19. Escape

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tadinya aku kira hidupku sudah akan tamat.

Aku sudah membayangkan akan berakhir di kuali atau panggangan. Paling buruk, aku akan berakhir dalam meja algojo yang mengerikan di pasar yang tadi aku lewati. Tapi Rakyan membawaku mengakali semua keramaian itu.

Berbeda dengan saat ia membawaku tadi, sekarang ia membawaku ke jalan-jalan yang sepi. Dan dia membawaku dengan sangat terburu-buru.

Sementara ia membawaku, lengan kananku berdenyut keras sekali. Seperti memberontak, beresonansi dengan miasma yang keluar dari tubuhnya. Aku meronta, memberontak mencoba melepaskan diri agar miasma itu tidak semakin parah, tapi cengkaman Rakyan tidaklah semudah itu ditembus.

Hingga dia melepaskanku dengan sendirinya.

Di sebuah jalan yang membuka ke arah hutan penuh kabut miasma di depan kami. Sebuah jalan keluar dari kota.

"Pergi," ujarnya sementara aku masih melamun, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, namun gagal. "Kalau kau berani kembali, aku akan membunuhmu."

Aku menatap hutan yang membentang di depan. Rakyan benar. Aku seharusnya pergi. Putraku tidak ada di sini. Raksasa itu sendiri yang bilang. Kala tidak ada di sini. Tapi Kala yang menjebaknya ke mari. Itu artinya Kala pernah ada di kota ini. Aku harus mencari lebih banyak petunjuk.

Aku tidak akan pergi.

Tanpa kata, aku berbalik lagi, kembali ke kota itu, tapi sosok besar Rakyan menghalangi jalanku. Kali ini ia mencekikku. Dari dekat, wujudnya bahkan lebih besar lagi. Kepalanya dipenuhi surai hitam seperti singa, dua tanduk raksasa mencuat dari puncak kepalanya. Tangannya yang besar mencengkam separuh badanku. Tidak diragukan lagi, dia bisa meremukkanku dalam sekali sentakan.

"Kau benar-benar bosan hidup rupanya, Manusia." Rakyan bersuara dan aku pun membalasnya dengan tindakan: aku menghajar tangannya sekuat tenaga.

Di luar dugaan, tubuh Rakyan lumayan rapuh. Jarinya pecah dalam sekali hantaman, tapi itu tidak membuat Rakyan bergerak. Sebaliknya, ia bergeming seperti batu. Seolah tidak merasakan sakit.

"Hanya segitu kemampuanmu?" Dia mengempasku. "Dan kau berharap untuk masuk ke kota Purusha? Kau punya mimpi yang pantas untuk diinjak."

"Itu bukan mimpi!" Aku menelan semulut penuh ludah penuh darah, tidak meludahkannya demi mencegah apa pun datang menghampiri kami. "Itu kenyataan! Aku sudah mendapatkannya dan kau menghalangiku, Yaksha!"

"Manusia keras kepala." Rakyan mengepalkan tangan. Aku menutupi separuh wajahku dengan kain. "Kau memang sebaiknya mati di sini."

Aku menunduk, bersiap untuk melompat dan berkelit, tapi ketika aku menekuk tungkai, aku menyadari ada rasa sakit yang tidak ada sebelumnya di sana. Menengok, secercah luka menggores kakiku. Sial, pasti karena reruntuhan tadi.

"Lihat ke mana kau?"

Aku tersentak dan buru-buru berkelit. Bertahan dengan tangan kanan ketika tinju itu menghantamku kuat-kuat, mendorongku sampai ke tepian batas jurang. Aku mencengkam tanah dengan tangan kanan, berhasil mempertahankan posisi ketika Rakyan kembali menyerang. Aku melompat, tapi tidak cukup tinggi. Rukyan berhasil meraih kaki kananku yang terluka, tapi aku pun berhasil mencakar pundak kirinya. Kami sama-sama kehilangan postur dan akhirnya meleset.

Rakyan berdiri di tepi jurang, sementara aku berdiri di balik bayangan.

"Kau keras kepala."

"Memang," Aku mengakui. "Dan kau hanya akan capek sendiri kalau meladeniku."

"Apa yang kau cari mungkin sudah tidak ada di sini," Rakyan berujar. "Manusia mana pun yang sudah sampai di sini, akan berakhir sebagai makanan."

Kenyataan pahit itu menghantamku. Tapi informasi yang aku dapat dari Yaksha tadi sudah cukup untuk membuatku bertahan.

"Aku tidak akan pergi dari sini!" Aku membulatkan tekad. "Tidak sampai aku dapat kepastian soal putraku."

Kulihat sepasang mata merah Rakyan menyipit. Dia menatapku dalam diam dan aku menduga-duga hal terburuk. Serangan lagikah? Aku memasang kuda-kuda, bersiaga untuk menghadapi serangan dari berbagai sisi.

"Bantuanmu sangat tidak diperlukan, Suvia."

Aku menunduk dengan kaget, baru menyadari tangan-tangan asap yang bersiap untuk mencengkamku dari balik bayangan. Di tembok, sosok asap putih yang mengepul di sekelilingku berubah semakin padat dan membentuk wujud Suvia yang tampak kesal.

"Terserah padamu saja ... Tuan Rakyan."

Kali ini tidak ada penghormatan dari nada itu. Dan Suvia pun sekali lagi pergi.

Tiba-tiba Rakyan menoleh ke belakang dan menggeram. Aku mengikuti arah pandangnya dan melihat kabut miasma menyingkir pergi. Bersamaan dengan itu suara raungan kencang terdengar dari sepenjuru kota. Aku menoleh dengan kaget ketika tanah di sekeliling kami bergetar. Kabut-kabut miasma dari pusat kota menyebar kuat. Aromanya menusuk hidung dan aku terbatuk.

"Cari dia! Cari manusia perempuan itu sampai dapat!" Raungan Purusha bergema di seluruh kota. "Hidup atau mati, bawa dia kepadaku!"

Tanah kembali bergetar. Kali ini aku mendengar sekumpulan Yaksha meraung. Termasuk Rakyan di hadapanku. Makhluk itu berlutut, memegang kepalanya sendiri dan meraung-raung kesal, membentur-benturkan kepala bertanduknya ke tanah berulang kali. Bayangan-bayangan raksasa dari para Yaksha menyerbu, menyebar ke sepenjuru kota, bahkan beberapa di antaranya, merangsek ke tempatku berada.

Gawat.

Baru saja aku mencari jalan untuk kabur, tangan besar Rakyan sekali lagi meraihku. Aku mencoba memberontak, tapi Rakyan justru menyembunyikanku di balik punggungnya.

"Berpeganganlah yang kuat jika kau masih ingin hidup!"

Tidak punya pilihan lain, aku pun menuruti perintahnya, berpegangan pada surai-surainya yang lebat dan bergelantungan di punggungnya. Aroma miasma tercium kuat di sekelilingku sampai aku harus menahan napas karenanya. Gelombang Yaksha yang mengamuk menyerbu mendekat. Rakyan mengikuti gelombang itu. Pasar-pasar diobrak-abrik, semua kegiatan jual beli dihentikan, berganti dengan penggeledahan. Dan tidak ada yang protes soal itu. Mereka semua seolah marah dalam gelombang yang satu padu tanpa ada yang menangis atau kabur. Semuanya menyebar ke sepenjuru kota.

Dan aku menyadari, tidak ada satu pun Yaksha yang menyadari kehadiranku.

***

Sekali lagi aku berakhir di rumah Rakyan. Kali ini tidak ada cahaya remang-remang menemani. Semua total gelap gulita. Rakyan melepaskanku dari punggungnya yang baru aku sadari, dingin dan lengket bersimbah darah.

"Keluarlah ketika semua resonansi ini telah berakhir." Resonansi?

"Dan kau berharap aku akan percaya?" Aku meraih ke kaki dan menyadari, tidak ada pisau di sana. Sial, kenapa aku tidak kepikiran untuk mengambilnya di pelelangan tadi?

"Aku tidak berharap apa pun...." Ujar Rakyan. "Kecuali makan malam manusia yang tidak begitu busuk tersaji di atas meja."

"Kau bisa memasaknya sementara dia masih bisa bicara, Tuan." Suara Suvia terdengar lagi. "Rasanya tidak akna begitu buruk."

Tidak terdengar jawaban apa pun dari Rakyan. Hanya kesunyian yang menjelang dan aku bersiaga. Sosok Suvia masih melayang di sampingku. Dia tampak bertopang dagu.

"Tidak ada jawaban," ujarnya. "Apa yang bisa aku artikan dari diamnya itu? Ya, atau tidak?" Yaksha itu lantas menoleh tiba-tiba, membuatku tersentak dan mundur. Mata Suvia berpendar kemerahan di dalam gelap. "Bagaimana menurutmu, Manusia? Apa kau pantas hidup?"

"Kenapa kau menanyakannya kepadaku?" sahutku tidak kenal takut, meski tidak bisa melihatnya dengan jelas dan yakin beberapa derajat meleset dari memandang sosok itu. "Kau bilang menyebarkan rumor dan hendak mengusir dia dari kota ini, kan?"

"Oh, tapi ini rumahku," Suvia menandaskan sementara aku melongo. "Jika dia ingin diusir dari kota ini, silakan mengusir dirinya sendiri, aku tidak mau mengotori tanganku."

Seolah tangannya bisa kotor saja. "Kalian berdua sudah biasa begini."

"Tidak juga." Entah perasaanku saja atau aku bisa melihat kekesalan di sana. Sosok Suvia lantas memudar. "Kau sebaiknya pergi ke tempat aku tidak bisa melihatmu, Manusia."

Suaranya semkain menjauh dan mendadak saja, aku merasa ditinggalkan sendirian.

"Aku tidak akan berbohong jika ada yang kemari dan mencarimu." Bersaman dengan itu, aku mendengar bunyi gedoran di pintu. Oh, sial. "Ah, bicara soal kedatangan tamu."

Aku buru-buru bangkit, menggunakan tangan untuk meraba di dalam gelap, mencoba agar tidak menyenggol perabotan apa pun yang bisa menimbulkan suara. Tapi ini lebih sulit dari kelihatannya, sekalipun aku sudah pernah beberapa kali terjebak situasi ini.

Sial.

Suara pintu terbuka terdengar di belakang. Seseorang mendobraknya. Dan Suvia bahkan tidak repot untuk protes. "Di mana Rakyan?" Suara itu meraung. "Apa dia menyembunyikan manusia lagi di sini?"

Dan permainan petak umpet pun dimulai.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro