Ta'aruf

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maka apabila kamu telah selesai (dalam suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap." (QS. Al-Insyirah: 7-8).

~°~

"Nin, makasih yah tumpangannya." Aku segera turun dari jok penumpang, motor Nina.

"Ya. Sama-sama. BTW, besok libur mau ke mana?" Nina masih duduk di atas motornya dan aku sudah berdiri di depan gerbang rumahku.

"Nggak tahu, nih. Paling di rumah," balasku sambil menggendikkan bahu.

"Eh, Mas Wahyu pulang, Rin?" tanya Nina.

"Enggak, kok. Masih di Batam. Emang kenapa?" tanyaku tidak paham.
Kenapa Nina nanya Bang Wahyu?

"Lah, itu mobil siapa?" Nina menunjuk ke arah teras rumah.

Aku segera menoleh ke teras rumah.
Terparkir mobil Ertiga berwarna hitam di teras rumah.
"Oh. Mungkin tamu Bapak. Ya sudah, aku masuk, yah. Makasih buat tumpangannya. Kamu hati-hati di jalan." Aku beranjak mendekati pintu pagar.

"Ok. Aku pulang, yah. Salam buat Bapak sama Ibu." Nina tengah memakai helmnya dan segera melambaikan tangan sebelum motornya melaju.

Aku membalasnya dengan hal yang sama. Aku segera melangkah memasuki teras rumah.
"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam ketika di ambang pintu saat aku akan memasuki rumah.

"Wa’alaikumussalam," jawaban serempak terdengan dari dalam rumah.
Aku menatapi orang-orang yang ada di ruang tamu. Seketika pandanganku terpaku pada sosok pemuda yang mengenakan baju kokoh biru muda, panjang sebatas lengan, memakai celana bahan dan memakai peci putih. Dia tengah duduk bersebelahan dengan dua orang, tapi seumuran dengan Bapak dan Ibu.

"Ndo. Kamu sudah pulang?"

Sapaan Bapak membuatku segera mengalihkan pandanganku dan terpaksa aku harus mengembangkan senyum pada tamu-tamu Bapak.
Aku segera mencium tangan Bapak, Ibu, dan tamu-tamu Bapak bergantian, kecuali pemuda yang saat ini hanya mengatupkan tangannya ketika aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Membuat aku canggung sekaligus malu.
Aku tidak mungkin ikut duduk di sini, karena aku belum mandi dan masih mengenakan seragam mini market.
"Pak, Karin masuk dulu, mau mandi," pamitku pada Bapak.

Hanya anggukan yang kudapat dari Bapak.
Aku segera memasuki kamarku, merebakhan tubuhku di atas kasur.
Kira-kira tamu Bapak siapa yah? Apa jangan-jangan itu keluarga Pak Aji?
Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Antara gugup, bingung dan deg-degan melanda diriku. Aku berusaha tenang dan segera beranjak menuju kamar mandi.

Tok... tok... tok...
Terdengar suara ketukan dari arah pintu ketika aku tengah duduk di meja rias, masih menyisir rambutku setelah mandi. Aku segera melangkah menuju ke arah pintu dan membukanya.
Sosok Ibu berdiri persis di depan pintu kamarku.
"Sudah belum, mandinya? Tuh, ditungguin Bapak di ruang tamu, katanya ada yang mau dibicarakan. Jangan lupa, pakai jilbab sebelum keluar," perintah Ibu.

"Emang, siapa sih tamu Bapak, Bu? Kok, Karin disuruh pakai jilbab segala?" protesku, karena tak biasanya Ibu menyuruh aku memakai jilbab ketika akan menemui tamu.

Ibu segera masuk ke kamarku dan sedikit menutup pintu. Aku jadi bingung dengan tingkah laku Ibu.

"Loh, kamu nggak tahu tamu Bapak?" Ibu menatapku serius.

Aku hanya menggeleng.

"Itu keluarga Pak Aji."

Aku seketika menelan ludahku sendiri. Karena apa yang sedari tadi aku pikirkan ternyata benar. Jadi ...

"Udah. Ayo cepat ganti baju yang sopan. Terus, jangan lupa pakai jilbab." Ibu beranjak keluar dari kamarku.
"Jangan lama-lama, Karin. Bapak sudah nungguin," sambung Ibu lagi ketika sudah keluar dari kamarku.

Aku bingung, gugup, dan takut untuk menemui tamu Bapak. Apa lagi sosok pemuda yang tadi duduk di ujung sofa. Itu pasti Bang Yuda.
Aku mondar-mandir di dalam kamar.

"Mbak, cepetan. Itu kata Ibu, Mbak disuruh ke ruang tamu." Suara adikku terdengar di balik pintu kamarku.

Aku segera mencari celana jeans hitam, baju lengan panjang dan jilbab segi empat. Segera kupakai celana dan baju yang sudah kuambil dari lemari dengan terburu-buru, tak lupa jilbab segi empat yang hanya aku sampirkan di kepalaku tanpa peniti.

Aku melangkah keluar kamar dengan tergesa-gesa, berusaha menormalkan jantungku yang berdetak tidak karuan, sebelum aku tiba di ruang tamu. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu, berdiri di sebelah sofa yang diduduki Bapak dan Ibu. Aku tersenyum ramah ketika Ibu Bang Yuda menatapku disertai dengan senyum ramah. Aku kembali membalas beliau dengan anggukan dan senyum ramah.

"Sini, Ndo." Bapak mengintruksiku agar duduk di sebelahnya, setelah tahu kedatanganku.

Aku pun mematuhi perintah Bapak dan duduk di sebelah beliau. Entah, apa yang harus kulakukan saat ini. Hanya menunduk yang kulakukan saat ini. Bahkan aku sangat gugup, takut, dan deg-degan. Aku sampai merasa kalau kakiku saat ini bergetar karena terlalu gugupnya.

"Wah, Nak Karin sekarang sudah besar yah. Cantik lagi," puji Bu Salamah. Membuatku semakin gugup saja dan merasa melayang karena pujian itu.

Hanya anggukan dan senyuman yang kuberikan pada mereka. Jujur, aku tidak tahu harus bagaimana di depan mereka. Termasuk dengan sosok yang kini masih duduk di ujung sofa, yang masih sangat tenang dan diam. Aku bahkan tidak melihat dia gugup atau deg-degan, lain halnya denganku yang sebaliknya.

"Nah, Ndo. Maksud kedatangan Pak Aji, Bu Salamah dan Nak Yuda kemari, untuk menta'arufkan Nak Yuda denganmu, seperti yang sudah Bapak katakan padamu beberapa hari yang lalu."

Seketika napasku seolah berhenti mendengar ucapan Bapak. Aku masih diam, entah aku harus bicara apa pada Bapak.

"Ndo, gimana?" Bapak mengelus pundakku lembut.

Aku segera menoleh menatap Bapak. Bapak mengangguk dan tersenyum padaku, berusaha meyakinkan aku untuk memberi keputusan yang terbaik. Tidak ada pilihan lain untukku tidak menerima semua ini. Aku juga tidak mau membuat Bapak malu di depan keluarga Pak Aji.
Dengan segenap hati, aku memang harus memberikan keputusan yang terbaik untuk semuanya dan aku tidak mau mengecewakan Bapak, karena aku sudah berjanji padanya.

Aku memejamkan mata sesaat. Bissmillah, "Bagaimana Mas Yudanya saja. Kalau Mas Yuda setuju, Karin juga setuju." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Aku menghela napas lega, ketika kata-kata itu sudah aku ucapkan. Walaupun sebenarnya aku ragu dengan kata-kata itu, karena aku juga tidak mau berharap banyak jika akhirnya nanti ada kata menyesal di belakangnya.

"Gimana, Yud?" suara Pak Aji meminta kepastian dari Bang Yuda.

Aku sangat takut sekali. Takut, kalau Bang Yuda tidak setuju. Takut, jika dia akan mengatakan hal yang sama seperti Aziz. Aku takut.
Dan entah sejak kapan aku mulai berharap kalau aku juga menginginkan perjodohan ini!
Aku menggigit bibir bawahku, menanti jawaban dari Bang Yuda.

"Insya Allah. Yuda siap berta'aruf dengan Dik Karin," sahut Bang Yuda mantap.

Aku tidak tahu harus bersyukur atau bersedih. Karena kedua rasa itu kini berada di hatiku. Aku tidak mampu mengucapkan kata-kata apapun. Dengan tenang, Bang Yuda begitu tegas menjawab pertanyaanku. Bahkan diiringi dengan senyuman. Kenapa dia seyakin itu?

"Alhamdulillah." Ucapan itu serempak diucapkan oleh Bapak, Ibu, Pak Aji, dan Bu Salamah.
"Pak, Karin mau ke dalam," bisikku pada Bapak, karena aku sudah benar-benar tidak kuat duduk di sini.

Bapak hanya mengangguk menjawab permintaanku.
Aku segera permisi dan berjalan masuk ke dalam kamar. Aku terduduk di tepi ranjang. Kembali mengingat pembicaraan tadi.
Kenapa wajah Bang Yuda yang ada di pikiranku saat ini? Apa aku harus bahagia? Atau aku harus bersedih? Tapi aku tidak merasakan kesedihan.
Tidak ada wanita yang akan menolak laki-laki seperti Bang Yuda. Bang Yuda tampan, tinggi, putih, alim, sholeh, dan intinya kriteria laki-laki sempurna. Aku bodoh jika menolaknya. Tapi, apakah aku pantas bersanding dengannya? Pasti banyak wanita yang lebih cantik dariku menginginkannya. Atau, bisa saja teman dia ada yang suka dengannya?
Kenapa aku jadi memikirkan Bang Yuda?
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Lama aku terdiam dengan berbagai macam pemikiran tentang Bang Yuda.

Tok... tok... tok...

"Rin, Pak Aji dan keluarga mau pulang, tuh. Ayo keluar." Suara Ibu memanggilku dari balik pintu kamarku.

"Iya," teriakku pelan. Aku segera beranjak dari tiduranku, bergegas menghampiri Ibu.
Aku berjalan di belakang Ibu, menuju ruang tamu.

"Umi pamit pulang yah, Rin. Semoga ta'arufannya lancar, biar cepat walimah sama Yuda. Terus kasih Umi cucu." Bu Salamah mengelus pundakku lembut.

Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyuman ramah, karena aku tidak tahu harus berkata apa. Belum saja ta'arufan, sudah ngomongin cucu saja.

"Aamiin." Bapak dan Ibuku, justru yang menjawab.

Aku segera mencium punggung tangan Bu Salamah dan Pak Aji. Sosok yang selalu membuat jantungku berdetak tidak normal, kini berada di hadapanku, dengan tangan menangkup. Aku hanya membalasnya dengan hal yang sama.
Aku harus kuat. Tidak mengangkat wajahku menatapnya. Karena, aku yakin tidak akan kuat jika melihat wajahnya. Tapi, apa daya keinginanku untuk menatap wajah teduhnya lebih kuat, membuat jantungku kembali berdetak hebat. Baru pertama kali, aku merasa seperti ini.

Mereka pun beranjak keluar dari rumah ini, setelah berpamitan pada Bapak dan Ibu. Aku hanya menatapi mobil itu beranjak keluar dari teras rumah ini, sampai hilang setelah keluar dari pintu pagar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro