3. Death and Lost

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menjerit saat kabut itu menelan Irsyad. Dengan terburu-buru, aku mendudukkan Azka di kursi depan, memasangkan sabuk pengamannya.

"Ibu ... Ayah ke mana?" Putraku bertanya dengan suara bergetar, ketakutanku dapat dirasakannya. Kedua matanya berkaca-kaca. "Asap itu apa, Bu?"

"Tidak apa-apa, Azka. Ibu di sini. Ibu di sini." Aku mengelus rambut halus Azka. Aku menyadari tanganku bergetar dan berkeringat dingin. Tapi aku mencoba tersenyum, menenangkannya. "Semuanya akan baik-baik saja."

Aku adalah tumpuan anak ini. Tidak, kami adalah tumpuan anak ini. Penopangnya untuk tidak ketakutan dan gelisah. Aku tidak boleh panik. Tidak boleh takut. Tidak boleh sedih, setidaknya di depan putraku.

"Kita jemput ayah."

Azka mengangguk ragu. Kabut di dekat kami semakin pekat, tapi aku tetap memasang sabuk pengaman dan memegang kemudi. Aku menyalakan lampu depan mobil, tapi percuma. Kabut sudah kian pekat di dekat kami. Sementara Irysad tidak tampak.

Ah, tidak, mungkin Irsyad sudah ada di dekat sini juga. Tadi ia tidak terpisah berapa jauh dari kami.

Namun waktuku tidak banyak.

Guncangan membuat mobil bergetar. Satu kali. Dua kali.

Kemudian geraman terdengar. Seperti raungan binatang buas. Kali ini Azka tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Ia memeluk mainan pesawatnya erat-erat sembari menangis.

"Ibu, bayangan apa itu? Suara apa itu?" Ia terisak di kursinya.

"Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa." Tangan kiriku memegang tangan anakku yang juga berkeringat dingin. Padahal AC mobil sudah kami matikan. "Ibu di sini. Kita akan baik-baik saja."

"Di mana Ayah?" Azka menanyakan pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. "Ibu, di mana Ayah? Kenapa Ayah tidak datang juga?"

"Ayah pasti datang." Seolah alam tidak setuju dengan kata-kataku, guncangan kembali terasa. Kali ini lebih kuat. Suara raungan itu pun terdengar lebih lantang. Lebih kencang, seolah apa pun makhluk yang menjadi sumber raungan itu, kini tengah mendekat. Tepat ke arah kami yang dengan tololnya menyalakan lampu, memberitahukan keberadaan kami kepada makhluk-makhluk entah apa di dalam kabut itu.

Aku bukannya tidak tahu risiko ini. Tapi di tengah kabut pekat, apa yang bisa diharapkan selain hamburan cahaya? Irsyad akan tersesat jika kami tidak menyalakan lampu. Bagaimana jika ia tidak bisa menemukan—

Tiba-tiba kaca pintu mobil digedor dari luar. Aku menengok terkejut ke kaca samping kemudi. Jariku sudah bersiap menginjak pedal gas jika itu adalah makhluk aneh, tapi rupanya wajah suamiku muncul, menempel di balik kaca mobil. Aku membuka kunci mobil dan membiarkan suamiku masuk.

Hidungku seketika mencium aroma aneh di udara saat pintu terbuka dan sedikit dari kabut itu masuk.

Itu aroma yang baru pertama kali aku cium. Aroma manis yang bercampur abu. Aroma besi bercampur aroma harum nectar. Aroma itu menyebar samar di dalam mobil, terpapar pendingin udara di dalam mobil dan semakin samar saat pintu tertutup.

Irsyad langsung mendelik ke arahku. "Jangan dihirup!" Matanya menoleh liar kepada Azka. "Tutup hidung Azka juga! Jangan hirup kabut itu! Dan segera pergi dari sini!"

Aku langsung mengambil masker dari laci dasbor dan memakaikannya kepada Azka. Anak lelaki itu tidak sempat protes. Ia hanya semakin mengkerut ketakutan, pastinya menyadari ketakutan kami yang semakin menjadi. Selepas memakaikan masker kepadaku sendiri, aku langsung menekan pedal gas dan melaju mundur secepat yang aku bisa, tepat di persimpangan.

Tepat sebelum tangan raksasa yang terbuat dari kayu, menggapai mobil kami.

Azka menjerit di sampingku, tepat saat aku menjerit juga. Untungnya otakku bekerja lebih cepat dari jeritannya dan membelokkan mobil, kembali ke jalan raya, sebelum tangan raksasa dari apa pun itu meraih kami. Makhluk itu jelas marah karena tidak lama setelah kami pergi, terdengar raungan yang menggetarkan jalan-jalan.

Dan dimulailah rangkaian kejadian tidak masuk akal dalam hidupku.

Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri jalan-jalan aspal retak, akar-akar raksasa bermunculan dari bawah tanah, bergerak seperti serangkaian cambuk mengerikan, debu dan tanah menutupi mobil. Aku berulang kali harus banting setir menghindari akar-akar itu. Mobil yang tidak sengaja tertabrak mobilku membunyikan klakson.

Agaknya itu keputusan yang salah, karena akar itu langsugn menghantam mobil di sampingku sampai tidak berbentuk. Tanah yang bercampur cairan yang aku tahu sebagai darah memercik ke kaca jendela. Jantungku mencelus. Bunyi mengerikan itu tidak bisa ditutupi oleh kaca jendela.

Siapa pun yang ada di dalam mobil itu, ia tidak sempat menjerit.

Azka hendak menengok, tapi aku buru-buru menutupi matanya.

"Tidak apa-apa, Azka. Tidak apa-apa," Aku berusaha menenangkannya. "Ibu bisa menangani ini. Ibu bisa."

"Ibu benar, Azka." Dari spion tengah, aku melihat Irsyad terbatuk, tapi baik-baik saja. Suamiku itu bangun, duduk, dan memegang bahu Azka dari belakang. "Ayo, anak Ayah pemberani, kan? Percaya sama Ibu. Ayah ada di sini."

Azka mengangguk perlahan, meski air mata menggenang di pipinya. Aku ingin sekali menghapus air mata itu, tapi sekali saja lengah dalam mengemudikan mobil ini, akar-akar raksasa itu akan menghantam kami.

Orang-orang yang masih ada di rumah, berlarian keluar. Di belakang, aku melihat orang-orang itu melambai ke jalan, tepat ke arah mobil kami yang bergerak, sebelum akar-akar itu meraih mereka, melemparkan mereka entah ke mana atau meratakan mereka dengan tanah dalam sekali cambuk. Bersama dengan akar-akar itu, kabut pekat di depan sana semakin kencang mengalir.

Itu bukan kabut biasa. Tidak ada kabut bergerak secepat itu.

Itu seperti badai pasir.

Di garis ekuatorial? Itu lebih mustahill lagi.

Dengan makhluk-makhluk aneh di dalamnya? Itu lebih tidak masuk akal lagi! Oh, Tuhan, bahkan mereka sekarang terlihat semakin banyak!

"Apa yang sebenarnya terjadi, Tuhan?!" Aku yang tidak tahan, akhirnya menjerit. Sembari menghindari rumah-rumah yang meledak dan hancur ketika akar dan pohon keluar dari dalam tanah. "Irsyad, katakan padaku apa yang kau lihat di dalam sana! Kabut apa itu? Makhluk apa di dalam kabut itu?!"

Azka merintih di sampingku, ketakutan mendengarku menghardik keras. Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk menghiburnya. Semua ini semakin tidak terkendali. Jantung, adrenalin, dan ketakutanku semakin tidak terkendali.

"Semua orang sudah tiada."

"Apa?!" Aku berbelok mendadak saat sebatang pohon dijatuhkan tepat di jalanan. Azka mengaduh, tapi untungnya, aku melihat tangan Irsyad ada di sana, melindungi kepala Azka dari benturan. "Maaf, Azka."

"Ibu?" Azka bertanya lagi.

"Ya, Sayang?"

"Semuanya ... akan baik-baik saja?"

Aku melirik ke arah Azka sekilas. Hanya untuk sekilas saja. "Ya, tentu saja. Ada ayah, ada Ibu di sini. Semuanya akan baik-baik saja." Aku lantas melirik suamiku yang ada di belakang Azka. "Irsyad tolong jaga Azka dan jelaskan semuanya singkat saja! Yang bisa aku mengerti!"

"Aku juga tidak mengerti!" Irsyad balas menyahut dengan nada tinggi, melawan semua gemuruh dan dentuman yang ada di sekeliling kami. Dentuman yang kemudian aku sadari, tidak hanya dari tanah dan rumah yang runtuh, tapi juga dari langit. "Semua orang mati! Semuanya! Mereka yang hidup, direnggut oleh kabut-kabut itu! Ada makhluk-makhluk aneh di sana dan yang keluar dari dalam kabut lebih aneh lagi!"

"Apa maksudmu aneh?!"

Mobil kami berguncang dan terlempar. Sebuah akar muncul dari dalam tanah dan menyandung mobil. Kami berputar tanpa kendali. Kepalaku berputar, isi perutku juga berputar. Aku kehilangan kendali mobil dan ketika aku berhasil mendapatkan kendali mobil, sebuah akar telah terangkat di hadapan kami.

Hal terakhir yang aku ingat adalah badan hitam akar itu menutupi seluruh kaca mobil.

***

Seluruh tubuhku dibekap rasa dingin menusuk. Tubuhku tidak bisa bergerak, tapi telingaku menangkap suara-suara yang lambat laun semakin keras terdengar. Suara raungan dan desisan. Suara geraman dan ledakan. Suara teriakan. Tanah bergetar di sekelilingku. Suara serpihan kaca dan besi berkelontang di sekelilingku.

"Da-yuh...."

"Ir-syad...." Aku berucap, merasakan jejak besi di lidahku. Darah. Dan ketika aku mengucapkan kata-kata, rasa sakit menusuk masuk.

Aku mengernyit, menyadari rasa sakit tidak hanya ada di mulut. Rasa sakit itu menyebar ke tangan, kaki, tubuh, dan terutama perutku.

Perut!

Aku langsung menunduk, kendati merasakan sakit luar biasa yang terpusat di sana.

Saat itulah aku menyaksikan pemandangan yang paling mengerikan dalam hidupku, pemandangan yang selama bertahun-tahun kemudian tetap ada di mimpi maupun bangunku.

Sebuah akar menembus perut atasku, menembus tubuhku, sekaligus tubuh Azka yang ada di hadapanku. Berbeda denganku, akar itu jauh menembus dada Azka. Tubuh anak itu bersimbah darah. Kedua matanya tertutup.

Mulutku membuka, mencoba menjerit, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah darah dan rasa sakit yang tidak kunjung berhenti.

***

A/N:

Yang udah emak-emak, sok jangan malu kritik saya kalau emang kisah saya kurang feel emak2nya. Takutnya saya kurang menyampaikan feel keteguhan seorang Ibu, jadinya ambyar.

Kalau ada masukan2 soal sifat emak2 juga mangga. Siapa tau saya salah ye kan. Takutnya ada yang tersinggung, maklum, baru kali ini bikin tokohnya ibu-ibu, bukan remaja tanggung lagi

See you next chap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro