8. Jarak ~ Deka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tentunya aku bertanya-tanya, bagaimana anak usia tujuh tahun bisa bertahan di dalam kondisi seperti ini sendirian. Bagaimana ia bisa setegar sekarang?

Bagaimana ia tak menangis?

Deka bercerita jika ia bersama Kakaknya setelah ibu dan Ayahnya dibawa oleh pemerintah. Dua hari yang lalu Kakaknya pergi mencari susu, tetapi tak kembali sampai saat ini. Pikiranku sudah pasti tertuju pada satu hal, kalau Kakak Deka tak selamat,  meninggal, lalu menjadi mayat hidup di luaran sana.

Seandainya aku tak meninggalkan tasku yang berisi susu itu. Deka pasti sudah bisa meminumnya saat ini.

Sebentar, aku ingat sesuatu, "Nama Kakakmu siapa?"

Deka menatapku, lalu kembali menunduk. "Tiyo."

"Tiyo? Nama panjangnya apa?"

Deka sedikit berpikir, mungkin mengingatnya, lalu menjawab, "Ah, Namanya Yulistiyo."

Jelas sekali, tas yang kubawa itu bukanlah milikku sebenarnya. Aku dan Julia mendapatkannya saat melihat beberapa tumpukkan mayat, dan kuambil tas itu, salah satu isinya adalah susu kaleng.

Namun, aku memilih diam, aku takkan membuat mental anak ini lebih kacau lagi. Ia juga bercerita, jika Kakaknya selalu berbicara kalau Ibu dan Ayahnya masih hidup, mereka berdua akan bertemu lagi nanti di zona hijau.

Zona hijau, aku ada masalah dengan kata dan tempat itu. Entah semuanya benar atau hanya kebohongan publik. Sudah berhari-hari, berminggu-minggu aku berjalan bertahan hidup. Namun, sama sekali tak ingin pergi ke tempat itu, sama sekali.

Deka lanjut bercerita, jika Kakaknyalah yang menaruh makanan di kulkas itu, walaupun benda itu tak menyala, tapi itu tempat paling aman untuk menyimpan seonggok makanan.

"Kakak Deka bilang mau pulang sore halinya, tapi sampai sekalang gak pulang-pulang. Pasti kalena belum dapet makanan, jadi Kakak gak pulang dulu," ujar Deka. Setelah berucap, ia menatapku dengan senyuman, "Dia bakal pulang, kan?"

Aku tersenyum untuk membohonginya, tetapi tak berani berucap agar ia tak terlalu berharap. Aku ingin ia segera melupakan, lantas memandangku sebagai Kakaknya.

"Kakak Deka pasti Kakak yang hebat." Aku menyemangatinya.

"Iya, benal! Kakakku itu selalu membacakan dongeng sebelum aku tid. Aku masih ingat, katanya, semua manusia itu sebenarnya baik, tetapi ketika belanjak dewasa, mereka belubah."

"Itu dongeng tentang apa?" Dulu aku juga sering dibacakan dongeng, tapi tak pernah mendengar dongeng anak kecil yang mengucapkan hal itu.

"Hmmm, kata Kakakku judulnya manusia."

"Ada bukunya?"

Deka menggeleng dengan lucunya sembari tangan kanan yang dikibaskan di depan mukanya, "Enggak, itu kalangan Kakak sendili."

Ah, karangannya sendiri. Kurasa Kakak Deka sangat menyayangi anak ini. Dilihat tentang apa yang diceritakan, orang itu pasti lemah lembut dan mudah disukai anak kecil.

Deka selalu saja berbicara, menceritakan tentang Kakaknya sampai ia menguap beberapa kali. Lantas aku membawanya ke kamar, menidurkannya dengan dongeng, tentu bukan karanganku, melainkan dongeng yang sudah ada.

Dia sangat antusias ketika aku mulai mengucapkan kata pertama. Dongeng si kancil, yah, katanya dia pernah mendengarnya, cuma tak masalah katanya, asalkan dibacakan sebuah dongeng.

Tidak lama setelahnya, Deka terlelap. Sementara aku tak mungkin bisa, aku turun lagi ke lantai bawah, memastikan setiap celah, menutup lubang walau sekecil apapun itu.

Jam dinding sudah kehabisan beterainya. Beberapa mayat hidup yang menggedor-gedor itu telah pergi, mungkin menemukan mangsa baru di sana. Aku duduk di dekat ranjang Deka, kutatap ia yang telah tidur dengan indahnya.

Kasian, secara tidak sengaja kehidupannya telah direnggut oleh mereka para penguasa, yang merasa punya hak lebih karena begitu kaya dan bertindak sesuai keinginannya. Masa kecil Deka takkan menyenangkan lagi sepertiku dahulu.

Pabrik-pabrik itu dibangun dengan alasan untuk membuka lapangan pekerjaan. Tak masalah memang, tapi harusnya juga melihat kondisi sekitarnya, limbahnya mencemari sungai yang dulunya bisa untuk mandi dan mencuci.

Sekarang bagaimana? Busuk, bau menyengat, dan lebih buruknya membuat negara ini hancur begitu saja. Perjuangan para pahlawan dahulu dimusnahkan secara perlahan oleh mereka yang tak punya pikiran.

Para pembuang sampah juga sama buruknya. Dengan perasaan yang sama sekali tidak mempedulikan lingkungan, mereka seenaknya saja menaruh plastik di sungai.

Aku berkata seperti ini bukan karena aku tak pernah membuang sampah sembarangan. Beberapa kubuang dengan sadar di lingkungan sekitar, hasilnya sampah itu menumpuk tinggi dan berdampak pada pernapasanku sendiri.

Aku sempat sadar, menjaga lingkungan itu penting, membuang sampah pada tempatnya itu sangat dianjurkan, bahkan diwajibkan. Toh, semuanya untuk kepentingan bersama.

Sekarang, saat ini, tak hanya sampah yang menggunung. Melainkan lebih buruk lagi, lebih bau lagi, membuat muntah bagi yang tak terbiasa. Mayat berceceran, tulang-tulang berserakan tanpa dikubur.

Teror dari mayat membuat manusia tambah egois. Dua orang itu contohnya, dan aku juga bisa dijadikan contoh buruk. Membunuh tetap saja perbuatan yang salah, dan aku salah.

Sekali lagi, aku bertanya pada diri sendiri. Apa aku salah?

****

Tetap saja aku tertidur, Deka membangunkanku dengan cukup kuat menggoncang tubuhku. Sementara ia masih saja menggendong kucing lucu itu, tentunya mengeong beberapa kali.

"Bilu lapal."

Aku segera bangun. Dari sela-sela tirai jendela terlihat matahari yang memunculkan cahayanya. Sementara Deka kini berdiri masih mengelus kucingnya.

"Ada makanan kucing, gak?" tanyaku.

"Gak, kasih makanan di kulkas aja."

Aku bangkit berdiri. Menuju dapur, memeriksa apa yang ada di dalam kulkas. Kuambil sarden kaleng dan ah, beberapa hari lagi sudah kedaluarsa.

Deka terlihat menunggu di atas kursi, memangku kucingnya. Jika sarden-sarden yang tinggal sedikit ini diberikan kucing itu, entah apa yang akan aku dan Deka makan.

Baiklah, mungkin itu bisa aku pikirkan nanti. Sekarang kudekati kompor, menyalakannya. Yah, tentu saja tidak bisa, kemungkinan besar sudah habis berminggu-minggu lalu.

Kubuka semua lemari, hingga akhirnya kutemukan satu korek api. Kukumpulkan Kain-kain yang sudah tidak akan dipakai. Kursi kayu yang sudah usang dimakan usia juga aku ambil potongan-potongannya untuk bahan bakar.

Kubakar semuanya, lalu kubuka sedikit dua sarden. Kuletakkan di tengah api yang sudah menyala-nyala. Mungkin dua hari ini Deka memakan roti yang ada di kulkas, tak mungkin ia bisa memasak dengan seperti ini.

Sebenarnya bisa saja aku tak susah payah membuat hal merepotkan seperti ini. Namun, jika hanya memakan roti itu, atau buah yang sudah layu itu, tak akan cukup untuk memenuhi gizi, apalagi di tengah bencana seperti ini.

Rumah ini masih bersih, kutebak sebelumnya telah dibersihkan oleh Kakak Deka. Lantainya juga tak jorok, seperti diurus untuk digunakan sebagai tempat tinggal.

Aku tak banyak mengobrol dengan anak itu, dia sibuk dengan kucingnya dan aku bersyukur atas itu, artinya dia bisa dirawat dengan mudah, sehingga tidak terlalu merepotkan.

Setelah matang, kupadamkan api itu, tidak dengan air karena saat ini air begitu langka, tapi dengan menginjaknya, memukulnya dengan benda lain agar padam.

Kubiarkan beberapa saat sarden itu hingga tidak panas lagi. Kubersihkan mangkuk plastik yang ada, kuambil sendok dan kuhidangkan di meja makan.

"Deka." Panggilku dengan pelan. Anak itu langsung bergegas mendekat, duduk di kursi.

"Untuk bilu mana?"

Astaga, dia masih memikirkan perut kucingnya. Padahal aku yakin dirinya sendiri kelaparan. Walau begitu, aku langsung menyiapkan untuk kucing itu, tak terlalu banyak, hanya tiga ikan sarden sudah cukup. Bagaimana pun lambung manusia lebih besar daripada kucing.

"Makan ya, jangan sampai sakit."

Aku yang sudah mengunyah satu ikan sarden sedikit tersenyum, "Deka, kamu juga harus makan, biarkan si Bilu makan sendiri, gak perlu dielus terus."

Tentunya aku berbicara dengan memelankan suaraku. Sementara Deka langsung mengangguk dan memakan sarden itu secara lahap.

"Enak," katanya. Padahal saat aku memakan sarden itu, tak enak sama sekali, kurang beberapa hal seperti beberapa bumbu. Ya, mungkin juga karena beberapa hari lagi sudah kedaluarsa.

"Deka, makanan di kulkas itu sudah habis, ada sih, tapi sebentar lagi udah gak enak dimakan."

"Telus?"

"Nanti Kakak mau cari di luar, Deka tetep di sini, ya."

Deka terlihat kesal. Ia memandangku dengan tatapan tajam, lalu raut wajahnya berubah. Apa aku salah berucap? Sepertinya tidak.

"Jangan, gak sudah pelgi, nanti gak pulang." Deka terlihat sedih, air mata itu menetes, lalu mengalir di pipinya. "Nanti, kalau Kakak Jalak pelgi, dan gak pulang kayak Kak Tiyo, Deka sendiri lagi."

Kudekati Deka, kuambil kucing itu dan kutaruh di atas meja. Kuusap air matanya sambil berkata, "Kalau gak keluar, gimana kita makan?"

"Kak Tiyo juga bilang gitu, kalau gak kelual, gimana kita makan. Tapi, malah gak pulang-pulang sampai sekalang."

Aku hanya bisa diam. Mungkin aku bisa keluar saat malam nanti, menyelinap untuk mencari makanan dan pulang sebelum Deka bangun. Namun, sepertinya itu agak berbahaya, berkeliaran pada saat gelap, dan meninggalkan Deka sendiri.

"Kalau mau cari makanan, Deka ikut aja, di sini juga bosen. Boleh, kan?"

Aku menatap matanya. Ia sudah tak bersedih lagi, malah tersenyum memperlihatkan giginya. Namun, itu juga berisiko, membawa Deka keluar sana dan pasti dengan kucingnya.

Deka berdiri dari posisi duduknya, mengambil kucing yang ada di atas meja, lalu meluncur ke kamarnya. Sesaat kemudian ia keluar, dan memperlihatkan kurungan kucing yang ditenteng dengan si Bilu yang ada di dalamnya.

"Yuk kelual. Bilu ingin makanan kucing, bukan salden. Di luar ada makanan kucing, kan?"

Aku mengembuskan napas pelan, sepertinya tak salah juga. Asal dia bersamaku, kurasa akan aman. Apalagi anak itu mudah diatur. Baiklah, "Iya, nanti kita cari makanan untuk Bilu, oke?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro