La Tahzan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati." (QS. Al-Baqarah:112)


~°~

Hari ini, rasanya aku tidak bersemangat menjalani aktivitasku, karena aku masih memikirkan perkataan Bapak tadi sore. Tadi malam pun aku susah menutup mata karena perkataan itu, bahkan aku sempat kena tegur karena banyak melamun di saat melayani konsumen.
Kini aku tengah bersiap-siap untuk pulang, karena sudah jam waktunya pulang kerja dan akan digantikan dengan temanku yang mendapat shift sore.

"Rin, kenapa sih? Hari ini tumben kamu ngelamun terus? Ada masalah?" tanya Nina, sahabat sekaligus rekan kerjaku di sini.

"Iya, nih. Lagi banyak pikiran. Ya sudah, aku pulang dulu yah, Nin. Bye." Aku berjalan menjauhi Nina, setelah selesai merapikan barang bawaanku di loker.

"Nggak pulang bareng sama aku?!" teriak Nina.
"Nggak! Aku mau ketemu sama Bang Aziz," teriakku. Aku bergegas keluar dari mini market melalui pintu belakang.
Aku segera menaiki angkutan setelah keluar dari mini market, karena posisi mini market di depan jalan raya. Aku harus segera sampai di taman dekat kompleks rumahku, karena aku dan Bang Aziz janjian bertemu di sana.
Sepuluh menit aku berada di dalam angkutan. Segera aku memberi kode pada supir angkutan, ketika tiba di taman kompleks.
"Bang, kiri." Aku lekas berdiri dan beranjak keluar ketika Sopir angkutan memberhentikan angkutannya di bahu jalan.
Setelah membayar angkutan, aku berjalan memasuki taman. Duduk disalah satu tempat duduk yang ada di taman. Kulihat belum ada tanda-tanda Bang Aziz datang. Aku mengeluarkan ponselku dan mengetik pesan, jika aku sudah sampai di taman.
Aku masih menunggu. Tak lama, aku mendapat balasan pesan dari Bang Aziz, katanya dia akan ke sini sebentar lagi.
Aku menyandarkan punggungku pada sandaran besi di bangku yang tengah aku duduki. Seketika aku terkaget, karena sebuah tangan menutup kedua mataku.
"Bang Aziz," tebakku.

“Iya. Kok tahu?”
Tangannya dia lepaskan dari menutupi mataku dan kini dia berjalan memutar, berakhir duduk di sebelahku.

"Tau, dong. Sudah hafal," balasku singkat, disertai senyum tipis.

"Ada apa, nyuruh Abang ketemuan di sini? Kangen, yah?" godanya.

"Ih, gombal. Bukan itu!" Aku menatapnya.

"Terus apa?" Dia juga menatapku.

Aku menggigit bibir bawahku. Takut-takut mengatakan maksudku menemuinya saat ini.

"Karin...?" panggilnya lembut.

Aku berusaha menenangkan hatiku, dengan menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan.
"Bang, kapan Abang mau ngelamar Karin?" tanyaku to the point.

"Ya ampun, Karin. Kamu datang ke sini cuma mau ngomongin itu doang? Abang sudah sering bilang sama kamu. Nanti, kalau Abang sudah siap dan Abang sudah ada rezeki." Bang Aziz menatapku heran.

"Iya. Tapi, nantinya kapan? Karin sudah nunggu satu tahun lebih kepastian dari Abang. Tapi Abang, jawabannya itu-itu terus. Karin butuh kepastian, Bang!" ucapku kesal. Aku tersulut emosi, karena Bang Aziz menanggapi perkataanku tidak serius.

"Terus. Kalau Abang belum siap, mau gimana?!" balas Bang Aziz dengan nada sedikit meninggi.

"Bang. Asal Abang tau. Bapak mau ngejodohin Karin sama anak teman Bapak, kalau Abang nggak cepetan ngelamar Karin," ucapku akhirnya.
Aku sudah tidak tahan, untuk tidak mengucapkan kata-kata itu. Air mata juga tak bisa kutepis karena aku benar-benar sudah berada di posisi sulit.

Aku melihat Bang Aziz mengacak rambutnya kesal, "Kalau untuk saat ini, Abang belum bisa melamar kamu, Rin. Abang belum siap!"

"Terus? Abang anggap hubungan kita selama ini cuma main-main?" Air mata kini mengalir di pipiku karena mendengar perkataan Bang Aziz.
Bahkan, berpasang-pasang mata yang hilir mudik menatap kami heran, beradu mulut di taman umum. Aku tidak peduli mereka mau berpendapat apa mengenai kami? Yang kuinginkan hanya sebuah kata kepastian dari Bang Aziz.

"Rin, Abang masih muda. Masih umur 27 tahun. Masih panjang masa depan Abang, dan Abang masih ingin menikmati masa-masa Abang sebelum menikah. Kalau Karin mau menikah, silahkan Karin terima perjodohan dari Bapak Karin. Abang nggak merasa keberatan."

Hatiku seakan tersayat sembilu. Begitu menyayat hatiku. Aku bahkan tidak kuasa menahan laju air mataku yang semakin deras meluncur di pipiku. Begitu teganya Bang Aziz mengatakan hal itu padaku. Yang kuharapkan hanya kepastian darinya, tapi apa yang aku dapat? Luka yang sangat menyayat hatiku. Bahkan aku tidak sanggup mengucapkan kata-kata apapun untuk membalas perkataan Bang Aziz. Kenapa aku mendapatkan kenyataan pahit seperti ini?

Dalam keadaan air mata yang masih membasahi pipiku, aku beranjak berdiri dan segera berlari meninggalkan Bang Aziz yang masih terduduk di bangku yang kami duduki di taman.

"Kariiin..." teriaknya.

Aku tidak menghiraukan teriakan Bang Aziz. Aku sudah terlanjur kecewa dengannya. Aku kecewa dengan ucapannya. Aku kecewa dengan semua rasa cintanya selama ini.
Aku masih berjalan cepat, agar segera sampai di rumah walaupun dalam keadaan masih dibanjiri air mata. Aku berusaha menghapus air mataku ketika tiba di teras rumah. Bahkan aku segera masuk ke dalam kamar, tanpa mengucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah.
Aku menutup pintu kamarku, agar tidak ada yang tahu kalau aku tengah menangis. Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur dan menangis sejadi-jadinya karena perkataan Bang Aziz. Aku benar-benar kecewa dengannya.
Semudah itu kah dia mengucapkan kata-kata itu? Sebegitu mudah kah dulu dia mendapatkan aku? Sebegitu tidak penting kah hubungan yang selama dua tahun ini kita jalani?
Aku kembali terisak, membenamkan wajahku di atas bantal. Hanya menangis yang bisa kulakukan saat ini. Meratapi hubungan yang hanya sebagai permainan saja bagi Bang Aziz.
Karena lelah mendera tubuhku. Aku pun tidak sadar jika mataku perlahan terpejam.

~°~

"Ndo,"
Kurasakan sebuah tangan mengelus lenganku, tapi aku masih enggan menyahuti, karena masih ingin kembali menyelami dunia mimpi.

"Ndo. Kamu belum mandi, loh. Belum makan malam. Ayo bangun. Mandi dulu, terus makan. Nanti kalau sudah mandi sama makan, kamu boleh tidur lagi." Ibu masih berusaha membangunkan aku.

Aku hanya menggeliat dan menggumamkan kata 'iya' untuk menyahuti perkataan ibuku.

"Ayo, cepetan bangun. Bapak mau bicara sama kamu. Bapak udah nungguin tuh, di ruang tengah." Ibu menepuk pipiku lembut.

Aku mengerjapkan mataku dan lekas duduk, mengucek kedua kelopak mataku agar menormalkan indra penglihatanku.
Aku menghela napas sebelum beranjak turun, karena kembali teringat pertemuanku tadi sore dengan Bang Aziz. Aku masih duduk di tepi ranjang, memikirkan kejadian tadi sore yang menimpaku.

"Loh. Kok malah ngelamun, toh?"

Aku tersentak, segera menatap ibuku yang masih duduk di sebelahku dan menatapku heran.

"Iya. Ini Karin mau mandi," ucapku serak, khas suara bangun tidur.

"Cepetan mandinya. Udah malam, jangan lama-lama. Nanti kena reumatik."
Aku tidak menyahuti ucapan ibu, aku hanya menyahutinya dengan gumaman. Aku meraih handuk untuk segera lekas masuk kamar mandi.
Kurang dari sepuluh menit, aku sudah keluar dari kamar mandi. Setelah memakai pakaian santaiku, aku bergegas keluar kamar karena pasti Ibu, Bapak dan Adit sudah menungguku untuk makan malam.
Aku segera duduk di sebelah Adit, setelah aku tiba di meja makan. Kami pun tenggelam dalam makan malam bersama keluarga kecil kami.
Setelah selesai makan, aku segera mencuci piring dan setelah itu aku akan segera beranjak memasuki kamar.

"Ndo, sini. Bapak mau ngobrol sama kamu," panggil Bapak, ketika aku hampir memasuki kamarku.

Niatku untuk masuk kamar kuurungkan karena Bapak memanggilku. Aku berjalan menghampiri Bapak dan berdiri di sebelah sofa yang kini di duduki Bapak.
"Ada apa, Pak?" tanyaku sambil berdiri menatap Bapak yang masih asyik menonton berita di televisi.

"Duduk." Bapak menepuk sofa di sebelahnya, menyuruhku duduk.

Aku pun duduk di sebelah Bapak. Masih menunggu apa yang ingin Bapak bicarakan.
Bapak mematikan televisi yang tengah ditontonnya dan beralih menatapku.
"Ada apa? Kata Ibu, kamu tadi pulang kerja nangis langsung masuk kamar?" tanya Bapak yang masih menatapku.

"Enggak ada apa-apa, Pak." Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, tidak ingin Bapak sampai tahu masalahku. Perasaanku, pas aku pulang, tak ada yang melihatku masuk ke kamar. Ibu tahu darimana?

"Jangan bohong! Bapak tahu. Kamu lagi ada masalah sama Aziz." Bapak menepuh pundakku pelan.

Aku seketika menatap Bapak. "Bapak tau dari mana?" tanyaku heran.

"Bapak tahu dari mana, kamu nggak perlu tau. Yang mau Bapak tanyakan, kenapa Aziz sampai bikin kamu nangis?"

Aku terdiam.

"Bukannya Bapak mau ikut campur. Bapak cuma ingin memastikan, Putri Bapak baik-baik saja."

Mungkin lebih baik aku berterus terang dengan Bapak. Setidaknya aku merasa sedikit lega dengan menceritakan hal ini kepada Bapak.
"Bang Aziz, nggak serius sama Karin," kataku lirih.

Helaan nafas kudengar dari arah Bapak.
Kurasakan tangan Bapak mengelus punggungku lembut. Berusaha menenangkan aku yang kini menahan tangis.
"Dengerin Bapak. Mulai sekarang jauhi Aziz. Kalau kamu mau, Bapak akan segera menyuruh keluarga Pak Aji datang kemari untuk melamarmu."

Aku terperangah mendengar ucapan bapak.
"Tapi, Pak. Karin belum mengenal Bang Yuda lebih dekat."

"Kamu masih bisa ta'arufan dengan Nak Yuda, Karin." Bapak menyarankan.

Aku kembali diam, menimbang semua perkataan Bapak.

"Dengerin Ibu, Ndo."

Aku menatap Ibu yang kini duduk di sebelahku. Bahkan aku tidak tahu kalau Ibu sudah duduk di sebelahku.

"Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Pasti ingin anaknya mendapatkan suami yang baik, yang sholeh dan bertanggung jawab. Ibu yakin, Nak Yuda calon imam yang baik untuk Karin. Coba saja dulu ta'arufan selama satu minggu. Nanti kalau Karin nggak cocok. Karin boleh, tidak melanjutkan niat Bapak, menjodohkanmu dengan Nak Yuda." Ibu menasehatiku.

Tapi, memang benar apa yang dikatakan Ibu. Istilah pepatah. Tak kenal, maka tak sayang. Bagaimana kita mau tahu rasa itu, sebelum kita mencicipinya?
Berbagai istilah seperti itu bersliweran di pikiranku.

"Gimana?" tanya Bapak.

"Iya, deh. Karin ta'arufan dulu, sama Bang Yuda," ucapku akhirnya.

"Nanti akan Bapak kabari Nak Yuda." Bapak dan Ibu tersenyum bahagia menatapku.

Aku hanya tersenyum tipis pada Ibu dan Bapak.

Seperti apa Bang Yuda? Semoga saja dia lebih tampan dari Bang Aziz, biar suatu saat aku bisa membuktikan padanya, kalau aku bisa dapat suami yang lebih baik dari dia. Yang lebih serius dan mapan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro