(22) Surprise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pastikan sudah baca part yang diprivate ya. Selamat membaca!

Ify masih membisu. Bahkan di tengah kemacetan hari libur, yang seakan bisa membunuh kedua makhluk yang tidak saling bicara sejak dua jam lalu itu.

Di dalam hati, Alvin semakin yakin bahwa Ify memiliki perasaan lebih dari sekedar sahabat padanya, terutama saat Ify menggodanya di wahana Turangga-Rangga tadi. Namun, demi menjaga persahabatan mereka yang terentang waktu lima belas tahun, dan demi delapan tahun kebersamaan mereka dulu. Alvin tidak berniat mengusik gadis itu lagi sekarang, sampai Ify mampu memahami bahwa Alvin tidak ingin ada virus merah jambu yang merusak keindahan kedekatan mereka berdua.

Alvin tidak pernah ingin jatuh cinta di saat yang tidak tepat, terutama sekarang, ketika masalah pekerjaannya sedang membuat kepala Alvin nyaris meledak. Karena terakhir kali dia merasa jatuh cinta, dia harus merelakan cintanya itu dipisah secara paksa oleh takdir yang menakutkan.

Di tengah kekalutan pikiran masing-masing, terdengar suara yang rendah namun cukup memecah keheningan yang tercipta. Sontak, Alvin dan Ify saling berpandangan.

"Suara perut kamu, ya?" tukas Ify dengan alis terpaut.

Alvin tersenyum kecut. "Iya, kamu mau berhenti trus makan dulu nggak?"

"Hm," gumam Ify seadanya, "tapi kali ini aku yang bayar," kata Ify yang langsung menoleh keluar jendela kirinya. Enggan menatap wajah Alvin, karena masih memikirkan sikap seperti apa yang harus dia tunjukkan pada teman masa kecilnya, yang sudah menolaknya secara halus.

Alvin menghela napas diam-diam. Ify marah dan Alvin tidak tahu bagaimana caranya meluluhkan hati gadis itu. Karena hatinya juga sedang meragu dengan keputusannya sendiri untuk menampik perasaan sahabatnya saat ini.

Mobil Alvin langsung menepi ketika matanya menemukan sebuah plang besar dengan nama restoran ayam cepat saji yang cukup tenar, berbeda dengan yang sebelumnya mereka sempat makan di Dufan. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu perjalanan, Ify dan Alvin sepakat untuk memesan dan makan melalui fasilitas Drive Thru saja.

"Yakin cuma Burger?" tanya Ify sangsi dengan pesanan Alvin pada petugas perempuan. "Aku bisa bantu kamu makan kok, Vin."

Alvin berpikir sejenak, apakah menyuapi sahabat makan adalah hal yang lumrah?

Ify menghela napas gemas. "Mbak, tambah Yakiniku satu, ya. Minumnya Mocca Float dua."

Petugas itu terlihat mencatat dan menyampaikan pesanan Ify tadi pada bagian dapur. Alvin melirik ke arah Ify yang tengah membuka tas dan merogoh dompetnya. Tak lama, gadis itu mendongak dan membuat pandangannya bertemu dengan Alvin.

"Kamu butuh air mineral nggak?" tanya Ify membuat Alvin mengerjap.

"Hm, i-itu..."

"Mbak, air mineralnya satu, ya," kata Ify sedikit lebih keras tanpa menunggu respon Alvin lagi. Diam-diam, kedua ujung bibir Alvin melengkung, Ify masih sepeka yang dulu.

***

"Kamu marah, Fy?" tanya Alvin disela kunyahan Yakiniku-nya pada suapan Ify yang pertama.

"Marah kenapa?" tanya Ify sambil kembali bersiap untuk menyuapi Alvin dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang Burger untuk dia makan sendiri.

"Udah?" tanya Ify sambil melihat mulut lelaki yang matanya tetap fokus pada jalan yang padat kendaraan di depannya.

Alvin mengangguk pelan sambil berkata, "ya... marah." Matanya melirik Ify sekilas sebelum memindahkan persneling.

Ify menyodorkan sesendok penuh nasi dan lauk ke mulut Alvin yang terbuka dengan senang hati. Ada satu hal yang membuat Ify luluh untuk berhenti mendiamkan Alvin. Lelaki itu sama sepertinya, memiliki kebiasaan untuk melarikan diri yang stres dengan makanan. Bedanya, jika Ify cenderung menyukai yang manis. Alvin justru akan lari ke nasi. Itu sebabnya Ify memesankan Yakiniku untuk Alvin.

"Harusnya aku yang tanya. Kenapa kamu mikir aku marah?"

Skak mat! Alvin melupakan fakta bahwa gadis yang tengah membantunya makan sekarang adalah gadis yang pintar bermain kata.

"Habis kamu mendadak diem sih."

"Pertanyaan aku nggak kamu jawab, trus tiba-tiba kamu bahas soal Bos-ku, habis itu kamu minta maaf karena nggak bisa nyenengin aku seratus persen hari ini."

Alvin menelan Yakiniku yang telah halus terlumat di mulutnya dengan susah payah.

"Dan sekarang, kamu mau aku ngomong soal apa setelah itu semua tadi?"

Alvin masih terdiam, jika bukan karena suara klakson kendaraan yang berada di belakang mobilnya saat ini, mungkin Alvin masih terpaku memikirkan apa yang baru saja Ify lontarkan.

"Aku diem itu karena mikir, aku harus ngerespon apa. Syukur aku masih inget kamu butuh makan, makanya sekarang aku nyuapin kamu gini."

Alvin terperanjat ketika ada sesuatu yang mendekati bibirnya, diliriknya sekilas Yakiniku yang sudah Ify sodorkan kembali padanya.

"Pegel kali," sarkas Ify yang langsung membuat mulut Alvin terbuka. "Kamu nggak marah, aku suka sama kamu?"

"UHUK! UHUK!!"

Ify panik ketika melihat respon Alvin akibat pertanyaannya. Dia pun lantas meraih botol air mineral, membuka tutupnya dan menyodorkannya pada Alvin. Lelaki itu terlihat menenggak airnya dengan ganas hingga apa yang tersangkut di tenggorokannya kembali ke jalur yang seharusnya.

Reaksi macam apa ini? Bukannya dia udah tahu aku suka sama dia? pikir Ify heran kenapa Alvin bisa tersedak dengan pertanyaannya.

"Jatuh cinta bukan sesuatu yang bisa kita atur, jadi kalau aku marah, tandanya aku nggak adil sama kamu," sahut Alvin dengan suara yang parau.

Jadi dia benar udah tahu perasaanku. Itu sebabnya dia menolak waktu aku ajak dia buat lihat pesawat kayak dulu lagi. "Dan... kamu... masih mau ketemu sama aku?" tanya Ify yang sebenarnya takut untuk mendengar jawaban Alvin yang berikutnya, tapi dia tetap ingin mengetahui hal itu.

"Aku nggak mungkin menghindari sahabat kecil aku yang bentuknya kayak kamu. Dan kamu harus selalu inget, kalau aku akan siap bantu kamu, kapan pun kamu butuh."

Ify menghela napas, tersisa satu pertanyaan lagi. "Kamu... beneran nggak ada perasaan apa pun sama aku?"

Alvin melirik Ify sekilas untuk menatap mata gadis itu. Bohong jika Alvin tidak memilikinya sama sekali, tapi dengan kondisinya sekarang, Alvin tidak bisa menjamin bahwa ke depannya Alvin mampu untuk mempertanggungjawabkan perasaan Ify padanya.

"Aku sayang kamu, Fy..." ucap Alvin menggantung, membuat Ify merasa memiliki harapan. "Tapi soal jodoh, kita nggak pernah tahu. Jadi, menurutku, daripada kamu mikirin hal yang belum pasti. Lebih baik kamu fokus sama karir kamu, itu yang lebih penting sekarang, kan?"

Jawaban Alvin yang diplomatis membuat Ify setidaknya bisa bernapas sedikit lega, meski sempat merasa ditolak. Tapi Ify yakin ada alasan kenapa Alvin-nya sampai enggan mengutarakan perasaan yang dia miliki.

Ify meyakini bahwa tidak ada persahabatan yang murni antara lelaki dan perempuan di muka bumi ini, salah satunya pasti ada yang menyimpan kekaguman. Dan dalam kasus mereka, Ify yakin Alvin juga menyimpan perasaan yang sama.

Masih ada satu cara lagi untuk memastikan bagaimana perasaan Alvin padanya. Dan Ify tersenyum puas saat memikirkan bahwa cara itu bisa membuatnya mencapai dua tujuan sekaligus.

"Iya, aku setuju," sahut Ify kemudian. "Dan soal karir, omong-omong, salah satu Bos aku ada yang minta tolong. Tapi aku nggak yakin apa caraku ini bakalan bisa menolong atau nggak."

Alvin menolehkan kepalanya kembali pada Ify ketika lampu persimpangan jalan di depannya memancarkan warna merah. "Tolong apa?"

Ify menceritakan awal mula pertemuannya dan bagaimana dia bisa diterima bekerja di Sky Event Organizer yang dipimpin salah satu pewaris Shuwan Grup. Juga menceritakan secara lengkap bagaimana hari-harinya selama menginap di rumah keluarga Shuwan, tentu tak lupa menceritakan beberapa sikap Trio yang terlalu manis jika diartikan sebagai perhatian antara Bos dan karyawan. Hingga permintaan kakak dari Bosnya untuk membantu Bosnya sembuh dari gangguan kepribadian.

Melihat ekspresi Alvin yang menjadi tidak menentu, membuat Ify tertawa puas di dalam hatinya. Seseorang tidak akan terasa penting, jika mereka belum merasakan betapa pedihnya kehilangan. Dan sekarang, Ify sedang mempratekkan teori tersebut pada Alvin. Membuatnya merasakan betapa mengerikannya apabila suatu hari nanti Ify memilih untuk menyerah pada Alvin, jika seandainya Ify sampai jatuh cinta pada lelaki lain.

"Sebagai permulaan, aku mau kasih Bos-ku hadiah. Tapi, aku nggak tahu pesannya di mana, kamu bisa bantu carikan nggak, Vin?" tanya Ify yang sengaja dibuat sepolos mungkin dengan tidak mengacuhkan ekspresi tak suka dari Alvin.

"Kenapa harus hadiah?" tanya Alvin yang nada suaranya terdengar ketus.

"Kan, aku harus just stay close him, ya awal mula dari itu kan bisa dari sebuah hadiah. Nggak peka banget sih kamu," sahut Ify seolah tak peduli dengan wajah Alvin yang biasanya putih pucat, sekarang terlihat sedikit memerah, entah kenapa.

Alvin terlihat menghela napasnya panjang. "Ok, nanti aku bantu. Emang mau kasih hadiah apa?"

Ify tersenyum senang melihatnya. Setidaknya, ada rasa tidak suka yang baik dalam hubungannya dan Alvin saat ini. Terutama, jika Alvin yang merasakan hal tersebut.

***

Senin pagi, Ify menginjakkan kakinya di SKO Office setelah memastikan bahwa Midi Flare Skirt denim dengan kemeja flanel kotak-kotak yang lengannya digulung hingga siku itu cukup layak untuk dijadikan setelan kerja. Bekas luka benturan di lengan kirinya sudah hilang keseluruhan, membuat Ify tidak perlu lagi menutupi bagian tubuhnya yang putih cerah itu dengan pakaian.

Bahu kiri Ify tersampir tas selempang berwarna senada dengan kemejanya, sementara tangan kanannya menenteng paper bag berisi bungkusan panjang terbalut kertas kado yang sudah dia siapkan sejak hari Minggu kemarin.

Diam-diam sudut bibir kanan Ify naik ketika kembali mengingat bagaimana ekspresi Alvin saat menyerahkan barang pesanan Ify yang hendak dijadikan hadiah itu. Ya, ya, tutupilah rasa cemburumu itu sampai kamu tersiksa Alvin, pikirnya licik.

Pintu lift terbuka di lantai ruang kerja Show Director dan beberapa divisi lainnya yang setingkat. Saat memasuki ruang kerjanya, sudah ada Ila, Danang dan Sri yang duduk sembari mengitari satu komputer yang sama, komputer yang berada di kubikel Danang.

"Hei, Fy! Udah denger kabar belum?" kata Danang langsung saat Ify meletakkan tasnya di atas meja, sementara hadiahnya untuk Trio tersembunyi di bawahnya.

"Kabar apa?" tanya Ify sambil menyalakan komputernya sendiri.

"Presiden Direktur Shuwan Grup meninggal kemarin."

Ify sontak mendongakkan kepala dengan pelupuk yang melebar. "Kapan?" tanya Ify tak percaya. Apa itu sebabnya sejak Jumat lalu Trio tidak pernah mengusik hidupnya? Bahkan saat pindah dari istana keluarga itu pun Trio tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali.

"Kemarin, Fy, tadi kan mas Danang udah bilang." Kali ini Ila yang bersuara, menyadari ekspresi keterkejutan Ify yang berbeda dari karyawan lainnya. Ila memutari kubikel barisan Danang dan Sri, lalu duduk di kubikelnya sendiri. "Yang kita semua khawatirin bukan fakta itu," imbuh Ila membuat Ify kembali tersadar dari spekulasinya mengenai Trio.

"Harga saham perusahaan yang dimiliki Shuwan Grup turun semua. Dan ada kabar yang beredar hal itu akan terus berlanjut sampai mereka menentukan siapa Presdir selanjutnya," ucap Ila sambil membuka program Word di dalam komputernya.

"Emangnya kamu nggak dapat kabar apa pun?" tanya Ila yang kemudian disesalinya setengah mati, dia lupa kalau kenyataan Ify dekat dengan Trio hanya Ila yang tahu, itu pun karena Ila yang disewa Trio untuk menjadi mata-mata bagi Ify. Dan Ify yang terpaksa menceritakannya pada Ila karena diusik oleh mulut cabainya Voni dan Angel.

Ify menolehkan kepalanya dan menatap Ila tanpa berkedip. "Aku kan bukan siapa-siapa," sahut Ify yang langsung dipahami oleh Ila. Ify masih tidak ingin ada orang yang tahu mengenai darah AB negatifnya, cukup si dua biang gosip dan Ila saja.

"Sempet masuk berita TV dan koran lho, Fy," kata Sri kali ini.

"Aku bukan orang yang hobi mantengin dua benda itu, Mbak," jawab Ify.

"Nasib kita gimana, ya?" Tiba-tiba Danang bersuara dengan wajah yang menerawang. "Kalau Langit jadi Presdir Shuwan Grup, otomatis hanya ada dua pilihan untuk SKO. Dijual atau dipimpin oleh orang baru dari Shuwan Grup."

"Emangnya Big Boss bersedia? Setahuku, dia membuat SKO karena nggak mau bersangkutan dengan Shuwan Grup deh," jawab Sri membuat alis Ify terangkat.

"Mbak tahu itu darimana?"

"Itu udah jadi rahasia umum, Fy. Semua karyawan juga tahu kalau hubungan Big Boss dengan Presdir Shuwan Grup nggak terlalu baik."

"Bisa aja Boss yang pimpin, kan?" terka Ila.

"Boss?" Alis Ify menyatu.

"Udara Shuwan, Fy. Itu sebabnya pak Langit disebut Big Boss, karena Boss kita itu Udara Shuwan," ujar Sri.

"Ah," gumam Ify tidak habis pikir. Ribet bener deh ni perusahaan. Atasan aja pake ada yang Big dan tidak Big.

"Nggak mungkin, Dara kan baru melahirkan," sahut Danang lagi.

"Trus masalahnya apa kalau kita ganti atasan? Atau perusahaan dijual? Kan, yang penting kita tetep kerja dan digaji?" ujar Ify akhirnya yang mulai pening dengan masalah yang sudah membuat ruang kerjanya persis seperti saat sedang ada Voni, ramai gosip.

"Kita harus adaptasi lagi dengan cara kerjanya atasan dong, Fy? Belum lagi masalah penggajian juga, trus aturan kerjanya. Iya kalau kita tetep di posisi yang sekarang. Kalau dipindah divisi?"

Sepanjang pekerjaannya di SKO, baru kali ini Ify melihat Sri jadi seperti Voni KW. Ramai sekali.

"Mbak itu kan belum tentu kejadian, dipikirinnya nanti aja, kalau udah terjadi. Mending sekarang kerjakan apa yang udah menunggu kita." Telunjuk kanan Ify mengarah pada papan hitam yang menggantung di dinding. Kertas besar yang menunjukkan tanggal serta daftar acara yang sudah menunggu mereka di depan mata.

"Ah iya, ya ampun sampe panik gini kan semua..." Setelahnya Sri terdiam, begitu juga dengan Danang dan Ila yang mulai sibuk mengetik di atas keyboard masing-masing.

***

Bermodalkan keberanian yang sudah dipupuk sejak membungkus hadiahnya untuk Trio, Ify melangkahkan kakinya ke lantai ruang kerja lelaki itu tepat pada pukul sepuluh lebih sepuluh menit. Ponsel Trio dan Dara sama-sama tidak bisa dihubungi, jadi satu-satunya jalan yang tersisa adalah langsung menghampiri kandang Bosnya sekarang, karena mendatangi rumah mereka merupakan hal terlarang bagi Ify.

Sintia, sekretaris Big Boss sedang duduk dengan berfokus pada layar komputer. Sebenarnya, Ify sangsi untuk menanyakan jadwal kerja Trio setelah mengetahui fakta bahwa Papanya meninggal. Tapi hati kecil Ify berkata bahwa lelaki itu pasti sedang sangat berduka, jika Dara punya Harry yang bisa dijadikan tempatnya bersandar. Trio mau lari ke siapa? Pelayan? Kan tidak lucu. Setidaknya Ify bisa jadi tempat pelarian Trio untuk curhat, itu pun kalau dia mau dan perbincangan tidak berujung pada adu mulut seperti biasa.

"Mbak Sintia," kata Ify membuat wajah Sintia langsung mendongak, kelopak matanya sempat melebar sesaat ketika mendapati karyawan kelas paling rendah plus muda di SKO kembali menginjakkan kaki di lantai ruangan Big Boss, setelah kejadian makan siang mewah itu.

"Ya, Fy?"

"Pak Langit, udah datang belum?" tanya Ify bergetar. Seram juga menyebut nama orang yang sebenarnya sudah tidak ada di dunia.

Sintia menggeleng. "Big Boss belum kasih kabar apa-apa lagi sejak Jumat, Fy. Semua jadwal meeting juga masih dicancel. Soalnya dari Jumat ke Hongkong."

Pantas, pikir Ify lega. Setidaknya dia mendapatkan jawaban kenapa makhluk pengganggu itu tidak melakukan tugasnya belakangan ini.

"Mbak nggak bisa hubungi dia?"

Ify menyadari kesalahan ucapannya barusan saat alis Sintia terlihat nyaris menyatu. "Maksudku, Pak Langit."

Sintia menggeleng. "Mungkin masih ribet urus banyak hal, karena Presdir Li yang meninggal dadakan."

Di mana-mana orang meninggal tidak akan ada pengumuman dulu kali, Mbak, kata Ify yang hanya berani terlontar di dalam kepala. "Bisa mbak coba telepon nggak? Saya ada perlu, penting banget." Karena kalau aku yang telepon lebih dari satu kali, bisa terguncang dunia persilatan.

"Kucoba dulu, ya."

Ify mengangguk dan cukup syok saat Sintia mengambil telepon genggamnya, bukan menggunakan telepon kantor.

"Halo, Pak..."

WHAT THE...!? Kenapa pas aku yang telepon ponselnya nggak aktif? Apa aku memang harus mendeklarasikan dulu pada Sekretarisnya kalau aku ada keperluan sampai harus masuk ke ruangan Bos gitu? pikir Ify yang mendadak sebal setengah mati. Berduka boleh, tapi jangan membuat Ify menjatuhkan harga diri dong!

Entah kenapa Sintia mendongakkan kepala sambil berdiri tiba-tiba dan mematikan sambungan teleponnya. "Pagi, Pak."

Ify langsung membalikkan tubuh dan mendapati Trio yang baru saja memasukkan ponselnya ke dalam saku jas. Tatapannya itu terlihat jadi semakin tajam dan mengerikan dengan lingkaran hitam yang membesar di bawah mata.

"Pagi," jawab Trio langsung, namun dengan tatapan yang tetap mengarah pada Ify. Kemudian turun pada tangan kemeja Ify yang digulung hingga siku. Dan paper bag yang ditentengnya. "Kamu ada perlu apa?"

Ini Langit, ya? batin Ify ngeri. Kalau Trio tidak akan sedatar ini.

"Iya, Pak," sahut Ify yang sama datarnya dengan ekspresi Trio sekarang. Namun menambahkan jawaban setelah sadar bahwa ucapannya barusan tidak selaras dengan pertanyaan Trio. "Ada yang mau saya bicarakan."

Trio hanya menggerakkan kepalanya, melempar kode agar Ify mengikuti Trio masuk ke ruang kerjanya. Di dalam ruang kerja yang masih sama dingin dan luasnya seperti saat terakhir kali Ify tinggalkan, Trio membalikkan tubuhnya.

"Ada apa?"

Ify sempat gelagapan sesaat, menimbang lagi apakah pemberian hadiah ini pantas untuk tetap diberikan dalam suasana berduka. Tapi, tatapan Trio membuat Ify bergumam dalam hatinya. Udah kena cipratan air, mandi ajalah sekalian.

"Saya turut berduka sebelumnya, Pak," kata Ify dengan tatapan sebiasa mungkin. Tidak ingin membuat kesedihan atau apa pun hal-hal buruk yang menggantung di benak Trio jadi semakin membesar. "Tapi, saya pikir saya tetep harus bilang dan kasih ini ke Bapak secepatnya."

"Apa?" tanya Trio, sama sekali tidak tampak antusias dengan paper bag yang sudah Ify sodorkan ke depan tubuh Trio.

"Terimakasih," kata Ify meragukan sendiri ucapannya, "saya belum mengucapkan itu waktu keluar dari rumah Bapak."

Trio menatap lekat Ify yang pandangannya hanya terfokus pada dasi yang sedang dia kenakan, sebenarnya ada perasaan bingung kenapa Ify mendadak bisa menjadi selayaknya karyawan yang begitu sopan pada atasan. Tapi kejadian beberapa hari terakhir menghentikan semua kebingungannya, terserah gadis itu mau berbuat apa. Dia sedang tidak memiliki kekuatan lebih untuk menambah beban pikirannya.

Tangan Trio mengambil alih paper bag yang berada di tangan Ify. "Kalau begitu kamu bisa keluar sekarang."

Ify sontak mendongak dengan mata melebar. "Bapak nggak penasaran saya kasih apa? Nggak mau dibuka dulu gitu?"

Trio mengernyit. "Nanti, saya buka kalau senggang."

"Sekarang aja nggak bisa? Yang ngasih kado berhak tahu ekspresi orang yang dikasih kado lho, Pak," kata Ify penuh penekanan.

Ify melihat Trio menghela napas panjang, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Tapi, jika kado itu dibuka Trio saat Ify tidak ada di depannya. Seratus persen yakin, kado itu pasti dibuang! Dengan dibanting dulu sampai jadi serpihan sebelumnya.

Mengalah, Trio berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Mengambil bungkusan panjang terbalut kertas kado dengan motif pesawat dari dalam paperbag. Dia mengernyit dan menolehkan kepalanya ke arah Ify. Tidak heran kenapa gadis ini memilih kertas kado itu, tapi heran kenapa dia juga menggunakan hobi anehnya untuk sekedar memberi hadiah.

Saat Trio mulai merobek kertas kado yang dicarinya dari satu toko buku ke toko buku lain itu, kaki Ify terasa membeku di tempat. Diam-diam, Ify menyusun rencana darurat kalau-kalau Trio mengamuk akibat dari hadiahnya.

Alis Trio menyatu saat mendapati sebuah papan nama terbuat dari kaca dengan model yang sama seperti papan nama miliknya yang tengah berdiri di ujung meja kerja. Namun, dengan tulisan yang berbeda.

Presiden Direktur

Trio L. Shuwan

Mendapati Trio tidak berekspresi atau bahkanbersuara saat memegang dan menatap hadiahnya yang sudah telanjang. Ify langsungmenelan ludah. Tamatlah riwayatmu Ify, tamat. 

BERSAMBUNG

Makasih buat yang udah setia baca MMIYD sampai sejauh ini, dan big thanks buat yang setia juga untuk kasih bintang-bintang, karena otomatis kalian bukan si-der (silent reader) ^^ Love you everyone!

See you next part ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro