1. Journey of A Mother

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menahan napas dan mulai menghitung.

Satu langkah. Tinggal sembilan meter. Bumi bergetar.

Tidak mungkin makhluk itu berada terlalu jauh. Terakhir aku mengecek, dia ada sepuluh meter di belakangku. Jarak langkahnya mungkin masing-masing satu meter, jadi satu langkah, artinya jarak di antara kami berkurang satu meter.

Langkah kedua. Delapan meter.

"Aku bisssa mengendusssmu, Manusssia..." Suara mendesis itu terdengar, bergema di udara, bergema di telingaku. "Baumu yang mulai membussukkk itu ... khasss sekali."

Senapan di tanganku masih memiliki satu peluru. Tinggal satu peluru. Satu kali tembakan. Satu kesempatan terakhir. Aku melirik ke balik pohon, pelan sekali, bayangan itu sudah ada di ujung gua.

Langkah ketiga. Tujuh meter.

Aku kembali bersembunyi di balik rimbunan bunga yang mekar di sekelilingku. Aroma nektarnya menggelitik hidungku dari tadi walau sudah tertutup kain. Akar-akar hijaunya membelit tubuhku, dengan aman menjaga tubuhku tetap tegak dengan posisi menembak, alih-alih jatuh menyedihkan seperti Manusia lemah. Aku segera menyiapkan senjata untuk menembak.

Suara desisan itu semakin dekat. Rasanya seperti berdesis di samping telingaku. Satu peluru, satu kesempatan. Tidak ada lain kali. JIka aku gagal, artinya aku akan mati.

Tanganku berkeringat dingin. Sekujur tubuhku rasanya dingin. Tanganku sekali lagi kesemutan dan mati rasa. Nyeri otot menyerang, tapi aku tidak menurunkan senapan. Aku tidak bisa. Tidak sempat.

Kepala ular raksasa muncul di atas kepalaku.

Mata Yaksha itu keemasan di dalam keremangan cahaya. Nafsu lapar tersurat jelas dalam sorot mata buasnya. Sisiknya gelap dan tingginya menjulang satu meter di atas tubuhku. Ukuran moncongnya saja lebih besar dari kepalaku dan ketika ia berbicara, deretan taring dengan liur menetes deras seperti anjing liar, mendekat pelan-pelan.

"Ketemu kau, tikusss kecil!" Mulut itu membuka lebar, siap memangsaku bulat-bulat.

Yaksha itu menarik tubuhnya mendekat. Lima cakarnya menghancurkan pohon tempatku bersembunyi dalam sekali genggaman. Aku berkelit, tapi akar-akar yang tadi menopang tubuhku, kini berbalik membelit tubuhku, menjadi senjata makan tuan yang membuatku sulit untuk melarikan diri.

Melihat kesempatan, cakar Yaksha itu semakin liar mencoba meraih dan menebasku tanpa ampun. Aku tidak membiarkannya. Aku berjongkok dan meraih pisau di balik celana, lalu mengayunkannya ke cakar-cakar sang Yaksha. Cakarnya jatuh. Ia menjerit, meraung murka. Bunyi desis terdengar dari darahnya yang memancar ke arah ranting dan akar yang membelit tubuhku.

Tetesan darah gelap itu membasahi dedaunan yang membelit tubuhku, melelehkannya, sekaligus membebaskanku. Memberiku kesempatan yang tidak terduga. Bagus!

Yaksha itu meronta kuat. Tapi dahan tanaman rambat yang membelit kami juga turut mengekang pergerakannya.

Benar, tanaman tidak punya mata. Mereka akan memangsa apa pun yang mendekat ke arah mereka. Tidak peduli ras, tidak peduli bangsa. Selama ia bisa dimakan, ia adalah mangsa.

Yaksha ataupun Manusia.

Leher ular Yaksha itu memberontak, menggigiti akar-akar rambat dan dahan panjang yang membelit, tapi sia-sia.

"Sssialann!" Makhluk itu berbicara saat mulutnya penuh oleh akar. Ia mendesis dan meraung, masih belum menyerah meraihku.

Sayang baginya, jariku sudah ada di depan pelatuk.

"Maaf, ya," ujarku sembari mengacungkan pistol dalam sudut yang tepat. Setiap otak Yaksha jenis ini terdapat di empat puluh lima derajat di bawah tengkoraknya, di dekat kerongkongan.

Konon katanya, itulah alasan mereka sering kelaparan.

"Aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu."

Bunyi tembakan bergema di dalam gua.

***

"Aw, pelan-pelan, Hesa!" Aku mendesis protes ketika obat apa pun itu dioleskan di atas kulit wajahku yang melepuh. Rasanya perih, jelas, tapi sebenarnya bukan hanya itu alasanku menggerung marah.

Cakar tajam Hesa hampir saja menggores wajahku.

"Anggap saja setiap bagian dari tubuh Yaksha itu berbahaya." Nasihat Randu bergema di dalam kepalaku. "Kita tidak punya waktu dan ilmu yang cukup untuk mempelajari mereka selain dari mitologi yang entah benar atau salah. Entah bagian mana dari tubuh mereka yang sebenarnya berbahaya. Kita tidak punya pengetahuan cukup soal itu, jadi cara amannya, anggap saja semua anggota tubuh mereka berbahaya."

Hindari kontak fisik berlebihan, aku masih memegang teguh nasihat itu.

Lebih baik mencegah daripada membunuh untuk menyelesaikan masalah. Kita tidak tahu struktur racun dan bisa Yaksha. Antidot benar-benar separuh mustahil di level ini.

Sementara aku terjebak dalam pikiran sendiri, di hadapanku, Hesa tersenyum (mungkin memang maksudnya tersenyum, tapi karena rahangnya fleksibel, senyumnya tampak sebagai seringai lebar) Dengan hati-hati, ia mengambil seoles salep itu dan mencoba mengobatkannya ke wajahku.

Tapi kali ini aku menahannya.

"Aku bisa sendiri."

Hesa menyerahkan wadah salep itu kepadaku dan membiarkanku mengobati luka-lukaku sendiri, sesuai keinginanku.

Ugh ... aku mengernyit ketika baunya menempel di hidung.

"Kau tidak sssuka baunya?"

"Aromanya seperti katak," keluhku. "Dan aku beraroma seperti katak hutan sekarang."

"Jangan melukai dirri sendirrri kalau begituu." Ketika Hesa bersuara, rahangnya membuka sedikit terlalu lebar, memperlihatkan lidahnya yang bercabang dua.

Dia mendesis seperti ular yang awas pada keadaan sekitar.

Diam-diam aku melirik separuh tubuhnya yang berupa ekor kelabu. Di dalam keremangan cahaya yang berasal dari kunang-kunang yang ia tangkap dan batu api di dalam lentera kaca, sisik di bagian bawah tubuhnya berkilau samar dalam tujuh warna pudar.

"Ssudah aku bilang, Kami punya bisssa yang mematikan ... darrrah yang berrracun...." Hesa berhenti memberiku salep. "Kau beruntung ... darrrahnya tidak mengenai matamu."

Hesa terkikik. Tapi suaranya lebih mirip desisan orang yang tercekik daripada kikik tawa.

"Hassilnya tidak akan bagussss."

Aku tidak mau membayangkannya, tapi jelas aku sudah mengecewakan satu Yaksha di sini karena tidak terluka lebih parah.

"Ah, tentu sssaja aku juga bersssyukurrr." Hesa bangkit ketika ia berdiri, tubuhnya menjulang satu meter lebih tinggi dari puncak kepalaku. Kadang aku lupa betapa Yaksha ini sebenarnya lebih tinggi—atau harus aku katakan, panjang—dariku. Dia bisa saja meremukkanku dalam berbagai kesempatan, tapi tidak melakukannya sedari beberapa hari kami bersama.

Tentu saja, karena aku tidak memberinya kesempatan.

JIka ia diberi kesempatan, aku yakin ia tidak akan ragu meremukkanku dalam sekali sapuan.

"Messsa sudah terrracuni bissanya sssendiri sejak berrrtahun lalu. Kami hanya ... tidak bisssa menyingkirrkannya. Dia terrrlalu kuat."

Setelah aku selesai membalut semua luka dengan salep itu, Hesa melata menjauh dan berbalik, meletakkan kembali salepnya ke dalam koleksi pribadinya di atas rak-rak kayu berjamur yang dibuat dari celah alami pohon. Aku menatap celah itu dan tidak bisa ... tidak iri saat melihatnya. Entah Hesa adalah orang yang pandai mengatur ruang atau memang lubang di pohon itu begitu pas dan sesuai untuk menampung semua kebutuhannya, aku juga tidak tahu.

Tapi itu tidak pernah terjadi padaku sebelumnya.

Manusia, yang selalu membutuhkan lebih dan lebih. Beradaptasi dengan memotong, menebas, membunuh. Semua untuk bertahan hidup. Yaksha memang membunuh juga dan lebih keji, tapi mereka jelas tidak memanfaatkan apa pun dari alam, lebih dari yang mereka dapatkan.

Aku menyadarkan diri dari pemikiran konyol itu, lalu menyentuh luka yang dioleskan salep tadi. Tidak lagi terasa perih. Malahan, terasa dingin dan nyaman. Padahal semenit tadi, rasanya benar-benar panas menusuk.

Catatan untuk diri sendiri, segeralah racik anti-bisa setelah keluar dari sini.

"Apa tidak apa-apa?" tanyaku. "Nasib kalian setelah ini, maksudku."

"Hm?" Hesa menoleh. Pupil matanya tampak menipis: sebuah gestur yang aku pelajari sebagai antusiasme dari kaum Yaksha. "Kau mengkhawatirrrkan kami?"

"Jangan salah paham," tepisku. "Aku membunuh pemimpin kalian. Bukannya wajar kalian mengincarku untuk dibunuh?"

Hesa tertawa pelan.

"Ah, ucapan yang massuk akal," ujarnya. "Tapi itu tidak akan terrjadi, Dayu. Aku berrani menjaminmu dengan nyawaku sssendirrri."

Omongan itu kedengaran meyakinkan, tapi aku yang sudah terlalu lama di Permukaan tahu lebih baik untuk tidak berharap pada kata-kata itu, apalagi yang keluar dari mulut makhluk selain Manusia.

"Maaf saja, tapi aku tidak percaya padamu," tegasku. "Tidak ada yang bisa dipercaya di Permukaan."

Hesa tidak menyahut, mungkin tersinggung.

Aku menekan rasa tidak enak hati jauh-jauh. Tidak peduli sebanyak apa pun kebaikannya sampai sesaat tadi, kami tetap dua makhluk berbeda. Mangsa dan predator. Di atas Permukaan ini, aku tidak bisa tidak boleh merasa sangsi atau tidak enak hati, demi keselamatanku sendiri.

Setidaknya sampai aku bisa menemukan Kala lagi.

"Sssetelah ini, apa yang mau kau lakukan, Dayu?" Hesa menolehkan separuh wajahnya kepadaku. "Kau mau mencarrri anakmu lagi, hm?"

"Ya," jawabku. "Dan kuharap kau tepati janjimu untuk membawaku ke kota Purusha."

"Oh, tentu sssaja, aku bukannya tidak punya akal pikirrannn..." Naga betina itu terkikik. "Tapi aku penassarran ... kenapa kau masssih saja mencarri putrramu? Bukankah dia mungkin sssaja sssudah mati? Perrmukaan ... bukan tempat rrramah bagi Manussia ... apalagi...." Hesa menjeda, ia mendesis yang bagiku terdengar seperti cekikikan. "Dia mungkin sssudah tidak berrrwujud manussia lagi."

Kata-kata itu membangkitkan déjà vu. Ada lebih dari satu orang pernah mengatakan hal serupa.

"Anakmu mungkin tidak akan mengenalimu lagi jika kalian bertemu."

"Dia mungkin sudah jadi monster tanpa akal yang akan membunuhmu."

Benar. Mereka semua benar. Manusia yang terinfeksi Maladies hanya tinggal menunggu waktu. Jika sial, mereka hanya akan menjadi gumpalan daging tak berotak yang tinggal menunggu waktu untuk menjadi santapan. Jika cukup beruntung, intelegensi mereka akan bertahan, tapi tidak kemanusiaan mereka. Tidak bentuk Manusia mereka.

Aku sudah jadi saksi dari betapa kejamnya Maladies, tapi tetap tidak mau menyerah.

Di mata seseorang ... mungkin ini adalah tindakan bodoh.

"Orang gila!" Tidak heran mereka menghinaku seperti itu.

Tapi aku pun berhak berharap, kan? Seorang Ibu ... boleh berharap anaknya masih hidup secara ajaib di luar sana, bertahan dan menunggunya, kan?

"Aku akan tetap mencarinya." Aku memejamkan mata sejenak, meneguhkan hati dan menghela napas. "Biar bagaimanapun, karena shalahku-ah hia...."

Aku membelalak. Kata-kataku memudar seiring lidahku yang mati rasa. Mataku mendelik nanar ke arah Hesa. Yaksha itu masih memunggungiku. Tapi sosoknya yang tidak bergerak, mengkhianatiku jauh lebih sakit dari apa pun.

Tanganku berusaha mengambil pisau di kaki, tapi tanganku hanya meraih udara kosong. Jantungku mencelus ketika sadar, pisau itu aku letakkan di atas meja satu depa dari tempatku duduk. Senapanku pun ada di sana.

Kepalaku menoleh ke arah meja, tapi terhenti dengan lunglai sebelum kemudian jatuh tertunduk dengan lunglai. Tanganku berusaha bergerak, menggapai, tapi tidak bisa. Tangan itu sudah keburu lemas. Tubuhku ambruk dan jatuh ke lantai berbatu. Kulit wajahku terasa semakin tebal. Tidak ada rasa sakit. Karena seluruh tubuhku lumpuh.

Di atasku, Hesa melata, menjulang, sembari menyeringai. Senyum lebarnya membentang dari pipi ke pipi, membelah wajahnya yang bahagia. Mulutnya membuka lebar, lidahnya yang bercabang dan hitam menjulur keluar.

"Oh, tentu sssaja aku akan menepati janjiku, Dayu yang manisss...." Dia tertawa licik seraya mencondongkan tubuh mendekat. "Aku akan membawamu ke kota Purusshaaaa ... tapi aku tidak perrrnah berrrjanji membawamu ke sssana sssebagai tamu."

Sial, sial, sial. Aku mengumpat dalam hati. Pastilah salep itu. Salep aneh itu beracun. Yaksha betina itu sudah merencanakan ini dari awal.

"Ssseperrrti yang kau bilang tadi, Dayu." Ekor panjang Hesa melilit tubuhku yang lupuh. Tubuhnya yang panjang, naik, dan semakin tinggi membelit tubuhku sampai ke leher. Jalan napasku langsung terpotong. Oksigen perlahan-lahan meninggalkan paru-paruku. Di hadapan wanita ular yang menyeringai, kesadaranku perlahan menguap. "Tidak ada yang bissa diperrcaya di atas Perrrmukaan...."

Sampai saat terakhir, aku hanya bisa merutuk tanpa bisa melakukan apa pun. Tidak lagi punya daya untuk melawan, apalagi melepaskan diri. Aku pun menyerah pada kegelapan sembari menyumpah serapah pada segalanya: keadaan, naga betina itu, dan kebodohanku sendiri. Lagi-lagi kebodohanku sendiri.

Lagi-lagi karena akulah ... semuanya kacau.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro