7. Santi ~ Kawan bukan Lawan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rianita bergegas keluar dari angkot hendak mengejar mobil merah. Kutarik tangannya namun gadis bermata sipit itu menampik dengan keras. Dia berlari sambil mengucapkan kata serapah kepada mobil yang sudah menjauh dengan suara keras. Aku membelalak mengejar dirinya karena takut suara kerasnya akan mengundang mayat hidup.

Untung saja tubuh Rianita sedikit lebih pendek saat kubungkam mulutnya dan membawanya bersembunyi di dalam rumah kosong. Suaranya yang memekakkan telinga ternyata berhasil mengundang segerombolan mayat hidup dari belakang kami. Aku menutup pintu lalu menutup jendela dengan gorden yang telah robek untuk berlindung.

Rianita membelalakan kedua matanya saat mengintip sekelompok mayat hidup dengan muka hancur dan suara geraman yang menyeramkan di balik gorden seperti sedang mencari-cari sumber suara yang mengundang mereka. Dia bergerak mundur namun aku mencegahnya untuk tidak membuat suara sekecil apa pun. Kutempelkan jari telunjukku di bibir dan mengisyaratkan dia tetap diam.

Salah satu mayat hidup menoleh beberapa saat dengan tatapan kosong ke arah rumah ini. Rianita membungkan mulutnya sendiri sambil menarik napas, sedangkan aku bersiap dengan anak panah di belakang punggungku. Mayat hidup itu berjalan sempoyongan membuat kami terpaksa bergerak mundur dengan sangat perlahan. Kedua tangan mayat hidup yang terkelupas berusaha mengetuk-ngetuk kaca jendela.

Refleks kami berdua merunduk melindungi diri. Jantungku sudah ingin mencuat keluar ketika wajah yang berlubang dengan luka busuk yang menganga mengintip mencari mangsa. Hidungnya yang tak berbentuk mengendus-endus. Sesaat kemudian dia pun pergi bersama gerombolannya.

Kami berdua menghela napas lega saat mayat hidup sudah tidak melewati jalanan di depan. Tapi aku tak yakin apakah mereka masih berkeliaran di sekitar daerah ini. Aku menoleh memandang sekeliling lalu berkata,

"Kamu tunggu di sini," ucapku menatap Rianita.

"Lo mau ngapain?" bisik Rianita memelankan suaranya. "Mayat hidup itu masih di luar, apa lo nggak takut. Kita di sini aja."

Aku menggeleng. "Kita harus segera keluar, aku akan keluar untuk memastikan mereka benar-benar pergi."

"Lo gila ya," ejek Rianita.

"Lebih gila mana ketika kamu melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang," sindirku balik lalu beranjak meninggalkan gadis itu.

###

Pada akhirnya, kami berdua keluar mengendap-endap seraya memegang pisau dapur yang kami temukan di rumah itu. Kedua mata dan telingaku menjadi begitu tajam saat mengintai luar rumah, aku tidak tahu ke mana arah mayat hidup itu pergi. Bisa jadi mereka berjalan mengikuti sumber suara lain atau menanti mangsa yang datang ke arah mereka.

Rianita berjalan di depanku sesekali wajahnya begitu was-was, aku yakin kejadian tadi membuatnya sedikit bisa berpikir untuk tidak gegabah. Tidak ada pembicaraan yang keluar kecuali kami saling memberikan isyarat untuk terus melangkah menuju jalan besar.

Rianita mengacungkan tangan kanannya ke udara kepadaku saat kami berada di perempatan jalan. Dia mengintip lalu memandangku dengan gelisah. Aku mengikuti gerakannya, mengintip apa yang baru dilihatnya.

Mataku membulat. Empat mayat hidup sedang melahap seekor anjing pelacak di tengah jalan. Melihat mereka justru membuatku mual. Namun, di sisi anjing itu ada korban lain yang sudah tidak dapat dikenali lagi. Mungkin dia adalah pemilik anjing. Sayang hidupnya harus berakhir di perut lapar si mayat hidup.

"Kita harus pergi," pinta Rianita ketakutan.

Aku menggeleng. "Di sana sudah ada jalan besar. Kita takkan mungkin putar balik."

"Tapi, di sana ada makhluk itu. Lo mau mati di sini?" katanya dengan sedikit emosi menatapku tajam.

"Kamu harus belajar bertahan hidup, Ta," kataku lalu pergi meninggalkannya dan memilih menghadapi empat mayat itu.

Kuselipkan pisau di saku tas sebelah kiri dan memilih menggunakan panah untuk membunuh mereka dari jarak jauh. Mayat hidup itu menoleh lalu mereka menghampiriku seperti kecepatan pelari. Dengan gerakan cepat, kutembakkan kepala mereka dengan panah.

Salah satu dari mereka ambruk ketika busur berujung besi tajam itu menembus kepala. Lalu kutembakkan panah lain.

Sial!

Panah itu meleset dan hanya mengenai dada mayat hidup lain. Mata mereka melotot membuatku tak sabar dan mengambil pisau.

Aku merunduk ketika salah satu mayat ingin meraih bahuku lalu kudorong tubuhnya dan menindihnya. Kutancapkan pisau tajam tepat di bola mata kanannya.

Mayat hidup lain menyerangku namun berhasil kuhindari. Tubuhnya ambruk menindih mayat yang sudah mati tadi. Dengan gerakan cepat kutusuk kepala belakangnya.

"Awas!" seru Rianita membuatku menoleh ke belakang.

Mayat hidup lain yang bertelanjang dada hampir saja mengigit bahu kananku. Aku berguling namun mayat itu menyerangku kembali. Aku menahan kedua tangannya agar wajahnya yang rusak tidak menggigitku. Kutendang dirinya hingga tubuh busuk itu berguling ke sisi kiri.

Detik berikutnya, Rianita menancapkan pisau tepat di bagian pelipis mayat hidup itu sebelum aku menyerangnya. Kami berdua bertatapan sejenak. Napas kami beradu. Pertarungan dengan empat mayat yang sungguh menegangkan, kesalahan kecil saja mungkin nyawa kami takkan tertolong.

"Terima kasih," ucapku sambil bangkit dan membersihkan batu kerikil yang menempel di belakang celana.

"Lo sinting, San. Nyawa lo lebih berharga daripada membunuh mereka," kata Rianita memandang jijik ke mayat hidup yang sudah mati itu.

"Jika kita tidak melakukannya, apa kita harus menunggu mereka pergi? Hanya ini cara satu-satunya, membunuh atau terbunuh."

Gadis berambut sebahu itu membisu, menatapku yang terkena darah mayat hidup entah yang mana. Aku melangkah mendahuluinya menuju jalan besar yang tidak jauh dari posisi kami.

"Setelah ini kita cari pertokoan untuk persediaan makanan. Apotek atau fasilitas kesehatan. Aku butuh beberapa obat. Nanti malam kita akan mencari tempat tinggi atau rumah yang kiranya aman untuk tidur."

"Kenapa kita tidak pakai mobil aja?" tanya gadis itu.

"Belum aman. Aku takut jika kita menggunakan mobil kita akan menemukan jalan buntu atau jalan yang tertutupi mobil lain."

Kami kembali terdiam ketika sampai di jalan besar menuju pusat kota Bekasi. Sepanjang mata memandang tidak jauh dari deretan kendaraan yang berceceran, warung-warung yang rusak, tembok yang bertuliskan aksi protes, hingga mayat yang tergeletak di jalan.

Rianita bergidik ngeri melihat perut seorang lelaki yang sudah terburai ususnya. Aku yang melihat itu hanya bisa menahan mual. Aku benar-benar harus diet makan daging jika terus-menerus melihat mayat itu.

"Mereka korban mayat hidup?" tanya Rianita.

Aku mengangguk. "Iya. Mungkin."

Rianita mendekati mayat yang sudah dihinggapi lalat dengan belatung yang menggerogoti perutnya. Gadis itu menusukkan pisaunya tepat di dahi lelaki itu.

Dia menoleh kepadaku dan berkata. "Membunuh atau terbunuh."

####

Terik matahari sudah berada di atas kepala. Kami berdua akhirnya singgah di salah satu swalayan setelah Rianita berhasil melumpuhkan satu mayat hidup. Dia juga membantuku mendorong meja kasir untuk menahan pintu masuk agar mayat hidup tidak bisa lewat.

"Jangan hidupin lampunya!" seruku ketika Rianita akan menyalakan saklar lampu. "Itu bisa mengundang mereka."

Gadis itu mengangguk salah tingkah lalu dia menghampirI rak makanan kaleng.

"Hampir kadaluarsa," ujarnya sambil mendecak. "Apa lo yakin dengan semua ini, San?"

Aku menoleh ketika mengambil dua sarden ke dalam tasku.

"Kenapa? Kamu takut mati?"

Rianita mengangguk.

"Di saat seperti ini jangan terlalu banyak mengeluh, Ta. Mengeluh cuma bikin kamu makin menderita. Terima yang ada sampai kita berhasil ke zona hijau."

Gadis itu mengernyit sejenak. "Lo denger sesuatu nggak?"

Aku terdiam mendengar suara pintu swalayan digedor seseorang. Cepat-cepat kami bersembunyi sambil menarik pisau.

"Yu, nggak isok dibuka lawange." suara seorang laki-laki terdengar dari pintu luar.

"Mati awak dewe!"

Aku menghampiri pintu dan mengintip dari meja kasir yang menahannya. Dua orang lelaki berambut ikal dengan kaus hitam dan perawakan yang sama tingginya. Di belakang mereka ada tiga mayat hidup yang mengejar mereka.

"Ta! Ta!" seruku memanggil Rianita. Gadis itu menghampiriku dan seketika mulutnya menganga lebar.

Dua lelaki kembar itu terlihat bertarung dengan tangan kosong. Saling menghajar mayat hidup yang takkan pernah merasakan sakit. Salah satu di antara mereka menendang hingga mayat hidup terpental dan membantu lelaki lain. Mereka terlihat kompak namun terlihat kewalahan.

"Jangan!" seru Rianita yang mencegahku menarik meja kasir. "Mereka sama aja sudah mati, San."

"Dan kamu ingin melihat mereka dimakan hidup-hidup?"

Kulepas tangan Rianita yang menyentuh lengan kananku. Dengan sekuat tenaga kupindahkan meja bercat abu-abu menjauh dari pintu lalu keluar dari swalayan sambil mengambil anak panah lalu menembakkannya tepat mengenai salah satu mayat hidup yang akan menerkam lelaki kembar itu. Mereka menoleh nampak terkejut lalu kulempar pisau milikku ke arah lelaki di sisi kiri. Dengan sigap dia menangkapnya dan menusukkan pisau itu ke leher mayat.

Darah hitam mengucur deras namun mayat masih bisa menyerangnya.

"Tusuk kepalanya!" seruku sambil menembakkan panah ke mayat hidup satunya.

Pisau yang masih tertancap di leher mayat hidup itu, dicabut dan ditusukkan kembali tepat mengenai mata kanan mayat yang berlubang. Seketika mayat itu ambruk.

Kedua lelaki kembar itu seketika menghempaskan diri di jalanan aspal dengan napas terengah-engah. Tubuh mereka berkeringat dengan beberapa luka lecet di lutut dan siku. Baju mereka pun terlihat sangat kotor.

"Makasih ya," ucap salah satu dari si kembar.

Aku tersenyum lalu memberi mereka minum dari dalam tasku. Mereka meneguknya secara bergantian. Saling berbagi satu sama lain. Mereka berdua bangkit bersamaan sesekali merintih kesakitan.

"Darah itu yang mengundang mereka?" tanyaku melihat luka itu.

"Nggak tahu. Kami terluka karena mobil menabrak pohon di ujung jalan sana," ucap salah satu dari mereka. Suaranya sedikit bass. "Nyu, awakmu gak opo-opo?"

Lelaki yang disebut 'Nyu' menggeleng. "Aku Banyu." Dia memperkenalkan diri kepadaku.

"Bajingan awakmu, onok wong wedok langsung kenalan," sahut kembaran Banyu.

Banyu terkekeh namun sesaat dia merintih.

"Aku Bayu. Kamu ada obat merah?"

Aku mengangguk. "Ayo, masuklah."

Rianita sudah berdiri di depan swalayan menatap tajam dua lelaki kembar di belakangku. Dia menatapku seolah mengisyaratkan bahwa tak suka ada dua lelaki yang datang. Bahkan saat Bayu melempar senyum justru Rianita membalasnya dengan ketus.

"Lo berdua bakal nyusahin gue," ucapnya seraya masuk ke dalam swalayan.

"Tai," balas Banyu kesal.

Aku menoleh ke arah mereka. "Abaikan. Dia juga sama dengan kalian saat aku menemukannya."

"Tapi, aku beda, San," sahut Rianita dengan nada sedikit tinggi ketika mendengar ucapanku.

Beberapa detik kemudian kami berempat mendengar suara geraman dari dalam swalayan. Aku melirik tajam kepada Rianita yang selalu berbicara dengan nada tinggi seenaknya sendiri.

Seorang mayat hidup keluar dari gudang swalayan. Aku tidak tahu apakah ini efek suara Rianita atau justru efek dari luka yang dimiliki si kembar.

"Apa kita harus lari lagi?" lirih Bayu dengan nada pasrah.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro