(10) Trio Langit Shuwan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit malam yang mulai memancarkan cahaya bintang terkalahkan dengan sorotan lampu berwarna-warni dari gedung pencakar langit ibukota. Ditambah lagi, dengan lampu sorot jutaan kendaraan yang beradu kecepatan di jalan. Lelaki itu mendesah diam-diam di dalam sedan hitam yang melaju pelan di antara mobil lainnya yang tengah mengantri. Keputusannya untuk membawa mobil sendiri hari ini disesalinya setengah mati. Macet serasa hampir membunuhnya sekarang.

Lagi, lelaki bernama Trio Langit Shuwan itu mendesah panjang. Bukan hanya macet yang membuatnya lelah. Tapi juga tentang gadis pandablood yang membuat pekerjaannya nyaris kacau hari ini. Setelah berhasil menarik simpati kakaknya yang baru menjadi ibu, gadis itu juga sukses membuat bawahannya, Dimas Anggada, pusing. Setelah diselidiki, ternyata Ify Axelle yang rupanya adik kelas Dimas saat kuliah hendak menjodohkan Dimas dengan Sivia, teman sekelas Ify yang menggilai Dimas secara diam-diam. Detektif yang disewa Langit dengan mudah memeroleh informasi itu, entah bagaimana caranya.

Karena motivasi gilanya, Ify berusaha untuk menyelidiki kehidupan pribadi Dimas, dengan memertaruhkan kondisi lengan kirinya yang cedera saat menemani Dimas rapat dengan klien perwakilan Hotel Zeus yang hendak merayakan perayaan ulang tahun perusahaan.

"Alvin," gumam Langit tiba-tiba. Teringat tentang laporan Dimas padanya ketika Ify kecelakaan. "Apa aku harus menyelidiki dia juga?" tanyanya pada diri sendiri. "Tapi, buat apa?" sahutnya cepat.

"Sepertinya mereka dekat, Alvin terlihat khawatir sekali saat Ify jatuh."

Tangan Langit refleks memukul setirnya, tidak suka mendapati fakta bahwa gadis pandablood itu−kemungkinan−dekat dengan Alvin. Lho? batinnya langsung, aku kenapa? Apa masalahnya kalau mereka dekat? Wajahnya merengut. Fokusnya tentang Ify buyar ketika mobil di depannya bergerak. Langit memindahkan persneling mobil dan melajukannya perlahan.

Langit, lelaki yang baru saja kesal tadi melupakan fakta bahwa cinta bisa berawal dari keingintahuan yang berlebihan.

***

Langit sampai di rumah dalam keadaan berantakan total. Rambut awut-awutan, dasi yang nyaris terlepas dari kerah, dua kancing bagian atas kemejanya yang tidak terpaut dan bagian bawah kemeja yang sudah muncul dari dalam celana kerjanya.

Pelayan wanita yang melihat kondisinya bahkan tidak sanggup menutupi keterkejutannya itu, tapi Langit tak mengacuhkannya. Peduli setan dengan mereka yang digaji keluarganya. Otak Langit nyaris meledak karena pertengkaran sengitnya dengan lelaki setengah mabuk yang menabrak bagian belakang mobilnya di pintu keluar tol tadi. Sadar bahwa dia akan menghabisi siapapun yang berusaha untuk mengajaknya bicara, dia melangkah cepat ke arah dapur. Mencari minum, atau mungkin rumah ini yang akan jadi pelampiasan emosinya nanti.

Tapi, langkahnya terhenti ketika mendengar gelak tawa dua orang yang tak asing di telinganya. Kakak? pikir Langit heran. Kenapa dia di dapur dengan Ify? Rasa hausnya mendadak sirna, tergantikan dengan rasa penasaran. "Mereka mau buat nasi goreng pelangi lagi?" gumamnya sebal.

"Nggak gitu, Kak Dara." Suara Ify terdengar lebih dulu. " Gini caranya."

Langit tanpa sadar berjalan dengan mengendap ke arah sumber suara. Di balik pilar terakhir yang memisahkan dirinya dengan dapur, dia memunculkan kepalanya perlahan. Terlihat di depannya saat ini, Ify tengah mengocok... atau mengaduk? Entah. Tapi yang jelas, Dara memerhatikannya dengan penuh minat.

Dara terlihat menghela napas. "Apa kubilang, aku nggak bisa masak, Fy! Bener kata adikku, aku payah."

Ify memalingkan wajahnya ke Dara, posisinya saat ini membelakangi Langit yang tengah mencuri dengar. "Nggak payah kok, cuma perlu belajar lebih intens daripada yang lain," katanya lembut.

Langit mendengkus mendengarnya.

Dara kini terlihat menggantikan pekerjaan Ify tadi dengan wajah ditekuk. "Kak, pernah dengar nggak?" Dara mendongakkan kepalanya. "Ada yang bilang, jangan fokus dengan yang kita nggak bisa, karena di luar sana ada jutaan orang yang mau hidup seperti kita."

Langit tergeming. Matanya tak lagi memerhatikan Dara dan Ify. Kepalanya yang muncul sedikit untuk mencuri dengar tadi ditariknya perlahan. Kini, dia bersandar ke pilar seutuhnya. Entah mengapa, perkataan Ify tadi begitu keras memukulnya. Hingga, dia merasa butuh bersandar jika tidak ingin terjatuh.

"Maksudnya?"

"Kalau kita terlalu fokus sama apa yang kita nggak bisa, kita bakalan lupa dengan apa yang kita mampu lakukan lebih baik dari orang lain. Dan saat itu, rasa syukur kita juga nggak bekerja. Kita akan terus menerus membandingkan apa yang nggak kita bisa tadi dengan orang yang bisa melakukannya lebih baik dari kita. Lalu..."

"Lalu?"

"Kita nggak ingat, bahwa hidup kita sekarang juga diirikan oleh orang lain."

Langit mengusap wajahnya. Gadis itu terlalu banyak omong, pikirnya kemudian berjalan cepat meninggalkan dapur. Pelayan wanita pertama yang dia temui akhirnya menerima perintahnya untuk mengambilkan minum. Bukan segelas, tapi satu botol penuh. Air dingin seharusnya bisa memadamkan kecamuk di otak dan hatinya saat ini.

***

Dara, Harry dan Ify tergopoh pagi ini ketika mendapati berita bahwa semalam Langit mengalami kecelakaan yang membuat bagian belakang mobilnya rusak. Mulut Ify otomatis membentuk huruf O, sementara tubuh Dara yang seketika lunglai langsung direngkuh oleh Harry, suaminya. Kondisi mobil adiknya mengingatkan Dara akan kenangan kecelakaan maut yang merenggut ibu dan kakak kembarnya itu.

"Tapi Tuan baik-baik saja, Nona," kata pak Ben menyadari bahwa Dara akan berpikir buruk setelah melihat keadaan mobil malang ini.

"Di mana dia sekarang?" tanya Dara cemas, matanya masih terpaku dengan kerusakan sedan di depannya. "Mobilnya sampai seperti ini, apa dia benar baik-baik aja?"

"Tuan semalam memakai sabuk pengaman, Nona. Jangan cemas," sahut pak Ben.

Mata Dara berkilat memandang pak Ben. "Jangan cemas!? Apa Pak Ben pikir aku masih bisa kehilangan lagi setelah kejadian itu!?" jeritnya tiba-tiba.

Harry langsung memeluk dan mengelus lembut punggung istrinya agar tak semakin histeris. Trauma itu masih melekat di benak Dara. Bagaimanapun juga, kejadian yang menimpa Dara empat belas tahun lalu memang tidak bisa hilang begitu saja. Selain karena kondisi Papanya yang duduk di kursi roda, membuat Dara akan selalu mengingat kejadian naas itu setiap melihat ayahnya, sifat adik beda lima tahunnya yang sering berubah juga memperparah traumanya.

"Ify, tolong lihat Langit, ya," bisik Harry. Dia kembali sibuk mengusap punggung dan puncak kepala Dara sambil mengucapkan sugesti untuk menenangkannya.

Sesaat Ify sempat bingung, untuk apa Harry menyuruhnya melihat langit yang cerah? Sampai akhirnya, dia sadar bahwa langit yang dimaksud di sini adalah subyek yang baru saja sukses merusak salah satu aset keluarganya.

Demi Tuhan. Kalau lelaki berumur dua puluh tiga tahun itu sampai mengajaknya berdebat pagi ini, Ify akan membuat mobilnya lebih hancur daripada sekarang, tekadnya dalam hati.

***

Alis Ify menyatu ketika melihat ada dua pelayan wanita yang berbisik-bisik sambil membawa nampan di depan pintu kamar Langit. Dia menghampiri pelayan yang sebaya dengannya itu dan bertanya ada apa.

"Tuan tidak keluar kamar sejak semalam saya memberikan air, Nona," kata salah satunya yang bertompel di bawah mata kiri.

"Trus, apa yang aneh? Mungkin tidur," kata Ify sekenanya.

"Tuan nggak pernah seperti ini, Nona. Kecuali..." sahut yang lain dengan rambut dikepang duanya.

"Kecuali?" Alis Ify terpaut.

"Tuan sedang merindukan Tuan Langit," lanjut si kepang dua dengan berbisik. "Kalau tidak pergi tidur di kamar Tuan Langit, Tuan Trio akan mengurung diri di kamarnya semalaman. Hal itu biasa terekam kamera pengawas."

CCTV? Ify menelan ludahnya. "Kalian sudah mengetuk pintunya?"

"Kami bahkan nyaris mendobrak kalau tidak ingat Tuan seperti apa, Nona," sahut si pelayan bertompel.

Ho... masih bisa bergurau dia. "Biar aku coba," kata Ify. Kemudian, kedua pelayan langsung menahan napas melihat cara gadis yang lengan kirinya cedera menggedor pintu kamar Tuan Mudanya yang temperamental itu.

Benar saja, pintu kamar yang baru digedor Ify kurang dari sepuluh detik langsung terbuka dengan kasar. Menampakkan penghuni ruangan yang masih mengenakan setelan kerjanya semalam.

"Ka− Ify?" Rentetan sumpah serapah lelaki yang awut-awutan itu menguap ketika mendapati wajah datar Ify berdiri di depan pintu kamarnya. "Mau apa?" lanjutnya, pura-pura jutek.

"Katakan kalian mau apa," ucap Ify tanpa ekspresi pada dua pelayan yang berdiri di sebelah kanannya.

"Sarapan, Tuan," ujar pelayan bertompel diikuti anggukan pelayan berkepang dua.

"Bawa masuk," kata Langit disusul dengan gerakan dari pelayannya. "Dan kamu mau apa?" tanyanya pada Ify. Kelopak mata gadis itu bergerak dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menelusuri apakah ada luka serius yang akan membuat lelaki aneh ini jadi semakin aneh nantinya.

"Wah, sepertinya kamu punya bakat menyelamatkan diri, ya," kata Ify tanpa berpikir saat tidak melihat luka apa pun. Mendapati tak ada respon dari makhluk di hadapannya. Ify menyadari bahwa ucapannya sudah keterlaluan. Dia teringat bahwa empat belas tahun lalu Trio juga selamat dari kecelakaan yang menewaskan dua anggota keluarganya sekaligus.

"Ma-maaf," kata Ify langsung. "Kamu baik-baik aja?"

Sudut kiri bibir Trio tertarik tanpa disadari Ify. "Sejak kapan kamu peduli padaku?"

Ify mendesis. "Aku mewakili pertanyaan Kak Harry," kilahnya. "Kak Dara histeris pas lihat mobil belakangmu ringsek begitu. Berhubung Kak Harry harus menenangkannya dulu, aku yang disuruh kemari untuk melihat kondisimu."

Trio menjawab seadanya ucapan pelayan yang pamit dari kamarnya dan langsung masuk tanpa menghiraukan Ify.

"Kurasa kupingnya yang bermasalah," gumam Ify kesal melihat Trio tak menggubris ucapannya dan mengekor lelaki pongah itu masuk ke dalam kamarnya. "Kamu perlu ke THT!" seru Ify langsung.

Trio berjingkat mendengar suara melengking Ify di dalam ruangannya. "Heh, siapa yang izinin kamu masuk?!" tanyanya panik.

Ify melipat tangannya di depan perut dan mengunci wajah Trio dalam tatapan tajamnya. "Kamu tahu karma? Karena kamu mengganggu urusanku kemarin, mobil kebanggaanmu sekarang hancur!" sahutnya tak peduli dengan urusan perizinan yang diungkit Trio. Karena cowok rese dan berkepribadian ganda yang aneh ini, aku gagal ngikutin kak Dimas.

"Kalau kamu mau mengecek kondisi seseorang, lakukan dengan benar."

Alis Ify menyatu. Dia berubah, pikirnya cepat. Tunggu, jangan-jangan dia... Ify menelan ludah sebelum akhirnya nekat bersuara. "Kak... Langit?" tanya Ify ragu. Tatapan mata Trio berkilat cepat dan Ify pasrah begitu lelaki ini mendorongnya kasar untuk pergi dari kamarnya, tanpa menyadari bahwa gadis ini bersusah payah melindungi lengan kirinya yang masih diperban.

Ify termenung di depan pintu yang dua detik lalu berdebam akibat ditutup secara kasar. Cara Trio bicara tadi, sama persis dengan cara bicara Bosnya di kantor saat menegur sikap Ify dan juga saat bertemu dengan Ify di lift ketika membawakan minuman untuk semua rekan kerjanya.

Jadi, yang tadi itu, Trio sedang menjadi kakaknya?Ify mengusap lengan kirinya yang berdenyut tiba-tiba. Ya Tuhan, desah Ify dalamhati, lelaki itu benar-benar butuh pertolongan. 


BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro