(30) You Have to Move On

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Puji syukur tetep bisa update weekend di antara tugas yang mencekam minggu ini. Semoga ga mengecewakan ya. Happy Reading!

***


Seharusnya, aku berhenti berharap

Karena harapan yang paling sering melukaiku

Seperti kamu

Mata Ify mengerjap, apa yang dilihatnya masih buram keseluruhan, namun hidungnya menghirup aroma yang dia benci. Bau rumah sakit. Ify semakin yakin dia sedang berada di rumah sakit, ketika merasakan sesuatu menempel di punggung tangan kirinya, jarum infus yang entah sejak kapan berada di sana. Dia memejamkan kembali matanya, hal terakhir yang diingatnya adalah ketika dia berlari ke kamar mandi untuk buang air, kemudian gelap. Samar-samar dia mendengar suara Sivia yang tidak jelas, lalu dia tak berhasil mengingat apa pun lagi.

Sesuatu yang mengurung jemari tangan kanannya membuat fokus Ify teralih. Napasnya sempat tertahan selama tiga detik ketika mendapati sosok asing yang tengah tertidur, dengan posisi kepala yang membelakangi wajahnya.

Senyum Ify sempat terkembang ketika mengira bahwa sosok itu adalah Alvin. Namun, saat kepalanya bergerak dan irisnya berserobok dengan mata Ify. Lagi-lagi, rasa kecewalah yang dia dapat.

"Kamu udah sadar?" tanya Trio dengan mata terbelalak. "Aku panggil dok−"

"Kenapa kamu di sini?" potong Ify cepat, dengan suara lemah.

Trio memutuskan untuk kembali duduk setelah urung menekan tombol darurat pemanggil petugas medis.

"Saat aku telepon kamu, Sivia menjawabnya dengan panik dan bilang kalau kamu pingsan di kamar mandi. Jadi, aku minta dia untuk bawa kamu ke Rumah Sakit ini, karena aku kenal dengan pemiliknya."

Ify terdiam sesaat sebelum kembali bicara, menyuarakan semua kebingungannya akan takdir di dalam hati. Mengapa harus Trio ketimbang Alvin yang menemaninya di saat seperti ini?

"Jam berapa, kamu telepon?"

"Sekitar jam dua belas," jawab Trio tenang, seolah apa yang dilakukannya merupakan suatu hal yang lazim.

"Kamu nelepon aku, serasa nelepon delivery order makanan, ya?"

Trio tersenyum sebentar, tidak habis pikir dengan gadis yang masih bisa melempar lelucon di saat sakit begini. "Aku panggil dokter dulu."

"Sekarang jam berapa?" tanya Ify yang kembali mengurungkan niat Trio untuk menekan tombol.

Trio meraih ponselnya di atas laci samping ranjang rawat Ify dan melihatnya sekilas sebelum meletakkan benda pintar itu kembali di tempatnya semula. "Jam empat lebih sepuluh menit."

"Nggak usah, aku nggak apa-apa, kasian mereka yang jaga malam, mungkin lagi curi waktu untuk tidur," kata Ify sambil berusaha mendudukkan dirinya, yang langsung dibantu oleh Trio dengan menegakkan bantal sebagai alas untuk punggung Ify.

Mata Ify menyipit ketika mendapati sosok yang tak asing baginya sedang tertidur di atas sofa dekat pintu, tidak jauh dari sebelah kiri ranjangnya. "Sivia?" gumam Ify terharu, sahabatnya itu tetap berada di sini meski sudah ada Trio yang menemaninya.

"Dia nggak mau pulang, padahal aku sudah bilang bakal jaga kamu malam ini dan dia bisa ke sini besok pagi. Setelah dokter bilang kamu perlu CT Scan, dia jadi makin cemas dan memilih untuk menginap."

Ify menghela napas, kemudian mengalihkan pandangnya ke arah Trio. "Harusnya kalian berdua pulang. Aku sendiri juga nggak apa-apa."

"Fy..." Trio kehilangan suaranya. Dia mengerti dengan jelas posisi Ify saat ini. Ify ingin sendiri. Tapi yang selalu Trio rasakan dalam kesendiriannya selama ini adalah sepi. Sepi yang semakin membuatnya kehilangan akal hingga memilih untuk... mencoba mengakhiri semuanya, yang untungnya digagalkan oleh takdir Tuhan.

"Katakan, kenapa kamu sebodoh itu, sampai makan ayam yang paling pedas?" Trio menggenggam jemari tangan kanan Ify, seolah memberikan keyakinan bahwa Trio siap mendengarkan semua beban pikiran gadis pandabloodnya. "Kalau Dara tahu soal ini, mungkin dia akan mati-matian membuat restoran itu bangkrut."

Ify mendelik. "Bohong!" kata Ify panik. Restoran itu termasuk ke dalam restoran ayam favoritnya, jika sampai tempat makan itu tutup, maka berkurang satu sumber kebahagiaan Ify di kota ini.

"Aku serius, Fy. Jadi, cerita sama aku... atau kamu nggak akan bisa makan ayam saus keju yang pedasnya bikin kamu masuk rumah sakit itu."

Ify menelan ludahnya. Bagian mana yang bisa dia beberkan pada Trio? Dia yang menyukai Alvin? Alvin yang memberinya semangat untuk hidup menjadi lebih baik? Alvin yang memberinya kebahagiaan walaupun harus sepaket dengan kesedihan? Atau... Alvinnya yang mulai berubah menjadi Alvin yang tidak dia kenal?

"Aku pasti bisa bantu kamu, Fy. Jadi ceri−"

"Nggak," potong Ify langsung. Dia menggeleng dengan sorot mata yang sulit Trio artikan. "Kamu nggak akan bisa bantu Trio."

"Oke, restoran itu akan tutup minggu depan," kata Trio sambil meraih ponselnya dan mulai menekan tombol.

Melihatnya Ify panik setengah mati. "Trio," panggilnya, namun tidak diacuhkan Trio yang kini sudah menempelkan telepon itu di telinga kirinya.

"Mana Kak Dara?" Samar-samar, Ify mendengar suara Harry di ujung sambungan. "Bangunkan, aku mau bica−"

Ify langsung merebut ponsel itu secara paksa membuat Trio melotot ke arahnya. Tangan kanan Ify segera memutuskan sambungan dan mematikan teleponnya. Kemudian menyimpan ponsel Trio di bawah pantat sebelah kirinya.

"Sepertinya kamu udah sehat, ya," sarkas Trio sambil memerhatikan wajah panik Ify yang agak pucat.

"Aku bertengkar..." Ify menatap iris Trio sambil membulatkan telapak tangan kanannya, menahan takut. Mata Trio masih memperhatikan dirinya yang menggantungkan ucapan. Ify kira, Trio akan tidak sabar menunggunya bicara dan mulai menebak, tapi tidak, lelaki itu tetap bergeming dengan pandangan menuntut. "...dengan Alvin."

Trio mendengkus. Dia tidak bisa membayangkan pertengkaran jenis apa yang sudah terjadi di antara mereka, hingga Ify sampai berbuat setolol itu dan membuatnya harus dirawat inap dengan diagnosa tekanan darah rendah dan masalah lambung akibat makanan super pedas yang dikonsumsinya.

Hati Ify terpilin ketika melihat Trio yang tiba-tiba saja berdiri, kemudian berjalan meninggalkannya tanpa suara begitu saja. Apa ini? Kenapa Trio tidak berkomentar apa-apa dan memilih untuk meninggalkannya? Apakah... apakah Ify memang tidak cukup berarti bagi mereka? Hingga membuat kedua lelaki itu begitu mudah meninggalkan Ify di saat seperti ini?

Tunggu....

....

Ify terdiam.

Apa itu barusan?

Dia sedih karena Trio meninggalkannya?

Bukankah itu yang diinginkan Ify? Sendiri tanpa siapa pun di ruangan ini? Tapi, mengapa... mengapa hatinya terasa seperti dihantam godam? Dan rasanya... sesakit ketika Alvin mengatakan dirinya adalah gadis murahan.

***

"Kayaknya, lo harus move on sekarang deh, Fy."

Perkataan Sivia membuat Ify berhenti menyendokkan makanan tanpa penyedap itu ke dalam mulutnya. Setelah sebelumnya Trio datang bersamaan dengan perawat yang memberikan sarapan. Sivia mewakili keingintahuan Ify mengenai kemana lelaki itu pergi sejak pukul setengah lima hingga sekarang ini, pukul enam tiga puluh, jadwal sarapan para pasien. Jawaban Trio tentang mengurus bisnis membuat Ify yakin bahwa ungkapan suka Trio padanya hanyalah omong kosong. Tidak ada orang yang tega meninggalkan gadis yang disukainya, hanya untuk urusan bisnis.

"Trio memang ninggalin lo selama dua jam, tapi dari yang gue denger, dia−"

"Denger?" Jangan-jangan, Sivia pura-pura tidur pas Trio ngancem mau nutup Ricis?

Sivia memajukan badannya, setelah menoleh ke arah pintu terlebih dahulu. "Gue denger tadi di luar, kalau Trio batalin semua jadwal kerja dia selama dua hari ke depan. Bahkan, dia sempet nelepon pake bahasa Mandarin... eh... iya, pokoknya bahasa asing gitu."

Ify melihat ada tebersit kekaguman dan rasa iri di kedua mata Sivia.

"Gue memang belum pernah ketemu Alvin sih, tapi, gue sebel sama dia deh, Fy. Masa gue kabarin dia kalau lo di rawat di rumah sakit, dia masih nggak nelepon juga sampe jam segini. Jenguk apalagi."

Ify mengernyit. "Ngabarin?"

"Iya, gue buka HP lo, terus gue SMS Alvinnya, tapi mana? Sampe sekarang batang hidungnya nggak kelihatan, nelepon juga nggak. Ih, cowok kayak gitu, kok disayang sih, Fy?" tanya Sivia sebal. Dia tahu temannya itu sedang sakit, tapi kondisinya sudah cukup siap untuk menerima masukannya yang bisa membawa hidup Ify ke arah yang−mungkin−lebih baik.

"Gue lihat-lihat, malah Trio yang kayak suami siaga gitu. Gue udah suruh dia pulang setelah bayar administrasi−"

"Dia yang bayar, Vi?" tanya Ify dengan pelupuk melebar. "Bukan lo?"

"Hellow, Ify Axelle!" sahut Sivia dengan logat kekinian. "Ini ruang VVIP, dan lo juga di-CT Scan. Menurut lo, duit seorang guru cukup, hah? Ini rumah sakit swasta, bukan RSUD."

Ify menelan ludah. Utang darahnya pada Udara Shuwan telah dibayar dengan pekerjaan. Lalu, bagaimana Ify membayar kebaikan Trio sekarang?

"Udah nggak usah dipikirin, paling-paling Trio minta lo sebagai istri buat balas budi," celetuk Sivia membuat mulut Ify terbuka lebar, speechless dengan jalan pikiran sahabatnya yang mulai menyebalkan.

Namun, saat matanya mendapati sosok yang sibukdibicarakan Sivia sudah berdiri di depan pintu yang terbuka dengandua orang lain di belakangnya. Ify tahu bahwaharga dirinya tengahdihancurkan lagi, untuk kesekian kalinya.


BERSAMBUNG

Horaaaaay, udah tembus part 30. Semoga ga pada bosen ya, sekitar 10 part lagi sih tamatnya.

Ditunggu tanda Bintang dan komentar ya teman-teman.
☆ヘ(^_^ヘ)

See you next part!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Pada 3 Juni 2020 aku publish cerita ini di Dreame dan meng-cut sebagian kontennya di Wattpad. Tapi karena kontrak dengan Dreame usai, aku memutuskan untuk re-publish Marry Me if You Dare di Wattpad pada hari ini 20 Maret 2024Selamat baca ulang untuk followers lamaku, dan halo salam kenal untuk followers baru(^_^)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro