4. Waking Up

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oi! Bangun!" Sebuah suara meraung di dekat kupingku, membangunkanku seketika. "Bangun, Tulang Ikan!"

Suara berkelontang besi membuatku terlonjak dan segera membuka mata.

Aku langsung memaki. Kepala belakangku nyeri dan berdenyut. Tanganku bergerak lebih dulu dari kelopak mataku, mencoba mencari tahu bagian yang mungkin cedera, sekaligus mengecek anggota pergerakan.

Oh, bagus, tanganku tidak bisa bergerak, keduanya diikat dan aku dalam posisi disalib. Kedua kaki juga. Ah, mulutku juga tidak bisa bergerak. Ada yang menyumpalnya. Baunya seperti besi berkarat. Sial, sepertinya ada yang berdarah di mulutku. Tapi ... ugh ... bau apa ini? Apa yang mereka gunakan untuk menutup mulutku?

Aku membuka mata dengan malas, sekadar untuk mengetahui kekacauan apa yang sudah menimpaku lagi kali ini, bukan benar-benar berminat membuka mata.

Saat itu juga, sepasang wajah bulat raksasa dari dua makhluk hijau gemuk menyambutku. Di tangan mereka, sebuah tombak berduri diacungkan tepat kepadaku yang menggantung di atas mereka.

"Ah, ternyata dia masih bisa bangun." Salah satu makhluk bicara. Dari suara beratnya, sepertinya ia pejantan. Mereka berdua. Makhluk itu bicara dalam bahasa lain. Bahasa Yaksha. "Ah, makan malamku! Sejauh apa lagi aku harus mencari? Aku sudah lelah!"

Yaksha yang ada di sebelahnya menepuk kepala Yaksha yang pertama. "Cari makan malammu di tempat lain! Yang bagus ini untuk dijual!"

Yaksha yang pertama mengeluh. Dia menggerutu, tapi ancaman dari Yaksha kedua membuatnya ciut. Dengan lesu makhluk itu pergi, membiarkanku melihat wujudnya yang seperti manusia, berjalan dengan dua kaki gemuk, memiliki dua tangan, gempal, dengan perut berlipat-lipat. Pakaian dari daun dan dililit akar pohon menutupi tubuh mereka.

Menghabiskan bertahun-tahun dalam teror dan kekuasaan dan satu tahun mengembara dari satu tempat ke tempat lain membuatku hapal ciri dan beberapa jenis Yaksha. Tentunya tidak semua, karena Yaksha sama banyaknya dengan jumlah ras dan suku di Manusia dulu. Tapi jenis ini cukup banyak aku temui. Jenis yang berbadan gempal dengan tinggi minimal dua meter.

Yaksha jenis Raksasa.

Kandangku kembali diguncangkan. Rupanya Raksasa kedua juga punya tombak dengan duri-duri sebesar lengan manusia di tangannya. Makhluk itu menyeringai, memperlihatkan gigi geliginya yang sebesar batu nisan kuning berlumut kepadaku.

"Lucu sekali, seperti lalat. Lebih kecil dari yang kami ingat dulu." Raksasa itu mendekat dan aku bergidik. Ukuran pupil matanya sebesar bola voli. Akan butuh lebih dari satu peluru senapan untuk membuatnya buta. "Dan aromamu lezat sekali bahkan sebelum kau dimasak. Ugh ... kenapa makanan enak selalu datang dalam porsi yang sedikit dan ukuran yang kecil?" Raksasa itu memeragakan dengan membandingkanku menggunakan jarinya yang besar. Jelas ukuranku jauh lebih kecil dari dua jarinya disatukan.

Aku ingin sekali bicara, memakinya balik, tapi belenggu di mulutku begitu kuat. Menggerakkan rahang saja sudah cukup menggores lipatan bibirku. Sepertinya kekesalanku ini tampak begitu jelas, sehingga ketika melihatku begitu kesal, Raksasa itu malah menyeringai semakin lebar.

"Kau marah?" Ia terkekeh. Suara tawanya mirip empasan batu yang menerpa tanah gembur. "Aku dengar kalau Manusia direbus saat marah, daging mereka akan sangat empuk...." Ketika ia berkata, setetes liur keluar dari deretan giginya. "Untuk daging yang sangat sedikit, ukuran yang sangat kecil, mereka bilang rasa kalian benar-benar mewah...."

Raksasa itu menjilat bibir pucatnya yang tebal. Dia lantas melirik ke belakang, kanan, dan kiri. Lalu mendongak ke atas. Ia mengecek keadaan sekeliling, dengan mata yang penuh curiga, pula.

Perasaanku jelek soal ini.

Sementra ia sibuk, aku menirunya, mengedarkan pandang ke berbagai arah di ruangan yang asing itu. Ikut mengecek sekeliling, walau aku yakin, kami melakukannya untuk dua tujuan berbeda. Satu hal baik, pakaianku masih utuh—setidaknya bagian dalamnya—pun begitu dengan organ tubuhku: dua kaki, dua tangan, leher, dan sendi-sendi yang penting, semuanya tidak ada yang patah.

Namun bagian buruknya, aku dilucuti dari semua persenjataanku, termasuk jaket dan celana panjangku. Sekarang aku hanya mengenakan celana pendek dengan kaus usang yang terasa tidak ada bedanya dengan telanjang bulat.

Sial, ke mana mereka menyembunyikannya?

"Kalau hilang satu, tidak mungkin akan ada yang sadar, kan....?" Firasat jelekku jadi nyata ketika kata-kata itu bergaung di udara. Ketika aku melirik ke depan lagi, Raksasa itu kian mendekat. Tawanya bergema. "Hihihi ... yang ini terlihat terlalu lezat untuk dilewatkan."

Aku merangsek menjauh sebisaku, tapi belenggu yang menyalib kedua tangan dan rantai yang memberatkan kaki ini tidak membantu banyak. Raksasa itu kian dekat. Aku bisa mencium aroma napasnya yang berbau seperti daging busuk dan ikan.

Namun Raksasa itu berhenti tiba-tiba. Mematung. Ekspresinya aneh. Wajahnya menekuk ke sisi yang salah dan bibirnya miring dengan aneh.

Seperti terhenti secara paksa.

Suara geraman aneh keluar dari mulutnya yang basah oleh air liur. Lantas aku sadar, dia memang tidak berhenti secara sukarela. Ada ekor yang membelit tubuhnya. Seekor Nagini berdiri di ambang pintu kayu di belakang sang raksasa.

Nagini yang sangat familier.

"Nah, nah, jangan mengganggu mangssa yang dengan ssussah payah aku dapatkan, Rrrumya." Nagini itu mendesis marah sembari melata mendekat. Tangannya yang bercakar mencengkam leher raksasa itu. "Kecuali kau mau aku membawamu dalam potongan-potongan kecil ke Purrussha."

Mata keemasan Nagini itu berpindah, menatapku.

"Ah, ssudah bangun rupanya. Tepat waktu ssekali..." Nagini itu mendekat, mendorong tubuh atasnya sementara ekornya masih melilit raksasa tadi.

Kandang besi berkelontang ketika cakar betina itu mencengkam rongga-rongganya. Ujung-ujung tajam cakar itu nyaris menyentuh wajahku.

Nagini itu tertawa melihat reaksiku yang berjengit menjauhi cakarnya. "Hanya untuk memasstikann kau dikenali dengan baik."

Sejujurnya, akut idak tersinggung pada tawanya. Aku sadar betul meski terinfeksi Maladies, aku masihlah Manusia. Aku tidak kebal pada racun Nagini yang bisa langsung melelehkan kulitku.

Dan mengingat racun Nagini berbeda-beda di setiap individu, siapa yang tahu racun apa yang ada di ujung-ujung bilah setajam pisau itu?

Tapi pengurungku ini jelas tidak mau membiarkanku tenang. Ia menjulurkan lidahnya yang terbelah dua melewati lubang sangkar. Aku berjengit dan beringsut menghindar, tapi di tengah belenggu ini, semua usaha akan sia-sia.

Lidah itu terasa panas saat menyentuh pipiku. Bisa yang lain. Tidak semematikan bisa dalam taring dan kukunya, tapi tetap saja membakar kulitku. Bisanya meresap masuk ke dalam darahku, melewati kulit yang meleleh. Rasanya panas menyengat dan perih. Tidak akan pulih dalam waktu tiga hari atau seminggu.

Ugh ... ini harus cepat-cepat diobati.

Sementara aku mengeluh, Nagini itu mendadak berhenti. Ia beringsut mundur sembari mengerutkan kening, lalu menarik diri.

Nagini itu mendesis lagi, tapi kali ini wajahnya menggelap. Ia tidak lagi tersenyum. "Waktunya ssudah tidak banyak...."

Nagini itu berbalik dengan cepat dan pergi, mengabaikan Raksasa bernama Rumya itu sepenuhnya. "Perrcepat benda ini! Kita kehilangan waktu!"

Rumya yang baru saja dilepas langsung ambruk ke tanah. Ia terbatuk-batuk.

"Bawa bokong malasssmu itu sssegerra, Rrumya!" Nagini itu memerintahkan dengan teriakan sekarang. "Kota Purrussha tidak akan menunggu kita!"

Raksasa itu kini tampak ketakutan dan langsung pergi, membawa bobot berat tubuhnya dengan langkah limbung keluar ruangan, menggetarkan lantai dalam setiap langkahnya. Suasana sunyi kemudian. Hanya sekejap.

Setelah para Yaksha itu pergi, ruangan tempatku berada berguncang hebat. Kandangku berkelontang, berikut kandang-kandang lain yang ada di ruangan itu. Suara deru terdengar di bawah ruangan, bergema bersama getaran yang mengguncang seisi bangunan. Itu bukan raungan mesin. Itu jelas raungan sesuatu yang hidup. Dan apa pun yang meraung seperti itu tidaklah sedang dalam hati gembira.

Suaranya terdengar seperti Gajahmina dan guncangan sekeras ini memang hanya terjadi jika kami berada di atas punggung makhluk itu. Bagus, sekarang aku juga harus menahan muntah.

Yah, bukannya ada banyak makanan yang pernah masuk ke mulutku juga.

Setidaknya aku tidak perlu banyak protes. Aku bisa menganggap ini kompensasi yang diperlukan agar aku bisa sampai ke kota yang disebut-sebut oleh Nagini tadi.

Purusha. Kota tujuanku. Ibukota para Yaksha. Sebentar lagi sampai. Tujuan terakhirku. Kota terbesar dan mungkin kota terakhir yang akan aku kunjungi. Meski aku sampai ke sana sebagai barang lelang, aku tidak peduli. Kesempatan akan selalu ada selama aku masih hidup.

Tapi bagaimana? Haruskah aku melepaskan diri ke kota asing itu atau—ugh, kepalaku sakit.

Aku menggelengkan kepala, berusaha untuk tetap sadar, tapi racun dari lidah Nagini diserap tubuhku terlalu cepat. Pandanganku berkunang-kunang.

Dalam kelimbungan indera, mataku melihat makhluk-makhluk lain ada di sisi kanan dan kiri. Semuanya terperangkap dalam kandang yang berbeda. Aku tidak bisa melihat wujud semuanya, tapi yang paling dekat denganku memiliki tanduk yang mencuat dari kepalanya; tanduk yang aku kira tadinya adalah bagian kandangnya yang mencuat karena terbuat dari kayu.

Dia melenguh seperti sapi ketika matanya dan mataku bersinggungan. Ia menyadari kehadiranku. Dan dari caranya mulai menggigiti jeruji terdekat dengan mulutnya yang bisa menjulur, dia kelihatan tidak begitu menyukaiku.

"Manusia ... Bau Manusia!" Terdengar lenguhan lain dari kandang-kandang yang ada di dekatku.

Mereka semua tidak menyukaiku.

Beruntunglah, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menggapaiku.

Berbeda dari tangkapan lain, kerangkeng milikku dibuat dari besi dan dipajang lebih tinggi, lebih terpencil dari mana pun. Seolah kemungkinan aku untuk lari dan kabur lebih tinggi, makanya aku diamankan lebih ketat dari yang lain.

Padahal aku tidak kenal racun Nagini. Lihat, satu jilatan darinya dan aku hampir tidak sadarkan diri.

Di sekelilingku aroma Maladies masih cukup bisa dikenali walau bercampur dengan darah; aroma asing perpaduan dari debu dan manisnya bunga, aroma tanah dan hujan. Aroma Maladies itu meyusup ke hidungku, mengalirkan energi ke dalam nadiku, langsung terkonsentrasi di tangan kanan, dan menyebar hingga ke bahu.

Kemudian hilang.

Aku membelalak dan menoleh ke kanan dan kiri, menyadari ada sesuatu di tanganku. Sungguh, aku benar-benar lambat menyadari keadaan.

"Kalian pasti bercanda!"

Ada dua hal. Pertama, belenggu yang mengikat tanganku bukan terbuat dari besi atau kayu. Mereka terbuat dari tulang belulang. Dan di ujung rantai yang mengikatku, sebuah bunga kamboja merah mekar dengan cepat dari kuncupnya.

Di masa normal dulu, bunga itu hanya penghias yang tidak berbahaya. Setelah Maladies menginfeksi seluruh aspek di Bumi ini, tanaman pun ikut terkena dampaknya, tidak terkecuali bunga kamboja merah ini.

Sekarang bunga itu dikenal sebagai bunga yang menghisap darah makhluk hidup dan menyuntikkan anestetik ke darah mereka. Seperti nyamuk, tapi tidak bisa terbang dan warnanya merah. Dan yang paling mereka sukai adalah darah dengan banyak kandungan Maladies di dalamnya.

Aku mengepalkan tangan, memperkuat konsentrasi sihir di tubuhku dan warna bunga itu semakin cerah dan cerah, sebelum akhirnya layu dan mati. Terdengar bagus, jika seandainya lima kuncup tidak tahu-tahu muncul sebaga gantinya dan siap merekah.

Aku lantas teringat Nagini itu mengernyit ketika merasakan darahku. Dia menyuruh Gajahmina ini buru-buru ke Purusha.

Aku terkekeh.

Ia pun pasti juga sudah menyadarinya. Karena itulah ia buru-buru.

Dia tahu waktuku sudah tidak lama lagi.

*** 

A/N:
Menulis sebuah cerita yang lumayan punya depth dengan jumlah halaman terbatas memang sebuah tantangan tersendiri. Tapi ini menyenangkan dan sesuai kapabilitas saya saat ini. 

Ya, saya kayaknya udah gak akan sanggup nulis sampai 4k halaman lagi tanpa melelahkan mental dan psikis saya, tapi semoga kalian puas dengan chapter terbaru ini.

See you next chap! 

EDIT : 

Rasanya menyegarkan bisa menulis chap dengan bebas tanpa terikat jumlah karakter tiap bab, so chapter ini ditulis sejumlah 1.6k word. Semoga kalian enjoy seperti saya yang suka banget bisa mengembangkan sedikit world building di dunia Maladies.

See you soon


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro