12. Maiden of Vain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidupku sudah tamat ... atau tadinya itulah yang aku kira.

Aku masih diam termangu ketika makhluk aneh bernama Suvia itu menggiringku ke sebuah ruangan yang jelas bukan dapur atau tempat jagal. Tempat itu tidak becek lantainya, pun tidak berbau busuk.

Ketika cahaya temaram akhirnya muncul di tempat itu, dinyalakan oleh Suvia dari sebuah Kristal api,

Bahkan ketika ruangan itu dinyalakan, aku tidak ngeri—tidak dalam cara yang biasa aku lakukan.

Tapi perasaan kaget ini juga tidak bisa dibilang bagus. Tidak, lebih baik aku melihat kepala-kepala manusia tergantung di dinding dengan organ-organ mereka menggantung di langit-langit seperti yang biasa aku lihat, daripada melihat ruangan beraroma kayu dan tanaman segar dengan sebuah bonggol akar raksasa berisi air yang seolah telah dilubangi dengan sengaja.

"Apa lagi yang kau tunggu? Segera masuk ke sana." Suvia berdiri menjulang di atasku, menunjuk ke arah bak mandi itu. "Dan segera lepaskan pakaianmu."

Lepaskan pakaian? Masuk ke dalam genangan air itu?

Sekarang aku menatap kolam itu denga ngeri. Mungkinkah ada serangga atau binatang yang siap mencincang tubuhku dari dalam? Mungkinkah air itu akan melarutkanku sampai tidak ada tulang tersisa? Atau air itu mengandung racun yang—

Tangan-tangan aneh muncul lagi dari bayangan. Kali ini mereka merenggut pakaianku.

"Kau bergerak terlalu lama, Manusia." Suvia memberengut kesal. "bagaimana bisa kau bertahan di luar sana dengan kecepatan seperti ini? Terlalu banyak melamun!"

Aku langsung memeluk diri sendiri, menjaga pakaianku tetap ada di tempatnya ketika tangan-tangan dari dalam bayangan kelam di bawah kakiku muncul dan mencoba merenggutnya.

Tidak salah lagi. Aku akan direbus hidup-hidup!

***

Suvia berdecak di belakangku. "Kau ini, tidak bisa memuat segalanya lebih mudah, ya?"

Eh?

Aku hanya bisa tercenung saat Suvia menuangkan air hangat lagi ke atas kepalaku. Bahkan bukan air panas mendidih. Air hangat yang terasa nyaman di kulit. Aku melihat tubuh sendiri, melihat kotoran, darah kering dan koreng di sana terkelupas bersamaan dengan air yang mengalir.

Aku menatap salah satu luka yang mengelupas. Tidak merasakan apa-apa drinya. Sejak kapankah aku tidak merasakan sakit lagi?

"Infeksimu lumayan sudah menjalar, ya?"

Sadar dengan kata-kata itu, aku buru-buru menenggelamkan diri ke dalam air, berharap bisa tenggelam dan berpura-pura mati agar bisa lolos dari sini sekalian.

Namun maladies yang menjalar di lenganku justru disengat sakit tiba-tiba. Saking kagetnya, aku langsung kembali ke permukaan dan terbaruk, tidak sadar pada banyaknya napas yang aku tahan di dalam sana. Mataku pun terganggu oleh air yang membuat mata kering.

"Yak, sepertinya Infeksimu sedikit berhasil dikendalikan." Dikendalikan? Mendengar kata itu, aku terlonjak dan melihat lengan kanan sendiri, menyaksikan infeksi yang tadi sudah menjalar sampai bahu, sedikit berkurang.

Aku mengangkat tangan dari dalam air, Kulit yang terinfeksi itu menghitam. Urat-urat merah darah yang berpendar menonjol di kulitku.

Ah, baru kali ini ... aku melihatnya lagi. Lengan kananku yang sudah tidak lagi tampak seperti lengan Manusia.

***

Sekali lagi luka di tanganku pedih. Setelah lolos dari Yaksha bersayap yang menjengkelkan itu, luka di tanganku semakin lama semakin perih.

Mungkin setelah ini aku harus mengeceknya. Tapi itu bisa dilakukan nanti. "Kau tahu tempat mereka menahan manusia-manusia yang terinfeksi sepertiku, Tobi?"

Tobi menoleh kepadaku. Kedua matanya mengernyit heran. "Apa kau sudah gila? Infeksi itu menyerang otakmu?"

Aku menggeleng dengan tekad yang tidak luntur. Mungkin lari dari kota ini akan menjadi jalan amanku. Satu hari lagi, aku akan hidup. Tapi aku tidak keluar ke Permukaan untuk sekadar bernapas.

"Aku perlu mencari putraku," ujarku. "Dia juga terinfeksi."

"Kalau begitu, dia pasti sudah mati."

***

Dilihat dari dekat, lenganku semakin tampak mengerikan.

Lengan ini terasa lebih berat dari lengan kiri. Ujung jari jemariku bahkan tidak lagi bisa merasakan apa-apa sejak bangun.

Enam hari ... kah?

Yah, Tobi salah untuk satu hal itu. Aku tidak terbunuh dalam waktu enak hari yang jelas-jelas sudah lewat sejak pertama kali aku terinfeksi. Tapi ... aku jadi penasaran ... sudah berapa lama sejak aku terkena infeksi ini?

Berapa lama sisa waktu yang aku punya?

Bisakah aku menemukan Kala sebelum waktuku habis?

Tapi biarpun aku bisa menemuinya, apa yang akan aku katakan padanya? Permintaan maaf? Tidak tahu diri sekali. Ibu sepertiku ... apanya yang patut dimaafkan? Aku yakin dia tidak akan memaafkanku.

Ah, benar juga. Dengan tangan kanan inilah aku memukulnya dan mengusirnya. Tangan ini ... mungkin tangan ini juga tidak memaafkanku, karena itulah infeksi dimulai darinya.

Yah, aku tidak perlu tangan yang sempat memukul anakku sendiri.

"Apa kau masih hidup di sana?" Suvia bertanya di belakangku.

"Masih."

"Oh, Syukurlah Langit! Kukira kau mendadak mati!"

"Bukannya lebih mudah bagi Yaksha sepertimu jika aku mati?" Aku bangun dari air itu.

"Ah, apa yang kau lakukan? Mandimu belum selesai."

"Aku tidak perlu mandi," sahutku. "Aku hanya perlu tahu harga yang kau pasang untuk sebuah info."

"Wah, wah...." Suara Suvia terdengar bernada senyum. "Untuk ukuran Manusia, mulutmu pahit sekali."

"Dan untuk ukuran Yaksha, kau bermulut terlalu menjijikkan," Aku menatap air yang menggenangi lututku. "Ini pasti tidak gratis, kan?"

"Tidak juga." Telingaku berjingkat dan aku menoleh ke arah Suvia. Makhluk asap itu masih berdiri di antara bayangan yang diciptakan oleh cahaya remang-remang di ruangan ini. "Kau dengar Tuan Rakyan tadi. Dia membuangmu. Semua ini murni keinginanku saja."

Aku mengernyit ke arahnya. "Kenapa?"

Suvia menyentuh pipinya sendiri sembari menelengkan muka. Aku tidak luput memerhatikan tangan putihnya yang berkuku merah dan runcing serta jari jemarinya yang ukurannya sekitar dua kali lebih panjang dari jari Manusia.

"Kalau aku bilang, karena aku bosan, apa kau akan percaya?"

Aku tidak bicara, biar dia mengetahui betapa absurd omong kosongnya tadi.

"Oh, Langit, kau benar-benar tidak percaya pada siapa pun ya?" Suvia lantas menyeringai. "Kau pasti sudah melalui banyak hal, ya, Nona Manusia?"

Jangan percaya siapa pun, aku mendapat pelajaran itu dengan gamparan di wajah berkali-kali sampai muak sendiri.

Aku balas tersenyum sinis padanya. "Dan kau pastinya belum melewati banyak hal, Nona Yaksha?"

Suvia tidak tampak tersinggung dengan kata-kataku. "Aku tidak merasa wajib untuk mengatakan apa pun pada orang yang bahkan tidak tahu rasku."

"Aku tidak butuh tahu ras untuk memanggil seorang Yaksha."

"Wah, wah, sudah berapa lama kau bisa bertahan hidup dengan mulut pedasmu itu?" Suvia bertanya. "Sekarang aku menyesal tidak membawamu dengan berangus."

Aku tersenyum sinis. "Keberuntunganmu sudah lewat, kalau begitu."

"Dan kau merasa keberuntunganmu belum lewat?" Hidungku mencium aroma amis dan abu di udara. Aroma yang sudah berulang kali membuat hidungku mati rasa.

Miasma.

Seringai Suvia semakin lebar, memperlihatkan deretan gigi taring yang disembunyikannya sedari tadi.

"Aku rasa aku harus mencari tahunya sendiri," ujarku, berdiri menghadapnya dengan tangan kanan yang siap digunakan untuk bertahan. "Bersiaplah untuk buka mulut dengan cara apa pun, Yaksha."

"Kasar sekali...." Ia terkekeh. "Padahal tidak semua hal perlu diselesaikan dengan jalan kekerasan."

Dalam sekejap, Suvia sudah ada di hadapanku. Dia tidak melangkah. Dia tampak seperti melayang dan langsung tiba di depan mataku.

Aku tersentak dan bersiap untuk mundur, tapi tangan bercakar wanita itu lebih dahulu menghunjam kepalaku. Menembusnya bagai tombak. Aku membelalak kaget ketika rasa dingin menembus tengkorakku, menyusup masuk ke otak dan seluruh darahku. Mulutku megap-megap mencari udara, tanganku menggapai-gapai, tapi hanya udara dingin yang bisa aku gapai. Sosok tubuh Suvia memudar di dalam pandanganku yang memburam.

"Beritahu aku semuanya, Manusia...." Suara Suvia berbisik di telingaku. "Apa saja yang sudah kau lewati dan ... Siapa yang ingin kau selamatkan di kota Purusha ini?"

***

A/N:

Yeay, untuk sementara Maladies berakhir di sini ya.

Preview singkatnya, gimana? Apa udah ada yang nebak ini versi twisted dari folklore mana? Hmmmmm????

Makasih banget untuk yang kritik dan nemuin typo-typo mengganggu di dalam kisah ini. Saya bikin ini gak pake edit, gak pake periksa. Pokoknya hajar bleh, kelar langsung post, kelar langsung post, gitu.

Makasih buat dukungan dan komennya selama ini. Saya minta doanya aja untuk karya yang ini.

Terima kasih dan see you di kisah selanjutnya


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro