18. Double-Edged Dagger

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak diragukan lagi, dia yang merencanakan semua ini.

Di tengah area belakang bangunan yang tidak tersentuh, aku mendelik menatap Suvia yang menyeringai, melayang dan tiba di hadapanku selembut angin. Seperti biasa, dia hanya menginjak area yang berada di dalam bayangan. Rambut putih dan kulit puthinya tampak pucat di luar kegelapan yang mengurung di rumah itu.

"Bagaimana perjalananmu di sana?" Jari jemarinya yang panjang membelai sisi wajahku. "Aku berani taruhan ada memori baru yang lezat di sini."

Aku segera menyingkirkan tangannya dan berakhir menyentuh asap dingin yang menusuk menembus pakaian. "Kau membuatku bertemu Purusha!"

"Dan kau menemukan jawaban yang kau cari, aku rasa."

Jawaban yang aku cari? Tentu saja. "Dan aku juga menemukan alasan untuk tidak berada di kota ini lebih lama lagi."

Aku segera beranjak dari tempat itu, tapi tangan kananku menghambat pergerakanku. Tangan itu terasa semakin berat dan sulit digerakkan.

"Kau tidak akan bisa ke mana-mana dengan tangan seperti itu."

"Aku tidak sudi minta bantuanmu lagi!" tepisku. Harga yang ia jatuhkan jauh lebih mahal dari pertolongan yang mampu ia tawarkan. "Aku juga sudah mendapatkan jawaban yang aku mau di kota ini!"

Ketika aku hendak bergerak, kedua kakiku tidak bisa beranjak. Menunduk, aku melihat asap-asap hitam dari bayangan di kaki mengikatku. Sial, aku tidak melihatnya.

"Kau pikir aku akan membiarkan sumber makanan keluar begitu saja dari tangkapanku?" Yaksha itu sudah berdiri lagi di hadapanku. Dia terkikik geli. "Tidak akan."

Tangannya kembali menghunjam kepalaku. Rasa dingin menusuk itu kembali. Kepalaku mendongak begitu tinggi ke angkasa sampai leherku menekuk ke belakang. Langit kelabu di atasku tampak tidak peduli.

"Jarang sekali aku dapat makanan sukarela yang tidak akan diakui siapa pun," ujar Suvia. "Aku tentunya tidak akan melewatkan kejadian ini begitu saja, kan?"

***

Hari itu hujan sekali lagi turun, menyapu daratan. Kala sedang berjaga di dalam. Kondisinya memburuk dan demam terus-terusan menimpanya selama tiga hari. Aku memintanya untuk beristirahat di dalam Liang saja dan menjaga Irysad sementara aku di luar, berlindung di balik secarik kain agar tidak menghirup udara ang beracun terlalu banyak.

Aku berhasil mengalirkan air agar tidak membanjiri liang tempatku berada. Satu hari lagi akan berlalu dengan aman.

Atau itulah yang aku kira, sampai aku melihat pemandangan paling mengerikan yang bisa disaksikan oleh manusia biasa.

Kala berdiam di sudut paling dalam gua, duduk seolah dirinya sehat. Duduk seolah dia tidak terbaring kepayahan selama tiga hari berturur-turut dan tidak bisa bergerak. Anak itu sedang ada di pojokan, memakan sesuatu. Bunyinya begitu memekakkan telinga kendati terdengar sangat pelan.

"Kala...."

Anak itu berhenti. Aku berhenti bergerak, bernapas. Kemudian aku sadar, ada darah ungu gelap berjatuhan dari tempat Kala duduk. Aku membelalak ke arah Irsyad yang tidak lagi bergerak. TIdak lagi bernapas.

Tidak lagi membuka matanya.

Napas terasa terenggut dari paru-paruku. Keberanianku seolah lenyap. Ketika kala akhirnya berbalik, aku terjatuh ke tanah

Gejala yang dialami anak itu sama seperti yang dialami Irsyad dulu. Demam dan kepalanya sangat pusing sampai tidak bisa bergerak. Namun berbeda dari Irsyad yang semakin lama tubuhnya semakin membengkak sampai tidak bisa bergerak, sekarang Kala malah bisa duduk dengan kedua kaki tertekuk ke belakang, posisi yang sebelumnya tidak sanggup ia lakukan dengan sebelah kakinya yang terlalu kecil.

Sekarang kaki itu tampak seperti kaki yaksha yang penuh otot, hitam, dan berkuran dua kali lebih besar dari kaki sebelahnya.

Di tangannya yang berlumuran darah, daging ungu gelap yang serupa seperti daging Irsyad menumpuk. Kala, dengan matanya yang berpendar, menatapku dengan pandangan kosong.

Sebelum sorot penuh rasa bersalah menutupinya.

"Ibu...." Suaranya berubah lebih dalam. "Ka-Kala lapar.... Sangat lapar...."

Air mata bercururan di wajahnya. Air mata yang tidak ada artinya.

"Maafkan ... maafkan Kala, Bu...."

Saat itu juga kesedihan tumpah ruah dari dalam hatiku. Kesedihan berbalut amarah yang menggebu dan meledak begitu saja. Kekosongan yang semula membuatku terjatuh, kini membuatku bangkit. Sekop buatan tangan di genggamanku terarah segera ke kepala Kala. Menghantamnya tanpa ampun.

Tapi seoalh tidak lagi menjadi Manusia, sekop itu yang justru patah, sementara kepala Kala hanya terluka sedikit.

Darah yang keluar dari kepalanya hitam.

Sekelam jiwa busuknya!

"Dasar anak durhaka!" semburku tanpa ampun. "Kau bukan Manusia! Kau binatang! Kau Yaksha! Bagaimana kau bisa melakukan perbuatan—Sekeji ini! Pada ayahmu sendiri, Kala!"

Aku memukulinya dengan sekop yang tersisa. Anak itu merintih, melindungi dirinya sendiri, tapi aku yang kalap, tidak memberinya ampun sama sekali.

Hanya ketika dia tidak lagi bergerak lah aku berhenti. Hanya ketika ia berhenti merintih dan darahnya membasahi bajuku, tanganku berhenti memukul.

Tapi dia masih hidup. Dia masih hidup dan bahkan masih bisa menatapku.

Menatapku dengan sepasang mata yang bukan lagi mata Manusia itu!

Lancang sekali!

"Keluar kau dari sini, anak laknat!" Telunjukku menuding lubang keluar permukaan. Air mataku bercucuran dan suaraku bergetar. "Aku tidak sudi punya anak binatang sepertimu! Keluar dan mati saja kau sana dimakan yaksha! Jangan pernah berani kembali ke sini atau menunjukkan wajahmu lagi di hadapanku, dasar monster!"

"Ma-maafkan Kala, Bu...." Kala merangkak di tanah, hendak meraih kakiku, tapi yang aku rasakan saat itu hanya rasa jijik. Takut kalau dia akan memakanku juga.

Kakiku menghantam tubuhnya. Berkali-kali.

"Keluar sana! Jangan sentuh aku! Jijik aku melihatmu!" teriakku tanpa ampun, menendangnya keras dan mengeluarkannya dari Liang tempat persembunyian kami selama bertahun-tahun. "Keluar dan jangan pernah kembali lagi!"

***

Aku segera mengempas tangan itu dari dalam pikiranku. Tidak sanggup meraihnya, bukan berarti tidak bisa mengusirnya, kan?

Dan itu terbukti efektif.

Sebagian tangan Suvia hilang. Tidak lagi pulih. Tangan itu menjadi asap putih selamanya. Yaksha itu membelalak dan menjauh. Senyumnya hilang. Ia mengernyit ke arahku.

Gantian aku yang menyeringai. "Kau suka itu?"

Yaksha itu tidak membalas senyumanku seperti biasa. "Makhluk apa kau ini?"

"Itu pertanyaan yang pernah aku ajukan kepadamu, bukan?"

Suvia tampak kesal. "Ini tidak sesuai dengan perjanjian!" Ia mendesis. "Seharusnya tidak ada yang bisa membunuh kami lagi! Setelah Manusia-manusia itu...."

Perjanjian? Telingaku berjingkat. Purusha sempat mengatakan sesuatu soal perjanjian itu. Apa sebenarnya perjanjian yang dia maksud?

Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk mencari tahu. Sosok lain muncul di belakang Suvia. Sosok besar yang segera melompat dan meraihku ke dalam cengkaman tangannya. Berbeda dari Suvia yang langsung lenyap tangannya saat menyentuhku, sosok itu tidak lenyap sama sekali. Aku menunduk, melihat tangan kananku yang digenggamnya. Kuncup-kuncup di tangan kananku bermekaran dan serbuk-serbuk itu beterbangan, tapit idak ada yang bisa menyentuhnya. Tidak ada yang terpengaruh dari wujudnya, tidak seperti Suvia dan Purusha.

"Sepertinya aku salah memintamu mengurusnya, Suvia." Rakyan berkata dengan marah di hadapanku. Suvia hanya bisa tertunduk. "Kau membuang-buang waktuku."

Suvia tersenyum, tapi senyumnya tampak sakit. "Aku agaknya terlalu berlebihan."

"Sementara aku mengurusnya, kau urus Tuan Purusha,"

Suvia membelalak. "Tuan Rakyan, kau tidak—

"Perintah adalah perintah, Suvia."

Suvia mendelik tidak suka padaku. "Ternyata langkahku benar untuk membuat rumor itu semakin kuat," ujarnya penuh bisa beracun. "Kau memang pantas diusir dari kota ini, Tuan Rakyan."

Sosok Suvia pun lenyap dari sana. Meninggalkan aku berdua saja dengan Rakyan. Tanpa bicara, Yaksha itu segera membawaku pergi dari sana, entah menuju ke mana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro