26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

happy reading!

love,

sirhayani

vote dulu sebelum baca, yaa 😍 terima kasih❤️🫶🏻

26

Kemarin aku menggila karena frustrasi dengan semua yang terjadi. Dikurung di kamar, tak boleh melakukan apa-apa, dan Noah tak peduli dengan teriakanku yang menjadi satu-satunya kehebohan di rumahnya ini. Aku berhenti karena lelah dan hanya bisa merenungkan semua yang terjadi sampai akhirnya aku mendapatkan sebuah pemikiran yang langsung terbukti kebenarannya, yaitu obat berbentuk kapsul tanpa bungkusan yang biasanya diberikan oleh Noah sebelum aku tidur ternyata memiliki efek samping mengantuk. Atau mungkin saja pada dasarnya obat itu memanglah obat tidur?

Setiap mengonsumsi obat itu aku selalu tidur selama delapan jam tanpa terganggu apa pun padahal aku sangat sensitif pada suara. Seperti yang terjadi sekarang, aku terbangun oleh suara burung hantu. Sekarang masih pukul dua belas malam.

Aku tidak mengonsumsi obat itu dan pura-pura menelannya. Ketika Noah pergi, aku membuangnya ke tempat sampah. Bagian bawah lidahku rasanya masih tak nyaman.

Selain suara burung hantu, aku mendengar suara lain yang tak begitu jelas. Suasananya terasa buruk. Aku memejamkan mata dan mencoba tertidur kembali, tetapi aku tak bisa tidur dan membuatku segera duduk sambil menghela napas panjang.

Ketika aku memutuskan untuk keluar dari kamar, suara itu semakin terasa jelas. Tak ada siapa-siapa di lorong. Rumah ini terasa seperti rumah kosong. Meski takut, aku memberanikan diri untuk mendekati suara sekelompok orang yang sepertinya sedang ... bernyanyi?

Degupan jantungku semakin cepat setiap suara banyak orang itu semakin terdengar jelas. Aku berhenti di depan sebuah pintu. Suara itu berasal dari dalam ruangan ini.

"Wahai iblis yang tinggi

dengarkanlah perkataanku

datanglah padaku

bicaralah padaku

aku ingin bertemu dan berbicara langsung padamu

Wahai iblis yang tinggi."

Perkataan yang sama itu terus berulang. Dia berbicara dengan lembut dan memimpin perkataan itu, lalu diikuti oleh para pekerjanya.

Aku tak kuat berdiri, tetapi memaksakan diri untuk mengetahui apa yang terjadi. Apa yang Noah inginkan? Mengapa dia memanggil iblis? Apakah iblis yang dia panggil adalah iblis yang telah membawaku kembali ke masa lalu?

Aku berjongkok untuk meredakan perasaan yang berkecamuk. Jantungku terus berdegup kencang. Aku tak boleh gegabah yang hanya akan membuatku berakhir tak mendapatkan informasi apa pun.

"Kamu kembali memanggilku. Bukankah aku sudah mengatakan untuk tidak memanggilku?" Suara menakutkan itu terdengar. Suara yang sama aku dengar dalam mimpiku.

"Wahai iblis yang tinggi!" Noah bersama para pekerjanya terdengar memuja-muja.

"Katakan yang ingin kamu katakan dengan cepat. Sepertinya ini menyenangkan. HAHAHA."

Mustahil iblis itu tidak mengetahui keberadaanku di luar ruangan itu. Kalimatnya barusan tidak mengarah padaku, kan? Suaranya yang tadinya terdengar marah kini terdengar seperti tawa bahagia.

"Apakah Anda tidak bisa mengambil jiwa dari bayi yang masih ada di dalam kandungan? Saya pernah mendengar bahwa janin sudah memilik roh."

Reflek kupegang perutku dengan tangan gemetar. Apa maksud dari perkataan Noah barusan?

"Kamu sungguh tidak sabaran," kata iblis itu. "Semua sesuai dengan kesepakatan awal. Jiwa-jiwa pekerja yang sudah kamu berikan tidak akan cukup untuk menggantikan jiwamu yang awalnya ingin aku ambil. Kamu harus memberikan jiwa dari keturunanmu yang lahir ke dunia dan jiwa itu harus sudah hidup selama beberapa tahun. Jika tidak ada jiwa dari keturunanmu, maka kesepakatan kembali ke awal, jiwamu lah yang akan aku ambil ketika pemilik jiwa di tubuh Zoey berhasil kembali ke kehidupan aslinya."

Sekarang semua sudah jelas.

Mengapa aura para pekerja terasa aneh.

Mengapa Noah menghamiliku.

Mengapa Noah tak memberikan rahimku waktu untuk istirahat setelah aku mengalami keguguran.

Aku menjauh dari sana dengan perasaan berkecamuk. Sebisa mungkin aku melangkah hati-hati agar keberadaanku tidak diketahui oleh Noah. Aku harus segera pergi dari tempat ini. Aku harus menghilangkan rasa takutku untuk berjalan tengah malam di hutan. Satu-satunya hal menyeramkan adalah Noah itu sendiri.

Dia mungkin masih berbicara dengan iblis itu. Semua pekerja kemungkinan besar ada di dalam ruangan itu. Noah hanya tahu bahwa aku tak akan terbangun sehingga dia membawa semua pekerjanya untuk melakukan upacara pemanggilan iblis.

Tidak ada satu pun pekerja yang menjaga. Aku bebas melangkahkah kaki telanjangku di atas daun-daun kering. Pakaian yang aku kenakan terlalu tipis untuk berjalan di tengah malam yang dingin, tetapi tak apa. Aku harus segera menjauh dari Noah dan segera bersembunyi darinya.

Aku terus berjalan hingga menginjakkan kaki di aspal. Tak punya tujuan selain menjauh dari Noah, satu-satunya hal yang aku lakukan adalah melangkah sejauh mungkin. Aku tidak merasa kelelahan di situasi seperti ini, tetapi tubuhku yang tidak kuat menahan semuanya dan membuatku berakhir jatuh terduduk. Rasa sakit itu baru muncul dan perutku juga sudah terasa tidak nyaman.

Sudah berapa lama aku berjalan?

Aku masih belum menemukan keramaian.

Aku berusaha bangkit. Mobil yang datang dari arah yang berlawanan dariku membuatku sedikit lebih lega. Tak mungkin Noah datang dari arah itu, tetapi bagaimana jika yang datang adalah orang suruhan Noah?

Tak ada yang bisa aku lakukan selain tetap berdiri di tepi jalan. Aku harus mencoba untuk meminta tolong kepada siapa pun itu untuk membawaku menuju keramaian.

Mobil itu terlihat melaju pelan, lalu berhenti tak jauh dariku. Seorang perempuan keluar dari pintu mobil bagian pengemudi. Ada rasa senang, tetapi juga muncul sedikit kekhawatiran setelah melihat Chessa lah pengemudi mobil itu.

Bagaimana dia bisa ada di sini?

Ada banyak kemungkinan. Kemungkinan paling buruknya adalah Chessa datang padaku atas suruhan Noah. Meskipun kemunculan Chessa jauh lebih baik dibanding kemunculan orang yang tidak aku kenali sama sekali.

"Lo ... Zoey?" Chessa berhenti di dekatku dengan raut khawatir. Dia memegang kedua pundakku. "Kok lo bisa ada di sini?"

Aku memandangnya sambil tersenyum kecil.

"Zoey ... perut lo...," katanya terbata-bata setelah memperhatikan perutku. "Ayo kita pergi dari sini!"

Aku sudah tidak bisa berpikir dengan baik malam itu. Chessa menuntunku ke mobilnya dan membawaku ke apartemennya.

***

Kemunculan Chessa di tempat seperti itu sudah membuatku curiga bahwa Chessa bisa saja datang atas suruhan Noah yang telah kehilangan keberadaanku di rumahnya. Alasan mengapa aku tetap ikut karena aku bisa menyegarkan pikiranku dari fakta baru yang aku ketahui.

Pada dasarnya, aku tidak bisa menjauh dari Noah. Aku harus mendekati laki-laki itu agar aku bisa kembali ke kehidupan normalku. Aku tidak ingin selamanya berada di situasi ini.

Dua hari berada di apartemen Chessa dan diperlakukan dengan sangat baik dari segi mental dan fisik sudah cukup untuk membuatku bersiap diri menghadapi Noah lagi.

"Lo enggak penasaran kenapa gue ada di tempat sepi kayak gitu?" tanyaku pada Chessa yang sedang mengupaskan buah untukku. Dia harusnya kuliah, tetapi dengan alasan ingin menjagaku, perempuan itu memutuskan untuk tidak hadir selama beberapa hari dan merawatku. Selain membelikan susu untuk ibu hamil yang biasanya aku minum, dia juga membelikan beberapa pasang pakaian dan juga sandal.

Wajahnya tampak tegang setelah aku bertanya demikian. Sejak awal, kami tidak saling bertanya, mengapa ada di jalan sepi itu?

Chessa berhenti mengupas dan menyimpan pisau di atas piring berisi buah yang sudah dipotong-potong.

"Zoey," gumamnya. "Lo curiga gue muncul tiba-tiba di daerah antah berantah itu?"

Aku tersenyum. "Jujur aja. Gue enggak apa-apa, kok."

"Sebenarnya, gue juga pengin jujur sebelum lo dijemput." Chessa memandangku dengan mata berkaca-kaca. "Gue enggak bermaksud ngekhianatin lo, tapi Zoey ... keluarga gue taruhannya."

"Noah, kan?" gumamku.

"Maaf." Chessa menangis. "Gue benar-benar minta maaf. Gue enggak tahu kenapa lo bisa ada di situasi kayak gini. Gue enggak tahu apa aja yang udah terjadi di antara lo dan Noah, tapi itu pasti sesuatu yang buruk dan gue enggak bisa ngelakuin apa-apa karena Noah ngancem gue. Dia bilang ... bakalan buat orang tua gue berakhir kayak Alanna, Mahardika, dan Mami Papi lo."

Aku mengernyit. "Orang tua gue...?"

Chessa terdiam sebentar. "Zoey ... jangan bilang lo nggak tahu soal ini?"

"Maksudnya, mereka ...?"

Chessa tidak mengatakan apa-apa. Dia sibuk menahan tangisnya. Aku mendongak sambil tersenyum. Bagaimana caranya aku bisa membuat psikopat itu jatuh cinta?

Chessa buru-buru menghapus air matanya setelah ponselnya berbunyi. "Noah ... di bawah."

"Gue bakalan pergi sendirian." Aku segera berdiri, memandang Chessa yang terlihat panik. "Gue enggak akan kabur. Gimana mungkin gue bisa kabur dari dia dalam kondisi seperti ini? Gue akan hadapi dia langsung. Makasih untuk semuanya, Chessa. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu."

Aku segera pergi. Mungkin, Chessa percaya pada Zoey sehingga dia tidak mengikutiku hanya untuk memastikan bahwa aku tidak kabur dari Noah. Jika aku kabur, maka Chessa juga akan mendapatkan masalah. Setidaknya aku sudah bisa berpikir dengan baik untuk menghadapi Noah dan segala sisi buruk cowok itu.

Setibanya aku di lobi, Noah langsung berdiri dari sofa yang dia duduki dan mendatangiku dengan buru-buru. Aku mendekatinya dengan perasaan berkecamuk. Aku harus menyiapkan berbagai alasan untuk membuat Noah percaya bahwa aku pergi bukan karena telah mendengarnya berbicara dengan iblis. Mataku memanas saat aku tiba di hadapannya. Aku langsung memeluknya sambil terisak.

Aku menangis sejadi-jadinya di tengah keramaian. Tak peduli lagi dengan pandangan berbagai orang yang mungkin saja melihat kami sebagai pasutri yang saling merindukan. Aku menangisi hidupku yang selalu tidak beruntung.

Noah balas memelukku dan mencium puncak kepalaku. "Jangan kabur lagi, Zoey. Karena semua itu akan sia-sia. Kamu nggak punya pilihan selain tetap kembali ke sisiku."

Ya, katakan apa pun itu.

Bagaimana pun caranya, aku akan membuat kamu jatuh cinta.

"Ayo. Kita pulang." Noah merangkul lenganku dan membawaku menuju mobilnya.

Hari sudah malam. Kami hanya singgah untuk makan malam di sebuah restoran, lalu melanjutkan perjalanan kembali ke rumah itu lagi. Noah tidak banyak bicara, tetapi dia terus memandangku seolah sedang mengamati setiap pergerakan kecil yang aku lakukan. Mungkin dia curiga akan sesuatu, tetapi tidak bertanya di tempat ramai.

Barulah, ketika kami dalam perjalanan pulang dan sudah memasuki kawasan jalanan sepi, Noah mulai mengajukan pertanyaan yang sudah kuprediksi.

"Kenapa kamu tiba-tiba nangis? Apa itu bagian dari rencana kamu buat aku jatuh cinta?"

"Konyol." Aku menoleh ke jendela. Hanya ada gelap gulita. "Apa dengan aku menangis bisa buat kamu jatuh cinta? Setelah ngobrol dengan Chessa, aku jadi sadar kalau aku kesepian. Pekerja di rumah kamu enggak ada yang bisa diajak bicara."

"Apa kamu mau pengin lebih sering ketemu teman kamu. Chessa satu-satunya teman kamu, kan? Aku akan suruh dia tinggal di rumah."

"Bukan itu maksud aku!" seruku. "Aku stres karena hidup di tempat sepi kayak gitu. Aku sampai kabur kayak gini karena nggak tahan hidup di tengah hutan dan punya suami yang nggak pernah hargai aku sebagai istri."

"Bagian mana aku nggak pernah hargai kamu sebagai istri aku?"

"Banyak!" Aku menggigit bibir. Noah sudah pernah mengatakan bahwa dia akan membuatku menyerah untuk membuatnya jatuh cinta. Dia memang sempat berhasil, tetapi kali ini aku tidak akan menyerah lagi. Aku akan memulai dengan mengubah hal paling dasar, yaitu perlakuannya padaku. "Semua hal yang kamu lakukan ke aku adalah hal buruk. Kalau kamu nggak memperbaiki itu, aku akan lakuin cara apa pun untuk lepas dari kamu. Aku nggak akan peduli lagi untuk kembali ke kehidupan normal aku. Aku lebih memilih hidup lama di sini, yang penting aku nggak akan ketemu kamu lagi."

"Oke, kamu pengin aku perlakukan kamu sebagai istri aku beneran, kan?" Noah menghentikan mobilnya di tepi jalanan. "Bilang aja kalau kamu kesusahan ngambil hati aku dan sekarang kamu berusaha untuk aku perlakukan dengan baik. Rencana kamu itu mudah aku baca, Zoey."

Aku menggigit bibir. "Kamu takut, ya? Kalau sikap kamu serba baik ke aku, kamu jadi mudah jatuh cinta?"

"Entahlah. Zoey asli aja bilang kalau apa yang aku rasakan ke dia itu bukan cinta, tapi obsesi."

"Kalau gitu, bagaimana kalau kita buktiin perkataan Zoey? Perlakukan aku dengan baik sebagai istri kamu dulu."

"Dan lihat juga aku sebagai suami kamu," kata Noah. "Itu baru sepadan."

"Oke." Aku tak bisa untuk tidak menatapnya penuh kebencian.

"Dan jangan terang-terangan natap aku kayak gitu." Noah mendekat dan mendaratkan ciumannya di bibirku. "Jangan juga lihat aku dengan tatapan jijik setiap kali kita nge-s*ks."

Aku juga akan memperbaiki sikapku itu demi mengambil hati Noah.

Aku menghela napas panjang. "Gimana aku nggak natap kamu jijik kalau cara kamu kayak hewan."

"Mau itu hewan atau manusia. Cara berkembang biak mereka sama aja."

"Beda!"

"Memangnya kamu pernah lihat orang yang berhubungan badan dengan cara manusiawi?" tanyanya.

Aku tidak mengerti apa yang ada di kepala otak laki-laki ini. "Kita lagi berdebat apa, sih?"

"Kamu yang mulai." Noah menurunkan sedikit sandaran kursinya. "Naik ke pangkuanku. Mungkin, aku bisa belajar nge-s*ks secara manusiawi dari sekarang."

"Ngapain aku harus duduk di pangkuan kamu?"

"S*ks. Kamu di atas. Memangnya apa lagi?"

"Di tempat kayak gini? Di mobil?" bisikku, meredam suara yang nyaris histeris. "Kamu gila?!"

Aku juga sebentar lagi akan gila.

"Bukannya kita sudah sepakat untuk menjadi suami istri yang baik?" Noah menaikkan alis. "Turuti apa kata suami kamu, Zoey."

Lihat, kan? Aku sulit menghadapi orang seperti Noah. Meski aku sudah berupaya untuk bersikap sebagai istri yang baik agar Noah bisa sedikit luluh, tetapi permintaan Noah selalu di luar nalarku.

Meski begitu, saat ini aku bisa lebih tenang dibanding sebelum-sebelumnya. Meskipun ada perasaan enggan di dalam hati, pada akhirnya aku menuruti perkataan Noah demi rencanaku untuk bisa lebih dekat dengannya.

Salah satu hal yang membuatku sulit untuk mengambil hati Noah adalah karena segala penolakanku selama ini.

Noah tersenyum penuh kemenangan setelah aku membuka kedua pahaku di atas pangkuannya. Kurangkul lehernya sambil mendekatkan wajah. Dress warna krem selutut yang kupakai sudah terangkat sampai paha. Noah memegang tengkukku dan mulai menciumku dengan lembut. Tak seperti biasanya yang selalu kasar dan tak berperasaan.

Dia memegang janjinya dan benar-benar memperlakukanku sebagai istrinya.

Tadinya aku sudah berencana untuk berpura-pura menikmati sentuhan yang Noah berikan untuk menutupi perasaan jijik, tetapi pada kenyataannya aku menikmati setiap sentuhannya.

Dan karena itu juga aku merasa sangat kotor karena menikmati aktivitas suami istri ini bersama manusia yang paling aku benci di hidupku.

***




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro