Istikharah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Astagfirullah .... Aku tak tahu kenapa bayangan mata Zainab selalu hadir dalam pikiranku. Sudah beberapa hari ini aku berusaha menghilangkan bayangan itu, tapi masih saja mengganggu pikiranku.

Ya Allah ... jangan biarkan hamba larut memikirkan wanita yang bukan mahramku. Aku tak ingin terus memikirkannya. Jauhkan dia dari pikiranku, ya Allah.

"Bang Hamzah!"

Aku tersentak, lalu menatap ke sumber suara. Kulihat Salwa berdiri di seberang meja depanku. Ya. Aku sekarang berada di teras rumah Salwa untuk menemui Ali, tapi dua orang pemilik rumah tak ada di tempat.

"Abang mikirin apa sampai Salwa panggil-panggil nggak nyahut? Apa ada masalah? Masalah pondok? Jodoh?" tanyanya.

Aku hanya tersenyum tipis. "Enggak, Wa," elakku.

"Yakin?" Dia menatapku tak percaya.

"Iya." Aku membalasnya singkat.

"Apa Abang lagi mikirin calon?" tebaknya.

Aku kembali tersenyum. "Kalau sudah tiba waktunya, Allah pasti datangkan calon buat Abang. Abang enggak khawatir masalah calon." Aku membalasnya.

"Tapi Abang juga harus ikhtiar. Jadi benar kan, kalau Abang lagi mikirin calon?" Dia masih saja kukuh.

"Iya, calon santri." Aku pun kukuh.

"Ikh! Salwa nanya serius, Bang," gerutunya.

Pandanganku tertuju pada Ustadz Reza yang sedang berbicara dengan seseorang. Beliau dekat dengan keluarga Zainab, tentu beliau tahu mengenai Zainab. Apa aku tanya dengan beliau masalah Zainab? Aku mau tanya apa pada beliau masalah Zainab?

"Tuh, kan, Abang ngelamun lagi!" Salwa kembali membuyarkan pikiranku dengan suaranya yang terdengar kesal.

"Abang ke pondok dulu, nanti bilang sama Ali kalau Abang cari dia." Aku beranjak dari tempat duduk.

Aku memang mencari Ali. Aku menemuinya di klinik tapi tak ada. Kukira ada di rumah, tapi di rumah pun tidak ada. Mungkin dia sedang ada tugas di rumah sakit. Aku segera memasuki pondok untuk mengejar Ustadz Reza.

"Ustadz Reza!" seruku pada Ustadz Reza.

Beliau menghentikan langkah ketika mendengar seruanku. Dia membalikkan tubuh. "Iya, Ustadz Hamzah?" sahutnya.

Aku tersenyum. "Ada yang ingin saya tanyakan pada Ustadz. Bisa kita ke ruangan saya sebentar?" ajakku.

"Bisa, Ustadz. Mari." Dia mengangguk.

Aku pun berjalan menuju ruanganku diikuti Ustadz Reza. Ustadz Reza adalah sepupu dari abahnya Zainab. Mungkin aku akan menanyainya masalah Zainab, apakah Zainab sudah memiliki calon atau belum.

"Ustadz Hamzah mau nanya apa?" tanya Ustadz Reza setelah kami tiba di ruanganku, dan duduk di sofa yang ada di ruangan ini.

Aku menghela napas dan membuangnya perlahan. "Ustadz tau Zainab, putrinya Abah Bahar?" tanyaku ragu.

"Kenal atuh. Zainab teh sepupu saya. Ada apa, Ustadz?" tanyanya.

Aku tersenyum ragu. Ustadz Reza pun menatapku bingung.

"Dia mondok di mana?" tanyaku basa-basi.

"Mondok di Bogor. Tapi kemarin baru saja keluar karena Zainab mau menikah minggu depan sama Kang Zainal dari Bogor. Kenapa, Ustadz?" Ustadz Reza menjelaskan sedikit tentang Zainab.

Entah kenapa hatiku merasa kecewa ketika mendengar Zainab sudah memiliki calon bahkan tak lama lagi ia akan menikah. Mungkin dia bukan jodohku. Aku tak perlu kembali meneruskan pertanyaan tentang Zainab karena sedikit info dari Ustadz Reza pun sudah cukup memberikan ketegasan padaku agar tidak terlalu jauh mengetahui tentangnya.

"Ustadz?" Ustadz Reza membuyarkan pikiranku.

Aku kembali tersenyum. "Cuma nanya saja karena kemarin sempat ketemu waktu nengokin Ziyad di rumah sakit."

"Oh." Ustadz Reza hanya mengangguk.

"Bagaimana keadaan Ziyad? Apa sudah membaik?" tanyaku mengalihkan topik.

"Alhamdulillah, sudah rawat jalan, tinggal pemulihan saja. Semoga saja cepat pulih dan mulai belajar lagi." Ustadz Reza menambahi.

"Alhamdulillah. Aamiin." Aku ikut bahagia mendengar kabar Ziyad membaik. "Salam buat Abah," lanjutku.

"Insya Allah, nanti saya sampaikan."

"Hatur nuhun, Ustadz, kalau saya sudah mengganggu waktu Ustadz."

"Tidak apa-apa. Kalau begitu saya pamit keluar."

Aku hanya mengangguk. Ustadz Reza pun beranjak dari duduknya dan berlalu pergi setelah mengucapkan salam.

Aku menyandarkan punggung pada kursi. Harapanku pupus untuk Zainab. Aku harus melupakannya segera. Aku tak ingin bayang-bayang matanya selalu ada di pikiranku. Aku tak ingin menanggung dosa hanya karena memikirkan bayangan mata Zainab. Ini pilihan terbaik.

Ya Allah, jauhkan dosa ini dari diri hamba.

***

Sejak kemarin, aku memang menyibukan diri dengan berbagai kegiatan. Tujuannya untuk menghilangkan pikiranku dari Zainab. Syukurlah, perlahan menghilang dengan sendirinya karena aku ingat nasihat guruku di pondok.

"Assalamualaikum."

Terdengar suara salam dari arah pintu. Aku mengenali suara itu. "Wa alaikumussalam." Aku beranjak dari tempat dudukku.

Kudapati Abah Bahar berdiri di depan pintu ruanganku. "Mari masuk, Bah." Aku menyuruh beliau masuk ke dalam ruanganku.

Beliau pun mengikuti aku masuk ke dalam ruanganku. "Maaf kalau Abah ganggu waktu Ustadz Hamzah," katanya setelah duduk di sofa.

"Insya Allah enggak ganggu sama sekali, Bah. Justru Hamzah senang dengan kedatangan Abah." Aku tersenyum ramah.

"Alhamdulillah." Abah terlihat lega. "Jadi kedatangan Abah ke sini ingin menyampaikan sesuatu." Abah meraih sesuatu dari dalam kantong plastik yang ia bawa.

Apa ini mengenai pernikahan Zainab?

"Kedatangan Abah kemari ingin mengundang Ustadz Hamzah di acara pernikahan putri Abah, Zainab. Insya Allah akan dirayakan hari Minggu ini." Abah menyodorkan sebuah undangan padaku.

Aku meraihnya dan menatap sampul undangan itu. Tertera nama Zainab dan Zainal. Nama mereka sangat cocok. Semoga Allah meridhoi pernikahan kalian. "Insya Allah, Hamzah usahakan datang. Semoga acaranya Allah mudahkan," kataku setelah menatap undangan itu.

"Aamiin. Kalau begitu, Abah pamit dulu, mau kasih undangan ke tempat lain." Abah pamit sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Iya, Abah. Terima kasih banyak." Aku pun ikut beranjak.

"Assalamualaikum."

"Wa alaikumussalam." Aku menatap kepergian Abah. Aku pun menghela napas dan kembali masuk ke dalam ruanganku.

"Assalamu'alaikum."

Kudengar salam seseorang yang sangat kukenal dari arah pintu. Itu suara Abi. Aku kembali membalikan tubuh. "Wa alaikumussalam. Masuk, Bi." Aku menyambut kedatangan Abi.

Kulihat Abi bersama seseorang masuk ke dalam ruanganku. Aku bergegas menghampirinya dan menjabat tangan beliau lalu menciumnya. Aku pun menjabat tangan teman Abi dan mencium punggung tangannya. Abi dan temannya duduk di sofa. Aku segera menghubungi bagian kantin untuk membuatkan minum dan membawa makanan kecil.

"Ini loh, Hamzah, anak ane yang belum ente lihat." Abi membuka obrolan.

"Iri ane sama ente, Ji. Anak-anak ente sukses semua," sahut teman Abi memuji.

"Hamzah. Ini Pak Baban, teman Abi, pemilik travel haji dan umroh di Jakarta. Beliau ini yang urus umroh Abi tahun kemarin." Abi mengenalkan aku pada Pak Baban.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. "Hamzah." Aku mengenalkan diri.

Tumben Abi ke sini tak kasih kabar. Biasanya kalau mau ke sini kasih kabar dulu, minimal SMS. Apa Abi habis hadiri acara lalu mampir ke sini?

Terdengar suara salam dari arah pintu. Kusuruh pengurus kantin yang membawa nampan berisi minuman masuk ke dalam ruanganku. Aku membantunya menyajikan cangkir berisi teh pada Abi dan pak Baban.

"Apa sekalian Hamzah panggilin Salwa ke sini, Bi?" tanyaku pada Abi.

"Nanti saja, Ham. Ada yang mau Abi omongin sama kamu, penting." Abi membalas.

Aku hanya mengangguk. Sepertinya ini masalah penting.

"Begini, Ham. Abi ingin menyampaikan maksud baik Pak Baban. Beliau ingin menjodohkan putrinya dengan kamu. Abi enggak bilang bisa atau enggak, maka dari itu Pak Baban mengajak Abi kemari biar nanya langsung sama kamu. Tadinya Abi mau suruh kamu pulang ke Jakarta, tapi Pak Baban enggak enak, takut ganggu tugas kamu." Abi memulai obrolan serius setelah keadaan tenang.

Aku hanya tersenyum tipis.

Jadi kedatangan Abi dan Pak Baban kemari untuk menawarkan putri Pak Baban padaku?

"Kok malah senyum doang, Ham? Gimana?" Abi membuyarkan pikiranku.

"Hamzah juga enggak bisa bilang iya atau tidak, karena Hamzah nunggu keputusan Allah. Hamzah minta waktu untuk shalat istikharah, insya Allah akan Hamzah kasih jawaban secepatnya kalau Hamzah sudah dapat petunjuk." Aku mengatakan apa adanya.

"Saya yakin Nak Hamzah calon imam yang soleh. Saya ingin mencarikan Sofi calon suami yang baik dan bisa membimbingnya agar lebih taat lagi." Pak Baban menatapku penuh harap.

"Aamiin. Semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya dalam memilihkan calon. Insya Allah, Sofi akan dapat calon seperti yang Pak Baban harapkan." Aku hanya bisa menyampaikan kata-kata yang ada.

Pak Baban meraih sesuatu dari sakunya. "Akan saya kirim foto dan nomor Sofi lewat WA supaya lebih mudah mendapatkan petunjuk." Pak Baban terdengar semangat.

Aku hanya bisa mengangguk agar tidak membuat beliau kecewa. Yang memudahkan petunjuk dari Allah adalah amalan, bukan foto atau nomor telepon Sofi.

Aku terkesiap ketika ponselku bergetar tanda pesan masuk. Kuraih Ponsel dari saku celana. Kubuka pesan dari Pak Baban berisi foto dan nomor Sofi, putrinya. Aku belum melihat foto Sofi karena aku sengaja mengubah modus pengaturan agar tidak tersimpan otomatis setiap foto atau video yang masuk. Kubiarkan foto itu buram.

"Sudah masuk?" tanya Pak Baban.

"Alhamdulillah, sudah, Pak." Aku menyahuti.

"Bagaimana menurut Nak Hamzah?" Pak Baban terdengar penasaran.

Aku menatap Pak Baban. "Bagaimana apanya, Pak?" tanyaku.

"Putri saya." Beliau meminta kepastian.

"Alhamdulillah, insya Allah, Sofi calon yang soleha. Dia cantik," pujiku.

Sebenarnya aku belum melihat wajahnya, tapi untuk menghormati Pak Baban, aku tidak mungkin menyinggung hatinya dengan mengatakan jika aku belum membuka foto Sofi. Dan setiap wanita muslimah itu cantik.

"Saya tunggu jawaban Nak Hamzah secepatnya. Semoga Allah mudahkan Nak Hamzah dalam istikharah." Pak Baban terlihat bahagia.

"Aamiin."

Aku, Abi dan Pak Baban terlibat obrolan santai mengenai pondok ini. Abi seperti merasa tak enak hati dengan Pak Baban. Aku tahu Abi tak ingin mencarikan aku calon istri karena beliau menungguku yang meminta. Tapi bagiku tak masalah, mungkin ini sudah bagian dari rencana Allah. Tinggal aku meminta petunjuk Allah melalui istikarah, semoga Allah mudahkan. Aku memang menginginkan calon yang berhijab sempurna. Tapi jika Allah memberiku calon yang belum memakai cadar, itu tak masalah, yang terpenting dia taat pada Allah. Memakai cadar adalah bonus dari Allah untuk setiap muslimah dan hanya wanita pilihan yang diberikan keistimewaan untuk mengenakannya.

***

Kubuka ponsel setelah semua amalanku selesai. Terdapat tiga panggilan telepon dari Abi. Aku langsung menghubungi Abi untuk memastikan keadaannya.

"Assalamualaikum," sapa Abi dari sana.

"Wa alaikumussalam. Kenapa, Bi? Abi sudah sampai rumah, kan?" tanyaku memastikan.

"Sudah, Ham. Abi sudah sampai di rumah tadi habis maghrib. Kamu sudah selesai amalannya?" tanya Abi.

"Alhamdulillah, Hamzah sudah selesai semua amalannya. Ini mau istirahat." Aku merebahkan tubuh di atas kasur.

"Ham, Abi minta maaf sama kamu masalah Pak Baban. Abi nggak tau kenapa tiba-tiba Pak Baban meminta Abi buat ngejodohin kamu sama putrinya. Pak Baban juga yang meminta Abi supaya nggak hubungi kamu kalau kalau kita mau ke situ. Abi nggak enak mau nolak, Ham. Abi tau semua putra Abi nggak ada yang Abi jodohkan kecuali mereka minta sendiri seperti Yuda. Abi harap kamu ngerti." Abi terdengar merasa bersalah.

Aku menghela napas. "Enggak apa-apa, Bi. Abi nggak perlu minta maaf sama Hamzah. Mungkin semua ini sudah takdir dari Allah. Tinggal tunggu saja jawaban istikharah yang Hamzah amalin. Semoga, apa pun keputusannya nggak mengecewakan kita atau Pak Baban." Aku menenangkan Abi.

"Ya sudah, ini sudah malam, kamu istirahat. Cepat kasih kabar kalau sudah dapat jawaban biar Pak Baban nggak terlalu lama menunggu." Abi mengingatkan.

"Insya Allah, bi. Ya sudah, Hamzah istirahat dulu. Assalamu'alaikum." Aku pamit.

"Wa alaikumussalam."

Aku memutus panggilan telepon bersama Abi. Aku kembali membuka menu di Ponselku. Kubuka pesan dari Pak Baban berisi foto Sofi dan nomornya. Foto itu belum kuunduh karena aku masih ragu dan belum siap untuk melihat wajah Sofi. Aku menutup pesan dari Pak Baban, mematikan Ponsel, dan meletakan Ponselku di atas meja. Aku tak perlu menatap foto Sofi. Biar kutunggu jawaban dari Allah atas istikarahku. Jika dia jodohku, aku yakin Allah pasti akan mudahkan istikarahku. Aku tak mau menerka-nerka sesuatu yang belum pasti. Lebih baik aku istirahat agar tepat waktu bangun salat tahajud.

***

Jangan segan untuk mengoreksi, ya.
Saya persilakan yang mau kasih masukan atau saran positif untuk membuat tulisanku lebih baik lagi.

Vote dan koment selalu saya tunggu.
Jazaakumullah khayr 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro