2. The Day It All Began

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Orang-orang bilang, perubahan datang seperti pencuri. Kau tidak akan sadar dia datang sampai kau kehilangan sesuatu. Beberapa orang menyamakan perubahan dengan kematian, kau tidak akan sadar dia datang sampai ia menunjukkan diri ke hadapanmu. Aku setuju dengan kedua pernyataan itu. Perubahan selalu datang tiba-tiba. Buruknya, ia tidak selalu terjadi dengan sebuah ledakan. Perubahan bisa saja terjadi di sebuah hari normal, saat kau dan keluargamu sedang makan siang di sebuah restoran cepat saji di tengah kota.

"Ini terakhir kalinya kamu makan makanan cepat saji, ya." Irsyad berkata kepadaku dari seberang meja.

Aku tersenyum, memegangi perutku yang masih rata. "Ini akan jadi pertama dan terakhir aku makan makanan cepat saji selama hamil."

"Aku mau kentang goreng dan burger!" Azka, putra sulungku merengek di sofa empuknya, tepat di sebelahku. Dia membaca buku menu dan menunjuk satu menu anak-anak berhadiah mainan.

Di saat kondisi keuangan kami sedang baik, mungkin kami akan membelinya, tapi sekarang aku dan Irsyad berpandangan. Irsyad menatapku dengan wajah itu: wajah tidak enak untuk menolak. Dia menyerahkannya kepadaku untuk bertindak tegas, karena kalau dia buka mulut, yang keluar dari mulutnya pastilah pengiyaan.

"Tidak boleh, Azka." Aku menunjuk menu anak-anak yang lain yang tanpa mainan. "Anak pintar harus makan nasi! Azka mau jadi anak pintar, kan?"

Anak sulungku hanya cemberut. "Tapi Azka mau kentang...."

Aku berkompromi lagi dengan Irsyad. Suamiku itu tersenyum tipis. Dia masih membolehkan kentang. Kalau dipikir, aku memang masih memiliki uang lebih berkat penghematan yang kami lakukan di rumah.

"Maaf, Bu, untuk menu dengan mainan, mainannya sedang kosong." Aku mendengar petugas kasir di resto cepat saji kami menyahut pelanggan yang juga membawa anak kecil. Wanita itu menggendong putrinya.

"Tuh, kamu dengar, kan, Azka." Kami yang memang duduk tidak jauh dari meja kasir, masih sanggup mendengarnya. "Lagi abis mainannya."

Azka yang sepertinya juga mendengar hal itu akhirnya menyerah, meski masih menatap mainan mobil yang jadi bonus menu pilihannya. Aku mengelus kepala anak itu.

"Nanti kalau dedek bayi udah lahir, kita ke pasar dan beli mobil ya."

Azka mengangguk lesu. "Saat toko Oma-Febi buka lagi?"

Aku terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Oma-Febi pasti buka lagi kok toko mainannya."

Dengan kompromi ringan itu, Irsyad mengangguk dan memesankan kami menu yang dipesan. Aku dan Azka menunggu di tempat duduk yang dekat dengan jendela. Pemandangan jalan sepi di dekat kami. Tapi di seberang sana, di jalan keluar, kendaraan padat melintas. Aspal sampai membara saking panasnya di luar sana. Di seberang jalan, toko-toko makanan menutup etalase toko mereka lebih cepat. Hanya toko cepat saji yang masih berani buka di siang hari yang membara seperti ini.

Tapi aku mendongak di atas pendingin udara di atas kami. Sebulir keringat jatuh di pelipisku. Pasti karena panas dari kaca bening di depan kami. Aku menunduk dan melihat Azka masih mengenakan jaketnya.

"Azka, nggak kepanasan?" Aku menawarkan untuk melepas jaket itu dan Azka mengangguk. Jantungku mencelus sedikit saat melihat kaus merah Azka basah oleh keringat.

Irsyad kembali tidak lama kemudian, tapi dengan wajah lesu. Dia hanya kembali dengan dua nasi dan ayam.

"Maaf, ya, Azka, kentang gorengnya habis." Irsyad meletakkan nampan makanan di depan kami. Es batu tidak ada di minuman sodanya dan teh manis Azka. Sementara untuk minunamku, uap masih mengepul dari teh panas itu. Irsyad dan aku bertatapan. "Es batu habis."

Aku membalas tatapan menyesal suamiku dengan sebuah senyuman apa-boleh-buat, tapi Azka yang kaget melihat minumannya tanpa es memasang tampang cemberut.

"Di sini tidak ada es juga?"

Aku mengelus rambut putraku itu. "Nanti kita minum es di rumah, ya." Semoga. Aku hara kulkas di rumah kami baik-baik saja saat kami sampai ke rumah nanti.

Azka mendongak penasaran kepadaku. "Tidak ada pemadaman bergilir lagi?"

"Kita doakan saja tidak ada," Irsyad mewakili jawabanku dari seberang. "Semoga perbaikan gardunya sudah selesai hari ini. Jadi, air di kulkas bisa jadi es."

Azka bersorak kegirangan dan menyeruput minumannya dengan bahagia. Anakku itu makan dengan lahap, teralihkan sepenuhnya dari jalanan di seberang kami yang mulai dipenuhi kendaraan, mengular ke jalan di luar kota, sementara jalanan di dalam kota sepi dan lancar.

"Ibu minum air panas?" Azka bertanya polos lalu melihat perutku yang rata. "Adik tidak akan kepanasan juga?"

"Tidak, Azka." Aku mengangkat dagu dengan angkuh. "Ibu kan kuat."

Azka tersenyum. Dengan kepolosan anak kecil, dia berkata: "Azka percaya kok. Ibu, memang kuat."

Rasa haru yang membuncah membuatku langsung menghambur memeluk tubuh kecil Azka.

"E-eh? Ibu jangan peluk Azka! Baju Ibu kotor nanti!"

"Ini Cuma kotoran kecil," Ya, Cuma kotoran kecil. Dibandingkan anugrah yang hadir dalam hidup kami ini, noda di bajuku hanyalah noda kecil yang mudah hilang. Aku melepas pelukan dengan berat hati. "Azka lanjutin makannya ya. Yang habis."

Azka dengan senang hati menuruti perkataanku itu dan melanjutkan makan. Irsyad mengulurkan tangan di atas meja dan aku menyambutnya. Berpegangan tangan saling menguatkan.

Oh, Tuhan, betapa anugrah ini tidak terkira. Aku berkali-kali hampir jatuh dan putus asa, khawatir dan sedih, tapi dua orang ini selalu ada, menguatkanku kapan pun aku terjatuh, membuat kebohongan yang dengan sulitnya terucap di bibirku menjadi kenyataan: gardu yang rusak, Oma-Febi yang sudah pindah dan tidak lagi terdengar kabarnya berhari-hari lalu, suhu yang kian tidak tertahankan, dan makanan biasa yang kian lama kian sulit didapat.

***

[Suhu udara hari ini kembali memecahkan rekor.] Suara radio di mobil terdengar jelas di jalanan yang sepi. Azka di belakang masih bermain dengan mainan pesawat roket yang kami beli beberapa hari lalu di cuci gudang. [Disertai kelembapan yang tinggi ... semua warga diimbau untuk tetap berada di rumah selama....]

"Di rumah listrik mati dan air tidak bisa menyala, bagaimana kita bisa diam saja di rumah?" Aku menggerutu kesal. Irsyad tertawa.

"Setidaknya kita masih bisa menikmati radio dan bahan bakar masih ada." Suamiku menghibur.

"Setidaknya." Aku mencebik sementara radio memutar berita lebih lanjut.

[Sink hole lain ditemukan di titik baru di tengah Jakarta. Sebuah gedung setinggi delapan lantai tenggelam.] Jantungku mencelus. [Sampai berita ini diturunkan tim SAR dan pihak berwenang masih mencoba mengevakuasi para korba—

Aku memutar saluran, menggantinya ke saluran lain yang memutar musik, mencari-carinya di seluruh frekuensi yang tertangkap.

[Krisis energi berada di titik gawat....]

[Pangan mulai menipis, Kementrian Pangan meminta bantuan ASEAN....]

Aku berdecak. "Ish, kenapa nggak ada musik, sih?" Aku melihat jam di dasbor mobil. "Padahal masih siang, biasanya ada acara musik, kan, jam segini?"

[Gempa meningkat delapan kali lipat dalam lima minggu. BMKG melaporkan....]

[Tumbuhan aneh yang tidak teridentifikasi keluar dari sink hole dalam satu malam....]

Menyerah pada radio, aku pun mematikan benda itu dan memutuskan untuk duduk diam saja.

"Loh, kenapa dimatiin? Berita yang terakhir itu kedengarannya...."

"Aku bosen," jawabku kesal. "Beritanya nggak ada yang bagus."

Bukan bagus dalam artian selera. Memang benar-benar tidak ada berita yang mengabarkan perkembangan baik.

"Tapi ada pohon keluar dari sink hole itu sesuatu yang baru, kan?"

Aku melongok pada Irsyad. "Kamu dengerin beritanya?"

Irsyad tersenyum. "Nggak juga, kan, kamu keburu matiin radionya."

Aku memberengut kesal dan meninju pelan pundaknya. "Sudah mau sampai, kamu tolong fokus saja menyertir."

"Apa pun biar Nyonya senang." Irsyad membelokkan mobil kami dengan mulus.

Pintu gerbang kompleks membentang lima ratus meter di depan. Tapi alih-alih masuk, mobil kami berhenti tepat di depannya. Pintu gerbang masih tertutup di depan kami. Aku dan Irsyad berpandangan. Biasanya ada satpam yang berjaga dan membuka gerbang. Sekadar duduk nongkrong bersama teman-temannya di jam makan siang seperti ini.

Tapi sekarang tidak ada seorang pun. Irsyad membunyikan klakson. Sekali-dua kali, tidak ada jawaban. Yang ketiga kali pun masih sama. Irsyad melirikku cemas.

Ini sungguh tidak biasa.

Tidak hanya karena tidak ada yang menyahut, tapi tidak ada juga tetangga yang merasa terganggu oleh suara klakson kami. Tidak ada sosok yang keluar dari dalam gerbang perumahan sekadar untuk keluar. Seingatku sampai tadi pagi, sebelas rumah di depan sini masih berpenghuni, tidak seperti blok-blok belakang yang ditinggalkan.

"Tetap di sini." Irsyad keluar dari dalam mobil. "Awasi Azka."

Tanganku memegang pundaknya, hendak menahannya di tempat karena perasaan buruk menghantuiku, tapi pada akhirnya aku hanya bisa bilang: "Hati-hati." Dan melepasnya. Irsyad mengangguk, menggenggam tanganku sekilas sebelum keluar mobil.

"Ayah mau ke mana, Bu?" Terdengar suara Azka di belakang.

Aku berputar ke arah Azka. Tersenyum menenangkannya. "Mau ngecek keluar sebentar."

Aku melepas sabuk pengaman.

"Ibu kenapa lepas sabuk pengaman?" Azka bertanya. "Bukannya nggak boleh lepas sabuk pengaman di mobil?"

"Sebentar lagi kita sampai, Nak. Nggak apa-apa, kok." Aku mengulurkan tangan kepada Azka. "Ayo, Ibu mau peluk Azka sekarang."

Anak lelaki itu menurut dan melepaskan sabuk pengamannya. Ia mengulurkan tangannya, menyambut uluran tanganku, tepat ketika matanya mendadak terpaku.

"Ibu ... Ayah ... kenapa berlari....?"

Aku segera menoleh kembali ke depan, tepat ke arah Irsyad yang berlari ke arah mobil. Wajahnya ketakutan dan mulutnya meneriakkan sesuatu yang lambat laun menjadi kian jelas.

"Tetap di dalam mobil! Tetap di dalam!" Suamiku menjerit sembari berlari menghampiri mobil kami yang terparkir di luar gerbang perumahan.

Sementara di belakangnya, kabut pekat perlahan datang, menyapu apa pun yang ada di depannya dengan cepat, menelan mereka semua. Kemudian sosok bayangan hitam gelap bangkit menjulang dari balik kabut. Bayangan raksasa yang tingginya melebihi apa yang mampu aku lihat dari balik kaca mobil. Bayangan itu bergerak dan buruknya, dia berjalan ke arah mobil kami.

***

A/N:

Saya menemukan kesulitan untuk membagi timeline di kisah ini. Sebuah tantangan sama yang saya hadapi di Noir terjadi lagi di sini. Saya akan berusaha menyingkat-nyingkatnya menjadi bagian2 kecil supaya tidak makan banyak karakter. Haha

See you next chap

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro