Ta'aluf

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Allah memotivasi mereka untuk menikah, Allah perintahkan kepada orang merdeka atau budak untuk menikah, dan Allah janjikan mereka dengan kekayaan melalui nikah.” (Tafsir Ibn katsir, 6/51)

~•~

Aku memutar-mutar ponselku. Membolak-balikan benda persegi panjang ini beberapa kali karena bingung untuk mengirim pesan terlebih dahulu, atau menanti Bang Yuda duluan yang mengirim pesan padaku.
Semalam, Bapak memberikan nomor Bang Yuda padaku. Katanya buat ta'arufan selama satu minggu ini. Tapi, sampai sekarang aku belum menerima pesan dari Bang Yuda.
Kalau aku yang mengirim pesan duluan, apa kata Bang Yuda nanti. Masa cewek duluan yang mengirim pesan ke cowok? Pokoknya, aku harus menunggu sampai Bang Yuda yang mengirim pesan duluan padaku. Masa bodoh kalau harus nunggu lama.

Drrtt... drrrt... drrtt...

Aku segera meraih ponselku, yang sempat kulemparkan ke arah kasur. Tertera satu pesan dari layar ponselku bertuliskan 'Bang Yuda'. Aku segera membuka pesan itu.

Bang Yuda :
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dik, Karin?

Ya ampun, Bang Yuda ini, nulis salam saja sampai panjang banget. Aku segera mengetik balasan, sarena setelah aku mencocokkan dengan nomor yang diberikan Bapak, ternyata benar. Kalau itu nomor Bang Yuda.

Karina :
Wa’alaikumussalam. Maaf, ini siapa yah?

Aku terkikik, karena pura-pura tidak tahu.

Bang Yuda :
Insya Allah, hamba Allah yang bernama Yuda.

Lagi, aku terkikik geli melihat balasan pesan Bang Yuda.

Karina :
Oh, ada apa Bang?

Bang Yuda :
Hanya memastikan, kalau ini benar-benar nomor Dik Karin.

Karina :
Owh, kalo ini bukan Karin. Gimana?

Bang Yuda :
Abang akan mendatangi Dik Karin nanti malam, untuk mengkhitbah Dik Karin.

Khitbah? Apa tuh khitbah? Aku baru dengar.

Karina :
Bang, emang khitbah apaan sih, Bang?

Bang Yuda :
Jawab dulu pertanyaan Abang. Nanti akan Abang jawab pertanyaan Dik Karin.

Karina :
Ya udah deh. Tapi jangan panggil Dik, ah. Panggil Karin saja.

Bang Yuda :
Iya, Karin. Pertanyaannya : Kenapa Karin mau menerima ta'arufan ini?

Kenapa Bang Yuda bertanya seperti itu? Aku harus jawab apa?
Lama, aku berfikir mencari jawaban apa yang harus aku katakan sama Bang Yuda? Aku meletakkan ponselku di atas kasur. Menopang daguku dengan kedua telapak tanganku. Memikirkan kata apa yang tepat untuk aku tulis membalas pesan Bang Yuda. Aku pun teringat ucapan Ibu. Segera, aku menulis balasan.

Karina :
Karena, apapun pilihan orang tua, itu pasti yang terbaik untuk anaknya.

Bang Yuda :
Subhanallah.

Karina :
Sekarang, Abang jawab pertanyaan Karin tadi.

Bang Yuda :
Khitbah artinya melamar.

Mataku sontak membulat. Segera aku mencari pesan sebelumnya, di mana ada kata-kata itu. Setelah melihat pesan sebelumnya, memang benar kata-kata itu.

Karina :
Abang bercanda, kan. Bilang mau ngelamar Karin nanti malam?

Aku berharap semoga Bang Yuda hanya bercanda. Aku baru kenal Bang Yuda kemarin. Masa’ iya, secepat ini mau melamar aku?

Bang Yuda :
Kalau Karin maunya nanti malam, Abang akan datang nanti malam, untuk mengkhitbah Karin.

Karina :
Ih, apaan sih, Bang? Enggak kok. Karin kan baru kenal Abang kemarin. Terus, kenapa Abang juga menerima perjodohan ini? Temen Abang pasti cantik-cantik dan pinter. Tapi kenapa, Abang setuju ta'aruf sama Karin?

Bang Yuda :
Karena, apapun pilihan orang tua, itu pasti yang terbaik untuk anaknya.

Karina :
Loh, kenapa Bang Yuda balikin kata-kata Karin? Itu kan kata-kata Karin.

Bang Yuda :
Iya. Kan sama tujuan kita, Karin. Abang siap-siap buat shalat dzuhur dulu yah. Nanti setelah Abang shalat dzuhur, Insya Allah disambung lagi. Assalamu'alaikum.

Karina :
Wa’alaikumussalam.

Tok... tok... tok...

"Mbak. Ada temen Mbak, nyariin Mbak Karin." Terdengar teriakan Adit dari balik pintu kamarku.

Siapa yang mencariku di siang bolong seperti ini? Perasaan, aku tidak ada janji sama siapa-siapa hari ini.

"Siapa, Dit?" balasku teriak.

"Mbak Nina."

Loh. Nih anak, katanya mau jalan-jalan ke Mall. Kok, malah ke sini?

"Suruh Mbak Nina masukke kamar Mbak, Dit."

Terdengar hening, tak ada jawaban dari Adit. Mungkin dia sudah menemui Nina, dan menyuruhnya ke sini.

Terdengar pintu terbuka.
"Lagi ngapain, Rin?" Nina menyapaku, ketika aku melihat kepalanya menyembul dari balik pintu. Membuatku segera beranjak dari tiduranku.

"Biasa. Tidur-tiduran. Habis, mau ngapain lagi hari libur, selain malas-malasan?" Aku menepuk kasurku, agar Nina ikut tiduran bersamaku.
Seperti inilah, kalau aku libur. Bermalas-malasan di dalam kamar, dan Nina selalu datang di saat kami libur bersama. Tapi, kenapa Nina batal ke Mall?

Nina sudah terduduk di sebelahku, setelah meletakkan tas selempangnya di atas meja riasku.
"Rin. Aku mau ngomong serius sama kamu. Tapi kamu jangan marah, ya?" Nina duduk di depanku dan menatap wajahku serius.

Dari ucapan yang kutangkap dari wajah Nina, nampak ada sesuatu yang dia sembunyikan. Aku jadi penasaran.
"Ada apaan, sih? Ngomong aja. Kenapa aku harus marah?" tanyaku penasaran.

"Jadi, gini Rin..."

Aku menatap Nina dengan alis terangkat, karena Nina berhenti berbicara. Nina nampak ragu berbicara padaku. "Apa?" tanyaku penasaran.

"Tadi, waktu aku di Mall, aku lihat Aziz sama cewek, mesra banget. Malah mereka ketawa-ketawa. Awalnya, aku juga enggak yakin itu Aziz. Tapi setelah aku lihatin bener-bener, itu memang beneran Aziz. Please... Jangan marah yah. Aku nggak bermaksud ngerusak hubungan kalian. Suer deh!" Nina mengangkat tanganya dan jarinya membentuk dua jari telunjuk dan tengah.

Aku hanya tersenyum getir.

"Kok kamu malah senyum sih, Rin?" Nina menatapku bingung.

"Terus, aku harus gimana? Aku sudah putus sama Aziz," sahutku santai dengan senyum bahagia.

"Loh. Kok bisa? Kenapa kamu enggak cerita sama aku? Terus, kapan kalian putus?" Nina semakin penasaran dengan ceritaku.

"Ceritanya panjang. Intinya, Aziz enggak pernah serius sama aku. Dia mutusin aku, karena aku maksa dia buat ngelamar aku." Aku menundukkan kepalaku, tapi bukan berarti aku sedih dengan semua ini. Aku justru bahagia, karena aku mendapat ganti yang lebih baik dari dia.

"Sabar. Pasti ada kok, cowok yang lebih baik dan lebih serius dibandingkan Aziz." Nina mengelus pundakku lembut.

Terdengar nada pesan masuk dari ponselku. Aku segera meraih ponselku dan melihat, siapa yang mengirim pesan.

Bang Yuda :
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Maaf, Abang baru sempat SMS lagi.

Aku tersenyum menatap pesan Bang Yuda.

"Rin, kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Nina penasaran. Mungkin karena melihatku tersenyum membaca pesan Bang Yuda.

“Enggak apa-apa kok, Nin.”
Aku masih mengetik balasan SMS untuk Bang Yuda.

Karina :
Nggak apa-apa, Bang.

"Yakin?" Nina memastikan.

"Iyaaa..." Senyum lebar kusunggingkan ke arah Nina.

"Ah, kamu bohong, Rin. Pasti ada sesuatu yang kamu tutupi dari aku. Ngaku deh..." paksanya.

Aku hanya tersenyum lebar. Masih ingin menyembunyikan rahasia ini darinya.

"Ayo dong, Rin. Apa yang disembunyiin dari aku?" rajuk Nina.

"Iya, aku akan cerita. Tapi janji yah, kamu enggak bakal ember?" Aku menatapnya serius.

"Janji!" Nina meraih bantal gulingku dan siap menanti perkataan kejujuran dariku.

"Aku dijodohkan sama anaknya teman Bapak," ucapku pada Nina.

Aku melihat Nina sangat terkejut dengan ucapanku, terlihat dari matanya yang membulat.

"Seriusan? Kamu enggak bercanda, kan? Sudah ketemu sama orangnya? Cakep enggak? Atau, jangan-jangan jelek! Kenapa kamu mau dijodohin sih, Rin?" Serentetan pertanyaan Nina lontarkan.

"Bisa enggak nanyanya satu-satu? " balasku kesal.

"Iya, maaf. Kaget tau nggak, denger kamu dijodohin."

"Ngejelasinnya nanti. Sekarang, aku mau minta penilaian kamu tentang Bang Yuda, dari segi suaranya. Aku mau nyuruh dia buat telepon aku." Aku meraih ponselku.

"Seriusan?" Nina menatapku berbinar.

"Hmm..." Aku masih mengetik pesan untuk Bang Yuda agar menelponku.

Karina :
Bang, bisa telepon nggak?

Bang Yuda :
Karin lagi sama siapa?

Karina :
Sama temen.

Seketika ponselku bordering, tanda panggilan masuk. Nama Bang Yuda tertera di layar ponselku. Aku segera mengangkatnya dan segera aku loudspeaker, agar Nina juga mendengarkan.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Terdengar sapaan salam dari sebrang sana.

Detak jantungku mulai berdetak lebih cepat ketika mendengar suara Bang Yuda. Mulutku bahkan terkunci, tak bisa membalas sapaan salam Bang Yuda.

"Karin?" Bang Yuda memanggil namaku, karena aku masih belum membalas salamnya.

Aku segera menoleh ke arah Nina yang memberiku kode, agar menjawab salam Bang Yuda.

"I-iya B-Bang. Wa- wa’alaikumussa- salam."

Kenapa aku jadi gugup begini?

"Kenapa? Kok, gugup gitu?"

"Eng- enggak apa-apa kok, Bang."

Nina sepertinya sangat gemas padaku, karena aku malu-malu bicara dengan Bang Yuda.

"Karin, sudah shalat?"

"Karin lagi enggak shalat, Bang,"
Setiap hari juga aku jarang shalat. Berarti, aku bohong dong, sama Bang Yuda?

"Jadi, nanti malam bagaimana?"

"Ih, apaan sih, Bang? Kan tadi Karin cuma bercanda!"

"Seriusan juga enggak apa-apa, Karin."

"Ih, pokoknya jangan nanti malam." Aku segera menutup sambungan panggilan dari Bang Yuda, karena kesal dengan godaannya.

"Kenapa sih?" tanya Nina.
"Enggak apa-apa! Eh, gimana?" tanyaku pada Nina.

"Suaranya lembut banget. Aku jadi kepo sama tuh orang." Nina menatapku mimik wajah penasaran.

Aku tersenyum lebar.

"Minggu depan, dia bakal datang ke sini buat ngelamar aku. Kalo kamu mau lihat Bang Yuda, datang minggu depan, sebelum ashar."

"Yakin, kamu mau dilamar sama Yuda minggu depan? Apa enggak kecepetan?"

"Aku juga enggak tahu. Kata Bapak, sudah sesuai janji Bapak sama Pak Aji, Abinya Bang Yuda."

"Terus, kamu mau?"

"Antara mau dan tidak mau."

"Kok gitu?"

Aku terlibat perbincangan panjang dengan Nina. Memang kebiasaan dia, selalu mengintrogasi kalau ada hal-hal baru tentang kehidupanku. Begitupun sebaliknya.
Aku mengabaikan pesan Bang Yuda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro