ma.ni.pu.la.si: 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⭐Now playing: Human - Harris J⭐

Ada berjuta tanda tanya yang menyesaki benak Zafi tanpa henti. Koneksi antara Hilwa dan Haitsam, pengkhianatan Hilwa, tuduhan yang ditujukan pada Haula ... Zafira mengernyit dalam. Berbagai informasi baru yang serempak dijejalkan malam ini membuat kepala Zafira rasanya hendak meledak sekarang juga.

Demi mendengar nada congkak Haitsam, Zafira pun mendengkus singkat. "Lagian, tipu daya macam apa itu? Haula adalah impostor? Konyol. Banyak sekali cacat logikanya. Waktu aku memastikan ke Kobong Syam, hanya ada Haula di sana. Rentang waktunya juga janggal."

Haitsam terdiam dengan tatapan tajamnya ketika Zafira mulai memaparkan kronologis kejadian yang disertai asumsinya.

"Sebelum Hilwa laporan palsu, kita sempat ketemu. Aku anggap Hilwa belum nguping sesuatu dari Haula, karena seandainya udah, dia pasti laporan ke aku sejak itu. Jangka waktunya terlalu sempit. Kalau Hilwa emang benaran nguping Haula yang menunjukkan dirinya sebagai impostor, sehabis setoran, kenapa dia enggak langsung rekam aja, biar bisa jadi bukti yang lebih kuat?" Alis Zafira menukik tajam, seiring kalimatnya yang bertambah sarkas. "Nyatanya, telepon aku malah ditolak. Padahal aku juga enggak akan berisik sampai bikin dia ketahuan."

Hilwa yang sedari tadi dibicarakan begitu hanya bisa tertunduk dalam. Pergelangan tangannya masih dicengkeram kuat oleh Haitsam. Sudahlah ... Hilwa membuat matanya terpejam, memilih untuk ditelan kelam. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk membela diri.

Mendapati kalimatnya hanya ditanggapi oleh senyap, Zafira mengembuskan napas penat dari mulutnya. "Lain kali, lebih keren lagi kalau mau bikin perpecahan. Kalian kurang briefing."

"Iya, iya, si paling jago analisis." Haitsam menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Mau sok pahlawan, katanya. Padahal cuma ngerasa cemburu karena orang-orang lebih mengandalkan Hilwa yang jabatannya ada di bawahmu. Ngaku aja, deh. Sebenarnya, niat utama kamu tuh biar lepas dari tuduhan dan tudingan anak-anak Ruwada, karena kamu bendaharanya, 'kan?"

Bendahara? Lama, Zafi melamun panjang. Kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Haitsam membuat Zafira sempurna bungkam. Bukan karena sudah kepalang geram, melainkan Zafira merasa bahwa perkataan Haitsam begitu sukses menghantamnya.

Semilir angin malam yang memainkan hijabnya seakan membiuskan bisik-bisik hipnotis hingga Zafira hanya bisa bergeming sedari tadi. Perdebatan itu terhenti begitu saja. Tak ada yang berminat untuk kembali angkat suara. Merasa sudah tak memiliki urusan lagi di sini, Haitsam pun beranjak meninggalkan ketiga anak perempuan yang masih mematung di posisinya masing-masing.

Zafira tampak berpikir keras, Hilwa terlihat ingin sekali memberikan penjelasan pada dua kawan Rohis-nya, sementara Nazifa-lah yang dapat merasakan atmosfer canggung nan tidak menyenangkan yang mengudara di sekitar. Radar bahayanya berkedip-kedip, merasakan keberadaan situasi yang di luar zona amannya. Nazifa menarik-narik lengan kakak kembarnya. "Zaf, Zafi ... pulang ke kobong, yuk. Dingin. Udah mau jam sepuluh juga. Nanti bisa dihukum Ukhti, kalau masih di kawasan sini."

Anak perempuan itu tak bergerak walau semili. Netra hitam legamnya seolah tampak berjuta-juta kali lebih kelam saja, bagai laut dalam yang tak tergapai bagian dasarnya. Kepala Zafira bising sekali. Tak ada lagi kalimat lebih tepat yang bisa menggambarkan keadaannya selain 'tenggelam dalam dunianya sendiri'. Amarah Zafira pada Haitsam dan tindakan korupsi yang tak kunjung mati di Ruwada ini mendadak saja dibabat habis oleh kalimat terakhir Haitsam.

Biar lepas dari tudingan orang-orang, ya? Karena Zafi bendaharanya? Zafira mengepalkan tangan kuat-kuat. Kesal karena dikatai begitu oleh seorang Haitsam, sekaligus kesal karena kalimat lelaki itu cukup masuk akal adanya. Sebagian penjuru hati Zafira tersentil. Apakah niatnya memang seperti itu?

Zafira berjuang untuk menentang keras-keras tindakan korupsi Pak Adnan, mati-matian mendirikan Aliansi AKSI, lantas berdiri tegak bagai pahlawan di garda terdepan begini ... hanya untuk membersihkan namanya sendiri dari tudingan macam-macam? Hanya untuk menyelamatkan diri dari rasa bersalah atas tanggung jawab yang dipikulnya?

Tidak, tidak. Zafira hanya ingin kebenaran.

Ya Allah ... melindungi niat agar tidak melenceng dari jalur 'hanya untuk-Nya' ternyata memang tidak semudah kedengarannya, ya.

[ma.ni.pu.la.si]

Sejak perjalanan dari gazebo menuju kobong, tidak ada satu suara pun yang mengudara dari ketiga anak perempuan yang masih sibuk dengan keresahannya masing-masing. Langkah kaki mereka memang beriringan, tetapi pikiran satu sama lainnya bercabang, saling berlanggaran, mengguratkan berjuta tanya sekaligus kekosongan makna yang begitu dalam. Bahkan ketika Zafira dan Nazifa berbelok untuk memasuki kobongnya lebih dulu sekalipun, tidak ada ucapan perpisahan yang terlontar.

Keriuhan Rosi dan Yasna di Kobong Madinah telah digantikan dengan kesibukan keduanya yang memainkan ponsel masing-masing. Mumpung tidak ada Zafi, kesempatan emas untuk menggunakan ponsel hingga pukul sepuluh tepat! Meski begitu, setelah kedatangannya pun, Zafira tak berminat untuk menegur kedua teman satu kobongnya. Energi Zafi telanjur terkuras tandas karena memaksa otaknya bekerja lebih keras saat ini.

Hilwa double agent, itu kenyataan yang tidak terelakkan adanya. Cepat atau lambat, Zafi harus menginformasikan hal tersebut pada agen Aliansi Anti-Korupsi lainnya. Mereka berhak tahu, Zafira pun mesti lekas-lekas melakukannya untuk mencegah kebocoran informasi lebih lanjut. Zafira menyalakan layar ponselnya, lantas membuka chat room grup AKSI. Jemarinya mengetikkan sesuatu di sana.

ZAFIhumaiRA: @hilwafazza ... ada kata-kata terakhir?

Pesan Zafira langsung dibuka anak mes yang sebagian besar memang sengaja mengaktifkan ponsel di detik-detik terakhir sebelum dikumpulkan pada Ukhti. Kala itu, grup AKSI dipenuhi tanda tanya bertebaran. Zafira malas sekali melihatnya. Jiwanya seolah sudah dibawa pergi bersama kepercayaan Zafi pada Hilwa yang hirap dilahap senyap. Nazifa-lah yang menjelaskan situasi di grup dengan sudut pandang senetral mungkin.

Mendapati teman-teman lainnya cenderung memojokkan Hilwa seorang diri, Nazifa pun tak bisa menahan lagi kedua sudut bibirnya yang tertekuk ke bawah. Manik cokelat terang yang selalu menyorotkan kelembutan itu diselimuti selaput bening yang siap meluncur ketika berkedip. Nazifa menatap kakak kembarnya dengan memelas. "Zaf ... ini enggak apa-apa? Soal Hilwa ...."

Belum juga tuntas kalimatnya, Nazifa refleks ikut melirik notifikasi baru yang hinggap di layar ponselnya begitu mendapati Zafira menunduk dalam untuk itu. Maudy telah mengeluarkan Hilwa dari grup. Padahal Hilwa baru muncul dua kali malam ini untuk menyerukan kata maaf. Iya. Hanya maaf yang anak perempuan itu lontarkan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.

"Zaf ... apa ini enggak salah? Aku ... aku merasa ... Hilwa enggak berniat buat berkhianat kayak gini!" Sudut hati Nazifa sempat ragu untuk mengutarakan pendapatnya di tengah keriuhan warga aliansi yang berseru-seru tak percaya atas kenyataan yang baru terungkap dari seorang Hilwa. Nazifa takut malah dirinya yang dicurigai hal tidak-tidak karena membela Hilwa yang sudah dicap pengkhianat ... tetapi Zifa mengempaskan semua kebimbangan itu sebisanya. Ada sesuatu yang begitu mengusik setiap penjuru pikiran. "Aku yakin, Hilwa enggak terlibat sejauh itu."

Zafira tak berminat untuk mendengarkan kalimat adik kembarnya sedikit pun. Zafira sibuk dengan dunianya yang tak pernah bisa disuruh diam. Mengingat kekecewaan itu masih menggelayuti netra hitam legam Zafi, Nazifa pun beralih untuk menyuarakan kegelisahannya di grup AKSI.

Zifaazif: Guys, kayaknya kita terlalu cepat mengambil kesimpulan, deh. Kita harus dengar penjelasan Hilwa dulu.

Akan tetapi, lagi, tidak ada yang mendengarnya. Suara Zifa seolah teredam begitu saja. Nazifa memilin roknya kuat-kuat. Tanpa alasan yang jelas, Nazifa seakan bisa memahami apa yang tengah Hilwa hadapi saat ini.

Sorot manik hazel itu ....

Nazifa tak asing dengan keputusasaan yang tergantung di sana.

Di sisi lain, jemari Zafira lincah sekali mencari kontak Ustazah Qonita, lantas mengetikkan sebuah pesan. Pesan yang tak Zafira sangka akan ia kirimkan dalam rentang waktu secepat ini. Pesan yang menyatakan kekalahan Zafi atas keyakinannya. Keyakinan yang ia genggam untuk tidak melaporkan segalanya pada pihak sekolah sebelum ada bukti konkret yang bisa diajukan.

Assalamualaikum Ustazah ... ada hal penting yang perlu aku bicarakan.

Zafira memejam erat, berusaha mengusir pusing yang terasa berdesing-desing. Manik hitam legam itu kembali terbuka begitu merasakan getar notifikasi dari grup AKSI yang ramai sekali di penghujung malam ini.

Tanpa bisa dikendalikan, Zafira malah tenggelam dalam lamunan panjang. Iya. Belum juga tiga hari semenjak terbentuknya Aliansi Anti-Korupsi, satu impostor sudah kembali tersingkap. Zafira menghela napas panjang.

Kejutan apa lagi yang akan dihadirkan semesta di penghujung jalan sana?

Bisakah Zafira mempertahankan keyakinan, juga keputusannya untuk mempercayai semua anggota Rohis kelas sebelas?

[ma.ni.pu.la.si]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro