Khitbah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Wanita umumnya dinikahi karena empat hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Karena itu, pilihlah yang memiliki agama, kalian akan beruntung." (HR. Bukhari & Muslim)

~°~


Satu minggu berta'aruf dengan Bang Yuda telah aku lalui dengan cepat. Itu tandanya, aku akan semakin dekat dengan sebuah pernikahan. Tak menyangka aku akan menikah dengan orang lain. Padahal, yang aku inginkan beberapa minggu yang lalu, aku bisa menikah dengan Aziz. Aku benar-benar tidak menyangka jika akan seperti ini akhirnya.
Mungkin takdir berkata lain pada kehidupanku. Manusia boleh berencana, tapi Allah yang menentukan. Mungkin inilah pilihan yang terbaik dari Allah untukku. Haruskah aku menyesal? Aku rasa tidak! Karena aku yakin, Bang Yuda mungkin jodoh terbaik pilihan Allah untukku. Yang akan melengkapi kekuranganku karena kelebihannya.
Tumben banget aku bisa berfikir bijak seperti ini?

Satu minggu berta'aruf dengan Bang Yuda, rasanya sangat cepat sekali. Aku tak menyangka, kalau hari ini keluarga Bang Yuda akan datang lagi ke rumah ini untuk melamarku. Ada sedikit rasa bahagia, ada juga sedikit rasa takut, dan ada juga sedikit rasa sedih. Karena seminggu setelah acara lamaran ini, aku akan menjadi tanggung jawab Bang Yuda sepenuhnya. Aku bukan lagi tanggung jawab kedua orang tuaku setelah aku menikah. Bahkan aku akan jarang menemui mereka, jika aku di boyong ke rumah orang tua Bang Yuda.
Aku tak kuasa menahan air mataku. Sesak rasanya di dada. Walaupun masih satu minggu lagi, tapi entah kenapa rasanya seberat ini meninggalkan orang tuaku.

"Loh, yang mau nikah, kok ngalamun?"

Aku terkesiap, segera mengusap air mata di pipiku agar Abangku tidak melihat aku menangis. Aku hanya menyunggingkan senyuman di depan Abangku. Bang Wahyu kini duduk disebelahku.

"Kenapa?" tanya Bang Wahyu sambil mengelus rambutku dengan lembut.
"Nggak apa-apa, Bang," balasku disertai senyum tipis.

"Yang mau jadi penganti jangan banyak ngalamun. Nggak baik." Bang Wahyu menasehatiku.

"Iya, Bang. Karin nggak ngalamun kok," elakku.

"Ya sudah. Siap-siap gih, bentar lagi Yuda sama keluarganya datang."

Aku hanya mengangguk, segera beranjak menuju kamar.
Aku tidak tahu jika Bang Wahyu akan datang hari ini. Biasanya dia sangat sulit untuk mendapatkan cuti panjang. Tapi katanya, dia ambil cuti akhir tahunnya untuk pulang ke Jakarta. Bang Wahyu juga tidak menyangka saat mendapat kabar aku akan menikah dengan Bang Yuda. Karena yang Bang Wahyu tahu, aku akan menikah dengan Aziz. Tapi Bang Wahyu malah bersyukur aku akan menikah dengan Bang Yuda. Katanya, lebih pantas dengan Bang Yuda dari pada dengan Aziz. Ya iya lah, Bang Wahyu lumayan kenal dekat dengan Bang Yuda karena Bang Yuda adik kelas Bang Wahyu, waktu dulu di MAN.

Tok... tok... tok...

"Rin. Udah siap belum, Ndo?"

Terdengar Ibu memanggilku dari balik pintu kamarku. Aku segera beranjak membukakan pintu untuk Ibu. "Iya, Bu."

Sosok Ibu kini berdiri di depan pintu kamarku.
"Loh, mana jilbabnya? Ayo keluar. Itu keluarga Nak Yuda sudah datang." Ibu menatapku heran.

"Iya. Karin ambil dulu," balasku. Aku segera kembali masuk ke kamar untuk meraih jilbabku yang sudah aku siapkan. Aku segera memakainya. Setelah aku merasa rapi, aku menghampiri Ibu yang masih setia menungguku.
Perasaan yang sama saat pertama kali aku bertemu dengan Bang Yuda, kini hadir lagi. Gugup, takut dan deg-degan.
Di ruang tamu sudah ada Bapak, Bang Wahyu, Bang Yuda, kedua orang tua Bang Yuda, dan satu orang lagi, wajahnya mirip seperti Bang Yuda. Mungkin dia abangnya Bang Yuda.
Kali ini, Bang Yuda mengenakan baju kokoh hitam, celana bahan hitam dan tak lupa peci putih yang menambah penampilan Bang Yuda semakin sempurna.
Ya Allah, aku mikir apa sih? Tapi entah kenapa, aku sangat senang melihat Bang Yuda jika memakai peci putih. Seperti apa yah? Aku bingung menggambarkan kalimat yang cocok mengenai hal itu.
Aku segera mencium punggung tangan orang tua Bang Yuda bergantian. Seperti biasa dan Bang Yuda hanya menangkupkan tangannya ke dada ketika tiba dimana aku harus berjabat tangan dengannya. Tapi, aku sudah hafal. Jadi aku tidak perlu mengulurkan tanganku, agar aku tidak menanggung malu untuk kedua kalinya. Begitupun dengan saudara Bang Yuda.
Bapak menyuruhku duduk di sebelahnya. Aku pun mematuhinya, duduk di tengah-tengah. Di sebelah kiriku ada Bapak dan di sebelah kananku ada Ibu. Sedangkan Bang Wahyu duduk bersebelahan dengan saudaranya Bang Yuda.

Pak Aji mulai berbicara dengan Bapak mengenai lamaran ini. Sedikit berbasa-basi diselingi dengan saling memuji satu sama lain. Aku bahkan tidak bisa konsentrasi menyimak pembicaraan Bapak dengan Pak Aji, karena aku hanya bisa menunduk tidak berani mengangkat wajahku. Bahkan, aku juga tidak tahu kalau saat ini Bang Yuda sudah menjabat tangan Bapak.
"Bissmillahirrahmannirrohim. Dengan ini. Saya, Muhammad Yuda Firdaus, menyatakan niat saya untuk mengkhitbah putri Bapak, Karina Zulaikha."
Aku hanya bisa terdiam, menelan ludahku sendiri dan berusaha menenangkan detak jantungku yang berpacu sangat hebat. Sebuah usapan halus menyapu pundakku. Aku segera menoleh. Bapak menatapku dalam keadaan tangan beliau masih menjabat tangan Bang Yuda. Aku tidak bisa berkata apapun. Bahkan mataku seolah panas ingin mengeluarkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mataku. Pada akhirnya, anggukan yang kuberikan kepada Bapak.

"Lamaran kami terima," ucap Bapak setelah aku menganggukkan kepalaku.

Lega rasanya hatiku setelah mendengar ucapan Bapak yang sangat serius dengan Bang Yuda tadi.
Senyum bahagia dan rasa syukur terlihat di wajah keluargaku dan keluarga Bang Yuda.

"Nak Karin."

Aku menoleh ke sumber suara, yang aku tahu itu suara uminya Bang Yuda.
"Iya, Umi." Aku menatap uminya Bang Yuda disertai senyum ramah.

"Nak Karin. Apa ada permintaan khusus atau ada yang ingin Nak Karin sampaikan? Seperti mahar, seserahan atau sebagainya?" tanya beliau.

Aku menoleh ke arah Bapak. Bapak hanya mengangguk. Semua orang terdiam, mungkin menanti jawabanku. Sebenarnya, aku tidak ada permintaan khusus, seperti yang dikatakan Umi Salamah. Tapi, aku hanya ingin diberi mahar khusus yang tak bernilai materi, tapi sangat berkesan. Entah itu apa, aku juga tidak tahu sesuatu itu dalam bentuk apa.
Kurasakan sebuah usapan halus di pundakku. Aku segera menoleh. Bapak kembali menatapku dengan senyuman tipis.

Bissmillahirrahmannirrahim.

Sebelum aku membuka suara, aku mengucapkan kalimat bismillah terlebih dahulu. Katanya, agar dipermudah dalam berbicara. Belum aku membuka suara, sudah disambar dulu oleh Bang Wahyu.

"Mungkin, Karin malu ngomongnya di depan calon mertua, Yud. Telepon saja nanti kalo di rumah. Tanyain, Karin maunya apa?" seloroh Bang Wahyu.

"Ih, Abang. Apaan sih? Enggak kok. Karin enggak ada permintaan apa-apa," balasku cepat.

Semua orang yang ada di ruang ini tersenyum mendengar ucapan Bang Wahyu.

"Insya Allah, nanti kalau Yuda di rumah akan segera menghubungi, Dik Karin." Bang Yida menanggapi ucapan Bang Wahyu.

Aku benar-benar dibikin malu ssma Bang Wahyu.
Bang Wahyu mah, memang begitu orangnya. Selalu bercanda jika suasana sedang tegang. Lagian ngeselin juga. Aku juga ingin berbicara, tapi sudah disambar duluan. Aku jadi batal bicara! Ngeselin banget!

Semua nampak bahagia. Sekarang, aku hanya mendengarkan rencana untuk minggu depan. Mengenai pernikahanku dengan Bang Yuda, yang tengah dibicarakan keluargaku dan keluarga Bang Yuda. Pembicaraan seperti inilah yang sebenarnya tidak ingin aku dengar. Tapi apa daya, aku tidak mampu untuk menolak. Semuanya aku serahkan pada Ibu dan Bapak bagaimana baiknya menurut beliau.
Prosesi lamaran, berjalan dengan lancar. Rencana untuk minggu depan juga sudah disetujui dari pihak keluargaku dan keluarga Bang Yuda. Setelah shalat Isya, keluarga Bang Yuda pamit pulang.

Setelah semuanya selesai, aku bergegas memasuki kamar, duduk di tepi ranjang. Pikiranku teringat akan sahabatku, Nina. Sayang sekali Nina tidak bisa datang karena dapat tugas malam. Padahal Nina pingin banget bisa melihat wajah Bang Yuda. Semoga next time Nina bisa berjumpa dengan Bang Yuda.
Justru yang tidak aku sangka adalah abangku, Bang Wahyu. Dia justru datang dari Batam tanpa sepengetahuanku. Mungkin karena mendengar aku akan menikah minggu depan, jadi Bang Wahyu langsung cuti untuk pulang ke Jakarta.
Saat seperti inilah aku merasakan bahagia karena semua keluargaku berkumpul. Kalau mereka bahagia, aku pun ikut merasa bahagia.
Mulai besok, aku sudah tidak lagi bekerja di mini market. Aku sudah ijin keluar karena akan menikah dengan Bang Yuda. Aku membuat kehebohan teman dan atasanku di sana, karena mereka kaget aku akan menikah minggu depan. Yang lebih bikin heboh lagi, ternyata aku menikah bukan dengan Aziz, melainkan dengan Bang Yuda. Karena, yang mereka tahu selama ini aku berpacaran dan aku hanya akan menikah dengan Aziz. Membuat semua karyawan mini market bertaya-tanya. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman seramah mungkin.
Keyakinanku untuk bisa bersanding dengan Aziz hanya angan-angan kelabu belaka. Kenapa aku baru menyadari sekarang, jika Aziz hanya mempermainkanku saja selama ini? Jika tidak ada kejadian perjodohan ini, mungkin aku masih mengharapkan Aziz yang tak menganggap hubungan kami serius.
Sudah lah, mungkin ini jalan terbaik dari Allah. Aku sangat bersyukur dengan semua ini.

Aku terkesiap, ketika mendengar nada pesan masuk di ponselku. Aku segera meraih ponselku yang ada di atas meja.

Bang Yuda :
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Aku segera membalasnya.
Karina :
Wa’alaikumussalam. Ada apa, Bang?

Bang Yuda :
Abang cuma mau menyampaikan sesuatu.

Aku mengernyitkan alisku melihat isi pesan Bang Yuda.
Karina :
Sesuatu apaan, Bang?

Bang Yuda :
Tentang mahar atau mas kawin. Karin ada permintaan apa?

Karina :
Karin udah bilang. Karin enggak ada permintaan apa-apa. Bang.

Bang Yuda :
Yakin? Tapi tadi Abang lihat, Karin pingin bicara. Tapi dipotong sama Mas Wahyu?

Kok Bang Yuda tahu kalau aku mau ngomong? Sejenak aku terdiam. Mencari kata-kata yang tepat untuk membalas pesan Bang Yuda. Tapi apa? Pikiranku buntu.
Karina :
Karin enggak pingin apa-apa, Bang.

Tok... tok... tok...

"Rin," terdengar seperti suara Mbak Kayla.

"Iya, Mbak. Masuk aja!" seruku.

Sosok Mbak Kayla terlihat masuk ke dalam kamarku dan berjalan ke arahku membawa sesuatu.

Bang Yuda :
Hadiah dari Abang sudah dipakai?

Aku kembali mengernyit.
Karina :
Hadiah apa?

"Rin, ini pakai." Mbak Kayla menyodorkan sebuah kotak perhiasan beludru berwarna biru berukuran sedang kepadaku.

Aku menerimanya dan membuka kotak perhiasan itu. Mataku seketika melebar melihat seperangkat perhiasan di dalamnya.
"Ini dari siapa, Mbak?" tanyaku pada Mbak Kayla, masih menatapi perhiasan yang ada di tanganku.

"Ya dari calon suami kamu lah, Rin. Udah, mbak mau keluar. Jangan lupa dipakai." Mbak Kayla beranjak pergi dari hadapanku.

Aku segera meraih ponselku.

Bang Yuda :
Ya sudah. Nggak apa-apa. Jangan dibahas.

Karina :
Oh, sudah dipakai kok, Bang. Bagus lagi. Karin suka.

Bang Yuda :
Alhamdulillah. Ya sudah, Abang masih ada amalan yang belum selesai. Assalamu'alaikum.

Karina :
Wa’alaikumussalam.

Aku kembali memandangi kotak perhiasan yang masih ada di depanku. Setelah meletakkan ponselku ke sembarang tempat, aku meraih cincin dari kotak itu dan memakaikannya di jari manisku. Satu kata untuk menggambarkan cincin yang kini tersemat di jemari manisku. ‘Indah’.
Impianku dua tahun yang lalu terwujud. Tetapi, orang lainlah yang mewujudkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro