17. Confrontation

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yaksha Alfa adalah bencana. Itu hal yang aku pelajari di Kota Wisesa dan kota-kota lainnya.

Wisesa sendiri adalah seorang Yaksha dengan empat tangan raksasa, tubuh tinggi, dengan struktur tubuh seperti pohon. Dia aku temui ketika kandang yang membawaku sampai di tempat pelelangan, dengan banyak Yaksha penguasa mengawasi.

Tangan ranting Wisesa masuk ke kandang untuk memeriksa setiap jengkal wajahku. Dia berkata sesuatu, tapi aku tidak bisa memahaminya. Kemudian salah satu jari jemari rantingnya masuk ke tanganku, membuka lengan baju kananku dan memperlihatkan infeksi yang sudah menjalar.

Mata raksasa Wisesa mendekat ke kandangku. Dan dari wajah kayunya, aku bisa melihat, seulas seringai muncul di sana.

Seringai yang sudah pasti tidak bertujuan baik.

***

Seringai yang sama kini aku lihat di wajah Purusha. Aku buru-buru melompat dan memberi jarak selebar mungkin di antara kami. Tapi tangan kananku mendadak saja terasa berat. Aroma miasma menguar kuat di udara. Aku terbatuk, sesak napas oleh tekanan dan aroma miasma yang mencekik.

"Kalau tidak salah, aku sudah membuangmu, bukan?" Purusha terdengar mendebas. "Inilah kenapa aku tidak suka jika sampah dibiarkan ada di kotaku terlalu lama."

Tubuhku tiba-tiba terpental ke salah satu ruangan, membentur kandang hingga aku merasa asam lambungku keluar, lalu jatuh ke lantai. Di atas sana, suara aneh terdengar. Dari balik kepayahanku di lantai, aku melihat kepala Yaksha itu pulih kembali seperti sediakala.

Yaksha raksasa itu segera berlutut di hadapan Purusha yang tingginya bahkan dua kali lebih kecil darinya.

"Tuan ... Purusha...." Kepala Yaksha itu menempel ke tanah. Bersujud di hadapannya.

"Aku memintamu menjaga tempat ini." Purusha menaruh kakinya di atas kepala Yaksha itu. "Apa tugas itu terlalu berat untukmu?"

Purusha menendang kepala makhluk itu. Tapi Yaksha raksasa itu sama sekali tidak melawan. Tidak bicara. Purusha tampak tidak puas.

"Kurasa memang sudah saatnya menggantimu."

Mengganti? Mendengar kata itu, aku langsung bangkit berdiri. Purusha sudah mengangkat tangan dan aku bisa melihat kepala makhluk itu kembali mengkerut, seperti diperas. Yaksha itu menjerit, tapi tidak memohon ampun. Tidak pula meminta tolong.

Tidak boleh! Aku baru saja mendapat petunjuk soal anakku! Tidak akan aku biarkan dia tiba-tiba merenggut kesempatan itu!

Baru saja aku bergerak, tubuhku tiba-tiba membeku. Kedua mataku terbelalak. Ingatanku kembali ke rumah tempat kami bertemu pertama kali. Saat itu, juga terjadi seperti ini. Putusha seperti ... bisa mengendalikan sesuatu tanpa menyentuhnya. Mengendalikanku, bahkan.

"Dan kau, tikus got kecil," Purusha melangkah mendekat, menginjak-injak Yaksha yang tengah kesakitan itu dengan santainya. Yaksha itu bahkan tidak mencoba mengempasnya. Tubuhnya seperti terpaku ke tanah di tengah kesakitan. Sementara aku membeku di hadapan Purusha yang terus mendekat. "Kau datang kembali ke hadapanku ... dengan keadaan tak berubah sedikit pun...."

Yaksha Alfa itu mendekat. Mengendusku.

Aku mengernyit jijik sembari mengepalkan tangan, kuat-kuat, mencoba melepaskan diri darnya, walau mustahil. Bayangan aku meninjunya sudah terlintas jelas dalam kepala.

"Kau tidak beraroma apa pun...." Purusha melirikku dengan matanya yang berpendar. "Seperti ada yang berusaha menyembunyikanmu."

Purusha tiba-tiba menyeringai begitu lebar, bahkan lebih lebar dari sebelumnya.

"Menarik sekali. Ini benar-benar menarik," ujarnya. "Sebaiknya kau aku bawa sebentar. Mungkin aku bisa melihat siapa yang dengan bodoh memutuskan untuk—

Saat itulah, tinju dari tangan kananku menghantam rahangnya.

Purusha terbelalak. Aku lebih terbelalak lagi. Wajah purusha sampai menyamping saking kerasnya aku menghantamnya dengan tinju. Aku terperangah menatap tangan kananku dan melihat infeksi Maladies menyerang semakin parah di sana. Batang-batang aneh mencuat. Kuncup-kuncup putih bermunculan.

Yaksha di depanku mendadak berhenti bergerak. Kepalanya masih utuh dan dia masih merintih kesakitan. Aku segera mendekati kepalanya. Pikiran kalau tindakanku mungkin saja berbahaya, tidak pernah melintas di kepala. Saat ini, yang aku pikirkan hanya keberadaan putraku.

"Kau mengenal Kala?" Aku bertanya dalam bahasa Yaksha. "Putraku! Dia putraku!'

"Kala...." Yaksha itu berkata lagi. Tinjunya lantas menghantam tanah. Lantai bergetar karenanya. Nama anakku lantas keluar berkali-kali dari mulutnya. "Kala! Kala! Kala!"

Apa-apaan? Kenapa dia kedengaran marah? Aku berusaha bertahan dengan mencengkam tanah dengan tangan kanan. Miasma kelar dari seluruh tubuh Yaksha itu dan aku terbatuk, tapi aku tidak menyerah.

"Kau bilang putraku pengkhianat!" Aku mengingatkan. "Apa maksudnya?"

"Pengkhianat ... Pengkhianat!" Tinjunya sekali lagi menghantam tanah. "Pencuri yang mengambil segalanya dariku! Pencuri ... yang membuatku ada di sini!"

Pencuri? Pengkhianat? Kala adalah penyebab dia ada di sini? Kalau begitu ... kalau begitu putraku masih hidup? Dia tidak benar-benar mati?

Kegembiraan dan kelegaan membanjiri nyawaku sampai aku lupt menyadari, sosok tiu sedang memaki-maki putraku. Pengkhianat, pencuri, dan yang lain sebagainya. Aku yang tidak mengerti hanya bisa mencoba untuk tidak tersambar akar-akar yang keluar dari tubuhnya. Akar-akar itu menyambar ke segala penjuru, bahkan melukai para penghuni kandang di sekelilingku.

"Kau tahu di mana Kala sekarang?" tanyaku, langsung pada inti permasalahan semua ini. "Kala, putraku! Di mana dia sekarang?"

Yaksha itu tidak menjawab. Dia hanya meraung, semakin lama semakin terdengar kesakitan. Kemudian dia berhenti. Bukan seperti berhenti karena ia lelah, tapi berhenti seperti ada yang menekan tombol pause secara tiba-tiba.

"Di tengah dunia yang terus berkembang mendukung kami...." Aku menoleh, menyaksikan Purusha bangkit berdiri. Di sekelilingya, kunang-kunang beraneka warna berpusar. Tekanan miasma membuatku batuk-batuk sekali lagi. Miasma semakin kuat di sekeliling kami. "Kenapa selalu saja ada yang mencoba membunuh kami?"

Lengan kananku tiba-tiba berdenyut kencang. Lebih banyak cabang dan ranting keluar dari sana. Tekanan menghantam perutku sekali lagi.

Aku mendengar suara tawa. Tepat di samping telingaku.

"Pada akhirnya kau menyerah juga?"

Tapi suara itu menghilang dan lenyap ketika Purusha sendiri datang sekali lagi ke hadapanku. Tangannya mencekik leherku. Kunang-kunang di sekeliling kami berputar dengan cepat. Cahaya-cahayanya membuatku silau. Purusha, di hadapanku, malah terlihat semakin marah.

"Beraninya kau muncul...." Suaranya sarat akan kebencian. Cekikannya di leherku semakin kuat. Miasma di sekeliling kami juga tidak membantuku untuk bernapas. "Padahal perjanjian bilang, tidak akan ada yang bisa menghentikan kami ketika Manusia sudah musnah...."

Kedua tanganku mengepal semakin kuat. Purusha menyentuh tangan kananku dengan tangan ketiganya yang lebih kecil. Tapi dengan cepat, tangan itu musnah saat menyentuh tanganku. Purusha membelalak, begitu pula denganku yang mendadak saja terbebas kembali. Namun anehnya, napas tidak begitu saja masuk ke kepalaku.

"Benar, hancurkan semuanya." Sesuatu berbisik kepadaku. "Musnah dan matilah sekali lagi."

Kuncup0kuncup bunga yang ada di tangan kananku merekah. Serbuk-serbuk keemasan keluar dari sana. Kunang-kunang milik Purusha segera pergi menjauh dengan ringkikan yang hanya bisa aku artikan mereka ketakutan. Aroma lain menguar di udara. Aroma manis yang seperti aroma Miasma. Aku buru-buru menahan napas dna menutup hidung.

Tepat ketika segalanya di sekelilingku perlahan-lahan runtuh.

Aku membelalak, menyaksikan tembok-tembok bergetar. Akar-akar yang memenuhi tempat itu tumbuh semakin besar. Kandang-kandang di sekelilingku bergoyang kencang, beebrapa jatuh dan menghantam tanah, sementara pepohonan di sekeliling kami berubah semakin besar

"Ini tidak seharusnya terjadi!" Purusha terdengar menjerit. Aku menoleh, menyaksikan sosoknya tenggelam di tengah puing-puing yang perlahan jatuh menimpanya. Wujud Yaksha itu tampak terdistorsi dengan aneh. Seperti ulat yang merangkak keluar dari kepompongnya. "Ini tidak sesuai dengan perjanjian!"

Kemudian reruntuhan lain menimpanya, menghalangi dirinya denganku. Memisahkan kami untuk sementara waktu.

Tapi juga mengancam untuk menguburku hidup-hidup di sini.

"Kala...." Yaksha besar itu bersuara lagi di tengah gemuruh yang semakin kencang. Dia berdiri dan menatapku lagi. "Kau ... kenal Kala?"

Aku mengangguk. Tapi sadar kalau gerakanku mungkin luput, aku pun menjeritkan jawaban: "Ya! Dia putraku! Kau kenal dia? Dia ada di kota ini?"

"Tidak...." Jawaban itu membuat seluruh perutku melorot ke kaki. "Dia tidak ada di kota ini ... menyerah saja...."

Menyerah? Lagi?

"Kau sebaiknya menyerah, anakmu tidak mungkin masih hidup di luar sini!"

"Dia mungkin sudah dimakan! Sudah terlalu lama dia ada di Permukaan!"

"Tidak mungkin aku menyerah begitu saja, kan?" Aku berteriak lantang, memperparah runtuhnya langit di atas kami. "Dia putraku! Aku akan mencarinya sekalipun harus ke ujung dunia! Aku...." Kata-kataku terhenti. Apa tujuanku sebenarnya menemui putraku?

Detik itu juga, aku mengetahuinya.

"Aku ... ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadanya! Apa pun yang terjadi!" ujarku. "Karena itu, jika ada informasi, apa pun! Tolong ... aku ingin...."

"Kala tidak ada di kota ini...." Yaksha itu berujar lagi. "Dia yang menjebakku di sini ... dia pergi...."

Kala tidak ada di sini? Harapan kalau Kala ada di kota ini, seketika musnah.

Yaksha itu tiba-tiba menjebol tembok. "Keluarlah ... selagi bisa...." Ujarnya. "Jauhi kota ini ... kota lainnya...."

Jauhi kota ini/ Ya, tentu. Dengan tidak adanya anakku di kota ini, tidak ada lagi alasan bagiku untuk ada di sini.

"Anda sendiri?"

Yaksha itu tidak menjawab. Aku rasa memang tidak mau. Kami berdua sudah tahu jawabannya bahkan tanpa harus berkata-kata.

"Terima kasih."

Aku pun keluar dari tempat yang segera runtuh itu, meninggalkan Yaksha itu berada di balik reruntuhan bangunan yang menimpanya. Kandang-kandang penuh berisi manusia-manusia yang terinfeksi segera tergencet reruntuhan dan tewas seketika. Sekelumit empati dan rasa bersalah menghantuiku ketika jeritan mereka teredam bangunan yang runtuh.

Tapi kematian adalah takdir terbaik bagi mereka yang terinfeksi. Sebuah bentuk belas kasih terbaik yang bisa diberikan takdir kepada mereka.

***

Aku keluar dengan naaps terengah-engah. Di area belakang sebuah rumah, kandungan miasma di udara kembali menipis dan aku bisa bernapas lega.

Tapi setelah ini harus ke mana?

Pertanyaan itu timbul dalam kepalaku, menghantam-hantam kepalaku tanpa ampun. Diiringi suara tawa yang terdengar dari dekatku. Tawa yang familier. Aku menoleh, melihat Suvia sudah berdiri di dekatku, dengan seringai terkembang.

"Apa kau sudah menemukan jawabanmu, Manusia?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro