(20) Worry

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pujian penuh syukur dengan nada sopran Mama membuat Ify terpaksa menjauhkan telepon genggamnya dari telinga. Setelah merasa aman, Ify kembali menempelkan benda itu untuk mendengar keributan di ujung sambungan. Samar-samar terdengar suara Ifa−adik Ify dengan beda sepuluh tahun itu−yang sudah pulang sekolah.

"Mama pikir kamu ke mana, Fy!" kata Mamanya protes karena si sulung baru menelepon lagi setelah yang terakhir kali, "akhirnya kamu dapet hidayah juga buat kasih tahu Mama nomor HPmu."

Ify meringis mendengar kata hidayah. Sepertinya cerita Dara memang telah menjadi sumber pencerahan dari Tuhan untuk berhenti menghindari kekhawatiran keluarganya sendiri, karena keluarga Shuwan tidak lagi bisa saling mengkhawatirkan karena sakitnya masing-masing. Dan Ify bersyukur bahwa keluarganya tidak seperti itu.

"Iya, Ma. Tapi bentuk hidayahnya bikin Ify ngerasa terbebani, gimana dong?" goda Ify membuat suara ribut-ribut di seberang lenyap. Kayaknya salah omong nih.

"Kamu selalu tahu rumahmu nggak pernah pindah, Fy. Kamu bisa pulang kapan pun kamu butuh."

Ify menelan ucapan Mamanya dengan berat hati. "Ify bercanda, Ma. Ify baik-baik aja kok, Mama nggak usah cemas."

"Nggak ada orang tua yang nggak cemas dengan kondisi anaknya yang merantau, Ify."

Salah satu alasan kenapa Ify enggan menelepon keluarganya adalah hal ini, perbincangannya dengan Mama terutama, tidak akan bisa mengobati rindu akibat jarak yang tercipta. Tapi justru membuatnya semakin pekat dan gelap, hingga kata-kata yang dapat didengar dari Mamanya adalah permohonan agar Ify pulang secara tersirat.

"Ify udah ketemu sama Alvin, Ma," sahut Ify dengan nada ceria, mengalihkan pembicaraan. "Satu cita-cita Ify udah tercapai, tinggal satu lagi."

"Mama masih nggak ngerti sama cita-citamu itu, Fy. Mama, kan−"

"Mama nggak bisa ikut seneng aja gitu?" serobot Ify sebal. "Mama kan tahu, tujuan Ify merantau memang itu."

Terdengar helaan napas berat dari Mama. Namun, Ify berusaha mengenyahkan segala pikiran cemas yang selalu menyeret otaknya ke dalam memori yang setengah mati hendak dia hilangkan. Dia buang.

"Emang di Jakarta nggak ada spesies yang lebih ganteng dari Alvin apa, Kak?" Kini giliran Ifa yang menyahut.

"Ada. Tapi kakak maunya sama Alvin, gimana dong, Fa?"

Ifa tergelak membuat Mamanya terdengar menggerutu di ujung sambungan. "Bahkan Mama kalah saing sama Alvin buat kakakmu, Fa," kata Mama kemudian. "Kamu jangan gitu, ya. Mama bisa patah hati dua kali nanti."

Ify mau tak mau ikut tertawa juga mendengar ocehan dua perempuan itu. "Oh, ya, Ma..." Terdengar gumaman dari Mama, "Ify mau bicara berdua, bisa nggak?"

Erangan tak terima dari Ifa sampai di telinga Ify yang membayangkan wajah merengut adiknya. Setelah acara pengusiran Mamanya yang persis seperti mengusir gerombolan ayam dengan "Husssh... sana, Fa!" yang mampu Ify dengar dengan jelas.

"Kenapa, Fy? Ada masalah...?"

Ify terdiam, mencari perumpamaan paling tepat yang bisa dia tanyakan agar sang Mama bisa memberi solusi, tanpa menyadari bahwa Ify terlibat di dalam cerita yang hendak dia sampaikan.

"Ify punya temen..." Ify memutuskan untuk memulainya dengan a little white lie meskipun setelahnya dia cegukan, "temen Ify itu deket sama keluarga yang... sedih deh, Ma... mereka pernah kecelakaan, trus kehilangan Ibu dan anak tertua dari keluarga itu." Buru-buru dia lanjutkan ucapannya, berharap sang Mama tidak mendengar reaksi alamiahnya tadi ketika menyembunyikan sesuatu.

"Hm... Trus?"

"Anak tertua ini punya adik kembar perempuan, dan masih punya adik laki-laki lagi. Mereka selamat dari kecelakaan, Papanya juga. Tapi setelah kecelakaan itu, adik laki-laki ini jadi aneh, lama kelamaan dia jadi mirip kayak anak tertua yang meninggal itu. Bahkan... dia nggak mau dipanggil dengan namanya sendiri, Ma."

"Ih, kok serem, ya," sahut Mamanya membuat Ify mengangguk cepat meski hal itu tidak akan dapat dilihat lawan bicaranya sekarang.

"Iya, trus temen Ify ini tuh ya, Ma..." Ify memberi jeda sejenak. Mencari lagi kata yang pas agar Mamanya tidak curiga, sembari menahan cegukannya. "Dia cerita sama Ify, katanya, dia dimintai tolong si adik kembar perempuan itu buat bantu nyembuhin adik bungsunya, Ma. Lah, mana bisa? Sementara temen Ify aja, bukan anak psikologi."

"Mama rasa, bukan menyembuhkan deh, Fy. Tapi lebih ke arah membantu kasih dukungan supaya si bungsu itu mau berhenti jadi kayak kakaknya."

"Dukungan? Caranya, Ma?"

"Kasih tahu temenmu itu, bilang sama dia, si anak laki-laki tadi kemungkinan kesepian, dan dia juga belum merelakan kepergian ibu dan kakak sulungnya. Jadi, yang dibutuhkan anak laki-laki tadi ya perhatian. Seharusnya, perhatian tadi bisa didapatkan dari keluarganya−"

"Ah, iya, Ma!" sela Ify langsung, "Papanya juga jadi jarang pulang sejak kecelakaan itu, dia duduk di kursi roda tapi sibuk terus sama bisnisnya. Aneh deh."

"Kapan kecelakaan itu terjadi? Pas usia berapa anak laki-laki itu kehilangan kakak dan ibunya?"

"Empat belas tahun lalu, Ma. Berarti umurnya..." Ify menghitungnya dengan jari tangan. "Sembilan tahun, Ma."

"Umurnya nggak jauh beda saat kamu kehilangan Alvin, kan?" Ify lantas mengangguk kecil mendengarnya. "Harusnya, kamu tahu apa yang bisa kamu lakuin buat bantu dia."

"Eh..." Ify menyadari sesuatu, "itu temen Ify, Ma, bukan Ify."

Terdengar helaan napas dari seberang. "Kamu selalu cegukan setiap kali bohong, Fy."

Ify merutuk di dalam hati, sebenarnya cegukan saat berbohong ini keturunan darimana sih? Selain AB negatif, cegukannya itu benar-benar membuat Ify kesal dengan dirinya sendiri.

"Maaf, Ma. Ify cuma nggak mau bikin Mama khawatir."

"Kamu nggak bisa cegah Mama untuk nggak khawatir, Fy. Mama nggak akan pernah bisa lupa apa yang udah terjadi di masa lalu, walaupun kamu sendiri nggak mau inget hal itu lagi."

"Kita hidup di masa sekarang, Ma. Bukan masa lalu. Sekarang Ify udah dewasa, Ify nggak akan sedangkal dulu lagi. Ify janji."

"Mama akan percaya, kalau kamu di depan Mama sekarang."

Ify menghela napas menyerah, misi merantaunya harus segera berhasil kalau tidak mau membuat Mamanya mencurigai Ify seumur hidupnya.

***

Ify menatap pantulan dirinya di cermin dengan puas. Kemarin malam setelah sesi telepon dengan Mama, tiba-tiba saja Alvin menghubunginya dan mengatakan bahwa dia akan mengajaknya pergi besok, untuk menghabiskan waktu liburan hari kemerdekaan. Setelah sambungan terputus, Ify menyadari bahwa kamarnya dipenuhi bunga-bunga bermekaran plus salju yang turun menimpa kepalanya. Ditambah dengan irama lagu romantis dengan nada ceria yang membuat wajah putihnya merona. Lalu berubah menjadi semerah tomat.

Ahh... cinta bisa jadi segila ini. Kamar Ify bahkan memiliki dua musim berbeda sekaligus sekarang: musim semi dan musim salju. Otak korsleting, tak apa, yang penting hati bahagia.

Sekali lagi, Ify memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri, membuat ujung floral dress yang ditumpuk dengan sweater biru itu megar. Ify dengan sengaja mencari fashion style artis Korea semalam, agar tampak lebih manis dan menawan di hadapan Alvin. Ahh, lagi-lagi pipi Ify merona karenanya. Dia tidak pernah senorak ini hanya untuk pergi keluar sebelumnya. Hanya Alvin seorang yang bisa membuatnya jadi segila ini.

Ponsel Ify bergetar di atas ranjang, menandakan telepon masuk. Alvin. Lelaki itu pasti sudah sampai di depan pagar kosannya. Dengan senyum lebar dan mata berbinar, Ify membuka pintu kamar dan menguncinya kembali. Si ibu kos yang bawel itu sedang pergi ke pasar, jadi aman, tidak akan ada yang menginterogasi kemana Ify akan pergi dengan ciptaan Tuhan yang membuat Ify menggila pagi ini.

"Hai, Vin," sapa Ify sembari menggeser pintu pagar yang menyaringkan suara tak manusiawi.

Alvin bergeming melihat penampilan Ify. Lima belas tahun yang lalu, Ify paling anti dengan yang namanya dress. Tapi sekarang... Alvin mengerjap ketika menyadari bahwa apa yang digunakan Ify mengancam keselamatan gadis berdarah langka itu.

"Ganti, Fy," kata Alvin dengan suara tertahan, seperti tidak rela. "Pakai celana panjang, sepatunya jangan yang begitu," imbuhnya sambil menunjuk kaki Ify yang terbalut dengan boots cokelat.

"Tapi, Vin," sahut Ify tak rela. Jika Alvin tahu apa yang sudah terjadi pada kamarnya hanya untuk pergi, hm, kencan dengan Alvin, jika boleh dikatakan begitu. Alvin pasti tidak akan tega menyuruh Ify untuk ganti baju.

"Fy, kalau kamu jatuh karena sepatu itu, trus berdarah, aku bisa mati gila," sahut Alvin yang lantas membuat dada Ify berdesir karenanya. "Ganti pakai sepatu lain, syukur-syukur sepatu lari."

Ify mengernyit, Alvin mau mengajaknya pergi jogging? "Tapi bajunya nggak usah, kan?" kata Ify yang akhirnya mengalah.

"Ganti," jawab Alvin tegas. "Pakai celana panjang."

Ify mengerang dalam hati sambil mengentak kaki kanannya sebal, dia pun membalikkan tubuhnya kembali ke arah kos dan membongkar usaha kerasnya selama berjam-jam.

Lima belas menit kemudian, Ify sudah berdiri di hadapan Alvin yang bersandar pada pintu mobilnya sambil bersedekap. Penampilannya yang girly berubah total. Bermaksud mengajukan protes pada Alvin dengan berpakaian asal. Biarkan lelaki itu menyesal karena sudah menyia-nyiakan usaha Ify untuk tampil cantik!

Alvin tidak bisa tidak tersenyum dibuatnya, Ify sepertinya tahu bagaimana caranya menyampaikan kekesalan hati dengan lebih elegan sekarang. Terbukti dengan gadis itu yang kini hanya terbalut dengan kaos putih, celana jeans dan sneaker putih.

"Nah, begini lebih aman daripada yang tadi," kata Alvin sembari membukakan pintu mobilnya untuk Ify.

"Aman-aman," gerutu Ify dengan bibirnya yang mengerucut. Dia pun melangkah ke dalam mobil dan duduk, masih dengan wajah merengut.

Ketika Alvin sudah menutup pintu dan menjalankan mobil, Ify kembali buka suara. "Kamu tu nggak suka cewek cantik, ya?" tanya Ify asal dengan sarkas.

"Aku lebih suka lihat kamu aman, nggak inget kejadian di hotel karena sepatu tinggi kamu itu?"

Ify bergeming. Ya, ya, terus saja. Tidak Mama, tidak Alvin. Hobinya mengungkit masa lalu! "Emang kita mau ke mana sih?" tanya Ify mengalihkan pembicaraan. Tidak akan ada habisnya kalau membahas soal kecerobohan, karena Ify memang dilahirkan sepaket dengan hal itu.

"Ke tempat yang bisa kasih kamu annualpass."

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro