(18) No Choice

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ify sebenarnya tidak menyukai rumah sakit jika tidak dalam kepentingan untuk membantu sesamanya agar hidup lebih panjang. Tapi, tinggal lebih lama di kediaman Shuwan dan membuat ikatan Ify pada keluarga konglomerat itu lebih dari sekadar balas budi, sepertinya bukan ide yang bagus.

Walau tanpa Ify sadari, sebuah ikatan telah terajut sendiri di luar kuasanya.

Ify beranjak dari kursi ketika namanya dipanggil perawat dan menolehkan kepalanya ke berbagai arah. "Katanya mau nemenin, datangnya telat," gerutunya kemudian masuk ke ruangan periksa.

Lima belas menit berlalu, Ify keluar dari ruang tadi dengan mata berbinar. Lengan kirinya kini terlepas dari perban, meski meninggalkan jejak luka biru kehitaman yang kontras dengan warna kulitnya yang putih, namun sekarang dia memiliki alasan kuat untuk hengkang dari indahnya dunia Cinderella yang terlalu menyebalkan ketimbang versi dongengnya.

"Fy, kamu udah diperiksa?" Suara seseorang membuat Ify mendengkus, "hehe, maaf ya, aku terlambat, you know Jakarta so well lah..."

"Te-lat," kata Ify penuh penekanan. "Nih, mendingan kamu ke apotek buat ambilin obatku, aku mau ke toilet dulu," lanjutnya sambil menyodorkan kertas resep.

Karin mengernyit, kepalanya teleng ke kanan. "Ini obat apa? Terbentur kok obatnya sebanyak ini?" kata Karin heran.

"Intinya sih untuk mengurangi nyeri dan mempercepat kesembuhan," gumam Ify mengingat ucapan dokter yang tadi memeriksanya, Ify segera berjalan tanpa menunggu respon selanjutnya dari Karin karena hal itu bisa membahayakan kesehatannya. Darah AB negatif yang dimiliki membuat Ify harus selalu menjaga kesehatannya, jika tidak ingin mati muda.

Selesai memenuhi panggilan alam, Ify menemukan seorang anak kecil yang tengah duduk di kursi roda dan berusaha keras untuk memutar besi pinggiran bannya, setelah mengamati wajahnya, Ify tersenyum lebar.

"Dia sehat," gumamnya terharu. Berlari kecil, Ify menghampiri bocah lelaki yang terbalut pakaian rumah sakit bermotif mickey mouse dan masih mencoba untuk menggerakkan dirinya ke arah ujung lorong.

"Hey," sapa Ify membuat kepala bocah yang dibebat itu mendongak.

"Ka-kakak siapa?" tanyanya terbata dengan alis terpaut.

Ify berjongkok di depan bocah yang menatapnya keheranan itu. "Enam bulan lalu, kamu kecelakaan dengan temanmu karena nekat naik motor tanpa helm," kata Ify membuat kelopak matanya melebar. "Kevin, apa kabar?"

"Kakak, yang kasih aku darah, ya?" katanya terbata membuat senyuman di bibir Ify semakin melebar. "Ibu bilang, kalau bukan karena kakak cantik, aku mungkin sudah lewat."

Ify tertawa mendengar istilah lewat yang diucapkan Kevin, bocah berusia sepuluh tahun itu mengalami luka yang cukup serius di bagian kepala dan kakinya saat Ify harus donor darah, bahkan, untuk menyelamatkannya saja, Ify dibantu seorang AB negatif lainnya.

"Sebenarnya, ada dua orang yang donor darah waktu itu, tapi karena aku satu-satunya perempuan, jadi jelas pujian itu untukku, kan?" sahut Ify diakhiri dengan kekehan.

Kevin mengangguk senang. "Terimakasih ya, Kak. Karena kakak, aku bisa hidup lagi."

Ify tersenyum mendengar perkataannya. Ify jarang sekali bertemu dengan pasien yang menjadi subjek kebaikannya selama menjadi pendonor panggilan, hanya Dara dan Kevin sejauh ini yang dia temui karena Ify enggan bertemu dengan sesama AB negatif lainnya. Sudah dipastikan, setelah mengucapkan terimakasih, mereka mungkin akan bertanya bagaimana Ify bisa memiliki darah langka itu mengingat wajahnya yang begitu Indonesia.

Ah, tapi kenapa Kevin tidak bertanya seperti Dara, ya? Mereka berdua hanya mengucapkan terimakasih saja, padahal jika dilihat, perawakan Kevin jelas mempertontokan bahwa anak ini blasteran. Rambutnya cokelat terang dengan iris mata kebiruan.

"Kevin, mana... orang tuanya?" tanya Ify ragu, takut dia salah ucap karena selama ini memang tidak pernah tahu dengan latar belakang orang yang dia tolong. Anak kecil berkeliaran sendiri di rumah sakit merupakan hal yang tidak lumrah, kan?

"Ibu lagi di rumah, cari pinjaman uang, soalnya kiriman dari Ayah telat datang."

Sesuatu yang besar baru saja terbang dan menohok hatinya, di dunia ini ternyata ada banyak orang yang berpikir bahwa uang adalah segalanya. Padahal, semua anak butuh lebih dari sekedar uang.

"Ify!" Seruan nyaring yang begitu dikenali Ify membuatnya bangkit dari jongkok dan memutar badan, alis kanannya naik memberi kode pada gadis berkuncir kuda itu. "Seenaknya aja, ya! Dicari dari tadi, malah sibuk ngegodain cowok di sini," gerutunya sambil menyodorkan seplastik bening berisi obat pada Ify.

"Tagihannya kutransfer, ya," kata Ify.

"Hm," gumam Karin sembari memerhatikan bocah berambut cokelat yang duduk di kursi roda. "Kayak kenal deh..."

"Aku Kevin, Kak," kata bocah itu sambil mengulurkan tangan kanannya. Mulut Karin terbuka dengan suara ah yang lantang.

"Bocah tengil yang naik motor itu, kan?!" serunya lagi sambil menjabat tangan Kevin. "Jangan diulangin lagi, ya, kamu beruntung yang kemarin itu, kalau besok diulangin, mungkin wassalam."

Ify terkekeh yang kemudian dilanjutkan dengan pukulan ringan di bahu Karin. Gadis penjaga apotek itu suka tidak menyaring perkataan kalau bicara—meski itu dengan bocah ingusan sekali pun.

Kevin mengangguk patuh mendengar wejangan Karin. "Fy, kamu masih mau pendekatan sama ni bocah? Aku harus balik, biasalah, banyak pasien yang butuh diriku nih," katanya dengan alis naik turun.

"Eh, kenapa obat ini nggak ditebus di tempatmu aja tadi?" tanya Ify tersadar.

"Tulisannya ni dokter ajaib, jadi males aku, biarlah apotek RS ini aja yang urus, hahaha..." Setelah selesai dengan tawanya, Karin pun pergi dari rumah sakit, menyisakan Ify yang inisiatif untuk mendorong kursi roda itu ke arah yang memang Kevin hendak tuju.

Di taman rumah sakit, Ify memberhentikan Kevin di sebelah kursi besi yang berada tak jauh dari playground khusus untuk pasien anak-anak. Melihat cara Kevin menatap teman sebayanya yang bermain riang, membuat Ify terenyuh.

Setiap anak dilahirkan dengan rezeki dan ujiannya masing-masing. Semakin dewasa, dia semakin bersyukur karena ujian yang telah lewat itu berhasil dilaluinya dengan bijak.

Mendadak, Kevin menolehkan kepala menghadapnya. "Kakak nggak pulang?"

"Kevin ngusir nih?" canda Ify membuat Kevin ikut terkekeh.

Bocah itu menggeleng dan menatap Ify lekat-lekat. "Ibu bilang, orang Indonesia rata-rata berhesus positif. Tapi, kenapa kak Ify darahnya AB negatif?"

Ify langsung merasa bahwa seluruh oksigen terasa begitu jauh darinya dan sulit dihirup sehingga membuat dadanya terasa sesak. Ada percikan amarah yang sebenarnya ingin dia lontarkan, tapi langsung dia telan lagi mengingat bahwa anak ini saja masih belum mengerti apa itu kehidupan.

Ify berusaha sekuat hati untuk menaikkan kedua ujung bibirnya, berhasil, walau terlihat begitu aneh dan tak tulus di mata Kevin. "Ada banyak hal di dunia ini, yang nggak bisa dijawab walaupun kamu penasaran setengah mati. Terutama tentang orang lain," kata Ify dengan tangan terulur mengusap rambut Kevin pelan. "Kakak harap, Kevin bisa cepat sembuh."

Setelah itu, Ify langsung berdiri dan meninggalkan Kevin yang kebingungan seorang diri di taman. Tidak lagi terlintas di pikirannya bahwa bocah itu mungkin akan kesulitan untuk kembali ke kamar rawatnya. Kaki Ify berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Tidak akan pernah dalam seumur hidupnya lagi untuk bercengkerama dengan orang yang sudah menerima darahnya, tidak akan!

Dia menghirup sebanyak mungkin oksigen ketika telah berada di lahan parkir. Kemudian berjalan cepat menuju gerbang rumah sakit tanpa menyadari ada sebuah mobil di sana dengan objek yang menatap curiga.

***

Ify membuka helm ojek online langganannya dan menyodorkan sejumlah uang. Sempat kesulitan untuk memperoleh izin masuk ke komplek rumah Shuwan. Membuatnya terpaksa menghubungi nomor Trio yang pernah mengirimnya pesan ancaman—tentang memecat Ila—untuk mengkonfirmasi bahwa Ify bukan tamu yang tidak diundang.

Setelah petugas keamanan itu mendengar suara Trio, Ify pun diizinkan melewati gerbang depan kompleks. Kalau bukan karena adat ketimuran yang menjunjung tinggi kesopanan, Ify merasa tidak perlu repot untuk datang ke sana dan berpamitan dengan Dara. Tapi, mengingat kebaikan dan kehangatan keluarga yang baru dikaruniai Matahari kecil itu, sangat tidak pantas bagi rakyat biasa sepertinya kabur begitu saja dari istana.

Ify sempat terkekeh mengingat bagaimana dulu dia begitu terpana dengan komplek perumahan mewah ini. Dan berpikir untuk tidur di atas rumput pinggir danau. Membuatnya merasa bahwa sekaranglah saatnya untuk mencoba ide gila itu sampai ada sebuah klakson yang terasa ingin merobek gendang telinganya.

"Emang dasar makhluk aneh menyebalkan yang ngeselin nggak tertolong," rutuknya ketika menyadari mobil siapa yang sudah merusak mimpi liar yang nyaris terwujud.

"Masuk," katanya bossy setelah kaca mobil menurun setengah, tapi tidak membuat Ify gentar untuk tetap berdiri di tempatnya berpijak kini.

"Di sini bukan kantor," sahut Ify tegas. "Aku mau jalan kaki."

"Masuk. Atau dipaksa masuk."

Ify terperangah, sebenarnya dengan siapa dia bicara sekarang? Trio yang menyebalkan atau Langit yang bossy dan kaku? Keduanya terasa memadu dan Ify tidak tahu bagaimana harus merespon. Jika sedang bersama Langit tentu Ify tidak tahu bagaimana menanggapinya karena sosok depannya berwajah Trio. Namun jika itu benar-benar Trio, akan lebih menyenangkan bagi Ify karena dengan sesuka hati Ify bisa meneriaki makhluk itu.

Tunggu, Trio adalah orang yang berkata pedas dan membuat emosinya bisa naik dalam sekejap, kalau begitu, lelaki di hadapannya adalah Langit, yang dilakoni oleh Trio. Tidak mau berpikir panjang lagi dan menghindari kemungkinan keanehan makhluk itu menular. Ify langsung masuk ke kursi tepat di sebelah pengemudi tanpa bersuara.

***

"Dia bahkan nggak bilang maaf sudah membuatku harus berobat dengan uang sakuku sendiri," gumamnya sebal ketika Trio meninggalkannya langsung saat mobil telah berada di pintu utama dan berjalan melewati barisan pelayan yang membungkuk takzim. Mengingat di mobil tadi dia sempat memainkan plastik berisi obat—sekedar memberi kode bahwa Ify baru saja check up.

Ify mendesah setelah melewati barisan pelayan, sebentar lagi perannya sebagai tamu kehormatan di rumah ini akan usai dan entah kenapa, tiba-tiba ada perasaan tak rela dalam hatinya. Kepala Ify menggeleng kuat-kuat ketika pikiran untuk tinggal lebih lama di rumah itu berkelebat.

"Ify," kata Dara dengan pandangan heran, dia langsung memberikan Matahari yang berada dalam gendongannya pada babysitter yang berseragam putih. "Kalian pulang bareng?" lanjutnya sambil berjalan mendekati Ify. Kelopak matanya melebar beberapa detik ketika melihat lengan kiri Ify sudah tidak lagi dibebat.

"Kamu..." katanya tak percaya.

"Aku udah sembuh, Kak. Aku bisa keluar dari sini sekarang," kata Ify diakhiri dengan senyum terkulum.

Dara menelan ludah kemudian memperhatikan tangga, akses ke kamar Trio dan almarhum Langit yang kini menjadi kamar kedua Trio. Tidak, bukan ini yang Dara harapkan. Adik kecilnya itu pulang dengan diam dan ketenangan yang selalu ditunjukkan Langit semasa hidupnya. Ify tidak boleh pergi, Ify belum bisa keluar dari rumah ini, karena bukan begitu rencana Dara sejak mengetahui bahwa Ify terluka dan tinggal sendirian di Jakarta. Dara memerlukan alasan tambahan agar gadis pandablood itu bisa menetap lebih lama.

"I-Ify," katanya ragu. Tidak ada jalan lain lagi. Meski mungkin ini akan terdengar seperti sebuah perintah, bukan permohonan tolong. Tapi Dara tidak memiliki pilihan lain. Karena Ify menjadi satu-satunya lentera yang begitu membahagiakan Dara, sejak pertama kali dia mengetahui bahwa gadis ini tidak mau menerima uang ucapan terimakasih, karena telah memberikan kehidupan kedua untuk Dara dan Matahari-nya. Serta menjadi satu-satunya orang yang bisa membangkitkan jiwa Trio setelah terselubung sosok Langit selama bertahun-tahun.

"Kita perlu bicara.",


BERSAMBUNG

Pembaca yang baik hati, selalu ninggalin jejak (tanda bintang/komentar) dan jauh dari plagiasi.

Thankyou soooo much udah baca MMIYD sejauh ini (^_^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro