11. Survivor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pertama kalinya aku melihat kota Yaksha adalah ketika aku terbebas dari Yaksha bersayap itu.

Baru saja menghirup angin kebebasan—yang omong-omong, tidak semanis atau sesegar yang dikatakan orang-orang—aku harus bersembunyi dan menyamarkan aroma darah manusia yang menguar dari tubuhku: aroma yang sangat dikenali oleh para Yaksha. Dan di tengah usaha menyembunyikan diri itu, aku malah aku menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan lagi di luar gua tempat Yaksha itu menyergapku.

Sebuah pemukiman besar.

"Ini pertama kalinya kau melihat kota Yaksha?" Seseorang di sebelahku bertanya dan aku mengangguk.

Aku terkejut mendengar nama yang sama dari mulut Tobi. "Kau juga tahu mereka Yaksha?"

"Mereka sendiri yang mengumumkannya keras-keras, mana mungkin aku tidak tahu!"

Tobi, pria yang aku temui tidak sengaja di kota Yaksha ini, hanya menggeleng tidak percaya. "Sudah berapa lama kau ada di Liang?"

Aku menggeleng. "Aku tidak menghitung hari."

"Aku juga tidak." Tobi mengakui. "Tapi seharusnya kau sadar munculnya kota-kota ini. Gempa-gempa besar itu tidak mudah dilewatkan."

Ketika Tobi menyebut gempa, aku membelalak dan nyaris saja berteriak, mengacaukan persembunyian kami. Tobi buru-buru membekap mulutku dengan sebelah tangannya yang tertutup jubah.

Tangan Tobi terasa aneh. Aku melirik ke bawah, ke arah tangan kirinya yang normal.

Tangan yang tertutup jubah ini besarnya dua kali dari tangannya yang kiri. Aku lantas melirik sisi kepala Tobi yang tertutup jubah. Sisi yang ditutupinya susah payah dengan tudung dan penutup kepala.

Sebelah sisi wajahnya meleleh. Berwarna abu-abu dan membengkak. Gejala yang kurang lebih sama seperti Irsyad dulu.

Tobi belum sampai kesulitan menegakkan kepala, jadi aku mengasumsikan, gejalanya belum seberapa parah.

Atau setidaknya belum sampai ke wajahnya, aku menambahkan ketika sadar tangan kanannya tidak sebegitu beruntung.

"Kau mau keluar dari kota ini atau tidak?" Aku mengangguk paham dan Tobi membebaskan mulutku. "Selain suara, pastikan lukamu tertutup! Yaksha sangat peka pada bau darah, apalagi Manusia."

Tobi lantas mengajakku keluar persembunyian. Segera setelah kami memastikan para Yaksha yang mengejar Tobi tidak kembali, kami buru-buru keluar. Tobi berlari memimpin sementara aku ada di belakang.

Benar, rupanya, gejalanya tidak seberapa parah. Dia masih bisa berlari.

"Kau tahu jalan keluar dari kota ini?"

"Jalan keluar terdekat harusnya ada di dekat sini! Tapi kita harus melewati alun-alun kota!

Detail. Terlalu detail. "Dari mana kau tahu?"

"Aku sudah di sini beberapa lama!" ujarnya. "Semua makhluk berengsek ini! Seenaknya menganggapku binatang peliharaan atau makanan! Mereka seenaknya membangun kota ini dari puing-puing peradaban kita dan mengakuinya sebagai milik mereka!"

Sementara kami berlari, aku mendongak mengamati para Yaksha yang tingginya jauh melampauiku, berjalan di tengah-tengah koridor yang seperti terbentuk alami dengan pilar-pilar batu menopangnya. Di antara lorong-lorong itu, beberapa blok batu terlihat dilubangi dan lebih rata dibanding yang lain.

Pemukiman yang diukir di pegunungan. Seperti situs-situs arkeologi yang pernah aku lihat di situs-situs pariwisata di masa lalu.

Ah, tidak, bentuknya tidak seperti ukiran. Ini seperti ... seolah gunung-gunung ini terbentuk secara alami. Ini tidak dibangun dengan merusak struktur gunung.

"Kau bilang ... semua ini karena gempa?"

"Kau memangnya tidak merasakan semua gempa itu? Apa kau ini asalnya dari pulau seberang?"

Pulau seberang? "Aku merasakannya."

Tentu saja. Gempa adalah salah satu factor yang berkali-kali memaksa aku dan Irsyad untuk berpindah-pindah di masa lalu. Gempa-gempa yang terasa tidak natural saking seringnya. Gempa yang berulang kali membuatku harus keluar dari liang dan berhadapan dengan yaksha haus darah hanya untuk bertahan hidup satu hari lagi.

"Memangnya kau pernah melihat gunung seperti ini di negara ini?"

"Tidak...." Aku tidak pernah melihat ada tebing seperti ini di negara ini. Aku hanya pernah melihat pemukiman seperti ini di situs-situs wisata luar negeri. "Tapi... seharusnya tidak secepat ini...."

Irsyad pernah bilang, pembentukan formasi bumi butuh jutaan tahun lamanya. Sementara aku tidak mungkin sudah berusia jutaan tahun, kan?

"Jika kota saja bisa hancur dalam satu malam dan seluruh Yaksha keluar dari dalam kabut...." Kami berhenti, menunggu persimpangan. Tobi melihat keadaan. "Kenapa kau pikir kota tidak bisa berdiri dalam satu malam?"

Sebuah kota? Dalam satu malam? "Sungguh?"

"Kau pikir aku berumur jutaan tahun? Aku baru terkena gejala Maladies ini kemarin dan sekarang penyakit sialan ini menyebar di seluruh tubuhku!" Maladies? Telingaku berjingkat mendengar nama asing itu.

Tobi lantas menoleh kepadaku. Matanya mengamatiku yang tidak tertutup banyak lapis pakaian. Mendadak saja, aku merasa begitu telanjang. Dia pria bertudung dan menutupi separuh wajahnya. Sementara aku hanya mengenakan tudung sederhana dan kain sederhana untuk menutupi tangan dari kemungkinan luka yang lebih besar.

"Kau tidak tahu betapa beruntungnya kau masih memiliki wajah utuh," ujarnya. "Kau tidak banyak menghirup miasma, aku rasa?"

Miasma?

"Kau tidak tahu apa itu Miasma?" Bagaimana dia bisa? "Tidak perlu kaget begitu. Terbiasa di luar akan membuatmu bisa melihat kebingungan dan kebohongan dengan jelas."

Aku pun mengangguk, memutuskan kalau sia-sia saja berbohong padanya.

"Aku hanya bisa bilang: jangan terlalu banyak menghirup kabut dan terluka. Semua hal di dunia ini jadi beracun untuk kita sekarang," jelasnya sembari tertawa pahit. "Seolah dunia ini mengusir kita."

Dunia? Seluruh hal di dunia beracun? Dunia mengusir kita? Apa maksudnya?

Tobi lantas menunjuk ke luar. Aku mengikuti arah tangannya menunjuk dan melihat sebuah patung berdiri megah di tengah tanah terbuka yang ramai.

"Itu alun-alun," kata Tobi. "Dan patung akan selalu ada untuk menandai penguasa kota. Itu patung Visesa. Ini kota Visesa."

Kota Wisesa? "Maksudnya ... setiap kota dinamai atas nama Penguasanya?"

Tobi mengangguk. "Di setiap kota, ada beberapa Yaksha yang berkuasa, tapi hanya satu yang paling kuat yang akan menjadi nama dari kota itu. Aku menyebutnya Yaksha Alfa." Tobi menggeleng. "Kau tidak akan mau berurusan dengan mereka."

Mereka kedengaran berbahaya. "Bagaimana aku bisa tahu Yaksa-Yaksha yang kuat ini?"

"Kau akan tahu ketika kau bertemu mereka," Tobi berkata. "Miasma yang memancar dari tubuh mereka, terlalu kuat untuk dihirup." Pria itu melirikku lagi. "Oleh Manusia yang sudah kena Maladies sepertimu."

***

Aku sungguh tidak bisa bernapas.

Miasma yang ia menguar dari tubuhnya membuatku kesulitan bernapas. Kepalaku pusing karena dibawa dengan cara yang benar-benar abai dan ceroboh. Sama sekali tidak memedulikan keselamatan.

Dan yang lebih buruk, aku tidak dibebaskan.

Rakyan terus membawaku seperti sebuah kantung keresek. Dengan satu tangan, dia membawaku melintasi keramaian. Yaksha yang lain bahkan tidak memerhatikan kami begitu baik. Seolah ini adalah pemandangan yang sangat wajar.

Rakyan membawaku ke sebuah rumah dengan tinggi sama seperti rumah-rumah yang lain, tapi tanpa penerangan. Kegelapan langsung menyergapku ketika sampai di sana. Rakyan lantas mengangkatku.

"Suvia!"

Di hadapanku lantas muncul sepasang mata berwarna ungu yang berpendar terang. Di bawah mata itu, segaris putih lengkungan serupa senyuman terlihat.

"Ya, Tuan Rakyan?" Ternyata memang itu senyuman.

Tubuhku lantas diletakkan di tanah. Tidak dilempar, tapi juga tidak diperlakukan dengan cukup baik.

"Segera buat sesuatu dari dia."

"Oh?" Sosok yang hanya mata dan senyum itu lantas keluar dari balik kegelapan.

Sosok dengan mata dan senyum itu keluar dari kegelapan. Wujudnya menyerupai wanita dengan rambut panjag putih dan gaun hitam. Sosok itu berkulit pucat dengan bibir semerah darah dan dikepalanya, ada tanduk sepasang tanduk spiral yang tinggi. Matanya yang berkilat ungu mengamatiku penuh minat. Tidak seperti makhluk asap yang aku tadi temui, miasma dari perempuan ini tidak seberapa menyesakkan dibanding Rakyan.

Ngomong-ngomong soal Rakyan, Yaksha itu pergi meninggalkanku berdua saja dengan sosok ini.

"Anda ada permintaan khusus, Tuan?"

"Terserah seleramu hari ini," ujar Rakyan.

"Ah, tumben sekali." Sosok itu yang bersuara jauh lebih maskulin dari yang aku perkirana, memalingkan muka dariku. Suaranya terdengar maskulin, sekaligus feminine. Aku tidak bisa menebak dia sebenarnya laki-laki atau perempuan. "Apa dia istimewa?"

Tapi di atas semua kebingungan itu, ini kesempatanku. JIka aku mengendap-endap tanpa suara. Jika saja bisa....

"Dia dibuang." Suara Rakyan terdengar meraung dari dalam rumah.

"Ah, begitu rupanya." Sosok itu lantas menengok lagi. Tepat saat aku baru saja mengambil satu langkah. Mendadak saja tubuhku tidak bisa bergerak. Bukannya membeku, tapi seperti ada yang memegangi tanganku.

Dingin sekali.

Aku menengok ke belakang, tepat ke arah tangan kananku. Dan membelalak lebar. Hampir saja berteriak, jika sensasi dingin yang sama tidak membekap mulutku.

Sebuah tangan. Putih pucat, mencuat dari balik bayangan, menggenggam tangan kananku, berikut membekap mulutku. Keduanya berasal dari dalam bayangan yang muncul di lantai.

"Kalau kau berpikir bisa kabur, kau sebaiknya memikirkannya ulang, Nona." Sosok itu tersenyum kepadaku. "Kau diserahkan kepadaku. Dan semua yang ada dalam tanggung jawabku...."

Ia memperlihatkan tangannya yang ternyata bercakar dan berkuku hitam, ia menyeringai.

"Aku memperlakukan semua yang ada dalam pengawasanku dengan seksama."

***

A/N:

Satu bab lagi dan preview untuk Maladies akan selesai. 

Doakan ya. Lombanya tinggal beberapa hari lagi dan saya udah harus bikin konflik finalnya. Heuheuheuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro