ma.ni.pu.la.si: 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⭐Now playing: Masih Pantaskah - Qhutbus Sakha (sangat direkomendasikan)⭐

Baik, Zafira. Biar Ustazah bicarakan dengan Ustaz Zaki dulu.

Ustaz Zaki? Zafira melipat bibir bawahnya ke bagian dalam. Apakah Ustaz Zaki bisa dipercaya?

Astagfirullah al-adzim ... kejadian beruntun di akhir-akhir ini membuat Zafira jadi cepat sekali menuduh sana-sini. Itu merupakan mekanisme pertahanan diri agar tidak mengalami kekecewaan untuk ke sekian kalinya. Akan tetapi ... pada Ustaz Zaki? Zafi bahkan belum menemukan suatu hal janggal yang bisa mengakibatkan kecurigaan pada Ustaz paling strict di Ruwada itu. Zafira menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran negatif. Tidak seharusnya Zafi asal menuduh tanpa dasar yang kuat.

Oh, baiklah. Mari hentikan dulu persoalan persentase kemungkinan seseorang berafiliasi dengan Pak Adnan. Zafira menghela napas panjang. Ia harus mengatur skala prioritasnya. Pertama, masalah tablig akbar yang pelaksanaannya sudah makin dekat.

Menurut kesaksian Nazifa, dana tablig akbar di tangan Pak Adnan sudah ditagih oleh Hilwa berulang kali. Akan tetapi, pembina mereka itu selalu saja beralasan bahwa uangnya tertinggal, tidak sedang ia pegang. Hal yang paling membuat Zafira emosi adalah ... ketika Nazifa menemani Hilwa untuk menagih kembali, dan dengan entengnya Pak Adnan malah menyuruh anak Rohis untuk menggunakan uang kas lebih dahulu.

Yang benar saja! Begitu mendengarnya dari Nazifa tadi malam, Zafira langsung menekan kepalanya yang terasa berdenyut nyeri karena ledakan emosi. Jumlah anggota Rohis tidaklah banyak, belum lagi adanya spesies macam Alzam yang selalu mengeluarkan jurus sejuta alasan setiap kali ditagih.

Selain itu, uang kas sudah banyak terkuras karena memenuhi permintaan Pak Adnan untuk membeli vacuum cleaner, juga dipergunakan sebagai inisiatif Bendahara dan anak Rohis lainnya dalam memperbaiki fasilitas sarana ibadah siswa Ruwada, oh, jangan lupakan biaya yang dikeluarkan untuk mengambil alih Ruangan Rohis hingga layak huni. Kini, uang kas masih harus menambal dana tablig akbar yang dimonopoli Pak Adnan? Lelucon macam apa lagi ini?

Pagi hari datang menjemput. Sembari menunggu Rosi dan Yasna yang masih antre untuk mandi-tentunya setelah diomeli Zafi habis-habisan-Zafira memperbaiki posisi kerudungnya seraya berpikir keras. Sepertinya, Pak Adnan akan kembali mengelak hari ini. Entah beralasan bahwa uangnya tertinggal lagi, atau malah tak datang ke sekolah sama sekali. Zafira terus memikirkan kemungkinan terburuk sekaligus solusi terbaik untuk mengantisipasinya.

Akan tetapi, di hari Selasa ini, ketika Zafira mengajak Hilwa-walau masih begitu canggung dan Zafi lebih dingin dari biasanya karena kejadian semalam-untuk mendatangi Pak Adnan dan mengambil alih dana tablig akbar, ternyata serentetan perkiraan negatif Zafi tidak ada yang terjadi. Entah karena telah ditindaklanjuti oleh Ustaz Zaki atau bagaimana, tetapi Pak Adnan menyerahkan sejumlah uang pada Zafira di pojok baca.

Hanya saja ... nilai uang tersebut tidak sesuai dengan anggaran di proposal, juga keterangan yang diberikan Nazifa ketika ditanya-tanyai Zafira sewaktu masih di Kobong Madinah. Ini, sih, masih kurang setengahnya. Zafira mengerutkan alis, sementara bibirnya mulai meluapkan protes keberatan. "Maaf, Pak. Sepertinya ini kurang dari anggaran yang tercantum di proposal. Dari Miss Ayi-nya juga dua kali lipat dari ini, kan, Pak?"

"Oh, iya." Pak Adnan mengembangkan senyuman lebar. Kekehan itu terlontar tanpa dosa. "Yang sebagiannya lagi ketinggalan. Lagi pula kan pelaksanaannya masih lama. Untuk sekarang ini, pakai uang kas dulu aja, ya, Zafi, Hilwa."

Dari alis yang menukik, membingkai netra hitam legamnya yang menatap tajam, jelas sekali bahwa Zafira tengah dongkol setengah mati. "Pak, uang kas Rohis sudah kami pakai buat membeli dan memperbaiki fasilitas masjid. Tidak ada yang tersisa untuk kegiatan. Kecuali kalau Bapak mau mengalokasikan uang infak untuk kepentingan masjid sejak awal, bukan hanya berbagi pada yang membutuhkan tanpa kepastian. Kalau aja begitu, mungkin uang kas masih banyak hari ini."

"Zafi ... kita ini melatih simpati, ya, belajar berbagi pada yang membutuhkan, di panti."

"Tapi banyak siswa yang mempertanyakan transparansi penyaluran uang infak ini, Pak. Lagi pula, bukankah mengoptimalkan sarana ibadah siswa adalah misi utama Rohis? Perbaikan itu harusnya kita lakukan dari dalam dulu, kan, Pak? Perbaikan masjid Ruwada dulu, baru berbagi ke panti asuhan di Tasik. Kami juga ada rencana buat menggalakkan santunan ke anak panti dengan pakaian siswa yang tidak lagi digunakan, supaya lebih manfaat. Jadi uang infak itu bisa buat masjid, Pak."

Menyadari atmosfer sekitar yang mulai bertambah suram, Hilwa, Haitsam, dan Nazifa, hanya bisa terdiam, mengkhawatirkan respons dari Zafi. Pak Adnan menggeleng pelan. "Apa salahnya? Uang infak juga tetap untuk anak panti, 'kan? Justru kalau mau santunan, lebih baik dalam bentuk uang, ya ... biar lebih fleksibel, bisa dipakai apa aja, buat pakaian bisa, bahan pangan juga bisa. Coba kalau bentuknya pakaian? Kalau tidak sesuai, bisa-bisa malah dibuang, tidak bermanfaat."

"Nanti kami pilah-pilah kembali, kok, Pak. Dan poinnya bukan di sana." Zafira mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya, berusaha menahan emosi yang mulai keluar kendali. "Ini soal kepercayaan siswa, Pak. Bukannya pencitraan atau demi melindungi nama baik semata, tapi kita ini memang perlu mendapat kepercayaan siswa. Kita butuh siswa, siswa adalah target utama setiap visi-misi dan program kerja Rohis. Untuk siswa, untuk mengembangkan nilai-nilai keagamaan di Ruwada."

Senyuman lebar dan raut semringah Pak Adnan seketika langsung padam. Tanpa alasan konkret, Zafira seakan bisa melihat sosok di balik topeng, Pak Adnan yang sebenarnya. Akan tetapi, semua itu tak menyurutkan semangat Zafira untuk mengungkapkan segala hal yang selama ini selalu saja mengusik pikirannya. Zafira ingin memuntahkan semua kebisingan itu.

"Bapak juga tahu posisi Rohis sebagai organisasi keagamaan di Ruwada, 'kan? Kita ini public figure. Kita menanggung amanah itu di pundak. Kalau kita tidak mengantungi kepercayaan dari siswa, bagaimanalah mereka mau mengikuti program kita yang tak lain memang bergerak di bidang keagamaan? Kita tak hanya berurusan dengan siswa, Pak. Tapi juga dengan Allah. Sumpah Organisasi sewaktu serah terima jabatan telah mengikat kita untuk menjadi pengurus Rohis yang optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya, juga dapat bermanfaat bagi umat. Kita berutang itu semua pada Allah."

Serentetan kalimat yang dilontarkan Zafira dengan susah payah untuk menahan emosi menggebu itu membuat Pak Adnan mengeraskan rahang. Jelas saja Pembina Rohis itu merasa terancam oleh hal-hal yang dikemukakan Zafira. Pak Adnan angkat suara dengan suara yang begitu dingin. "Apakah kamu menganggap Bapak tidak dapat dipercaya, Zafira? Inti dari kalimatmu adalah ... Bapak yang telah menghancurkan kepercayaan siswa terhadap Rohis. Iya?"

"Aku ... aku, maksud aku, organisasi Islam seperti Rohis ini ...."

Kesal karena mendapati Bendahara I itu masih saja terus menjawab, kini Haitsam pun angkat suara dengan nada tingginya, sarat akan emosi yang menggelegak. "Zafira Humaira! Mana adabmu?"

Astagfirullah ... Zafira memejamkan mata erat-erat. Tangan itu mengepalkan dengan kuat, layaknya orang yang berpegangan pada tepian sungai agar tidak terbawa hanyut oleh derasnya emosi. Zafira harus mengendalikan diri! Apalagi yang di hadapannya adalah seorang guru tafsir sains, dan Islam mengajarkan umatnya untuk selalu memuliakan guru. Apalah yang telah Zafira buat kali ini?

"Bapak pamit, masih harus mengajar. Jam istirahat sudah mau habis. Kalian kembalilah ke kelas masing-masing. Wassalamualaikum."

Pak Adnan pergi lebih dulu, membuat sekitar pojok baca pada pukul sembilan pagi ini jadi begitu sepi setelah ditinggalkan perdebatan Zafira dengan Pak Adnan. Di saat Zafira masih berusaha mengambil alih kendali dirinya, Haitsam malah mengatakan sesuatu yang hanya memperparah keadaan. "Katanya anak Rohis, public figure, tapi adab ke gurunya nol ... gimana, sih?"

Tundukan kepala Zafira sontak saja jadi terangkat untuk memandangi Haitsam dengan tatapan penuh kekesalan. "Gimana soal Hilwa, hah? Apakah yang kamu lakukan selama ini sudah memenuhi adab? Mengenakan topeng palsu di depan publik, mendekati zina diam-diam, menjadi Ketua Rohis yang hanya menghancurkan Rohis itu sendiri, berafiliasi dengan Pak Adnan yang melakukan tindakan korupsi!"

"Udah, Zafi, udah ... semua ini enggak menyelesaikan masalah!" Dengan mengerahkan seluruh tenaga, Hilwa melerai pertengkaran itu dengan merengkuh pundak Zafira agar bisa lebih tenang. Teriakan Zafira barusan memang cukup keras, tetapi kebanyakan siswa masih di kantin saat ini. Semoga saja memang tidak ada siswa lain yang mendengar, atau segalanya akan jadi bertambah rumit. "Kita ke kelas, yuk, Zaf. Udah mau masuk."

Benar saja. Bel masuk berbunyi nyaring, memenuhi setiap penjuru Persatas. Di balik kelokan koridor dekat pojok baca, Nazifa bergeming. Ia memang sengaja mengamati kakak kembarnya dari kejauhan untuk memastikan tidak terjadi hal yang buruk. Akan tetapi, ada sesuatu yang begitu menyesaki pikirannya ketika mendengar perdebatan barusan.

Public figure, ya?

Nazifa mengepalkan tangan erat-erat. Semua ini memang sudah seharusnya ia akhiri.

[ma.ni.pu.la.si]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro