(29) Sivia and Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part ini tercetus tiba-tiba, karena pembaca sekalian perlu tahu seberapa hebat persahabatan Sivia dan Ify.

Btw, di multimedia ada kamar indekos Ify. Meski kurasa agak mustahil untuk ditemukan di Jakarta, karena aku sendiri nggak pernah survei kamar kos itu kayak gimana sebelumnya. Happy reading!


Part 29 – Sivia and Me


Aku tidak pernah memilih untuk hidup seperti ini

Tapi membiarkanmu masuk ke dalam hidupku

Dan tahu terlalu banyak tentangku

Itu pilihanku sendiri

Ify menghela napas gusar. Matanya memperhatikan miniatur pesawat yang menggantung di langit-langit kamar kosnya. Hadiah dari Sivia atas pencarian Ify yang tak mengenal lelah, untuk menemukan Alvin. Tapi sekarang, setelah berhasil menemukan lelaki itu. Ify merasa, pencariannya sia-sia.

Alvin tidak melihat Ify, seperti Ify melihat Alvin.

Alvin tidak mengartikan Ify, sepenting Ify mengartikan Alvin dalam hidupnya.

Dara mungkin benar. Lima belas tahun telah berlalu. Terlalu banyak hal dalam hidup yang Alvin lewati tanpa kehadiran Ify. Wajar saja jika kini Alvinnya berubah, tidak seperti apa yang Ify bayangkan selama pencariannya yang melelahkan.

Ify kembali menerawang, sejumput rasa sesal mulai tumbuh di antara sakit yang menyesak dadanya.

"Justru Trio... yang selalu memastikan aku untuk nggak terluka."

Mata Alvin yang memerah itu terbuka sedikit lebih lebar. Ify tidak mau lagi menebak apa makna ekspresi Alvin, terakhir Ify coba melakukannya. Ify justru terluka cukup parah.

Bibir Ify tersenyum pedih, merasa sangat bodoh karena ucapannya sama sekali tidak direspon Alvin sepatah kata pun. Dia pikir Alvin akan menyangkalnya dengan dalih sahabat, atau apa pun itu. Ify tidak peduli! Tapi... kenyataannya... Alvin justru bergeming.

"Pulanglah, aku lelah. Aku juga harus belajar untuk menjadi perempuan yang nggak murah−"

"Ify!" Kali ini Alvin memilih untuk membentaknya. Hati Ify terasa semakin sesak karenanya. "Aku..." Alvin seperti menelan semua kata-katanya dengan menelan ludah secara paksa. Dia hanya memilih untuk kembali merengkuh Ify ke dalam peluknya dan mengusap lembut puncak kepala rambut berkepang itu.

"Aku sayang kamu, Fy. Lebih dari yang kamu tahu."

Lamunan Ify terpecah ketika dering ponselnya terdengar. Ify meraih benda itu dari meja sudut dekat jendela dan membuatnya melayang di atas kepalanya. Terlalu lelah dengan hal yang terjadi sepanjang hari ini, Ify memutuskan untuk merebahkan dirinya di atas ranjang sampai makan malam tiba. Sambil memikirkan akan makan apa dia nanti.

"Hm?" sahut Ify malas ketika tahu siapa yang menelepon. Sivia. Yah, setidaknya masih lebih sedikit menyenangkan ketimbang sang Mama. Di saat kepalanya nyaris pecah, Ify tidak bisa mendengarkan suara Mamanya. Jika sampai Mamanya menelepon, mungkin Senin nanti Ify akan langsung mengajukan surat izin untuk cuti selama sepekan. Meski delapan puluh persen tidak akan disetujui Angel selaku penanggung jawabnya selama masa training di bagian keuangan.

"Assalamualaikum," sahut Sivia terdengar sarkas. "Biasanya juga lo yang ingetin soal salam."

"Hm, wa'alaikumsalam, lagi kacau. Jadi lupa," ujar Ify semakin malas. Sebenarnya apa motivasi temannya itu menelepon menjelang magrib begini?

"Are you okay? Kemarin lo ngajak gue keluar, tapi gue lagi sibuk." "It's okay. But I'm not okay..."

"Kenapa?" sahut Sivia terdengar panik. "Lo sakit?" "Hm. Sakit hati."

Hening. Sivia seperti melakukan sesuatu di sana, tapi entah apa. "Gue perlu ke kos lo sekarang?" Suara Sivia terdengar lebih berat daripada biasanya. Seolah takut mengatakan hal yang salah.

"Nggak usah, Vi. Gue tahu lo sibuk."

"Tapi besok Minggu. Sekolah libur, dan tugas murid gue juga udah gue nilai semua."

Ify bergeming. Dia suka sendiri di saat seperti ini. Tapi terakhir kali, yang dia tahu, kesendirian justru membunuhnya secara perlahan. Dan mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengerikan, walau syukurnya itu tidak berhasil.

"Kalau lo nggak keberatan buat langsung pulang setelah kasih gue makanan, nggak apa-apa. Lo ke sini aja."

Sivia terdengar mendengkus. "Lo mau makan apa?" "Es krim, rasa stroberi satu, cokelat satu."

"Gue serius, Fy!" seru Sivia gemas. "Lo selalu aja bikin omzet perusahaan es krim naik kalau lagi galau gini."

"Ya udah, lo nggak usah ke sini," sahut Ify tak mau kalah.

"Gue beliin ayam pedes level lima aja, ya? Biar Senin lo ada alasan sakit trus nggak masuk kerja sekalian."

Ify tertawa nyaring. Ide gila itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Tapi, boleh juga untuk dicoba. Ify sedang tidak punya energi lebih untuk menghadapi mulut laknat Angel dan antek-anteknya di kantor. Ify juga enggan menemui Trio besok, menceret akan jadi alasan yang sangat pintar untuk menghindari orang-orang itu di tengah kemelut masalahnya dan Alvin.

"Jangan lupa obat diarenya, Vi."

"Iya, tenang aja. Gue sampai sana sejam lagi."

Sambungan terputus dengan tawa datar dari bibir Ify. Sivia benar-benar juara. Dia bisa menjadi apa pun yang Ify butuhkan tanpa diminta. Ify bersyukur pada Tuhan, telah dikirimkan seseorang yang mampu menggantikan Mamanya selama di Jakarta.

***

"Iya, Ma. Sivia udah datang nih. Ify makan dulu, ya." Ify membuka pintu dan memberikan kode pada Sivia untuk segera masuk, semakin lama pintu kamar kosnya dibuka, semakin banyak jumlah para nyamuk yang dapat menjajah kamarnya.

Sambungan telepon terputus, Ify meletakkan asal ponselnya ke atas ranjang dan menggelar karpet bulu untuk Sivia duduk. Ify bergumam takjub ketika melihat bawaan Sivia. Sebotol air mineral satu liter. Dua paket nasi ayam pedas lengkap dengan saus kejunya, ditambah kentang goreng dan minuman teh rasa buah. Kemudian semangkok jumbo es krim cokelat stroberi langganan Ify sejak kuliah dan sekresek obat-obatan.

"Obat demam, diare, alergi, flu dan batuk, penghilang capek sama vitamin C. Tagihan ini semua udah gue kirim ke whatsapp lo, harus lo bayar selambat-lambatnya bulan depan."

Sivia menyisihkan sekresek bening itu ke dalam laci milik Ify. Nomor dua dari atas. Saking seringnya Sivia main ke kos Ify sejak kuliah. Sivia bahkan hapal di mana letak gadis itu meletakkan pembalutnya. Kemudian, meletakkan es krim Ify ke dalam kulkas mini di pojok ruangan, dekat lemari.

"Thanks, you're the best one!" kata Ify tulus sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. "Who's the best two?" sahut Sivia dengan mata melotot. "Alvin?"

Ify mendengkus kasar, lalu langsung menyambar bungkusan nasi ayam pedasnya. "Level berapa nih?" tanya Ify mengalihkan topik. Kalau diizinkan memilih. Ify sedang

tidak ingin membahas satu pun makhluk berjenis lelaki yang sedang berada di dalam kekusutan hidupnya sekarang.

"Berarti bukan." Sivia menarik kesimpulan. "Jangan-jangan, Trio Langit Shuwan, ya?"

Ify mendelik. Selain faktor tebakan Sivia, lidah Ify yang baru saja terkena sengatan jutaan cabai dari ayam yang sepertinya benar-benar level lima membuatnya meringis.

"Ini beneran level lima, ya?" sahut Ify di luar konteks.

"Nice try, Ify Axelle. Trus aja jawab apa yang gue tanya dengan dalih makanan lo itu," jawab Sivia sebal. "Lo kenapa sih sebenernya?" tanya Sivia sambil memandang Ify khawatir. Level tertinggi ayam pedas yang pernah Ify makan adalah satu. Dan sekarang Sivia menyesal karena sudah mengikuti nalurinya untuk membelikan Ify level lima, dipastikan besok gadis ini akan pergi ke rumah sakit untuk berobat.

"Sssssst hah..." Ify kepedasan dan mengibaskan tangan kirinya di depan bibir. "Ini sih bukan cuma ngilangin stres. Bisa ngilangin nyawa gue juga nih kayaknya."

"HEH!" seru Sivia lantang. "Mulut lo nggak dikuliahin, ya?"

Ify terkekeh. "Enak, Vi. Sumpah, ini enak," sahut Ify dengan berderai air mata.

Sivia tahu, tangisan Ify bukan sekedar karena kepedasan. Ada sesuatu yang sedang Ify tutupi setengah mati, sampai nekat mencoba makanan yang paling dia hindari.

"Kenapah cobaah... oranhg-oranhg... padha... mabhok... padhahal... makhan... ginhian... cukhup... khok..." kata Ify disela kunyahan membaranya. Mulut Ify bolak-balik membuka dan menarik napas, usaha terakhir dan terbodohnya untuk mengurangi rasa pedas.

"Udah, Fy, udah. Lo makan es krim aja," ujar Sivia akhirnya, kemudian mengambilkan sendok plastik yang dia bawa dan es krim dari kulkas mini Ify.

"Udhah bholeh?"

"Udah, udah. Nih," jawab Sivia sambil menyodorkan sewadah besar es krim itu untuk Ify habiskan, yang kepedasan Ify, yang panik Sivia.


Ify selalu begitu. Makanan manis dan dingin seperti es krimlah yang menjadi pelarian terbaiknya. Tapi, jika Ify sampai menyentuh makanan super pedas. Maka dapat dipastikan, masalah yang Ify pendam sudah berada dalam level awas.

***

"Baju sama underwear yang gue tinggal di sini. Masih belum lo buang, kan, Fy?" tanya Sivia sembari memegang perutnya yang penuh. Dia terpaksa menghabiskan ayam pedas Ify, kentang goreng, juga minuman teh rasa buahnya. Tubuhnya duduk di atas ranjang geser Ify dan punggungnya bersandar pada lemari baju sahabatnya itu.

"Masih," sahut Ify dengan nyawa separuh. Kesadarannya nyaris menghilang akibat obat diare yang diminumnya dua puluh menit lalu. "Lo mau nginep?" tanyanya pelan.

"Gue masih waras, Fy. Nggak mungkin gue ninggalin lo pas begini."

"Gue selalu ya, Vi." Respon dari Ify terpaksa membuat Sivia mendongak ke arah kanan, karena ranjang tempat Ify berbaring berada lebih tinggi dari ranjang geser yang Sivia duduki sekarang. "Merepotkan semua orang. Dari lahir sampai sekarang, hidup gue selalu nyusahin."

"Iya, lo emang nyusahin," sahut Sivia kesal. "Tapi, gue tetep sayang sama lo. You're everything for me. Lo penting buat orang yang ada di sekitar lo. Seburuk apa pun lo pikir tentang diri lo, orang lain tetep butuhin lo. Paham?"

Sivia mendengar Ify mendengkus. "Sure. Because I'm AB negative."

"Bukan itu maksud gue, Fy. You're not stupid, and I know you get what I mean."

Ify menghela napasnya. Seolah tengah berusaha membuang seluruh sesak yang menghimpit dadanya. "Lo tahu, Vi? Lo terlalu mengenal gue. Lebih dari diri gue sendiri. Dan gue sama sekali nggak menyesali itu."

Sivia tersenyum, menatap tubuh Ify yang bergerak dan memunggunginya sekarang. Seperti biasa, Ify akan selalu menutup diri setelah berhasil mengutarakan apa yang benar-benar ada di hatinya. Meski sampai detik ini, Sivia tidak tahu apa pemicu Ify bisa sekacau itu. Seingatnya, terakhir kali Ify hilang kendali adalah saat... dia kembali kehilangan.

"Gue anggap itu pujian, meskipun dulu lo setengah mati menghindari gue, setelah gue tahu, who you are."

"Thank you... for always stay near me, Sivia."

Hening. Sivia tidak lagi menyahuti ucapan Ify karena tak lama setelahnya, samar-samar dia mendengar desah napas teratur milik Ify yang telah tertidur. Alasannya tetap tinggal bukan hanya karena Ify yang sakit akibat ayam pedas level lima. Tapi juga karena Sivia tahu, bahwa sahabatnya itu memiliki janji di esok hari, dengan lelaki berkepribadian ganda, yang mengacaukan hidup Ify yang selama ini hanya berputar pada gravitasi bernama Alvin.

Sivia tidak marah pada Alvin atau Trio, dua makhluk yang memiliki kemungkinan terbesar membuat Ifynya sekacau ini. Hanya saja, dia terlalu ingin tahu. Seperti apa Trio Langit Shuwan sebenarnya. Sampai nama itu tersebut saat Ify tengah mengunyah obat pedasnya yang terasa dingin dan manis dalam keadaan setengah waras.

"Trio nembak lo?"

"Hng... bukan... cuma bilang... suka."

"Trus Alvin?"

"Dia marah... dan gue nggak tahu... apa penyebabnya. Gue benci sama dia, Vi... Gue benci kenyataan kalau gue cinta sama dia."


BERSAMBUNG

Mohon bersabar. Trio dan Ify akan kembali mengisi cerita kok.

Jangan lupa jejaknya ya, jangan menjadi silent reader please, karena aku juga udah gak private cerita lagi kan.
See you next part!

☆ヘ(^_^ヘ) Diklik ya tanda bintangnya, thankyou!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Pada 3 Juni 2020 aku publish cerita ini di Dreame dan meng-cut sebagian kontennya di Wattpad. Tapi karena kontrak dengan Dreame usai, aku memutuskan untuk re-publish Marry Me if You Dare di Wattpad pada hari ini 20 Maret 2024


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro