11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


11

Awalnya, semua berjalan normal, yang aku tahu adalah Mahardika akan mengantarku pulang, tetapi aku yakin Mahardika mengarah ke jalan lain. Meskipun baru beberapa kali aku pulang dan pergi dari rumah Zoey, tetapi aku sudah hafal arah jalan ke rumahnya.

"Kita mau ke mana? Ini bukan jalan ke rumah gue." Pandanganku tertuju pada bangunan-bangunan tinggi. Ini adalah lingkungan apartemen.

"Unit gue."

Aku mengernyit. "Tadi lo bilang pulang. Ke rumah gue, kan, harusnya?"

"Ke apartemen gue."

Aku mengembuskan napas dengan kasar. Tidak ada hal yang bisa aku lakukan selain mengikuti ke mana Mahardika akan membawaku. Aku tak akan tahu banyak hal tentang hubungan Zoey dan Mahardika jika tidak berada di sekitar Mahardika. Ke unit apartemen Mahardika mungkin akan membuka beberapa fakta tentang hubungan mereka, tetapi sejujurnya aku juga khawatir. Meski sekarang aku berada di raga Zoey, tetapi tetap saja aku yang menjalankan raga ini. Aku yang merasakan setiap hal yang terjadi, mendengar, juga melihat hal-hal yang mungkin tak ingin aku alami.

Ini adalah risiko yang tak bisa aku hindari jika aku tetap memutuskan untuk berada di sekitar cowok itu.

"Terserah lo," gumamku sembari memandang ke luar jendela. "Kita juga perlu bicarain lebih jauh tentang hubungan kita, kan?" Semoga saja memang hanya sebatas mengobrol biasa, tak ada kejadian yang tak terduga, mengingat bagaimana gaya berpacaran mereka.

Kami tiba di parkiran gedung hingga akhirnya tiba di sebuah unit di lantai belasan. Tenggorokanku semakin terasa kering ketika memasuki ruang tamu Mahardika. Dia baru menutup pintunya sementara aku sudah duduk sambil bersedekap di sofa. Sejak tadi aku berusaha untuk tidak melihat sekeliling. Betapa luasnya unit apartemen Mahardika. Ini jelas bukan tipe studio. Jika sejak awal aku sebatang kara, maka aku akan memilih untuk tidak membalaskan dendam Zoey dan selamanya menjadi seorang Zoey agar bisa menikmati hidup seorang anak kaya. Aku akan meminta kepada kedua orang tua Zoey sebuah unit apartemen seluas ini.

Aku terlalu sibuk berkhayal sampai lupa keberadaan Mahardika.

Tak ada siapa-siapa di sini selain kami berdua, membuatku semakin waswas.

"Lo berubah drastis." Adalah kalimat pertama Mahardika ketika tiba di unit apartemennya. Dia duduk di sofa yang berhadapan denganku dan menatapku seolah dia adalah seorang polisi yang sedang mengintimidasi. "Mulai dari pagi itu."

Aku mengalihkan perhatian darinya. "Nggak ada yang berubah dari gue. Gue tetap Zoey."

"Lo enggak tahu di mana satu-satunya tempat pertemuan rahasia kita. Respons lo beda dari Zoey yang gue kenal." Aku meliriknya yang sedang terdiam sesaat. Dia menatapku dengan mata setajam elang. "Lo enggak akan bisa jauh dari gue. Lo paling lama marah cuma beberapa jam. Kali ini, marahnya lo sudah cukup lama dan buat gue enggak tenang. Sekarang lo malah berhasil deketin Luca ... supaya buat gue cemburu?"

Eum, apa yang harus aku katakan di situasi ini?

"Lo ... nggak mungkin kembaran Zoey, kan?" Dia mendengkus. "Zoey enggak mungkin punya kembaran. Yah..., enggak mungkin kembar sampai tahi lalat di bawah mata pun sama. Lo masih Zoey gue."

Kenapa, ya? Aku merasa dia merencanakan sesuatu. Tatapannya seperti sedang mencari sebuah kebenaran. Mahardika berdiri dari sofa, lalu mendekatiku. Dia duduk tepat di sampingku dalam jarak dekat.

"Enggak ada yang pengin lo omongin?" tanyanya dan aku hanya terdiam.

Mahardika mengangkat tanganku. Dia mencium punggung tanganku, membuatku sedikit terlonjak. Hampir saja aku meninju wajahnya. Aku langsung keringat dingit saat Mahardika menatapku dengan tatapan mesumnya lagi.

"Ngapain lo?" bisikku sembari berusaha menarik tanganku kembali. "Lepasin nggak?"

Mahardika menatapku dengan tatapan datar. Dia melepaskan tanganku yang sempat diciumnya itu. Aku sudah merasa lega, tetapi tiba-tiba saja dia mendekat dan mendaratkan bibirnya di leherku.

Dan kepalan tanganku langsung mendarat di hidungnya. Aku pun berdiri, menjauh dari Mahardika yang sedang memegang hidungnya yang berdarah.

"Berapa kali?" tanyanya sambil meringis memegang hidungnya. "Ini ketiga kalinya, bukan? Lo bersikap kasar saat gue sentuh seolah-olah gue ini penjahat kelamin yang berusaha lecehin lo."

Faktanya memang begitu, kan! Aku menjaga jarak dari Mahardika, berdiri sekitar lima meter dari sofa yang dia duduki.

"Lo bahkan natap gue dengan ekspresi kayak gitu. Kenapa lo bersikap kayak cewek perawan?" Dia menghela napas kasar, lalu berdiri tiba-tiba dan mendekat. "Gue yakin seratus persen. Lo bukan Zoey. Zoey akan selalu nerima sentuhan dari gue. Bahkan dia yang selalu minta berbuat mesum nggak kenal waktu dan tempat. Dia itu kecanduan s*ks. Siapa lo sebenarnya?"

Jadi, Mahardika sangaaat mengenal Zoey.

Di situasi ini, aku sangat terpojok. Bukan hanya karena dipojokkan oleh perkataan Mahardika, tetapi juga dipojokkan oleh tubuh Mahardika. Aku tak bisa kabur saat punggungku membentur pelan dinding dan Mahardika yang mengurungku dengan kedua lengannya.

"Di mana Zoey?" Mahardika menatapku dengan tajam. "Jawab atau—"

"GUE ZOEY, TAPI GUE HILANG INGATAN!" teriakku sambil memejamkan mata. Hilang ingatan? Masa bodoh, ah. Ini improvisasi yang paling tepat dari rencana yang juga belum matang. "GUE KEHILANGAN SEBAGIAN INGATAN GUE SEJAK HARI ITU KARENA JATUH DI KAMAR MANDI!"

Aku membuka pelan kelopak mataku. Mahardika tampak terkejut.

"Gue cuma tahu sedikit tentang lo! Gue cuma tahu kalau gue itu pacar lo dan lo yang selalu selingkuhin gue! Gue cuma tahu kalau gue berusaha ngelakuin apa pun untuk narik perhatian lo! Sekarang apa lagi? Apa yang pengin lo dengar?"

Dia menjauh sambil menyugar rambutnya. "Masuk akal, sih."

Dia percaya...? "Mami dan Papi enggak pengin siapa pun tahu soal ini. Mami Papi bahkan enggak pengin lo tahu, tapi gue harus jujur karena ngerasa enggak aman dengan perlakuan lo yang kelewat batas. Jadi, jangan bahas kalau gue ngasih tahu lo soal gue yang kehilangan sebagian ingatan gue."

Mahardika kembali ke sofa dan duduk dengan lesu di sana. "Perlakuan gue yang kelewat batas?" tanyanya sambil menoleh. "Gue enggak akan bahas soal gue yang tahu lo hilang ingatan ke Mami Papi lo, tapi apa maksud lo tentang perlakuan gue yang kelewat batas?"

"Cium gue. Nyuruh gue ngelakuin hal jijik kayak di ruang rahasia yang lo maksud. Terus cium leher gue tiba-tiba!" seruku. "Pokoknya lo enggak boleh nyentuh gue, tapi kita tetap pacaran, ah tunangan, oke?"

"Hal jijik?" Dia bersandar di sofa sambil tersenyum miring. "Hal jijik itu yang paling lo sukai."

Aku melotot. "Selain enggak boleh nyentuh gue, lo juga enggak boleh bicara kotor di depan gue."

Mahardika malah tertawa. "Kok bisa ya hilang ingatan bisa buat lo berubah drastis kayak gini? Padahal gue sengaja bawa lo ke sini soalnya udah seminggu kita enggak gituan." Mahardika mengatakan itu dengan wajah tanpa dosa.

Entah bagaimana ekspresiku sekarang. Perasaanku campur aduk. Marah, jijik, kesal, dan rasanya ingin membanting sesuatu. "Gue udah bilang. Jangan bicara kotor di depan gue!"

Bagaimana mungkin seorang Mahardika Wijaya yang di hari pertama bertemu memperlihatkan wajah muak kini lebih sering senyum-senyum sendiri?

Bukankah ini hal bagus? Namun, tetap saja aku merasa dia sulit ditebak.

"Terus gimana? Lo enggak pengin ingatan lo balik?" tanyanya.

"Normalnya ... pasti pengin, kan?"

Dia menepuk-nepuk tempat di sampingnya. "Duduk di sini. Mau sampai kapan lo berdiri di sana? Ngobrol sama gue dengan jarak yang jauh banget ngebuat gue capek ngomong dengan suara keras."

Perasaanku tidak enak, tetapi aku malah melangkah dan duduk di sampingnya. Dia duduk menyamping. Lengan kirinya dia sandarkan di atas sandaran sofa saat menatapku.

"Oke, lo pengin balikin ingatan lo, kan?" tanyanya dan aku mengangguk saja. "Berarti lo harus ngelakuin hal yang biasa lo lakuin sebelum ingatan lo hilang."

Perasaanku tidak enak dan aku terlambat kabur saat tangan cowok sialan ini menggerayangi pahaku. Sontak saja aku berteriak histeris dan menjauh. Kutatap Mahardika dengan mata beraca-kaca. Dia juga terlihat terkejut. Ekspresinya masih shock dengan mata yang mengerjap berkali-kali.

Apa dia pikir sejak tadi aku bercanda?

"Tetangga bakalan ngira gue apa-apain lo...," katanya dengan tatapan yang masih terkejut. "Gue enggak nyangka lo teriak sekencang itu." Dia menghela napas panjang. "Lo nangis?" tanyanya sambil berdiri mendekatiku. Aku berusaha untuk tidak ke mana-mana, tetapi tetap memperlihatkan bahwa aku tidak baik-baik saja. Mahardika berdiri di hadapanku dengan kedua alis yang terangkat tinggi-tinggi. "Zoey...?"

"Apa lo pikir dari tadi gue bercanda? Gue udah bilang jangan sentuh gue!" Aku benar-benar menangis. Seumur hidup tak pernah dilecehkan. Ini adalah pengalaman buruk pertamaku dilecehkan di raga yang salah. "Gue udah bilang gue ini lagi hilang ingatan! Hal-hal yang lo pikir normal untuk ngembaliin ingatan gue belum tentu normal bagi gue!" Jika status tunangan di antara mereka membuat Mahardika bersikap seenaknya pada tubuh Zoey, maka lebih baik putus saja. Aku akan memikirkan cara lain untuk mencuri hati Mahardika. "Kita putus aja. Itu lebih baik daripada gue dilecehin kayak tadi."

"Sst...." Mahardika menarik kepalaku dan mengusap-usap rambutku. "Gue minta maaf. Gue enggak nyangka lo bakalan minta putus beneran. Lo beneran hilang ingatan dan gue malah ngeremehin hal ini." Mahardika mencium puncak kepalaku. Bisa tidak dia tak usah menyentuh seenaknya meski itu sentuhan kecil baginya? "Kita enggak putus. Oke?" Dia menghela napas panjang. "Ini pertama kalinya kata putus keluar dari mulut lo langsung. Nggak ada kata putus. Lo masih cewek gue. Gue janji, mulai detik ini sampai ingatan lo kembali, gue enggak akan main cewek lagi."

Eh? Sungguh? Semua ini membuahkan hasil. "Lo enggak akan main cewek hanya sampai ingatan gue balik?"

"Iya," katanya. "Setelah ingatan lo kembali, biar kita putusin yang terbaik."

"Setelah ingatan gue balik, lo bakalan main cewek lagi?"

"Tergantung dari sifat lo."

Aku mengernyit. Kesimpulanku saat ini adalah Mahardika menyukai Zoey, tetapi tidak dengan sifatnya. Ah, lebih tepatnya dia menyukai tubuh Zoey. Makanya dia masih bisa mencium, memeluk, dan melakukan hal-hal tak senonoh bersama Zoey.

Aku mendorong dada Mahardika agar segera menjauh darinya. Kuulurkan tanganku pada cowok itu yang membuatnya mengernyit. "Selama gue lupa ingatan, lo enggak boleh nyentuh gue sedikit pun. Mungkin aja kita enggak pernah gituan tapi lo manfaatin keadaan!"

Dia tersenyum kecil sambil membalas uluran tanganku. Dia tak hanya membalas, tetapi menggenggamnya. "Apa kehilangan ingatan bisa ngebuat lo berubah jadi kayak orang yang berbeda?"

"Pokoknya gue dalam keadaan sakit dan lo harusnya ngerti kondisi gue."

"Ya udah, tapi gue masih butuh pelukan."

Aku menatapnya sinis. "Lo tinggal cari simpanan buat menuhin kebutuhan lo yang pengin dipeluk itu."

Mahardika malah tersenyum. Dia benar-benar berbeda dari pertemuan pertama kami saat aku di tubuh Zoey. "Gue enggak perlu curiga lagi. Bener, lo hilang ingatan. Zoey yang gue kenal enggak akan ngebiarin gue deket dengan cewek mana pun."

"Pokoknya lo enggak boleh nyentuh gue sedikit pun. Kita bukan suami istri. Paham?" Permintaanku dibalas dengan tawa. Cowok itu kembali ke sofa dan duduk dengan kaki kanan yang tersangga di paha kirinya. "Kalau lo ngerencanain sesuatu yang jahat, gue enggak akan tinggal diam."

"Apa gue sejahat itu di mata versi lo yang baru?" Dia menatapku lekat-lekat dari sana. "Sekarang giliran gue. Gue minta lo jangan dekat-dekat Luca lagi."

"Oke." Kujawab dengan cepat karena tujuanku sekarang adalah fokus pada Mahardika. Toh, aku akan menjauh dari Mahardika setelah berhasil menarik hatinya, lalu kembali pada Luca. Ingat, ya, selama aku berada di tubuh Zoey, kepercayaan diriku tinggi. Kecantikan Zoey adalah sebuah hak istimewa yang dapat kugunakan. Aku juga masih perlu mempelajari seperti apa tipe ideal perempuan yang diinginkan Mahardika. Sifat yang kuperlihatkan sekarang bisa berbeda suatu waktu demi memenuhi standar tipe ideal Mahardika.

"Sekarang, anterin gue pulang."

Mahardika berdiri dan berhenti di depanku. "Enggak laper?"

"Enggak. Mau pulang. Tidur."

"Biasanya lo selalu pengin masakan gue. Seenggak enak apa pun itu."

"Gue cuma pengin pulang. Ngantuk."

"Ya udah." Mahardika meraih pergelangan tanganku, membawaku keluar dari tempat tinggalnya. "Kembali enggaknya ingatan lama lo, keinginan gue cuma satu," katanya sambil menoleh padaku. "Lo selamanya kayak gini aja."

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro