Daniel?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beribu pertanyaan langsung muncul di benakku. Tanpa sadar aku pun mengikuti gerakan Daniel masuk ke sekolah. Tetapi Baru beberapa langkah melewati gerbang aku pun ditarik oleh Pak satpam.

"Eh, kamu mau ke mana kamu nggak usah ngikutin dia. Kamu harus dihukum karena terlambat."

Aku pun menarik nafas lalu membuangnya kasar. Masih saja ada perbedaan di sini. Padahal aku dan Daniel sama-sama terlambat.

"Pak, kenapa aku saja yang dihukum. Kenapa dia nggak?"

"Lho, kamu dan dia itu kan beda. Sudah jangan bicara cepat ke lapangan hormat di depan tiang bendera."

"Tapi, Pak…."

"Sudah, jangan banyak tapi, atau kamu mau saya keluarkan lagi dari sekolah."

"Huft, iya."

Aku pun menuruti perkataan Pak satpam. Menuju lapangan dan hormat di depan tiang bendera. Aku tidak habis pikir kenapa hanya aku yang dihukum.

Tak lama aku melakukan itu ternyata Daniel menyusulku dia pun melakukan hal yang sama. Aku pun menegurnya.

"Ngapain di sini? Bukannya lo lolos dari hukuman?"

Aku sengaja memulai pembicaraan terlebih dahulu. Baru beberapa detik saja aku sudah bosan melakukan hal ini.

"Gue terlambat sama kayak lo!"

"Alah, lo paling cuma pengen ngeledek gue doang kan?"

"Nggak."

"Udah, jujur aja."

"Nggak. Nggak guna banget harus ngeledek lu."

"Idih."

"Gue ke sini karena kasihan sama lo, biar nggak kelihatan lu bego sendirian."

"Dih, nggak usah sok peduli, gue telat juga gara-gara lu tadi."

"Hmm!"

Huh, dia menyunggingkan bibir, meledek. Mau sampai kapan dia terus ngeledekin kayak gini. Sebenarnya mau dia apa. Susah sekali ditebak.

Aku terus mengamati Daniel. Dilihat dari dekat bener Apa kata Septi. Dia benar-benar terlihat tampan. Seperti aktor korea yang sering kutonton bersama dengan Septi di rumahnya. Pantas saja Septi mulai bucin memang dia tampan.

Huh, apa-apaan sih aku. Kenapa jadi mikirin dia kayak gini.

Tak lama kulihat Bu Eni sedikit berlari menghampiri kami dari ruang guru. Sesampainya di depan kami. Dia pun menarik nafas membuangnya kasar menatap kepada Daniel dengan tatapan kecewa.

"Della cepat masuk kelas!"

Ah akhirnya. Aku selamat dari siksaan dan terik matahari. Mana lupa pakai sunscreen lagi gara-gara buru-buru. Bisa-bisa kulitku menghitam lagi, setelah susah payah aku putihkan kemarin.

"Baik Bu."

Aku pamit kepada Bu Eni. Terdengar samar-samar Bu Eni seperti memarahi Daniel. Sesekali aku melirik karena kepo tapi tidak mungkin aku terus berdiri di sana. Bisa-bisa aku kena hukuman tambahan dari Bu Eni.

Jika dilihat, obrolannya seperti ibu dan anak. Apa benar Daniel anaknya Bu Eni. Kok bisa sifatnya jauh berbeda. Apa aku saja yang belum kenal? Ah, males sekali aku memikirkan hal yang bukan-bukan seperti ini.

Sesampainya di kelas, Septi langsung menghampiriku sepertinya dia khawatir.

"Del, lo nggak kepanasan berdiri kayak tadi. Terus terus pacar gue Daniel gimana? Dia agak hitam nggak setelah berjemur tadi? Terus gue lihat Bu Eni nyamperin. Dia ngasih hukuman tambahan nggak buat lu?"

Hadeuh, belum juga nyampe tempat duduk kepalaku juga masih kliyengan pertanyaan sudah banyak bermunculan. Kalau bukan Septi sahabatku sudah ku sentil kupingnya.

"Sep, gua duduk dulu ya sumpah panas banget gue mau minum."

"Ah, iya. Sorry lupa."

Setelah duduk ku jelaskan secara rinci kepada sahabatku itu apa yang terjadi kemarin dan pagi tadi hingga sekarang.

"Ah, begitu. Gue udah ngira kan, kalau Daniel itu emang anaknya Bu Eni lo sih nggak percaya."

"Iya, iya, sekarang gue percaya sama lo. Lo tau kan gue ini bukan orang yang suka makan gosip mentah-mentah tanpa lihat fakta."

"Hmm, kadang gosip itu fakta yang tertunda Lu harus paham. Oh iya mengenai Sita apa lo udah ambil duit lo?"

"Ah, iya. Untung lu ingetin. Tadi kan gua telat datangnya jadi belum lah."

"Hmm, oke. Gue temenin lu ya nanti istirahat kita temuin Sita."

"Oke."

Selang beberapa menit akhirnya Daniel masuk kelas. Dia langsung menghampiri tempat duduk di belakang aku dan juga Septi dengan tampang kesal. Setelah duduk, Septi berbalik arah.

"Dan, are you ok? Kok bisa si telat? Lo kan anak baru disini. Jangan kasih kesan yang jelek dong," celoteh Septi. Aku enggan ikut mengomentari Daniel. Aku malas nanti dia malah menyerangku dengan kata-katanya seperti tadi.

"Tadi kesiangan bangun!"

Daniel menjawab dengan pelan. Kok dia lembut sama Septi. Kenapa sama aku kasar, ya. Apa mereka kemarin saling kenalan sampai akrab.

"Uh, makanya lokasi nomor lo sini, biar gue telponin setiap pagi jadi lu nggak telat lagi deh."

Ku lirik Daniel mengeluarkan ponselnya dari kantong. Dia terlihat mencari sesuatu.

"Nih, save nomor gue."

"Oke."

Aku tidak percaya dengan pemandangan ini Daniel menyerahkan nomornya begitu saja kepada Septi. Dia pun berbicara lembut kepada Septi. Tapi kenapa kepadaku dia sangat kasar. Benar-benar keterlaluan orang ini. Ah, aku malas ikut campur. Bodo lah, terserah mereka mau apa. Aku benar-benar malas.

Setelah saling bertukar nomor Septi lalu merangkulku. Dia menggoyangkan tangan tersenyum seperti menahan tawanya. Terlihat Dia sangat girang sekali.

"Aduh, gue senang banget Del, pokoknya lo buat traktir nanti. Ahh, gila, seneng banget gue!"

Hmm, meski bete nggak denger celotehan Septi yang terlalu senang mendapatkan nomor Daniel. Tapi aku bersyukur bisa mendapat traktiran gratis.

**

Hari berlalu begitu cepat. Seminggu sudah setelah peristiwa ibuku ditabrak lari oleh mobil. Hari ini ada pertandingan basket antar sekolah di GOR kecamatan. Aku pun sudah meminta izin ibu dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Setelah menghias wajah dan berpakaian rapi aku pun pamit pergi kepada ibu.

"Hati-hati. Ingat, pesan Ibu kalau ada apa-apa telepon Ibu, ya."

"Iya, Bu."

Tin…
Tin…

Sepertinya Septi sudah datang klakson mobilnya sudah berbunyi. Setelah bersalaman dengan ibu aku langsung keluar dari rumah.

Aku pun tersenyum ketika menaiki mobil ternyata Septi tidak membawa sopir kali ini melainkan dia membawa mobilnya sendiri.

"Lo udah bisa bawa mobil sekarang?"

"Udah dong, gimana? Keren kan?"

"Ah, lah emang selalu keren mau gimana juga."

"Hmm, bisa aja nih bebeb gue bilang aja mau ditraktir."

"Haha, tahu aja."

"Ya udah, jalan yuk gua pengen ketemu ayang gua main basket."

Aku mengangguk menanggapinya.

Memang seminggu ini dia sekolah sedang dikejar permainan basketnya. Mungkin karena pertanian hari ini. Daniel resmi bergabung di tim basket. Setelah tes yang dilakukan oleh Pak Komar waktu olahraga kemarin.

Setelah Daniel masuk tim basket beberapa anak perempuan pun mengantri menjadi tim cheerleaders, termasuk Septi.

Aku benar-benar heran sama perempuan yang ada di sekolah apa hanya Daniel lelaki tertampan di sana. Padahal sebelum Daniel masuk ke sekolah juga ada beberapa yang tampan. Misalnya Iksan, dia juga tampan dan pintar. Idolaku.

"Heh! Ngelamun. Mikirin apa sih?"

Ucapan Septi membuatku terpaku. Seketika lamunanku buyar. Tanpa sadar sedari tadi aku naik mobil aku memikirkan Daniel. Jangan sampe aku suka sama dia. Amit-amit.

"Hei? Lu nggak lagi dalam masalah kan Del?"

"Hah, iya. Nggak kok. Maaf ya gua bengong gua kurang tidur aja sih"

"Hmm, pasti lo mikirin pendapatan lo ya. Gue liat seminggu ini lo sepi job?"

Bener apa yang Septi katakan. Bahkan job yang terakhir hanya Sita. Mana dia bayar cuma setengah. Itupun pakai ancaman Septi.

"Hmm, gitu dah."

"Udah sih nggak usah dipikirin sampai segitunya amat, kalau ada apa-apa aku bilang sama gue."

"Sep, makasih ya. Tapi gue nggak mau melulu ngerepotin lo."

"Del, gue nggak pernah ngerasa direpotin sama lo."

"Iya gua paham tapi kali ini ijinin gue buat bantu lo ya."

"Ah, jangan. Atau gini aja. Lo kan suka sama Daniel. Gimana lo bayar gua aja. Gue jodohin lo sama dia."

"I like'it. Oke gue setuju."

Bersambung …






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro