Reformasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ama!" Pekikan riang yang sudah tak asing di telinga Syaima itu memenuhi setiap sudut halaman masjid agung Tasikmalaya.

"Maa syaa Allah," refleks Syaima, menatap penampilan makhluk absurd di hadapannya yang kini terlihat sangat berbeda. Kerudung merah muda mencapai perut, gamis terusan biru muda dengan dilapisi jaket hitam kesayangannya. Ia lebih memukau meskipun terlihat kedodoran dan menampilkan dengan jelas betapa kerempeng tubuhnya. "Kau jadi kelihatan cantik banget, Sa. Sampai pangling mataku melihatnya."

Pantas saja pagi ini mentari bersinar begitu terangnya. Terlihat anggun tertutupi gumpalan awan putih cemerlang yang menghiasi angkasa raya. Tak heran hari ini sangat cerah.

Lisa terbahak kegirangan. "Dari lahir, Lisa tuh udah cantik maksimal. Baru sekarang, kamu nyadar?"

"Hush," tegur Syaima. "Muslimah baik tidak pernah tertawa berlebihan."

Lisa berdeham, memperbaiki ekspresi. "Oh, iya. Biasanya, ikhwan-ikhwan alim itu lebih suka wanita anggun dari pada wanita bobrok kayak aku, ya." Gadis itu menampilkan cengiran lebarnya. Terlihat bangga menyatakan diri sebagai 'wanita bobrok'.

"Lebih tepatnya gini, bagi seorang wanita, rasa malu itu suatu hal yang penting. Bahkan suatu hadis pernah mengatakan bahwa apabila hilang rasa malu pada seorang wanita, hilang pulalah seluruh kebaikannya."

"Oke, Lisa, stay cool," petuahnya pada dirinya sendiri. "Harus bisa jaga image depan calon imam."

"Yang lebih penting itu jaga image di hadapan Allah," koreksi Syaima, lagi.

Lisa mendengus sebal. "Iya, deh!"

Syaima terkikik sambil menutup mulutnya. "Aku seneng sih, bisa lihat kamu syar'i banget kayak gini. Semoga istiqomah, ya."

"Pasti! Biar Abang Ganteng juga istiqomah dalam mencintaiku. 2018, kembaran Lisa Blackpink road to hijrah. Reformasi, dimulai!"

Syaima menggeleng. "Stop dramatis, ya, Sa."

Lisa melirik jam tangan biru laut yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. "Masih ada lima belas menit sebelum pengajian di mulai. Aku ke sana dulu, ya. Beli cemilan." Lisa menunjukkan cengiran lebarnya. Baginya, cemilan adalah hal paling penting ketika mendengar ceramah. Biar enggak ngantuk, katanya.

Syaima tersenyum memaklumi kepribadiannya dan memilih untuk masuk masjid terlebih dahulu.

Angin segar pagi hari memainkan lembut jilbab merah muda Lisa. Gadis itu menatap bergantian jajaan pedagang makanan dan minuman di setiap sisi trotoar.

Netranya berhenti di gerobak sederhana dengan tempelan huruf membentuk kalimat 'Batagor si Mang Handsome. Batagor Spesial, dari Mang Spesial, untuk Kamu yang Spesial.' Langkah Lisa terhenti, diiringi seruannya, "Mang, batagor spesialnya satu, ya. Enggak usah pake pedas. Bonteng, kecap, sama bumbu kacangnya yang banyak, ya."

"Siap, Neng."

Lisa memutuskan menunggu sambil memainkan game Happy Mall Story di ponselnya. Meskipun sering dibilang 'membosankan dan enggak ada gunanya' oleh teman-teman sekelas, bagi Lisa game ini bisa mengasah kemampuan berwirausaha dan belajar mengelola keuangan dengan baik. Biar bisa jadi istri idaman buat Abang Ganteng, gitu. Padahal, itu semua hanya kamuflase. Selera Lisa memang anti-mainstream, cuy.

Sedang asyik-asyiknya memilih item baru, tiba-tiba saja terdengar keributan di sekelilingnya. Mengingat refleks Lisa yang cukup buruk, tiba-tiba saja tanpa sadar ia sudah terjerembab ke jalan aspal, nasib baik tidak dilalui kendaraan karena posisinya seakan dipagari para pedagang. Ponselnya terbanting di dekat Mang batagor. Kedua kulit telapak tangannya bahkan tergores dan berbagai debu hingga butiran kerikil aspal hinggap di sana. Rasanya sangat perih, mengingat kedua telapak tangannya dijadikan tumpuan untuk mengurangi pergesekan dengan jalanan aspal. Setelah mengantongi ponselnya, Lisa bangkit dan menepuk-nepuk sisa debu di pakaiannya.

Padahal, ini spesial buat Abang Ganteng.

"Heh, kutil unta!" Tanpa malu, Lisa berteriak begitu saja begitu tahu dua pemuda seusianya yang merupakan biang keroknya. "Jalan pake mata enggak, sih?!"

"Jalan ya pake kaki, Mbak," cibir salah satunya membuat Lisa semakin kebakaran jenggot dan menunjuk-nunjuk kedua pemuda itu dengan amarah meledak-ledak.

"Pantesan aja lu nabrak. Punya mata tuh gunain fungsinya. Masih mending kalo elu jalan tepi jurang, palingan is death di tempat. Lah ini, nabrak orang. Bukannya minta maaf, malah bikin naik pitam. Ngajak ribut lu?!"

"Wes, si Mbak sok jagoan gitu, sih. Mbak tuh ngaca sana. Udah pake pakaian sok suci, tapi tingkah laku masih kayak preman. Perbaiki dulu hatinya tuh, Mbak. Jangan sampe ngebusuk."

Kedua pemuda itu tertawa, yang lainnya kembali menimpali, "Yoi, Bro. Biasanya sih, tipikal cewek enggak laku yang nyari sensasi di kalangan akhi-akhi ganteng."

Tangan Lisa mengepal kuat, menahan gejolak emosi yang kian menggerogoti setiap sudut hatinya. Ia bergeming, membiarkan dua pemuda itu pergi dari hadapan matanya.

Sialan, sialan!

Tanpa sadar, giginya bergemeletuk sejak tadi. Napasnya naik-turun tak beraturan. Dadanya sungguh sesak. Ya, ia sangat kesal. Kesal karena perkataan dua pemuda sialan itu benar adanya.

◾◾◾

Lisa tak bisa fokus ketika pengajian dimulai. Gadis itu bahkan mengabaikan Syaima di sebelahnya. Lisa hanya sibuk membabat habis batagor di genggaman tangannya sambil menatap ustadz muda yang tengah naik daun itu di atas mimbar dengan mata membara penuh emosi. Syaima hanya bisa menghela napas, entah apa lagi yang terjadi pada sahabat absurdnya itu. Yang pasti, anak itu tidak baik-baik saja. Dan bertanya 'ada apa' justru akan memperburuk suasana hatinya. Kalau sudah seperti ini, Lisa pasti menjadi macan betina ganas yang bisa menerkam kapan pun apabila merasa terganggu.

Sampai pengajian berakhir, Syaima masih mendiamkan Lisa, menunggu anak itu angkat suara lebih dulu. Bahkan ketika Syaima dipanggil seseorang, ia hanya menepuk pundak Lisa, bermaksud undur diri sebentar.

Tinggallah kini ia sendiri masih duduk, berdiam diri di halaman masjid. Hari ini terasa menyebalkan. Berawal dari dua pemuda sialan itu yang membuatnya kesal setengah mati. Satu-satunya yang dapat memperbaiki mood hancur Lisa saat ini hanyalah Abang Ganteng seorang. Tapi Lisa tak menemukan sorot mata lembut, kacamata dengan frame tebal bertengger di hidung mancung, rahang tegas dan perawakan tegap penuh sopan-santun itu sejak tadi. Jangan sampai minggu lalu itu pertemuan pertama sekaligus terakhirnya dengan Abang Ganteng. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.

Angin siang berhembus lembut, membuat Lisa refleks memeluk tubuh kerempengnya yang dibalut gamis berlapis jaket kedodoran. Gemerisik suara daun di kejauhan sangat ampuh menenangkan hatinya. Namun sialnya, dengan segala kenyamanan ini, ilusi Lisa mulai berhamburan ke mana-mana.

"Sudah, tak perlu dengarkan apa kata mereka." Entah sejak kapan, Je--panggilan akrab Abang Ganteng yang Lisa ketahui dari kegiatan stalking-nya lima hari terakhir--lelaki paling dinantinya setiap detik gemerisik, kini telah duduk manis di samping Lisa. "Let your smile change the world, but don't let the world change your smile. Biarkan senyummu mengubah dunia, tapi jangan biarkan dunia mengubah senyum indahmu."

Tanpa berniat menanggapi, Lisa merasakan sentuhan lembut di kepala yang mengarahkannya agar bersandar pada bahu kokoh itu. Ah, sejak lama Lisa sangat mendambakannya. Tempat ternyaman yang pernah ia rasakan. Jilbab merah muda Lisa terasa dielus lembut lelaki itu. Seandainya mampu, Lisa ingin menghentikan waktu untuk saat ini. Ia ingin merasakan sentuhan lembut serta sandaran hangat itu lebih lama lagi.

"When i see your face, theres not a thing that i would change. Cause you're amazing, just the way you are. And when you smile, the whole world stops and stares for awhile. Cause girl you're amazing, just the way you are." Senandung lembut menyapa indera pendengaran Lisa. Suara merdu itu. Lisa seakan mendengar Shawn Mendes menyanyikan Just The Way You Are-nya Bruno Mars secara live, spesial untuknya seorang. Bang Je benar-benar romantis.

"Eh, cewek sengklek minggu kemarin."

"Abang Ganteng, kok suaranya berubah falset gini, sih? Nyanyiin aku lagi, dong. Lagu Perfect-nya Ed Sheeran!"

Hafidz, teman Je yang berlesung pipit kemarin mengerutkan kening penuh heran melihat gadis aneh itu berkata melantur sambil memejamkan matanya erat. "Bangun, Tong! Ilermu leleh. Najis mugholadzoh! Ini masjid, hei."

Seruan ribut itu sukses membuat mata Lisa terbuka dan benar saja, air liurnya sudah mengalir deras, meninggalkan jejak memanjang di pipi dan sedikit kerudung merah mudanya. "Dodol!" seru Lisa sebal. Hari ini, semua orang rasanya sangat menyebalkan. "Kok, malah cecunguk buluk yang nongol? Abang Ganteng mana?" Ia segera menolehkan kepalanya ke sebelah kiri, tempat tadi ia bersandar pada bahu kokohnya Abang Ganteng.

Tapi, tidak ada siapa pun. Hanya ada tiang bercat putih penyangga atap langit-langit masjid. Lisa mulai menelan ludah. Jangan bilang, tadi semua hanya imajinasinya. Abang Ganteng yang menghiburnya, menjadi sandaran kepalanya, mengelus jilbabnya lembut, sampai menyanyikan lagu penuh asmara itu ... hanya ilusi semata?

Tidak. Tidak. Lisa tidak mau mempercayainya begitu saja. Jelas-jelas tadi ia mendengar suara Abang Ganteng. Tapi Lisa tak bisa mengelak lagi ketika melihat aliran basah di sisi tiang sebelah kirinya. Itu benar-benar air liurnya. Hua, rasanya Lisa ingin menangis sambil berteriak sekencang-kencangnya.

Ternyata realita memang tak seindah ekspektasi, gengs.

Netra cokelat terangnya bergerak ke sana-kemari, mencari sosok yang mengisi hatinya sejak satu minggu terakhir. Namun yang ia dapati hanya Hafidz dengan wajah songongnya yang sungguh demi apa pun ingin Lisa santet atau minimal melemparkan kotoran ayam ke arahnya. Kan bagus, tuh. Supaya wajah busuk Hafidz semakin terlihat membusuk.

"Udah pake jilbab syar'i, perhatiin lagi akhlaknya. Hijrah tuh bukan sekadar ganti cover."

Detik itu juga, rasanya Lisa sulit bernapas. Uh, lagi-lagi kalimat menyakitkan itu. Mengingatkannya pada perkataan dua pemuda tadi.

"Mbak tuh ngaca sana. Udah pake pakaian sok suci, tapi tingkah laku masih kayak preman. Perbaiki dulu hatinya tuh, Mbak. Jangan sampe ngebusuk."

"Yoi, Bro. Biasanya sih, tipikal cewek enggak laku yang nyari sensasi di kalangan akhi-akhi ganteng."

Tawa menyebalkan mereka kembali terngiang-ngiang di benak Lisa, membuat kepalanya seakan ingin pecah saat itu juga. Tanpa sadar, air mata meleleh di kedua sudut matanya. Kalau boleh berterus-terang, Lisa ingin menangis sejak awal bertemu kedua pemuda sialan itu. Tapi tertahan oleh emosi yang lebih dominan. Baru kali ini, ia seakan ingin menumpahkan semuanya. Tak peduli lalu-lalang manusia dan makhluk sialan di sampingnya. Ia terisak.

Hafidz benar-benar gelagapan. Aduh, apa kalimatnya tadi terlalu berlebihan? Melihat gadis periang itu menangis tiada henti membuat tangannya tak sabar ingin menghapus air mata itu.

Ingat dosa, Fidz. Inget dosa, petuahnya pada setiap penjuru hatinya.

Hafidz teringat sesuatu. Ia mengambil beberapa langkah menjauh, untuk menghubungi seseorang. "Bil, kau di mana? Cepet ke sini, ya. Halaman masjid pinggir tempat wudhu akhwat."

"Apaan, Bang? Abil enggak denger kata 'tolong'-nya."

"Dasar hitungan. Udah cepet sini, beliin es krim cokelat sama balon ... apa, ya?" Hafidz menatap sekeliling dan mendapati tas selempang Lisa menunjukkan gambar Little Pony. Benar-benar selera bocah. "Oh, balon Little Pony. Abang tunggu secepatnya." Tanpa berkata apa-apa lagi, Hafidz menutup telepon itu secepatnya.

Begitu melihat gadis kelas satu SMP datang dengan wajah kebingungan, lelaki itu segera bersembunyi di balik dinding masjid radius lima meter dari sosok Lisa yang masih terisak sambil menenggelamkan wajahnya di antara gamis kedodorannya dengan tangan melingkar memeluk lutut. Ponsel Hafidz bergetar.

Abil Lucknut is calling...

"Kau samperin anak ilang, eh, maksud Abang, cewek yang lagi nangis di pojokan tiang itu. Bisa kau lihat? Sip, Abang mau kau menjalankan misi ini dengan baik."

Maafkan aku yang masih berlabel haram untuk membuatmu nyaman.

◾◾◾

Aku kembali menyapa kalian di bab 2 project ini! Fyi, bab 2 yang asli judulnya Majelis Squad. And do you know what's happened? PART-NYA NGILANG GITU AJA DARI PEREDERAN MiL, CUY! Nasib baik, ada atau enggaknya bagian itu enggak sampai menciptakan plot hole di work ini, haha.

Tenang aja, aku masih punya ketersediaan stok sabar yang mencukupi, kok. See you next page!

With Love,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro