Gudhul Bashor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Segala amal butuh ilmu, termasuk dalam berumah tangga. Pondasi utama sebuah rumah tangga adalah amal agama. Aku tak ingin buru-buru mencari calon istri karena aku yakin Allah sudah menyiapkan jodoh terbaik untukku. Bisa saja aku meminta orang tuaku untuk mencarikan calon istri, tapi aku belum meminta mereka untuk mencarikanku calon karena aku ingin memilih calonku sendiri. Mereka memahami maksudku, maka dari itu mereka tak memaksaku. Aku memang belum pernah menyukai seorang wanita selama ini. Hanya sebatas rasa kagum jika melihat wanita berhijab sempurna. Hanya sebatas rasa kagum jika mendengar dari kawan ada wanita sholehah yang siap untuk dinikahi. Rasa ingin terkadang muncul, tapi aku ingin mendapat wanita yang berbeda dengan biasanya. Tinggal aku sendiri yang belum berkeluarga di antara abang dan adikku. Bagiku tak masalah, karena aku yakin, suatu saat nanti aku akan menyusul mereka, in-syaa Allah. Godaan dari Abang-abangku pun aku tanggapi dengan senyum ramah. Aku tak mau ambil pusing dengan godaan mereka karena setiap ujian akan dihadapi orang-orang beriman, termasuk singlelillah sepertiku.

Hari ini aku menjalani keseharianku setelah pulang dari Jakarta, mengurus pondok cabang An Nur di Bandung. Beberapa hari yang lalu aku libur dan pulang ke Jakarta karena sedang diberi nikmat sakit oleh Allah. Aku mulai mengajar di pondok ini setelah selesai belajar di pondok pesantren Raiwind, Pakistan. Enam tahun lebih aku belajar di sana. Alhamdulillah, aku telah menyelesaikannya. Kini, aku tinggal mengamalkan apa yang kudapat di sana. Karena ilmu yang didapat saat belajar bukan untuk disimpan, melainkan untuk diamalkan dan disampaikan.

"Kak Hamzah!"

Aku menoleh ketika mendengar seruan adik iparku. Ya. Dia Ali, suami Salwa, adikku. Dia menghampiriku dengan langkah tergesa.

"Assalamu'alaikum," sapaku ketika dia tiba di hadapanku.

"Wa'alaikumussalam," jawabnya. Kulihat dia masih mengatur napas.

"Ada apa, Al?" tanyaku.

"Kemarin ada santri mengalami kecelakaan tabrak lari. Aku merujuknya ke rumah sakit Harapan Mulya karena lukanya cukup parah. Aku belum sempat menjenguk karena tugasku di rumah sakit padat dan Salwa sedang hamil muda, jadi aku sibuk mengurus pekerjaan dan Salwa, dan belum sempat mewakili pondok untuk menjenguknya." Ali menceritakan maksudnya menemuiku.

"Keluarganya sudah tau?" tanyaku.

"Sudah." Dia membalas singkat.

"Insya Allah, nanti siang aku ke sana. Terima kasih untuk infonya." Aku menepuk pundak Ali pelan.

"Kalau begitu aku pamit ke klinik." Dia pamit.

Aku hanya mengangguk.

"Assalamu'alaikum." Dia berlalu dari hadapanku.

"Wa alaikumussalam." Aku menatap kepergian Ali.

Ujian datang silih berganti di pondok ini. Berbagai ujian sudah kami hadapi. Alhamdulillah, Allah selesaikan dengan cepat ketika pondok ini mengalami masalah. Lebih baik aku segera bersiap-siap untuk shalat zuhur dan setelah makan siang aku akan menjenguk santri yang dirawat.

***

Aku berjalan cepat ke ruangan yang telah ditunjukan suster. Ya Ruangan santri yang mengalami tabrak lari. Sebenarnya ini pelanggaran karena santri itu keluar pondok ketika pelajaran berlangsung. Aku tak mungkin membahas ini karena musibah bisa saja terjadi kapan saja dan aku tak mungkin langsung menyalahkan santri itu. Bagaimana baiknya, nanti aku musyawarah dengan orang tua sang santri. Saat ini yang kupikirkan adalah kondisinya.

Aku tiba di depan pintu ruang yang kutuju. Lorong ini terlihat sepi dan hanya beberapa suster yang lewat. Aku segera masuk ke dalam, tapi seketika pintu itu terbuka sebelum aku membukanya, dan tatapanku langsung tertuju pada seorang wanita yang kini ada di depanku. Pandangan kami pun bertemu.

Astagfirullahal'adzim.

Aku menundukkan kepala dan bergeser dari posisiku memberi jalan wanita berhijab sempurna di hadapanku.

"Maaf, Anda siapa?" tanya wanita itu.

"Saya Hamzah gurunya Ziyad," sahutku dalam keadaan menunduk.

"Oh, silakan masuk. Di dalam ada Abah dan Umi." Dia membalas.

"Terima kasih." Aku mengangguk dan berlalu masuk ketika wanita itu memberi jalan untukku.

Siapa dia? Kenapa matanya kembali teringat di pikiranku? Astagfirullah, buang ingatan itu Hamzah. Itu tipu daya setan menggodamu.

"Ustadz Hamzah," sapa abahnya Ziyad.

"Assalamu'alaikum." Aku membalas dengan kalimat salam dan tak lupa kuraih tangan beliau untuk berjabat dengannya. Ada rasa bahagia ketika kembali bertemu beliau.

Beliau sudah mengenalku bahkan kami sering mengobrol ketika beliau sedang menjenguk Ziyad di pondok. Beliau ini masya Allah, selalu membawa hasil kebunnya ke pondok ketika sedang menjenguk Ziyad. Entah itu ubi, singkong, pisang, beliau selalu bawa. Ketika sedang musim panen, beliau akan membagi rizkinya ke pondok agar dimasak dan diberikan pada santri. Aku salut dengan beliau karena anak-anaknya beliau masukkan ke dalam pondok semua meski beliau terbilang orang biasa. Aku banyak menerima wejangan dari beliau karena pengalaman beliau dalam masalah perkebunan. Aku pun dapat banyak pelajaran dari beliau masalah bisnis. Semoga Allah selalu memberkahi kehidupan beliau.

Aku menangkupkan tangan pada istri beliau dan mengangguk sebagai rasa hormatku padanya. Beliau pun mengangguk dan tersenyum ramah padaku lalu menawarkan tempat duduknya untukku.

"Enggak apa-apa, Bu. Hamzah berdiri saja." Aku menolak halus.

"Nggak apa-apa, Ustadz." Beliau kukuh.

"Terima kasih, Bu. Hamzah berdiri saja. Ibu saja yang duduk. Ibu pasti capek nungguin Ziyad." Aku kembali menolak.

"Duduk saja. Tamu harus dimuliakan." Abah Bahar menyela.

Aku pun mengalah dan duduk di kursi samping Abah Bahar sambil menatap Ziyad yang sedang tidur. "Bagaimana keadaan Ziyad, Bah?" tanyaku pada Abah Bahar. Sebutan "abah" lebih kusuka untuk menghargai beliau karena Abah orang Sunda.

"Sudah membaik. Dua hari lagi sudah boleh rawat jalan." Abah Bahar menyahut. "Bagaimana kabar Abi-mu?" tanya Abah Bahar.

"Alhamdulillah, Abi sehat." Aku membalas.

Kami pun terlibat obrolan hangat mengenai perkembangan pondok. Wejangan kembali kudapat ketika mengobrol dengan beliau. Hal seperti inilah yang tak pernah kulewatkan. Mendengar pengalaman dari orang tua yang sudah banyak melewati ujian hidup. Nasihat dari orang tua patut direnungi karena setiap ucapan mereka adalah tanda rasa sayang mereka kepada kita.

"Assalamu'alaikum."

Terdengar suara salam disertai pintu ruangan ini terbuka. Aku pun menoleh dan kudapati wanita bercadar itu berjalan mendekati kami. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang tak biasa dalam diri ini ketika melihat wanita bercadar itu.

"Ustadz Hamzah, ini Zainab putri Abah." Abah mengenalkan wanita bercadar itu padaku.

Jadi dia putri Abah? Kenapa aku baru tahu kalau Abah punya putri yang sudah mengenakan cadar?

"Hamzah." Aku hanya mengangguk dan menangkupkan tangan di dada.

Dia pun melakukan hal yang sama. "Zainab."

Entah kenapa suasana berubah menjadi canggung sejak kedatangan Zainab di ruangan ini.

"Zainab putri sulung Abah. Dia baru masuk pondok dua tahun yang lalu setelah lulus SMA. Sudah Abah suruh masuk setelah lulus SMP tapi enggak mau. Setelah lulus SMA baru mau masuk pondok." Abah mengulas kisah tentang putrinya.

Aku hanya tersenyum ramah pada beliau. "Alhamdulillah, Abah harus bersyukur karena Zainab mau masuk pondok. Tidak ada yang terlambat selama kita masih hidup." Aku meluruskan.

Berarti usia Zainab sekarang ini duapuluh tahun? Masih muda. Sejak kapan dia pakai cadar? Kenapa aku penasaran dengan dia? Astagfirullahal'adzim.

"Ustadz Hamzah."

Aku menoleh ketika Ziyad menyebut namaku. Aku tersenyum ketika dia menatapku. "Bagaimana keadaan Ziyad? Pantes Ustadz cariin enggak ada di kelas, ternyata Ziyad liburan di sini, yah?" Aku menggodanya.

Ziyad salah satu murid ter-aktif di kelas tiga. Tak heran jika terjadi hal-hal di luar logika. Dia absen dari kelas untuk ke minimarket membeli jajan.

"Ziyad salah, Ustadz. Ziyad keluar pondok pas lagi jam belajar. Ustadz Hamzah nggak hukum Ziyad kan?" ucapnya dengan nada memelas.

Aku kembali tersenyum. "Ustadz nggak hukum Ziyad secara fisik, tapi Ustadz hukum Ziyad dengan hafalan tiga surat yang sedang Ziyad hafal. Gimana?" Aku menawarkan solusi.

"Tapi Ziyad kan lagi sakit, Ustadz." Ziyad menatapku dengan tatapan kasihan.

Senjata santri ketika sedang ada kesempatan. Aku tetap akan menghukumnya dengan cara itu. Tidak ada pilih kasih antara guru dan murid walaupun aku dekat dengan orang tuanya.

"Ziyad memang sakit, tapi kepala Ziyad baik-baik saja, jadi jangan beralasan buat menghindari hukuman. Untung Ustadz Hamzah baik nggak menyalahkan Ziyad, jadi jangan banyak alasan." Abah menyela.

"Iya, Abah." Ziyad terlihat takut dengan ucapan Abah.

"Nggak apa-apa, Bah. Hamzah nggak maksa Ziyad. Yang penting Ziyad sehat dulu. Nanti hafalannya bisa di rumah kalau Ziyad sudah membaik." Aku mencairkan suasana.

"Abah minta maaf kalau Ziyad sudah melanggar peraturan pondok. Abah menyadari kalau anak Abah terlalu aktif. Semoga Ziyad nggak bikin ustadz-ustadz di sana kapok."

"Nggak apa-apa, Abah. Hamzah yang harusnya minta maaf atas nama pondok karena sudah lalai mengawasi anak-anak."

Aku terkejut ketika Abah memelukku. Aku pun menepuk punggungnya pelan. Aku memaklumi karena sudah sewajarnya anak-anak berperilaku keras kepala bahkan ada yang lebih aktif dari Ziyad.

"Hatur nuhun sudah menjaga Ziyad dan sabar menghadapi putra Abah." Abah terdengar haru.

Aku hanya tersenyum hangat. Kami melepas pelukan. "Nanti malam Ziyad yang jaga siapa?" tanyaku memberanikan diri, karena yang kulihat hanya Abah, ibu dan Zainab yang ada di sini.

"Ganti-ganti. Kalau siang Zainab sama Uminya. Kalau malam Abah sama pekerja Abah di kebun."

Aku hanya mengangguk. "Nanti kalau butuh bantuan, insya Allah, Hamzah siap bantu Abah jaga Ziyad." Aku menawarkan.

"Ustadz Hamzah sudah nengokin Ziyad, Abah sudah senang," sahut Abah sambil tersenyum.

Aku menatap Ziyad. "Cepat sembuh, Yad, jangan lama-lama nginap di hotelnya. Ustadz rindu dengan celotehmu." Aku kembali menggoda Ziyad.

Ziyad hanya tersenyum, menampilkan deretan gigi depannya yang rapi.

"Hamzah pamit yah, Bah, Bu. Tugas pondok menanti habis ashar." Aku pamit pulang, mengulurkan tangan pada Abah.

"Iya. Terima kasih sudah mau nengokin Ziyad. Salam maaf buat ustadz-ustadz di pondok kalau Ziyad banyak merepotkan mereka." Abah menjabat tanganku. Lalu beliau menatap tangaku yang dijabatnya. "Ini apa, Ustadz?" tanya beliau.

"Ini buat nambah-nambah biaya hotel Ziyad. Hamzah harap Abah jangan nolak. Ini nggak seberapa." Aku memohon agar beliau menerima uang tambahan dariku.

"Ini murni kesalahan putra Abah, bukan pihak pondok, jadi Abah yang harusnya banyak minta maaf sama pihak pondok." Abah menolak.

"Anggap saja ini rezeki dari Allah, Bah. Rezeki jangan di tolak, nggak baik." Aku pun tak mau kalah.

"Masya Allah, terima kasih banyak, Ustadz."

"Sama-sama Abah. Hamzah langsung pamit ya. Assalamu'alaikum." Aku menatap Abah dan Ibu bergantian. Tak lupa sekilas kutatap Zainab dan kuanggukkan kepala.

"Wa alaikumussalam."

Aku pun melangkah keluar dari ruang rawat Ziyad. Ada rasa enggan untuk meninggalkan tempat itu. Aku tak tahu apa alasan itu. Semoga alasan itu bukan karena adanya Zainab. Entah kenapa pandangan kita beberapa menit yang lalu kembali teringat di otakku. Astagfirullahal'adzim.

Allahumma inni a'udzubika min fitnatinnisa.

***


Jangan sungkan untuk mengoreksi.
Kritik dan saran membangun akan saya terima.
Terima kasih buat yang sudah mengikuti cerita ini.
Ditunggu bintang dan komentnya. Jazaakumullah khayr.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro