Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raiwind, Pakistan


Tak terasa waktu seakan berjalan begitu cepat. Aku masih mengingat ketika tiba di negara ini. Bukan Saudi saja gudangnya ilmu agama, tapi di sini pun tak kalah dengan Saudi yang mampu mencetak ulama-ulama. Ya. Aku saat ini berada di negara salah satu mayoritas muslim terbesar yaitu Pakistan. Alhamdulillah, aku sudah enam tahun mengenyam pendidikan di negara ini. Pondok pesantren ini adalah rekomendasi dari guruku di Ponpes sebelumnya. Aku merasa bersyukur dan sangat beruntung bisa belajar di sini. Banyak sekali pelajaran yang kudapat selain ilmu agama. Kebesaran Allah sangat terlihat di sini.

"Bai Hamzah!"

Aku menoleh ke sumber suara ketika seseorang menyeru namaku. Aku tersenyum ketika melihat sahabatku yang sedang bertugas menerima tamu memanggiku.

"Kya?!" balasku dengan nada seru. Di sini sangat ramai karena sudah masuk waktu sarapan.

"Ada telepon dari keluargamu di Indonesia!" balasnya.

Aku menutup kitab yang sedang kukaji, lalu meletakannya di rak buku. Aku berjalan segengah berlari untuk segera tiba di ruang istiqbal. Aku menerima HP darinya.

"Assalamu'alaikum," sapaku setelah menempelkan benda pipih itu di telinga.

"Wa alaikumussalam."

Aku tersenyum ketika mendengar suara orang yang sangat kurindukan. "Umi apa kabar?" tanyaku.

"Umi baik, Nak. Kamu gimana? Daurohnya gimana?" tanya Umi.

"Alhamdulillah, Hamzah baik, Mi. Daurohnya juga lancar. Hamzah lulus." Aku memberi kabar.

"Alhamdulillah, Umi senang dengarnya. Jadi kapan kamu balik ke Indonesia?"

"Doakan saja semoga secepatnya dan Allah mudahkan. Hamzah sudah rindu sama Abi, Umi, dan semuanya." Aku membalas.

"Umi selali doain yang terbaik buat anak-anak Umi. Nggak terasa sudah enam tahun kamu di sana."

"Hamzah!!! Tho'am!!!"

Aku menoleh ketika namaku diseru karena makan jamaah sudah menunggu. Aku menjauhkan HP ini dari wajahku. "Na'am!" seruku. HP pun kembali kudekatkan. "Mi, sudah dulu, ya, Hamzah mau sarapan jamaah. Nanti telepon lagi Ahad depan." Aku pamit pada Umi.

"Ya sudah. Uang jajan masih ada, kan? Kalau habis kabari Umi atau Abi."

"Iya. Ya sudah. Assalamu'alaikum."

Aku mematikan sambungan telepon setelah Umi membalas salamku. Aku memberikan HP itu pada petugas istiqbal dan berterima kasih. Setelah itu, aku berlalu pergi dari tempat itu untuk makan jamaah bersama santri lain. Di sini, bukan hanya santri dari Indonesia saja, tapi dari penjuru dunia banyak yang belajar di sini. Tahun ini, kebanyakan santri di sini dari Indonesia dan Thailand. Aku tak pernah khawatir masalah bahasa karena di sini banyak penerjemah atau bisa minta santri senior untuk membantu. Di Masjid Raiwind ini pun menjadi pusat atau markas para pendakwah dari seluruh dunia. Ya. Seluruh belahan dunia. Aku banyak bertemu dengan saudara muslim dari seluruh benua. Dalam sehari Masjid Raiwind memberi makan ribuan para pendakwah yang sedang singgah di masjid ini. Ulama di sini tidak berpolitik, tidak berdagang, atau memiliki donatur. Inilah karunia Allah yang tidak bisa dipikir secara logika, tapi jika melihat langsung, maka akan takjub melihatnya. Suprah terhampar luas sepanjang mata memandang. Hidangan silih berganti dari nasi, roti, susu, daging, yogurt, buah-buahan, semua tersaji ketika saat-saat waktu makan tiba. Aku sangat bersyukur karena Allah memilihku untuk belajar di negara ini.


♡♡♡

Semoga terhibur dan jangan salah fokus sama visualnya Hamzah

😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro