Unwanted Guy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lanjuut

___________________________________________________________________


Unwanted Guy


"Gimana? Persiapannya udah selesai?"

"Udah kok, Kak. Aku tinggal ngecek sekali lagi."

Ervan tersenyum. Memamerkan lesung pipit yang menambah kesan cute di wajahnya.

"Makasih ya? Kalau nggak ada kamu, aku nggak tau deh gimana pestanya nanti. Dinda juga suka konsepnya."

Seanna menggerakkan kepalanya sebagai bentuk anggukan.

Ervan Rahadian. Laki-laki yang begitu sempurna. Ervan adalah kakak dari Erika, sahabatnya sendiri. Bukan salah Seanna terlalu mengagumi Ervan. Tapi salah Ervan sendiri, karena cowok itu begitu tampan, baik, dan sangat perhatian padanya. Ya, perhatian yang tidak lebih dari sekadar perhatian dari seorang kakak kepada adiknya sendiri.

"Iya, Kak. Senang kalau Kak Ervan suka," kata Seanna ketika dirasa anggukannya membuat momen awkward dalam sepersekian detik. Berbicara dengan Ervan selalu saja menyisakan perasaan gugup.

Erika yang duduk di sofa seberang hanya memasang tampang memelas ke arah Seanna. Erika tahu persis perasaan Seanna, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyatukan sahabat dan kakaknya itu. Lagipula, Ervan bukan anak kecil yang harus ditunjukkan perempuan mana yang cinta mati padanya dan yang paling pantas menjadi isterinya.

Setelah Ervan pergi, Seanna kembali beringsut mendekati Erika.

"Er, aku mau curhat nih."

"Soal?"

"Something."

"Something?

"Something happened in Bali."

Erika menajamkan pendengarannya. Ada hawa-hawa kurang enak, sepertinya. Sahabatnya itu baru dua hari yang lalu pulang dari liburan dadakan di Bali. Sebelum balik ke Jakarta, Seanna sempat mengatakan akan membicarakan sesuatu yang penting.

"Apaan?"

"Aku." Seanna menoleh lagi ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain selain mereka. Gila aja kan kalo mereka ngomong di sana terus ada yang nguping?

"Kayaknya kalo orangtuaku tau masalah ini, aku bisa dicekik sama mereka."

"Masalah apa sih?"

Masalah yang disebabkan karena keteledorannya.

"Kayaknya aku "have one night stand" sama laki-laki itu."

"Kok kayaknya?" Erika yang semula serius kini menunjukkan kebingungan. Lalu secepat kilat berganti dengan rasa terkejut luar biasa. "Hah? Serius? Astagaa. Jadi, liburan pendek ke Bali waktu itu?"

Seanna menghela napas. "Aku lagi mabuk waktu itu, Er. Dan ya begitulah."

Erika menggeleng tidak percaya. Sahabatnya itu adalah sosok perempuan baik-baik. Tidak pernah bertindak macam-macam. Minum alkohol pun tidak pernah. Tapi ternyata sekali bertindak, Seanna bisa jadi gila juga.

"An. Maaf. Kamu begini gara-gara kak Ervan."

"Aku kok yang salah." Seanna mengakui.

"Trus sekarang gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana."

Erika menggigit bibir. "Hmm. Gimanapun, kamu harus ketemu sama tuh cowok. Minta tanggungjawab."

"Nggak. Aku nggak mau ketemu dia lagi."

Bayangan laki-laki asing itu melintas lagi di benak Seanna.

"Tapi, misalnya tiba-tiba terjadi sesuatu sama kamu, gimana?"

Seanna bukannya tidak memikirkan kemungkinan fatal yang bisa terjadi. Tapi, jangankan meminta pertanggungjawaban, bertemu laki-laki itu saja dia benar-benar tidak sudi. Mereka tidak punya hubungan apa-apa. Lebih baik begini. Menunggu dan berharap semoga saja tidak terjadi apa-apa.

***

"Serius lo? Trus tuh cewek gimana ke lo?"

Arland melepaskan dasi biru tua yang melilit di kerah kemeja slim fit putih yang dipakainya. Farras, saudara kembar Fathir yang sejak sepuluh menit lalu diajaknya curhat menunjukkan tampang makin penasaran. Arland menyembunyikan rahasia tersebut beberapa hari sepulangnya dari Bali. Tapi, rahasia itu terlalu mengganggu pikirannya.

"Ya gue nggak tau. Kejadian itu terjadi gitu aja. Dia pergi sambil nangis."

"Tapi lo tetap nyari dia kan?"

"Nyari. Gue juga udah save nomer handphone sama alamat rumahnya. Gue sempat lihat di KTP. Handphonenya juga nggak dikunci. Jadi gue langsung nyari nomernya."

"Oh." Farras mendesis. "Prepare juga lo."

"Harus itu. Gue nggak mau sekedar blind date."

"Tapi kan dia bukan date lo? Kasus lo sama dia tuh kecelakaan."

"Iya gue tau." Arland mengingat wajah manis namun sendu milik gadis itu. Apa yang telah terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang tidak akan pernah dilupakannya begitu saja.

***

Seanna memicingkan matanya.

Sulit sekali memejamkan mata dan tidur. Hampir seminggu dan dia masih tidak bisa melenyapkan bayangan kelam itu.

Sesuatu yang telah terjadi di Bali. Detail yang terlalu jelas untuk dilupakan.

Dan seorang laki-laki asing yang kurang ajar!

Ternyata di dunia ini hanya ada tiga golongan laki-laki. Golongan pertama, laki-laki baik. Kedua, laki-laki yang hanya bisa menghancurkan hati. Ketiga, laki-laki yang bersikap baik namun ternyata hanya ingin mengambil keuntungan. Laki-laki itu jelas masuk di kategori yang ketiga.

Dia. Seseorang yang tidak boleh disebut namanya.

Seanna membalikkan badan menghadap dinding yang memajang lukisan surealis. Tangan-tangan yang berwarna-warni, guratan kuas di atas kanvas putih. lukisan itu sengaja diletakkan di sana, jadi dinding kamarnya lebih berwarna.

Hufft...

Jeda satu minggu belum cukup untuk memeriksakan dirinya ke dokter kandungan. Dia harus menunggu sebulan lagi.

Astagaaaa...

Sebulan?

Jadi selama sebulan dia harus menunggu dengan harap-harap cemas?

Kepalanya mulai berputar-putar karena pusing.

Semoga apa yang ditakutkannya tidak terjadi.

Dia tidak akan pernah siap. Sungguh tidak akan pernah siap.

***

Pertunangan Ervan dan Dinda akan dilangsungkan hari ini. Dalam hati, Seanna begitu iri menyaksikan Dinda yang begitu cantik dalam balutan kebaya biru. Sedang bersiap menunggu kedatangan Ervan dan keluarganya.

Pasangan yang berbahagia. Bertolak belakang dengan dirinya. Setelah Ervan menikah dengan Dinda, penderitaannya akan semakin lengkap.

Dia selamanya akan menjadi perempuan malang yang tidak beruntung dalam urusan asmara.

Selama acara berlangsung, Seanna memilih duduk di deretan paling belakang. Tugasnya mempersiapkan pesta pertunangan sudah usai.

"An, kok menyendiri aja sih? Yuk makan."

"Iya. Makasih Er. Nanti aja."

Seanna belum juga beranjak dari duduk. Dia benar-benar tidak nafsu makan. Bobot tubuhnya bisa jauh berkurang karena masalah yang semakin membebani pikirannya.

Ponsel di dalam clutch ungu yang diletakkan di kursi di sampingnya berdering.

Seanna. Jawab teleponku.

Panggilan itu berasal dari nomer unknown. Seanna belum berniat mengangkatnya ketika ponselnya kembali berdering. Ditunggunya sampai ponsel tersebut mati, kemudian Seanna mengirimkan SMS.

Maaf. Ini dari siapa?

***

Rupanya Seanna belum menjawab panggilannya.

Kenalan kamu di Bali.

***

Kenalan kamu di Bali

Tidak perlu berpikir terlalu lama untuk menyimpulkan siapa orang ini. Dan tidak perlu menunggu waktu bagi Seanna untuk menonaktifkan ponselnya.

Laki-laki itu tahu nomer ponselnya. Tahu darimana, Seanna enggan menganalisis lebih lanjut. Kemungkinan setelah mengaktifkan ponsel, laki-laki itu akan menghubunginya lagi.

Dia hanya perlu menekankan dalam pikirannya, bahwa dia tidak pernah punya kenalan di Bali. Siapapun.


______________________________________________________________________________


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro