Wedding is A Competition

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Wedding is A Competition

"Gimana An? Udah dapet gebetan baru?"

Larissa, sepupu dari pihak papanya, kembali meledek. Sudah bukan hal baru lagi jika sepupunya yang satu itu kerap menganggapnya sebagai kompetitor dalam urusan asmara. Mereka tidak pernah bersaing memperebutkan cowok yang sama. Mereka bersaing mendapatkan pasangan yang lebih unggul secara fisik, finansial, dan perhatian. Entah apa motivasi Larissa, tapi yang pasti Seanna akhirnya selalu terprovokasi untuk meladeni tantangan Larissa.

Awalnya, Seanna tidak pernah berniat menanggapi. Tapi Larissa kalau dibiarkan, lama-lama jadi menyebalkan juga.

"Udah dong."

"Siapa? Baik nggak? Atau malah kayak Adit yang super posesif ?" Larissa mencibir.

Adit, mantan terakhir Seanna yang benar-benar payah. Posesif yang lebih ke arah teror dan selalu membuat Seanna tidak nyaman.

"Ada deeh. Kamu sendiri, gimana?"

"Hmm. Aku sih awet sama Alex. Udah mau tiga tahunan kita. Truuus, Alex udah ngelamar dooong." Larissa memainkan nada suara, dengan sengaja menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Katanya sih 2 karat. Nggak tau benar atau tidaknya.

"Bagus deh kalo gitu."

Larissa tersenyum puas.

"Trus kamu kapan nyusul?"

Glek.

"Kalo dikasih tau ntar nggak surprise." Seanna beralasan. Alasan mati, karena jujur saja. Dia belum benar-benar move on dari Ervan.

"Oke deh. Nanti kamu bawa aja pacar kamu ke nikahan kak Ervan."

"Nggak deh. Pacarku lagi sibuk kerja di luar negeri, jadi nggak bisa pulang pas kak Ervan nikah."

"Ah, nggak asyik." Larissa semakin mencibir. "Trus, fotonya mana?"

Ya ampuun. Nih anak...

"Nggak ada."

"Di handphone lo mestinya ada dong ya?" kata Larissa dengan ekspresi sinis yang sungguh-sungguh menyebalkan.

"Aku nggak suka nyimpen foto pacar di ponsel."

"Ih, Adit juga kemarin-kemarin fotonya banyak kan?"

Seanna tidak tahan untuk menggeram.

"Udah deh. Ngapain sih nanya-nanya soal itu?"

"Ih, berarti boong kan?"

"Bohong atau nggak itu bukan urusan kamu."

Calm down Seanna. Calm down. Chill.

"Huh. Gitu aja marah. Nggak asyik!" Larissa beranjak dari duduk. Rumahnya hanya berjarak satu meter dari halaman samping rumah Seanna.

Ketika Larissa pamit pulang, Seanna kembali terbenam dalam penyesalan.

Patah hatinya menimbulkan malapetaka yang tidak bisa dicegah.

***

Arland mencoba kembali menghubungi nomer Seanna. Dua hari dihubungi nomernya aktif tapi tidak pernah diangkat.

Gadis itu benar-benar tidak ingin lagi berurusan dengannya.

"Pak. Pak Arland."

Arland tersentak. Dian, sekretarisnya datang membawakan jadwal meeting.

"Iya. Saya lihat dulu jadwalnya."

***

Wedding planner.

Gadis itu bekerja sebagai wedding planner.

Jakarta terlalu sempit untuk menyembunyikan keberadaan gadis itu. Arland tidak perlu susah payah mencari karena kenyataannya, lingkup kehidupan mereka memang tidak begitu jauh.

Arland tersenyum. Wedding planner yang kesepian sampai harus membuang diri ke Bali, melakukan detoksifikasi pikirannya karena entah siapa laki-laki yang disukai Seanna ternyata malah memilih menikah dengan perempuan lain. Arland tidak mendengarkan terlalu detil, tapi yang jelas, gadis itu terlalu frustrasi menghadapi kenyataan buruk itu.

Dia sendiri tidak pernah peduli dengan pernikahan.

Ya, tidak pernah peduli.

Sampai sebuah ancaman datang, perlahan tapi pasti mengubah hidupnya.

Dia harus menikah jika ingin mendapatkan jabatan sebagai direktur utama di perusahaan keluarganya. Kedengarannya sederhana. Menikah apa susahnya? Mencari calon isteri, menikah, berketurunan, maka posisi direktur pun aman dalam genggaman.

Arland sebenarnya tidak begitu berminat dengan jabatan tersebut. Baginya, posisi manajer sudah cukup. Setidaknya dia masih punya andil mengurus perusahaan keluarga.

"Penjahat kelamin!"

Sebuah anak panah menancap sempurna di papan target. Tepat di tengah.

Teriakan histeris gadis itu kembali terngiang di telinganya.

Bukan kali pertama dia diteriaki seperti itu. Kebiasaannya dengan banyak perempuan sudah cukup menjelaskan seperti apa lingkup pergaulannya. Satu demi satu dipacarinya, satu persatu pula akan ditinggalkan. Ada yang menerima dengan sukarela. Sisanya akan menolak putus dan tidak jarang makian akan terlontar dari mulut mereka.

Arland tidak pernah peduli. Setiap perempuan yang dekat dengannya sudah mengetahui aturan main jika berhubungan dengannya.

"Aku nggak pernah beruntung soal hubungan percintaan. Kamu tau? Sebelum dengan si Ervan ini, aku pernah pacaran sama cowok yang nggak banget. Aku benci sama dia. namanya Adit. Dia posesif. Menurutmu aku harus gimana? Aku nggak bisa ngelupain Ervan, tapi dia udah mau nikah sama orang lain."

Arland tanpa sadar tersenyum.

Gadis itu sudah benar-benar kehabisan akal sampai dengan mudahnya mencurahkan isi hatinya. Mereka tidak saling mengenal. Saat gadis itu bercerita, Arland hanya mendengarkan. Tanpa menyela. Dia tidak ingin tahu lebih jauh tentang hidup gadis itu. Dia hanya orang asing, mereka sama-sama asing satu sama lain. Mereka terhubung dalam satu pertemuan kilat, lalu berlanjut ke pengalaman "one night stand" dengan prinsip, apapun yang terjadi malam itu, keesokan harinya, semua akan kembali seperti semula. Mereka tidak saling mengenal. Mereka akan menjalani kehidupan masing-masing, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Sayangnya, sampai mereka berpisah pagi itu, Arland selalu memikirkan gadis itu.

Terdengar naïf. Sangat naïf.

***

Selesai dengan aktivitas memanah dan duduk setengah melamun, Arland mendapati sang nenek sudah berdiri di ambang pintu geser yang membatasi ruang tengah dan teras. Nenek Kassandra, yang di usia 70 tahun masih nampak cantik dan awet muda, tersenyum kepadanya.

"Sedang memikirkan permintaan Nenek?"

"Nek? Udah dari tadi di situ?"

Arland menggeser duduknya, sampai posisi tubuhnya duduk lebih tegak.

"Cukup lama untuk ngeliat kamu sedang melamun."

Arland tersenyum. "Tapi yang jelas, bukan memikirkan permintaan nenek."

Nenek menepuk pahanya. "Menikahlah. Umur kamu sudah 28 tahun, Arland."

"Aku masih betah sendiri, Nek."

"Tapi udah punya calon, belum?"

Arland menggeleng. "Belum. Kalau aku bawa cewek buat dikenalin ke nenek, itu tandanya aku udah siap untuk nikah."

Nenek Kassandra tersenyum. Sekalipun yang didengarnya, Arland kerap berganti-ganti pasangan, tidak pernah sekalipun cucu kesayangannya itu membawa seorang gadis untuk dikenalkan. Tepatnya sejak Kyra pergi. Seingatnya, hanya Kyra Avelia, yang benar-benar dekat dengan Arland. Tapi sudah lima tahun tidak ada lagi kabar tentang gadis itu.

"Baik. Nenek tunggu, pokoknya." Nenek Kassandra kemudian mengalihkan pembicaraan mereka. "Kamu kenapa baru ke sini lagi? Biasanya setiap bulan pasti kamu ke sini."

"Lagi banyak kerjaan, Nek. Maaf ya."

"Lain kali, harus rutin datangnya."

"Iya, Nek."

Nenek Kassandra adalah nenek dari pihak ayahnya. Sewaktu SMP hingga SMA, Arland sempat tinggal bersama beliau. Waktu itu, hubungan Arland dengan ayahnya sempat renggang, sehingga Arland memilih tinggal bersama sang nenek di Lembang. Ketika kuliah di luar negeri pun, Arland selalu menyempatkan menginap di Lembang, demi membalas kerinduan kepada nenek yang sangat perhatian dan menyayanginya.

***

Seanna menahan napas, sebelum membuka pesan masuk dari nomer "unknown" yang kini sudah diberi nama baru "Unwanted guy".

Ada apalagi dengan laki-laki itu? Apakah sikapnya tidak mau menjawab panggilan dan semua SMS sudah cukup menjelaskan jika dia tidak ingin lagi berurusan dengannya?

Seharusnya Seanna menghapus SMS-SMS yang masuk dari nomer itu. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Dia tidak menghapusnya, malah kini justru membacanya.

When will we meet again, sex partner?

Jujur, Seanna sudah hampir membuang ponselnya dan menangis histeris sekarang.

You can run, but you can't hide

Arrgghhh!!

"Masih neror juga dia?" tanya Erika.

"Iya." Seanna menatap semakin enggan kepada ponselnya. " Aku harus gimana doong?"

Seanna tanpa ampun menghapus semua SMS yang sudah selesai dibacanya. Rata-rata isinya meminta waktu untuk bertemu, mulai dari kata yang halus, hingga yang benar-benar nakal seperti yang dibacanya barusan.

"Ketemuan aja lagi. Dan jelasin kalo kamu nggak mau berurusan dengan dia lagi."

Kedengarannya sederhana. Tapi Seanna sungguh tidak mau lagi bertemu dengan laki-laki itu. Tidak untuk bertemu, dan mengingatkannya tentang kebodohannya.

"Aku nggak mau."

"Kalo gitu, ganti nomer aja, An."

"Nggak bisa juga. Nomer ini banyak kontak penting, Er. Kamu tau sendiri kan?"

Erika membuang napas. "Jadi?"

"Ah, nggak tau deh! Pusing!"

Seanna mengempaskan punggungnya di sandaran sofa. Jujur, dia sudah kehabisan akal menghadapi teror yang tidak ada habisnya. Sejak Adit, si posesif itu pergi dari hidupnya, sepertinya akan ada lagi, masalah baru yang timbul, yang datangnya juga dari seorang laki-laki.

Laki-laki memang hanya bisa menyusahkan hidupnya.

"Hmm. Jujur aku penasaran. Dia cakep nggak? Selama ini kamu nggak pernah cerita detail fisiknya gimana."

"Eh?" Seanna mengerjap refleks.

Cakep saja tidak cukup menggambarkan. He's definitely hot. Adit dan Ervan juga cakep, tapi cowok cakep tentu saja bukan jaminan bahwa mereka akan menjadi jodoh kita, bukan?

"Aku nggak inget, Er." Seanna berbohong.

Detail seperti apa lagi dari laki-laki itu yang bisa dilupakannya? Sejak pertama mereka berpapasan di pintu menuju lobi hotel, laki-laki itu sudah membiusnya dengan senyuman manis. Padahal dia hanya menarik sedikit saja ujung bibirnya, menatapnya dalam beberapa detik, dan bhaam!

Seperti sihir. Matanya yang teduh seperti hipnotis.

Dengan potongan rambut yang sedikit berantakan, tubuh tinggi, dan tampilan kasual...

Laki-laki itu, kalau tidak playboy, sudah pasti dia gay.

"Benar-benar random ya? Aku nggak kebayang diraba-raba, apalagi make love sama cowok yang nggak aku kenal."

"Sudah pasti, aku memang bukan calon kakak ipar terbaik buat kamu. Hmm. Kak Ervan, yaah udah cocoklah dia dengan Dinda" Seanna memutar kedua bola matanya.

Erika tertawa. "Siapa yang tau, dia jodoh kamu?"

"Nooooo." Seanna mengerang.

"Hmm. Ya udah. Kenapa kamu nggak iyain aja keinginan dia buat ketemuan. Biar aku yang gantiin kamu. Gampang kan? Aku bantu deh jelasin ke dia kalo kamu nggak mau lagi berurusan sama dia. Gimana?"

Erika ini adalah tipe sahabat yang menggampangkan semua hal.

"Eh, tapi dia nggak ada tampang kriminal kan? Aku cuma mau mastiin aja."

Sepertinya nggak, Er. Tapiiii, terimakasih buat bantuannya.

"Serius mau bantu?" Seanna yang sudah sedemikian hopeless, menanyakan sekali lagi.

"Iya. Siapa tau malah dia yang jadi jodohku." Erika tertawa.

Ya. Baguslah kalau begitu.

"Oke. Aku kirim SMS nih ke dia buat ketemuan. Tapi kamu ya?"

"Iya. Percaya deh. Aku bantuin ngomong."

Seanna tersenyum lega. Semoga ini yang terakhir.

Seperti gambling, tapi tidak ada salahnya mencoba.

***

Arland memarkirkan mobil di depan sebuah kafe sesuai tempat yang dimaksud Seanna dalam SMS. Finally, gadis itu mau ketemuan juga.

Dia seperti setengah sadar, setengah tidak yakin Seanna akan setuju bertemu lagi dengannya.

Memasuki kafe, Arland langsung menuju meja di dekat jendela. Mereka berjanji akan bertemu pukul 4 sore. Sekarang tersisa limabelas menit lagi, dan sepertinya gadis itu belum datang. Dia memang sengaja datang lebih cepat. Menjadi hal yang tidak etis, jika dia membiarkan Seanna menunggu.

Arland tertawa dalam hati.

Dia datang, menanti kehadiran seseorang yang tidak memiliki status apa-apa dengannya.

Dia pasti sudah setengah waras sekarang.

"Hai."

Arland masih memandangi gadis dengan dress hitam yang baru saja menghampiri meja tempatnya menunggu.

Mereka saling berpandangan dalam beberapa detik. Cukup bagi Arland untuk mengenali, bahwa gadis itu bukan gadis yang sama yang ditemuinya di Bali.

"Bukan Seanna ya?"

"No. Aku Erika. Sahabatnya." Erika mengulurkan tangan, yang dibalas Arland dengan menjabat tangannya.

"Biar kutebak. Dia ngutus kamu, karena dia nggak mau ketemu sama aku."

Erika ragu-ragu mengiyakan. "Maaf sebelumnya. Tapi, Seanna memang nggak mau lagi ketemu sama kamu. I know, mungkin buat kamu hal ini nggak menyenangkan. Tapi, Seanna hanya nggak mau memperpanjang urusan di antara kalian."

Arland sudah menduga. "I see."

"Nggak pa-pa kan?"

Arland mengangguk. "Oh nggak pa-pa. Aku hanya ingin ngucapin maaf secara langsung, tapi kalau Seanna memang nggak mau ketemu, aku juga nggak akan maksa."

"Hmm, sekali lagi maaf ya." Erika tersenyum. "udah bisa mesen minuman nih?"

"Oh. Nanti kupesankan."

Damn it. Aku akan nyari kamu sampai ketemu, Seanna Ardelia.

***

"Kalo dipikir-pikir, dia kasihan juga ya? Dia cuma mau minta maaf dan klarifikasi soal kejadian di Bali, tapi kamunya nggak mau."

"Trus, dia bilang apa lagi?"

"Nggak nyinggung soal itu lagi sih. Kami ngobrol banyak hal. Ternyata dia orangnya baik ya? Aku betah ngobrol sama dia. Arland bahkan ngasih kartu namanya." Erika mengeluarkan kartu nama dari tas kecilnya. "He's a rich man. You know."

"Soal itu kan dia bisa aja bohong."

"Ya, ya. Besok deh aku cek lagi. Katanya, dia kerja di Ardiara Jewelry, salah satu perusahaan importir berlian. Yah, nanti deh kita liat dia bohong apa nggak."

"Kalo nggak? kalo dia bohong?"

"Kalo dia bohong, ya kelar deh. Dan kalau iya, lumayan kan buat aku gebet?"

Seanna masih menatap kartu nama di tangannya.

Ah, ya. Bukannya urusan mereka sudah selesai?

***

Next.

"Aku ngajak kamu ketemuan baik-baik, tapi kamu nggak mau. Aku cuma mau kenal kamu. Apa aku salah?"

V~yk



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro