Empat Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Undangan pernikahan Indira ada di rumah juga. Ditujukan kepada Bapak dan Ibu. Aku sedang memegangnya saat Ibu tiba-tiba muncul di ruang tengah.

"Ibu nggak bisa pergi, Kay," katanya, "Ngantrenya pasti lama. Ibu nggak kuat. Kamu aja yang wakilin Ibu. Perginya nanti sama Bapak dan Yudis."

"Tapi, Bu, aku ng—"

"Nggak enak kalau nggak datang. Dia kan teman Yudis dari kecil. Waktu SMA, dia dan Risyad sering banget main ke sini." Ibu tersenyum kecil. "Dulu Yudis naksir sama Dira. Cinta monyetnya."

Aku berusaha terlihat biasa saat mengatakan, "Yudis pacaran sama Indira sebelum kami menikah, Bu. Itu bukan cinta monyet."

Ibu mengibas. "Itu nggak serius. Kalau beneran serius, Ibu nggak mungkin minta Yudis buat deketin kamu. Nanti saat punya anak, kamu akan ngerti kalau semua Ibu pasti mau anaknya bahagia. Tujuan utama seorang ibu itu ya kebahagiaan anaknya."

Ibu tidak mengerti. Aku jelas mendengar kalau Yudis mengatakan sangat mencintai Indira. Itu bagian kalimatnya yang tidak mungkin aku lupakan. Aku hanya tidak mau mengungkitnya sekarang. Ibu akan tahu kalau aku belum sepenuhnya melepas masa lalu.

"Kamu cari baju deh untuk acara itu. Ajak Yesti. Atau panggil personal shopperaja kalau kamu malas ke butik. Kamu kan orangnya praktis, kalau disuruh jahit baju khusus ke desainer pasti nggak mau karena ribet, padahal kan ukurannya dijamin pas banget."

"Pulang kantor besok aku bisa ke mal, Bu." Aku tidak suka gaun yang aneh-aneh. Pasti gampang menemukan gaun untuk ke acara Indira, meskipun aku sebenarnya tidak ingin ke sana. Namun, tidak mungkin membantah Ibu.

"Nah, itu Yudis datang!" Ibu melihat ke belakang pundakku.

"Lagi gosipin aku, Bu?" Yudis mengambil tempat di sisi Ibu yang duduk di sofa panjang. "Pantesan berasa mau ke sini, padahal udah malam banget. Ibu kok belum tidur?"

"Ngomongin acara Dira, bukan kamu," Ibu berdecak. "Kalau ke sana, berangkatnya dari sini aja. Biar nanti bareng sama Kay dan papa kamu. Ibu nggak bisa ke sana. Nggak kuat berdiri ngantrenya."

"Memangnya Kay ikutan?" Yudistira seolah tidak melihat aku di situ. Aku berusaha menahan diri supaya tidak mengarahkan bola mata ke atas.

"Ya ikut dong. Gantiin Ibu. Supaya kamu sama Papa juga ada temannya." Ibu menatapku untuk meyakinkan. "Iya kan, Kay?"

"Iya, Bu." Seperti aku punya pilihan saja.

Ibu kemudian bangkit. "Ibu istirahat dulu. Kalau duduk lebih lama lagi, ntar diomelin Kay atau Yesti. Kalian ngobrol aja berdua." Dia beralih kepada Yudis. "Nginap di sini aja, nggak usah balik ke rumah kamu. Udah malam banget. Waktu kamu di jalan bisa dipakai untuk tidur. Biar besok lebih segar di kantor."

Aku menunggu sampai Ibu menghilang dari ruang tengah sebelum ikut berdiri. Aku tidak tahu cara mencairkan suasana kalau Yudistira juga diam saja, karena bagian basa-basi adalah spesialisasinya. Lebih baik aku mengambil air botol air minum untuk di kamar.

"Aku mau minum kopi," suara Yudistira terdengar tepat di belakangku. Rupanya dia mengikutiku ke belakang.

"Sudah makan?" Seharusnya sih sudah, karena sekarang sudah lewat jam sepuluh malam, tetapi aku tetap menanyakannya, supaya tidak diam saja.

"Tadi makan sama Risyad." Nadanya biasa saja.

Apakah dia sudah lupa kalau tadi sore dia mengusirku dari ruangannya? Tidak secara langsung memang, tetapi caranya mengatakan sibuk itu tetap saja disebut mengusir.

"Tunggu di meja makan saja," kataku saat Yudistira mengikutiku ke pantri.

Yudistira tidak menjawab, tetapi tetap mengikutiku sampai ke belakang. Dia duduk di stoolsementara aku berkutat dengan mesin pembuat kopi.

Rasanya aneh kalau aku berdiri mematung di depan coffee maker sambil menunggu kopinya siap, jadi aku ikut duduk di salah satu stool, menjaga jarak dengan Yudistira. Seharusnya aku tadi membawa ponsel, supaya bisa terlihat sibuk. Namun, siapa yang tahu Yudistira akan datang ke sini?

Astaga, ini benar-benar kekanakan kalau aku masih berpikir tentang gengsi saat aku tinggal di rumah orangtuanya yang sudah menganggapku sebagai anak sendiri, bukan hanya sekadar mantan menantu.

"Ehm...," aku berdeham sejenak. "Tadi makan di mana sama Risyad?" Ya, itu basa-basi yang buruk. Aku hampir memutar bola mata mendengar ucapanku sendiri.

Yudistira tidak langsung menjawab. Dia berbalik menghadapku dengan sebelah siku bertumpu di meja. Dari matanya yang menyipit dan dahinya yang berkerut, aku bisa menduga kalau dia tidak menyangka aku akan mengajaknya bicara lebih dulu. Memang bukan kebiasaanku membuka percakapan.

"Di GI aja," jawabnya pendek.

"Oohh...."

Lalu hening lagi. Aku kemudian bangkit dari kursiku saat melihat kopi Yudistira sudah siap. Mesin kopinya otomatis sehingga bisa diprogram untuk membuat satu cangkir kopi saja. Dia lebih suka menggunakan kopi utuh yang sudah di-roasting daripada kopi bubuk.

Aku meletakkan cangkir kopi itu di depannya. "Ada yang lain?" Lebih baik segera kabur dari sini kalau dia tidak membutuhkan apa-apa lagi.

"Kamu sudah mau tidur?" Yudistira malah balik bertanya.

"Tadi aku bawa kerjaan dari kantor. Jadi aku mau baca-baca dulu." Aku sama sekali tidak merasa mengantuk sekarang. Level antisipasi tubuhku terhadap kehadiran Yudistira membuat adrenalin sedikit meningkat. Sulit mengantuk dengan kondisi seperti itu.

"Kalau Papa memutuskan pensiun, kayaknya kamu yang lebih cocok gantiin dia daripada aku. Aku nggak pernah lihat orang yang menikmati bekerja kayak kamu. Perusahaan pasti aman di tangan kamu."

Tentu saja itu tidak benar. Orang seperti Yudistira yang luwes lebih cocok untuk menjadi pemimpin. Dan yang paling penting, di dunia usaha, terutama perusahaan besar, orang masih lebih suka dipimpin oleh laki-laki. Menyedihkan, tapi itu benar. Dewan direksi yang kebanyakan adalah angkatan Bapak pasti tidak akan membiarkan namaku masuk dalam bursa calon pimpinan untuk menggantikan Bapak kelak.

"Aku nggak akan memimpin perusahaan. Itu tugas kamu. Kamu yang anak kandung Bapak. Itu tanggung jawab besar yang nggak mau aku ambil." Aku duduk kembali di kursiku, mengawasi Yudistira mengusap bibir cangkirnya yang panas. "Kenapa kamu dulu nggak pernah mengajakku bertemu dengan teman-teman kamu?" Entah mengapa, pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.

Astaga, mengapa aku harus memancing masalah baru di saat seperti sekarang? Sepertinya aku memang benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. "Nggak usah dijawab kalau kamu nggak mau," aku buru-buru melanjutkan. "Sebaiknya aku masuk ke kamar sekarang." Aku melompat turun dari kursi.

"Kamu nggak bisa lari begitu saja setiap kali habis menanyakan sesuatu, Kay." Yudistira menahan lenganku. "Meskipun aku nggak suka dengan apa yang akan kukatakan, tapi aku akan menjawab pertanyaan kamu kok."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro