikan mendominasi atmosfer di seisi bawah tanah.

“Apa kita akan mati?!” Situasi kalut tersebut diperkeruh oleh seorang murid dari kerumunan yang menyahut ngeri.

“Tidak, kita akan baik-baik saja,” jawab Calder tenang. “Kami dewan siswa akan melindungi kalian dengan semampu kami.”

Luna mengangguk menyetujui. “Namun, kami membutuhkan seseorang dari kalian untuk—”

Dua dewan siswa lainnya beringsut ke kedua sisi pintu. Tangan mereka mulai bergerak menyentuh gagang.

“—membangkitkan kunci keselamatan kita semua.”

Secara perlahan-lahan, pintu terbuka. Aroma rerumputan dan tanah basah yang segar menguar dari dalam.

“Kami para dewan siswa menyadari tidak semua orang bisa membukanya, termasuk kami sendiri.” Luna menggeser tubuhnya supaya para murid akademi bisa melihat bagian dalam lebih jelas. “Maka dari itu, kami ingin satu per satu dari kalian untuk mencoba membuka dan membangkitkan kuncinya.”

Kali ini Calder yang mengangkat suara. “Teman-teman, mulai berbarislah dengan rapi. Kami akan mengantar kalian ke dalam.”

Sesuai permintaan para dewan siswa, murid-murid akademi pun mulai berbaris. Mereka masih bertanya-tanya maksud dari kunci keselamatan itu. Hanya saja, mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk tahu jawabannya.

Ketika Ronan sukses menjejakkan kaki ke lingkar dalam area hijau itu, iris biru malamnya mengilat. Ia praktis menghunuskan pandangan ke arah sebuah pohon raksasa berdaun lebat. Batangnya teramat tebal. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Ronan.
Melainkan sosok di batang itu. Celesti—
“Celestia Thornfield.” Suara Luna menguasai penjuru area. “Si gadis pohon. Atau pada legenda, ia disebut si Pedang Pembelah Gunung. Penjinak Tortoragon. Kunci keselamatan kita.”

“Hah! Tidak mungkin!” Seorang siswi tiba-tiba berteriak menceletuk. “Di dalam legenda, Celestia sangat membenci kita, para manusia. Apanya yang selamat?”

“Itu benar!”

“Tidak. Aku menolak membangkitkannya, apalagi dia berkawan baik dengan kura-kura raksasa itu!”

Lontaran kata ‘setuju’ mulai bergaung tanpa henti. Bahkan Calder sendiri kesulitan untuk meredakan gemuruh murid-murid akademi lagi.

Semenit lebih para dewan siswa berupaya memberi mereka pengertian jika semua akan baik-baik saja. Namun, mereka semua baru bisa diam dalam keheranan—termasuk para dewan siswa itu sendiri—tatkala Ronan beranjak dari barisan.

Lucius yang sempat ingin menahan pundak pria itu mengejap kebingungan. Sebelah tangannya bahkan masih tergantung di udara. “Ron?” gumamnya.
Ronan berjalan tanpa menghiraukan satu pun sorot dari para murid akademi dan dewan siswa. Ia melintasi para dewan seolah-olah mereka tidak pernah tampak di matanya. Perlahan-lahan, Ronan menginjak satu-satu undakan untuk menjangkau pohon raksasa itu.
Di pusat batangnya, netra biru malam Ronan dapat melihat dengan jelas sebuah wajah berkulit tebal seperti batang. Ronan meletakkan telapaknya di pipi si gadis pohon, memberikannya usapan ringan. Lalu, getaran mulai menempa penjuru area.

Para murid akademi pun kalang kabut. Mereka ingin berbalik ke ruangan kosong di balik pintu tadi. Akan tetapi, akar-akar dan dedaunan yang ada di area hijau secara ajaib bekerja sama membelit gagang pintu besar itu. Dalam sepersekian detik, tidak ada lagi akses bagi mereka untuk lari.

Mereka semua terjebak.

Calder menyamperi Ronan, menghempaskan tangan pemuda itu dari si gadis pohon. “Cepat mundur. Kau ingin mati?” tanyanya, setengah menghardik.

Akan tetapi, Ronan tetap di tempatnya. Ia kembali menyentuh pipi di wajah berkulit batang itu. Celestia, aku mengizinkanmu bangkit kembali, batinnya.

Di detik itu juga, mulai terdengar suara retakan dari arah pohon. Calder mendelik sejenak kepada Ronan, sebelum menitahkan dewan lainnya untuk berdiri di belakang pemuda sinting itu.

Keenam dewan langsung berbaris siaga. Masing-masing dari mereka merentangkan tangan ke depan, berjaga-jaga jika hal buruk terjadi kepada para murid.

“Peringatan terakhir untukmu,” Calder menyentuh pundak Ronan, “mundurlah atau kami tidak akan bertanggung jawab dengan hal buruk yang akan terjadi.”

Ronan mengabaikannya. Calder pun beringsut mundur dan membaurkan diri di belakang bersama dewan lain. Ia ikut merentangkan kedua tangan ke depan.

Cukup lama mereka berada di posisi stagnan seperti itu, hingga retakan pohon tersebut semakin menjalar ke atas. Tidak lama, batang itu mulai membesar seolah-olah dipompa kuat sampai melampaui batasannya.
Tepat selubung besar terbentuk dari masing-masing tangan dewan, ledakan besar pun terjadi. Serpihan batang serta angin kencang menukik ke arah mereka. Untunglah selubung itu sedikit banyak berhasil menahan terjangan berkekuatan hebat.

Tanah yang dipijak bergetar amat kuat hingga para dewan siswa agak kesulitan menopang tubuh supaya tidak jatuh.
Ironisnya dari balik selubung itu, mereka semua bisa melihat Ronan tetap tenang pada tempatnya. Ia tidak terlindungi oleh sihir apa pun. Namun, mereka bisa melihat sesuatu berada dalam genggaman Ronan. Sebuah tangan yang terbentuk dari gelungan air.

Tangan air itu berubah semakin solid—menyerupai milik manusia asli—tatkala gelungannya meninggalkan bagian sana untuk membentuk anggota tubuh yang lain. Hingga semua menyadari satu hal; air itu membentuk seorang manusia.
Ronan mengulaskan senyum tipis. “Celestia,” bisik pemuda itu dengan kelembutan yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun, kecuali gadis ini.

Celestia, seorang gadis yang tidak pernah mendapatkan keadilan di masa lampau. Gadis pemilik surai tebal dan keras bak akar, tetapi kelembutan hatinya begitu mengesankan Ronan. Kini, gadis itu telah kembali ke dalam genggamannya—dengan wujud yang tidak hanya membuai Ronan, tetapi juga semua orang.

Ronan menyapu lembut pipi gadis itu. Ruas-ruas jemarinya juga bisa merasakan betapa halus helaian surai biru berombak Celestia.

Kelopak Celestia berangsur membuka. Iris putih kebiruan itu menghunjam milik Ronan dengan sayu. “Ro—” jeda, ia menunduk menatap sebelah tangannya yang digenggam Ronan, “—Ronan.”

“Ya, ini aku.” Ronan menghela senyum tipis. Suara gadis itu kelewat halus dan ia amat merindukan itu. “Kita bertemu la—”

Ucapan pemuda bersurai hitam legam itu berhenti tepat ia menyadari perubahan ekspresi Celestia. Celestia tampak memicing penuh amarah ke balik pundak Ronan.

Manusia, geramnya. Ia membenci manusia.

“Cel, tidak,” gumam Ronan, meremas ruas-ruas jemari gadis itu.
Celestia tidak mengindahkan ucapan Ronan. Dengan tangan kanan yang bebas dari genggaman Ronan, gadis itu merentangkan tangan ke sisi samping Ronan. Batang pohon yang masih selamat dari ledakan kembali meretak.
Kali ini, batang itu langsung memecah dan serpihannya yang runcing praktis terhunus ke depan. Belum sampai di sana, air-air di dalam akar mencuat ke langit-langit. Tiap bulirnya membentuk bilah tajam. Kemudian, bilah air itu pun menukik ke arah para dewan siswa dan murid.

Selubung yang dibentuk para dewan siswa semakin dilebarkan, memayungi mereka semua dari serpihan dan bilah air itu. Situasi di kerumunan kian gamang. Banyak dari mereka menjerit. Beberapa berlari lagi ke pintu, berusaha melepas beliut akar dan dedaunan yang menjerat gagangnya.

“Celestia!” hardik Ronan, menyentak turun tangan kanan Celestia untuk menghentikannya. Deru napas pemuda itu memburu. Dengan sepasang iris hitam malamnya yang menggelap, ditatapnya Celestia penuh keseriusan. “Aku bilang, berhenti.”

“Aku benci manusia!”

“Aku tahu, aku tahu.” Raut Ronan melembut dan iris hitam malamnya kembali hangat seperti sebelumnya. “Tetapi mereka tidak seperti dulu lagi, era sudah berubah. Lagi pula, ada aku, Cel. Kau aman di sini … bersamaku.”
Ronan bergerak mendekapnya. Celestia pun menyudahi aksinya.

*

            “Tortoragon baik!” Celestia menyanggah. “Kau juga sudah mengenalnya dengan dekat. Kita bertiga itu sudah seperti keluarga!”

            Ronan menghela napas, agaknya mulai kewalahan menghadapi sikap sang gadis. “Aku tidak mengatakan dia jahat,” ujarnya sebelum duduk di bongkahan batu yang sama dengan Celestia. Ia membawa tangan gadis itu ke pangkuan, lalu meremasnya. “Aku hanya mengatakan, Tortoragon sering kali impulsif. Sama sepertimu.”

            “Kau ini sedang memberi tahu atau menyindir, sih?”

            Pemuda itu tertawa sebelum beranjak dan menarik Celestia balik berdiri. “Kau benar-benar harus belajar beremosi baik untuk menjinakkan Tortoragon.”

            Walau Celestia ingin memprotes lagi, Ronan sudah lebih dulu mengusap pelan kepalanya. Itu membuat Celestia tidak bisa melakukan apa pun, kecuali menuruti Ronan untuk lanjut latihan—dengan pipi semerah kepiting, tentu saja.

            Selama beberapa minggu, Celestia mendapat pelatihan intens dari Ronan. Sebenarnya, tidak ada masalah dari kekuatan sihir si gadis pohon. Daripada sihir, Ronan lebih mencemaskan perasaan Celestia yang masih belum bisa menampik kebenciannya pada manusia.

            Celestia sering kali mencelakai para murid dengan sengaja di bawah tanah akademi. Walau Ronan dengan siaga menghalanginya, tetapi Celestia selalu memiliki seribu satu cara untuk menakuti mereka.

            Sampai akhirnya, waktu kebangkitan Tortoragon tiba. Seluruh penduduk yang belum terpengaruh arus angin telah diungsikan ke bawah tanah akademi. Tentunya Celestia tidak ada saat para dewan memandu mereka ke sana.

            Penjuru kontinen sudah bersih oleh manusia. Jika kemungkinan buruk terjadi, itu tidak akan berdampak kepada keselamatan para penduduk. Mereka yang kesakitan juga telah diisolasi dengan aman di lingkar dalam akademi.

            Saat ini, Celestia dan Ronan sedang berlari membelah hutan untuk menghampiri Tortoragon. Tiba-tiba Celestia berhenti di pertengahan. Ia mendongak ke balik celah dedaunan lebat. Senyumnya merekah kala netranya menjumpai kepala besar Tortoragon di kejauhan sana.

            Ronan turut berhenti dan melangkah menyamperi Celestia. “Merindukan kawan lama?” tanyanya, memainkan jemarinya di sepanjang rahang mungil Celestia. “Kita akan bertemu dengan kura-kura itu lagi. Tetapi sebelum itu, lakukan peranmu sebagai ‘pedang’ Tortoragon, oke?”

            Senyum Celestia meredup. “Tidak bisakah kita biarkan Tortoragon menghancurkan dunia yang penuh dengan manusia busuk ini?”

            Pemuda itu mengulaskan senyum tipis. Alih-alih menjawab, Ronan justru bertanya tenang, “Turuti aku?”

            Celestia terdiam. Sedetik kemudian, ia mengangguk enggan.

            Ronan tahu Celestia sangat mendambakan kehancuran bagi kaum mereka. Celestia telah menghadapi segala kebrutalan yang diarahkan padanya karena berbeda. Ditambah Celestia berkawan baik dengan seekor kura-kura raksasa, ia kerap disebut monster. 

            Gadis ini tidak pernah jahat. Ia hanya terlahir dalam kondisi yang tidak tepat.

            Ketika Ronan ingin berbalik untuk lanjut melangkah, Celestia menahan tangannya. Pandangan pemuda itu praktis terpaku pada sang gadis.

            “Jika aku hilang kendali seperti dulu lagi, pergilah.”

            Ronan menarik napas dengan berat. “Aku tidak akan ke mana-mana.”

            “Bagaimana jika aku tanpa sengaja membunuhmu lagi?”

            “Maka aku akan menyegelmu, lahir kembali, dan menjumpaimu lagi.” Ronan mengecup kelopak mata Celestia yang berangsur basah. “Selalu, Celestia.”

            Setelahnya, Ronan membawa gadis itu ke dalam dekapan singkat. “Mari kita menjinakkan kawan lama,” gumamnya.

            Lantas mereka lanjut berlari membelah hutan. Celestia sesekali mendongak menatap kepala Tortoragon yang semakin mengacung tinggi. Gemuruh dan getaran di tanah yang mereka lewati mulai berguncang hebat.
“Hati-hati.”

Ronan dengan sigap meraih tangan Celestia ketika gadis itu hampir jatuh. Tanpa melepas genggaman, keduanya terus mengejar langkah mereka untuk menjamah Tortoragon.

Cangkang si kura-kura raksasa yang menyerupai lekukan gunung akhirnya naik juga. Empat kakinya menyembul dari bolongan pada plastron. Bebatuan dan pepohonan yang tumbuh secara alamiah di cangkangnya lekas berguling turun. Dentuman merebak di mana-mana.

Begitu keduanya menjangkau pelataran kosong yang membatasi hutan dan gunung, kepala Tortoragon menukik turun.

“Torto!” Celestia melambaikan kedua tangannya. “Ini aku Celestia! Aku membawa Ronan juga!”

Manik hitam Tortoragon menyipit seolah-olah menyelisik mereka. Celestia hampir melangkahkan kakinya untuk beringsut maju. Namun, Ronan merasa akan ada yang tidak beres. Ia kontan menarik Celestia ke rangkulannya dan merentangkan satu tangan ke depan. Tepat detik itu juga, mulut Tortoragon terbuka lebar.

Geraman beserta udara dari dalam mulutnya merangsek ke luar—menyentak selubung buatan Ronan.
Tidak hanya itu, Tortoragon juga kembali mengeluarkan sinar keunguan dari seisi tubuh raksasanya. Kura-kura itu mulai berjalan ke arah mereka dengan langkah pelan, tetapi entakannya luar biasa kuat.

Tortoragon merendahkan kepalanya. Napas dari kedua rongga besar di hidung makhluk itu cukup berhasil membuat Ronan dan Celestia hilang keseimbangan. Selubung yang Ronan ciptakan langsung meretak hingga menyerpih dan lenyap. Mereka terpukul mundur dengan Ronan yang terlempar lebih jauh daripada Celestia.

Sinar keunguan di tubuh kura-kura raksasa semakin terang. Hanya menunggu waktu bagi Tortoragon membuat gelombang sinar keunguan seperti di kafetaria dulu.

Ini tidak berakhir baik, pikir Ronan. Pemuda itu lekas beranjak untuk menamengi Celestia dari gelombang.
Namun, Ronan belum sempat berkutik ketika sebuah anak panah besi panas menukik tepat ke dekat kakinya. Di saat yang sama, raungan Tortoragon terdengar menggelegar hingga dataran semakin berguncang.

Ronan mendongak. Didapatinya sebuah anak panah menancap pada manik kanan Tortoragon. Ratusan anak panah lain datang menyusul, tetapi seluruh bidikan itu memelesat.

Dengan kondisi sebelah mata tertancap, Tortoragon menggerakkan kepalanya sana sini untuk melepaskan anak panah tersebut. Celestia sontak berdiri. Ia berniat untuk membantu si kura-kura raksasa supaya bebas dari kesakitan.
Ronan menghentikan Celestia dengan mencekal pinggangnya. “Jangan gegabah. Anak panah itu bisa saja membunuhmu,” ujarnya rendah.

Celestia menggeleng. “Tidak, Tortoragon kesakitan! Siapa yang menyakitinya? Akan kubunuh mereka!”

            “Jangan katakan itu lagi,” lirih Ronan. “Cel, tolong—”

            Terlambat. Celestia telah menyentak Ronan ke belakang dengan air-airnya. Pemuda itu praktis mendarat ke tanah dengan sekujur tubuh yang basah.

            “Akh!” Tiba-tiba, Celestia meringis tepat dua anak panah besi panas menancap di masing-masing pundaknya.

            Ronan menahan napas. Bersamaan dengan guncangan yang lebih keras karena Tortoragon mengamuk hebat, pemuda itu merangkak menghampiri Celestia. Ia mendudukkan gadis itu ke atas tanah, melepas empat panah tersebut dari kedua pundak.

            Cairan merah merembes keluar dari bekas lukanya.

            “Aku tidak ingin jadi jahat lagi, Ron.” Gadis itu menatap Ronan dengan bulir yang mengalir deras dari pelupuk netranya. “Tetapi manusia-manusia itu memaksaku untuk jahat.”

            Ronan merobek kaus yang ia kenakan dan membelitnya ke kedua pundak Celestia.

            “Mereka menjebak kita, Ron.” Celestia tidak berniat merengek meski kedengarannya seperti itu. “Anak-anak panah itu berasal dari akademi. Mereka tidak peduli apakah kita akan mati terkena panah itu atau tidak.”

            Pemuda itu tidak mengatakan apa-apa untuk merespons Celestia. Tanpa gadis itu mengatakannya, Ronan sudah tahu mereka hanya dimanfaatkan. Namun, Ronan tetap mengulaskan senyum tipis.

            “Mari hancurkan mereka bersama Torto, Ron.” Celestia mengguncang tangan pemuda itu.

            “Tidak,” balas lembut Ronan. “Tidak akan ada lagi kehancuran.”

            Celestia menghardik, “Ron!”

            Ronan mengusap pipi Celestia sejenak, berupaya untuk menenangkannya. “Aku sudah pernah hancur melihatmu kehilangan jati dirimu, Celestia—dan aku tidak menginginkannya lagi.”

            Celestia meringis tepat Ronan menyudahi belitan robekan kaus di pundak kirinya dengan menariknya agak kuat. “Aku tidak akan kehilangan kendali lagi, Ron … aku … kita hanya akan menghancurkan mereka—bukan diriku.”

            “Manusia itu makhluk egois, Cel.” Ronan menyeka air mata Celestia.

“Ketika tujuan mereka tercapai, mereka tidak akan puas. Kau—kita—sama seperti mereka. Jika kau berhasil menghancurkan mereka, kau mungkin dapat berkeinginan lebih untuk menghancurkan dunia.”

            Gadis itu terdiam. “Jadi, aku harus bagaimana supaya bisa menyelamatkan Torto? Mereka hanya menginginkan kematiannya. Tujuan mereka sejak awal hanya itu, Ronan.”

            Kali ini, pemuda itu kehilangan jawabannya.

            Tidak ada suara di antara mereka sampai Tortoragon menggeram kuat di belakang sana. Celestia melongok ke balik pundak dan memekik. Tubuhnya bergetar tatkala kura-kura raksasa itu perlahan tumbang. Ratusan atau bahkan ribuan anak panah telah menancap di penjuru kepala batunya.

            “Ronan …,” lirih Celestia. “Kurasa, aku punya tujuan lain.”

            Belum sempat Ronan bereaksi, ia lebih dulu membeliak mendengar sebuah rapalan lolos dari bibir ranum Celestia.

            “Cel …?”

            “Aku tidak akan membiarkan kawan lama kita mati oleh mereka.” Celestia menyunggingkan senyum sendu. “Para manusia egois itu tidak akan puas, kan, meski dengan membunuh Torto? Jadi ….”

            “… aku akan memutus tujuan mereka.”

            Dengan pengorbanan, kata Celestia tanpa suara.

            Lalu ketika waktu serasa berjalan lambat, Ronan tahu itulah awal dari kehancuran bagi diri pribadinya. Ronan dapat melihat bagaimana air-air mulai membelit tubuh Celestia, memudarkan sekujur raga solidnya.

            Ronan berusaha meraih Celestia yang tidak bisa lagi ia genggam. “Tidak,” lirih pemuda itu, menggeleng tak percaya. “Tidak, tidak, tidak.”

            Senyum elok di paras Celestia menyapanya untuk kali terakhir. Dan sulur-sulur air itu mulai berubah wujud menjadi sebuah bilah raksasa—memelesat kilat menuju cangkang Tortoragon.

            Kali ini, putaran waktu teramat cepat. Saking cepatnya hingga Ronan mengira peristiwa cangkang terbelah di depan sana hanya ilusi belaka. Ia mengejap, membiarkan air mata yang sejak tadi tertahan lolos begitu saja dari pelupuknya.

            Suara serpihan cangkang Tortoragon terdengar amat nyaring—itu bersamaan dengan sorak kemenangan dari kejauhan, dari akademi.

            Ronan menulikan indra pendengarnya dari suara mereka. Ia terus meninju tanah, menggeram, dan menjerit pilu sampai dirinya puas. Atau mungkin, tidak akan pernah puas.

“Celestia! Argh!” Jeritannya antara gusar dan penuh putus asa.

Tangan beserta tubuh depan pria itu pun memerosot ke tanah. Air matanya menitik deras seiring hatinya dihantam oleh gemuruh badai yang menyesakkan.
Berapa dekade lagi yang harus kutunggu untuk bisa hidup kembali bersamamu, Celestia?[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro