Empat Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu dengan Yudistira. Dia pergi ke Surabaya bersama Bapak sehari setelah makan malam dengan Anira. Mereka hanya dua hari di sana, tetapi Yudistira pulang ke rumahnya setelah perjalanan itu. Aku kembali ditemani Pak Mus pergi dan pulang kantor.

Hubungan kami mirip roller coaster. Naik-turun berdasarkan suasana hati. Saat aku berpikir kalau kami sudah mengalami kemajuan (dalam arti benar-benar berdamai dan sudah meninggalkan masa lalu di belakang), kami lantas terlibat perdebatan tidak penting dan mengalami kemunduran lagi. Kadang-kadang kami lebih mirip dua orang anak kecil yang ambekan. Entah siapa yang lebih kekanakan.

Meskipun tidak ingin, aku kembali memikirkan ucapan Anira tentang Yudistira yang memutuskan membawa perempuan lain sebagai pasangan. Seharusnya aku tidak perlu merasa cemburu, karena aku yang tidak mau kembali kepadanya dengan berbagai argumen yang aku yakini valid. Namun, sulit berdamai dengan pikiran sendiri. Sulit sekali menjadi perempuan, tetapi mungkin tidak semua perempuan serumit aku dalam melindungi hati.

"Bu, ada tamu," suara Shinta membuyarkan lamunanku. Aku tidak mendengarnya mengetuk pintu. Akhir-akhir ini fokusku gampang terpecah. Rasanya seperti tergerus dan kelelahan karena pikiranku sendiri.

"Siapa?" Pasti bukan orang kantor karena senyuman Shinta tidak terlihat tulus. Tidak biasanya dia terlihat seperti itu.

"Ibu Indira, Bu. Ibu mau bertemu dengan dia, atau saya harus bilang kalau Ibu sibuk?"

Shinta masuk di kantor ini sebelum aku menikah, jadi kisah cinta Yudistira yang epik itu pasti masuk dalam bursa gosip bersama teman-temannya. Reaksinya saat ini menunjukkan hal itu. Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atau malah miris melihatnya jelas memihakku. Bergabung dengan tim Patah Hati memang selalu lebih mudah.

"Persilakan masuk saja, Shin," jawabku berusaha menanpilkan ekspresi biasa, walaupun dalam hati aku bertanya-tanya apa yang membuat Indira sampai harus menemuiku.

Apakah dia datang untuk memintaku supaya menyingkir dari hubungannya dengan Yudistira? Sebagian perempuan akan melakukan apa pun dengan alasan cinta. Aku juga pernah berada di posisi itu, meskipun tidak berhenti menyesal setelahnya.

Jantungku berdegup lebih kencang. Aku tidak kenal kepribadian Indira dengan baik. Aku hanya familier dengan penampilannya yang anggun. Aku harap kepribadiannya sesuai dengan tampilan luarnya, sehingga apa pun yang ingin dia bicarakan denganku akan berlangsung baik, tanpa drama. Kami akan bicara layaknya dua orang perempuan dewasa yang logis.

"Hai, maaf mengganggu." Indira muncul dari balik pintu yang kembali dibuka Shinta. Senyumnya tampak lebar. Apakah aku pernah bilang kalau dia cantik? Benar, dia tampak sangat cantik dengan make up natural.

Aku mengangguk kepada Shinta yang menampilkan raut khawatir. Dia lantas menutup pintu, meskipun aku yakin dia pasti akan memasang telingga lebar-lebar. Pertemuan dua orang perempuan dalam hidup Yudistira akan jadi gosip panas untuk dibahas sebagai selingan saat makan siang.

"Nggak ganggu kok." Aku harap senyumku tidak mirip seringai kaku. "Silakan." Aku menunjuk sofa. Rasanya sedikit aneh memintanya duduk di depan meja kerjaku. Dia bukan stafku yang sedang menghadap. Sofa berukuran mungil itu lebih cocok untuk tempat duduk kami bicara.

"Makasih." Indira mengulurkan tangan mengajak salaman.

Aku benar-benar buruk dalam basa-basi. Dan keterkejutanku makin menjadi saat Indira menarikku mendekat ke arahnya. Dia menempelkan kedua belah pipi kami, memegang punggungku sejenak sebelum akhirnya duduk di sofa.

"Aku datang mau ketemu Yudis, tapi dia lagi keluar," katanya santai. "Salahku juga sih, harusnya memang aku telepon dulu. Tapi nggak apa-apa, ketemu kamu juga sama saja. Yudis dan Risyad bilang kamu sudah balik dan kerja lagi di sini."

Apa yang dia katakan hanya penegasan kalau hubungan tiga serangkai itu memang bagus.

"Ada yang bisa aku bantu?" Aku berusaha menyesuaikan diri dengan gaya bicaranya yang santai.

"Aku hanya mau ngantar undangan sih." Indira merogoh tas dan mengeluarkan sebuah undangan berukuran superbesar dengan desain mewah. "Ngasih kamu atau Yudis sama saja sih. Datang ya, jangan sampai nggak."

Aku meraih undangan itu dan mengeluarkannya dari amplop bernuansa emas. Nama Indira dan seseorang yang tidak aku kenal tercetak di sana. "Kamu mau menikah?" tanyaku tidak percaya.

"Akhirnya!" Wajah semringahnya makin bersinar. "Memangnya Yudis nggak pernah cerita? Atau Risyad? Risyad bilang kalian sudah bertemu beberapa kali, kan?"

Aku menggeleng bodoh. "Mereka nggak pernah bilang." Bukan salah mereka. Aku yang selalu menghindar kalau Yudistira menyebut nama Indira. Risyad tentu saja tidak mau membicarakan sesuatu yang bukan urusannya.

"Keterlaluan!" gerutu Indira.

Aku mungkin akan terdengar tolol dengan mengatakan hal ini, tetapi aku tidak bisa menahannya. "Yudis bilang kalian balikan setelah kami bercerai, jadi aku pikir kalian...." Aku mengedik, sulit mengungkapkannya secara langsung.

Indira meringis. "Itu keputusan bodoh. Kadang-kadang kita mengambil keputusan impulsif saat patah hati. Waktu itu aku baru putus dengan Thian." Dia menunjuk undangan di tanganku. "Dan Yudis juga lagi terpuruk setelah perpisahan kalian. Kami pikir dua orang yang patah hati bisa saling menyembuhkan, tapi ternyata cara kerja cinta nggak seperti itu. Tiap ketemu, yang kami bahas hanya para mantan. Yudis ngomongin kamu, dan aku curhat soal Thian. Memangnya Yudis nggak bilang kalau kejadian balikan konyol itu sebentar saja? Akhirnya kami sadar sih kalau kami lebih cocok jadi sahabat daripada pasangan. Sebentar...," Indira merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya yang berdering. Dia mendengarkan sebentar lalu merespons, "Gue nggak mau tahu, Syad. Lo tadi udah janji mau mampir ngambil jas Thian. Tempatnya lebih dekat kantor lo daripada gue. Gue sekarang di kantor Yudis ngantar undangan." Indira menutup teleponnya setelah mengomel.

"Risyad?" tanyaku penasaran. Dia ikut mengurusi pernikahan Indira?

Indira mengangguk. "Aku akan menikah dengan kakaknya." Dia mengernyit. "Kamu beneran nggak tahu?"

Aku kembali menggeleng. Rupanya aku tidak tahu tentang banyak hal karena tidak mau bertanya, dan juga tidak mau memberi Yudistira untuk menjelaskan. Perasaan takut terluka untuk kedua kali membuatku menjaga hati terlalu ketat.

"Aku naksir Thian sejak pertama kali lihat dia waktu dia ngantar Risyad ke sekolah. Aku masih kelas 3 SMP saat itu. Tapi dia hanya nganggap aku anak kecil. Mungkin karena waktu itu dia sudah kuliah. Dia baru lihat aku sebagai perempuan saat aku balik ke Indonesia setelah selesai kuliah. Tapi kami sempat putus dua kali sebelum memutuskan menikah."

"Dan di antara kedua kali putus itu kamu bersama Yudis?" Mungkin pertanyaanku kesannya kurang ajar, tetapi aku tidak bisa menahannya.

"Yudis tahu kok hubungan kami nggak serius. Dia yang jadi saksi aku jatuh-bangun ngejar Thian. Makanya dia nggak protes saat ibunya minta dia menikah dengan kamu. Dia tahu kalau akhirnya aku akan kembali pada Thian kalau ada kesempatan. Dan dia nggak salah." Indira tertawa kecil. "Kurasa aku nggak pintar main tarik-ulur dan jual mahal saat mencintai seseorang."

**

Aku menatap undangan di tanganku. Sepertinya aku tidak punya pilihan selain menyerahkan benda itu di kantor, karena Yudistira belum tentu pulang ke rumah Ibu. Aku bisa saja menyuruh Shinta mengantarkan undangan itu melalui Jerry, tetapi itu akan mengundang gosip yang lain. Dan kesannya pengecut melakukan hal itu.

Aku menuju kantor Yudistira sebelum jam pulang. Sekretarisnya tidak ada di luar, jadi aku langsung mengetuk sebelum menguakkan pintu ruang kerjanya.

Yudistira sedang menekuri berkas di atas mejanya. Dia tampak serius. Ekspresi yang tidak terlalu sering muncul dalam kesehariannya.

Aku mendekat dan meletakkan undangan Indira di depannya. Kepala Yudistira spontan terangkat.

"Aku kira Jerry," katanya.

"Indira tadi datang dan nitip itu untuk kamu." Aku menunjuk undangan. "Kamu lagi keluar waktu dia datang."

"Aku tahu, tadi dia sudah WA dan bilang undangannya sama kamu kok." Yudistira mendorong kursinya menjauhi meja dan menatapku yang masih berdiri di depannya, dipisahkan meja. "Aku pikir kamu akan nyuruh sekretaris kamu buat ngantar undangannya ke sini."

"Ruangan kamu cuman satu lantai di atas, aku bisa ngantar sendiri."

"Aku pikir kamu menghindariku untuk menjaga kondisi kesehatan mental kamu. Tiap kita ngobrol ujung-ujungnya kamu pasti bete."

Aku berdecak. "Jangan berlebihan. Aku nggak akan bete kalau kamu nggak mancing-mancing."

"Iya, semua memang salahku." Yudistira meraih undangan Indira, melihat amplopnya sejenak sebelum memasukkannya ke dalam laci.

"Nggak dibuka dulu?" Setidaknya dia harus melihat isinya, kan?

"Aku nggak mungkin lupa tanggalnya. Kalau iya, aku bisa dibunuh Risyad. Dia menikmati Thian cemburu kalau melihat aku. Adik kurang ajar. Untung aku nggak punya adik laki-laki."

Aku nyaris memutar bola mata. Para lelaki yang gagal dewasa secara mental.

"Ada lagi?" Yudistira mendorong kursinya kembali mendekati meja. "Aku mau baca berkas-berkas ini sebelum ditanda tangan."

Dia mengusirku? Aku benar-benar tidak menduganya. Aku buru-buru menggeleng. "Tidak ada, itu saja."

"Oke, makasih."

Aku langsung keluar dari ruangannya. Sialan. Kalau tahu bakal diusir, aku lebih baik menyuruh Shinta mengantar undangan itu. Toh dia dan teman-temannya tetap akan menggosipkan aku dengan atau tanpa undangan itu.

Apakah ini berarti Yudistira benar-benar sudah move on? Aku spontan menggeleng. Astaga, mengapa aku harus memikirkan soal itu? Bukankah sejak awal aku yang menginginkan hal itu? Ada apa denganku?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro