Little Pony dan Es Krim

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Halo, Kakak!"

Masih setia memeluk lututnya, Lisa mulai mengangkat kepala yang sedari tadi ia benamkan. Spesies menyebalkan itu sudah raib entah kemana. Netra cokelat terangnya kini mendapati sosok gadis kecil yang tersenyum lebar ke arahnya.

"Siapa?"

"Nabila, Kak, panggil aja Abil. Nama Kakak siapa?" Lisa masih bergeming, menganalisis penampilan Abil dari pucuk kepala sampai ujung kaki. Gamis jingga dengan blazer kuning cerah sebagai atasannya, layaknya style seorang gadis periang. Senyuman manis dan lesung pipit yang ditimbulkannya mengingatkan Lisa pada seseorang. Tapi hanya remang-remang, benaknya tidak dapat menggambar seseorang itu dengan jelas. Abil sedikit terperanjat, segera menyerahkan sebatang es krim cokelat pada Lisa. "Ini, Kak. Es krim cokelat buat Kakak."

Demi melihatnya, Lisa segera bangkit berdiri. "Es krim cokelat! Ini buat aku?" Dalam hati, Lisa bersyukur. Akhirnya ia menemukan gadis yang lebih pendek darinya. Tinggi Abil hanya mencapai hidungnya. Ya meskipun Abil memanggilnya 'Kakak', palingan hanya selisih satu tahun.

Abil mengangguk, menyodorkan es krim di genggaman tangannya yang tentu saja diterima Lisa tanpa basa-basi. Gadis itu segera duduk dan menepuk-nepuk tempat kosong di samping kanannya, meminta Abil duduk di sana. "Eh, kamu bukan salah satu pelaku hipnotis yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, 'kan? Kau tidak berniat jahat, 'kan? Dan ini es krimnya enggak kamu kasih sianida, 'kan?"

Abil malah terbahak. "Enggak, Kak. Abil cuma taburin pelet dikit," candanya. "Lagian ngapain juga Abil jahatin Kakak."

Lisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Seharusnya dia memang tak terlalu curiga pada gadis yang jelas berusia lebih muda dari padanya. Tapi ... kejahatan tak memandang usia, 'kan? "Ya, kali aja kamu mau nyulik aku. Secara aku 'kan kembaran Lisa Blackpink."

Demi menjaga image, Lisa hendak menolak es krim itu. Tapi, melihat lelehan cokelat menggoda dengan kepulan asap dingin yang menguar darinya, Lisa meneguk ludah. Es krim itu seakan melambai padanya sambil mengatakan, 'Ayolah, Lisa Sayang. Ini akan terasa menyenangkan!'

Ah, terserahlah. Mau dia penipu, penghipnotis, penjahat, atau bahkan peracun sekalipun, Lisa tak peduli. Lisa masih bisa memikirkannya belakangan. Sejak tadi, kerongkongannya kekeringan minta diisi. Dan tanpa basa-basi lagi, Lisa melahap es krim itu dengan ganas.

"Oh, iya. Namaku Lisa," ucapnya ketika hampir melupakan Abil karena terlalu sibuk menyantap makanan favoritnya. "Kamu kelas berapa?"

Abil menuruti permintaan Lisa sebelumnya dan duduk manis di sebelahnya. "Kelas satu SMP, Kak."

Duar!

Hampir saja Lisa tersedak lelehan es krim cokelat di mulutnya. Kelas satu SMP. Kelas-satu-SMP. Selisih lima tahun dan tingginya hanya kurang beberapa senti dari Lisa. "Kelas satu SMP?!" pekik Lisa tak terima. Aku yang kelamaan tumbuh, atau dia yang kelebihan hormon, sih?!

"Iya, Kak. Biar Abil tebak. Kakak pasti ... kelas tiga SMA, kan?" Melihat Lisa yang masih tak bergeming, Abil terbahak kegirangan karena tebakannya benar. Padahal ia hanya sekadar menebak, menyesuaikannya dengan satu tahun di bawah jenjang pendidikan abangnya. Meskipun postur tubuh kecil Lisa sempat membuatnya ragu, sih. Seakan tahu yang tengah bergelayutan di pikiran Lisa, Abil segera menambahkan, "Tak apa, Kak. Tenang saja. Abil juga paling pendek kok, di sekolah."

Mendengar itu, bukannya tenang, Lisa justru semakin kebakaran jenggot. Kalau Abil saja yang tingginya hampir sama dengan Lisa merupakan paling pendek di sekolah, bagaimana dengan siswa lainnya? Lisa menggeleng keras memikirkan bagaimana jika ia berada di antara siswa SMP itu. Mungkin setiap saat, ia harus menengadah untuk menatap wajah mereka yang tinggi menjulang bagaikan kokohnya cinta Lisa pada Abang Ganteng. Gila, anak kelas satu SMP zaman sekarang nyeremin abis!

"Oh, iya. Ini buat Kakak." Abil menyerahkan balon pada genggaman tangan Lisa.

"Yeay, Little Pony!"

Abil tertawa cekikikan melihat Lisa yang memekik kegirangan mendapatkannya. Gadis kelas tiga SMA itu sampai memeluk balonnya erat-erat, seakan takut kehilangan. "Kakak suka banget Little Pony, ya?"

"Suka banget!" Lisa berseru antusias, memperbaiki letak kerudungnya. Seseorang di balik dinding dengan radius jarak lima meter memicingkan matanya.

Ponsel Abil bergetar, ia segera undur diri pada Lisa, menjauh dua langkah dan mengangkat panggilan telepon dari abangnya. "Apaan, Bang?"

"Telapak tangan dia luka. Luka gesek, kayaknya. Kau ketua PMR masa depan, 'kan? Sana obatin."

Tut, tut. Abil menatap layar ponselnya penuh tanya, memastikan sambungan telepon benar-benar terputus. Aneh. Jarang-jarang kuantitas dan frekuensi abangnya menelepon sebanyak ini dalam rentang waktu kurang dari sepuluh menit.

"Kak." Abil mengangkat salah satu telapak tangan Lisa yang masih memeluk balon pemberiannya. "Tangan Kakak luka, ya?"

"Oh, i-iya. Haha." Lisa tertawa hambar, mengingat kejadian tadi membuat moodnya memburuk saja.

"Sini, biar Abil obatin."

Lisa terperanjat kaget, menatap Abil dengan mata berbinar. "Serius?"

"Iya. Gini-gini juga, Abil tuh kepilih jadi calon ketua PMR sekolah, Kak. Baru calon staf, sih. Apalagi Abil masih kelas satu. Tapi Abil udah percaya diri banget sambil berkali-kali pamer ke Abang." Abil nyengir, merasa bangga menceritakannya. "Wah, lukanya hampir mengering, Kak. Udah berjam-jam, ya? Ada kotoran di dalam lukanya, lho. Harusnya dibersihin dulu, nanti infeksi."

"Abil, kamu tuh siapa, sih? Jangan-jangan malaikat yang dikirim Abang Ganteng buat jagain aku, ya?"

Mendengar itu, Abil tertawa. "Abang Ganteng siapa? Abangnya Abil enggak ganteng, Kak. Buluk dia, tuh." Keduanya terbahak.

Ponsel Abil bergetar sekali. Notifikasi pesan WhatsApp muncul di layar pemberitahuan.

Abang Jahanam
Kamu ngatain Abang buluk?
Telingaku masih berfungsi dengan baik.
I see you.

Abil mendengus, malas menanggapi. Ia lebih memilih mengajak Lisa mengobrol sambil mengobati luka Lisa dengan obat merah yang selalu ia bawa. Calon ketua PMR sekolah, gitu, lho. "Dengar-dengar, Kakak suka K-POP juga?"

Demi mendengar Abil yang melompat mulus ke topik berikutnya, sejenak Lisa melupakan Little Pony di pelukannya. "Suka. Di sana ada kembaran aku soalnya."

"Kakak fandom Blink, ya? Kalo Abil fandomnya Once. Gigi kelinci Kakak ngingetin Abil sama Nayeon, lucu tahu. Dia bias Abil."

Mendengarnya, Lisa hanya manggut-manggut dengan tampang begonya. Jujur saja, gadis itu tidak begitu tahu seluk-beluk dunia K-POP. Ia pun menyatakan diri sebagai seorang K-POPers karena salah satu temannya memberi tahu Lisa ada idol K-POP ternama yang namanya hampir mirip dengan Melisa. Demi mendengarnya, Lisa segera streaming YouTube dan berkali-kali mencuri wi-fi Syaima diam-diam. Sejak saat itu, Lisa sering berkoar-koar pada setiap orang yang ditemuinya bahwa ia kembaran Lisa yang nyungsep di Indonesia.

"Eh, kok kamu bisa tahu aja aku lagi butuh es krim sama balon Little Pony di saat hatiku gundah-gulana kek gini?"

Abil nyengir saja dibuatnya. Mana dia tahu. Abangnya tuh yang gak jelas, enggak ada angin enggak ada hujan, tiba-tiba ngirim geledek minta Abil deketin Lisa. Mana beli es krim sama balon dari uang jajannya bulan ini, pas ditagih kompensasinya di rumah, pasti abangnya mendadak amnesia. Macam di sinetron gitu. "Lukanya udah selesai diobatin, Kak. Jangan sampai kena objek dulu, ya. Biarin obat merahnya kering."

Lisa manggut-manggut saja sambil meniup-niup luka di telapak tangannya dengan wajah polos khas miliknya. Tanpa Lisa sadari, seseorang yang mengintip di sisi dinding radius lima meter dari arahnya tengah sibuk menahan tawa. Entah kenapa, tingkah Lisa terlihat sangat menggemaskan. Kayak anak kecil, batinnya.

Tepukan di pundaknya mengalihkan perhatian lelaki itu. "Fidz, lagi ngapain?"

Hafidz berdeham, memperbaiki raut wajah. "Enggak apa. Kau dari mana saja? Aku nungguin dari tadi."

"Maaf, tadi aku ada urusan dulu."

Hafidz menatap sahabatnya dengan tatapan menyelidik. "Kayaknya kau lagi seneng banget, ya? Perasaan, tuh senyum enggak lepas-lepas dari tadi," ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman.

Je tertawa kecil, memperlihatkan gingsul manisnya. "Just a little meeting my past. Cuma mengurai kisah di tengah temu yang kian semu. Hm, udahlah. Langsung aja. Mau mampir ke toko buku? Minggu kemarin enggak jadi ,'kan? UAS udah deket, lho."

"Oh, iya. Bentar, ya." Hafidz melangkah ke lain sisi masjid, mencari kontak seseorang dan menekan tombol calling. Untuk terakhir kalinya, ia melirik Lisa.

Maaf, selama akad belum terucap, aku lebih memilih prinsip matahari ketika malam tiba. Memancarkan sinarku padamu lewat perantara pantulan sang purnama.

Drrtt, drrtt! Ponsel Abil bergetar, membuat Lisa menatapnya penuh tanda tanya.

Abang Jahanam is calling...

Abil meringis, meminta izin pada Lisa untuk mengangkat telepon. Setelah mengambil dua langkah menjauh, Abil menggeser tombol answer. "Apaan, Bang?"

"Mission completed. Kau pulang saja, sana."

Abil mendengus kesal. "Dih, sembarangan. Enggak mau. Abil udah nyaman, mau main dulu sama Kak Lisa. Masa disuruh pulang gitu aja. Rasanya tuh kayak ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya. Sakit, Bang. Sakit."

"Enggak. Disuruh balik, ya balik sana."

"Enggak." Abil sama batunya. "Sebel, soalnya pasti, nanti Abang enggak ganti uang Abil."

Hafidz berdecak. "Iya, iya. Nanti Abang ganti."
Abil tertawa cekikikan mendengarnya. "Awas aja ya, Bang. Kalo engg--"

Tut, tut.

"Kebiasaan, deh. Abang Jahanam matiin telepon enggak ada pamit-pamitnya. Manggil-matiin telepon sama-sama mendadak. Kayak Jailangkung aja!"

◾◾◾

"Bang Hafidz! Abang pulang dari toko buku?!" Seruan itu menyambut indera pendengaran Hafidz begitu menginjakkan kakinya di dalam rumah.

"Assalamu'alaikum," sapanya, tak menanggapi perkataan adik laknatnya.

"Wa'alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh, Abang pulang dari toko buku?" ulangnya, tak menyisakan waktu untuk menarik napas sedikit pun.

"Matamu masih berfungsi, 'kan?" balasnya sambil berlalu begitu saja dengan buku tebal di tangannya yang dapat Abil pastikan merupakan buku mengenai ilmu-ilmu kedokteran yang rumitnya bisa berefek mengepulkan otak seharian.

"Yailah, Abang bisa enggak sih, ngomong lembut-lembut sama adek sendiri." Abil memajukan bibirnya beberapa senti. "Padahal Abil kepengen banget beli novel. Abang jahanam banget. Ajak Abil atau beliin buat Abil, kek. Gak ada romantisnya banget sih, jadi abang. Mana uang tadi belom diganti, lagi!"

Hafidz menghentikan langkahnya, berbalik untuk membuka telapak tangan Abil dan menyerahkan selembar uang bercetak gambar Pangeran Antasari. Sontak saja, Abil melayangkan keberatannya, "Wey, Bang. Ini 2018, lho. Dua ribu mana laku."

"Ya udah, kalau kamu enggak mau, Abang kantongin lagi, sini."

Mau tak mau, Abil menggenggam dan merangsekkannya masuk ke dalam saku gamisnya dengan emosi tertahan. "Eh, Bang. Kakak lucu tadi, siapanya Abang? Abang kelihatan peduli banget. Hayoloh, siapa?"

Demi mendengarnya, langkah Hafidz benar-benar terhenti. Kemudian berbalik dan menyentil dahi adik kecilnya itu. "Asem ya, kamu. Kecil-kecil udah berani main-main ledekin Abang. Belajar yang rajin, sana."

Kini, Abil bergeming saja melihat abangnya melangkah masuk kamar. Yang pasti, Abil menahan senyum, merasa cukup tahu apa yang tengah di pikirkan Abang tersayangnya itu.

Karena Abil melihat senyuman serta binar cahaya yang sebelumnya tak pernah terlihat menghiasi kedua bola mata itu.

◾◾◾

Tombol bintang dan ketikan komenmu sangat berharga dan akan selalu menjadi moodboosterku. Stay tune!

Cheers,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro