(38.1) Ify Axelle

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ada waktu kosong dari Rabu, jadi aku pakai untuk lebih produktif dalam menyelesaikan MMIYD. Semoga ga mengecewakan ya.

Happy reading!
.
.
.

Part 38.1 – Ify Axelle
.
.

Aku tidak takut mati

Aku takut ditinggal pergi

Aku lebih takut,mereka mengetahui semua yang kututupi

.

"I dare," jawab Trio seketika berdiri dari duduknya. Membuat Ify terpaksa mendongak untuk membalas tatapan lelaki jangkung di hadapannya itu. "I dare, and lets's marry," lanjut Trio tanpa berkedip.

Ify sempat bergeming selama lima detik, terpana dengan apa yang baru saja masuk ke dalam lubang telinganya. Tapi ketika kesadaran itu kembali, Ify membalikkan tubuhnya cepat dan menghampiri meja yang diduduki SISA-an.

"Ganteng banget, Fy, sumpah!" kata Sania nyaris berseru. "Lo yakin nggak mau sama dia?" Sania seolah tak bisa membaca raut wajah Ify yang begitu kaku dan mulai memerah, menahan malu... atau marah?

"Ambil aja," jawab Ify dengan suara berat. Tangannya meraih ponsel di atas meja dan sling bag-nya yang berada di kursi. "Gue duluan, kasih tahu gue harus transfer ke siapa nanti malam."

Ify berjalan cepat meninggalkan Sania yang heran, Agnes yang syok dan Sivia yang panik. Ify marah, amat marah hingga gadis itu bahkan tak mau menatap mata teman-temannya.

"Gue harus susul Ify," kata Sivia yang juga meraih tasnya, kemudian berlari mengejar Ify yang sudah menghilang dari pandangan.

"Tagihannya?" tanya Sania tak tahu situasi.

"Lo yang bayar." Agnes bergegas menyusul Sivia dan Ify. Dua orang itu tidak pernah bertengkar selama kuliah dulu, jika sekarang mereka bertengkar. Entah apa yang akan terjadi pada gedung kampus ini. Setidaknya itu yang Agnes pikirkan, mengingat hubungan keduanya sudah terlihat aneh sejak pertemuan mereka direncanakan melalui grup chat.

"Ya ampun, kok jadi gue yang bayar semua?" gerutu Sania melihat bukti "perampokan" yang dilakukan teman-temannya di atas meja.

***

"Ify!" seruan Sivia berhasil membuat jalan cepat gadis itu terhenti. Sivia menahan napasnya ketika Ify membalikkan tubuhnya menjadi menghadap Sivia secara mengejutkan. Tamatlah riwayatmu, Sivia. Sahabatmu benar-benar marah sekarang.

"Lo kasih tahu dia, kan?" tanya Ify langsung dengan iris matanya yang kian memerah.

Sivia mencoba mendekati Ify dan hendak meraih tangannya. "I-Ify... dengar dulu−"

Refleks, Ify melangkah mundur. "Lo menyetujui dia untuk deketin gue, nggak heran kalau lo melakukannya, lagi." Ify sengaja menekankan kata terakhir, dia yakin betul Sivia mengerti apa maksud ucapannya itu.

"Ify..." Sivia ingin melontarkan maaf. Tapi dia tahu mungkin kali ini tindakannya tak dapat dimaafkan. Lagipula, memaafkan kesalahan yang sama pada orang yang sama pula, merupakan sebuah kebodohan besar.

"Apa lagi?" potong Ify dengan kelopak mata yang melebar, rahangnya terlihat mengeras, kedua tangannya pun mengepal sempurna hingga menampakkan buku-buku jarinya. "Trio bilang dia masuk ke sini karena uang. Apa itu masuk akal? Satu-satunya yang paling masuk akal adalah lo! Lo udah membocorkan tempat pertemuan kita−"

"Nggak begitu." Suara maskulin yang sangat familier di telinga Ify dan Sivia menginterupsi. Trio terlihat berjalan melewati Agnes yang seolah membeku di tempatnya, menghampiri Sivia dan Ify yang sedang berhadapan dengan aura yang sangat mengerikan. "Kamu harusnya tetap percaya sama sahabatmu apa pun yang terjadi, Ify."

Ify menatap Trio sekilas, lalu menatap Sivia hingga membuat tubuh gadis itu terasa menggigil seketika. "We're done, Sivia."

Sivia langsung merasa bahwa ada jutaan batu tak kasat mata yang sedang menimpanya saat ini. Terutama ketika Ify Axelle memilih untuk berlari meninggalkannya yang sama sekali tak dapat bergerak.

"Give her time." Kemudian Trio menyusul Ify yang berlari dan semakin menjauh dari pandangan Sivia.

"Sebenarnya, kalian kenapa sih?" Suara Agnes membuat Sivia seolah mendapati kesadarannya. Ketika gadis itu memandangi Agnes tanpa komentar, Agnes menghela napasnya panjang. Butuh kesabaran ekstra untuk meyakinkan seseorang bercerita dan Agnes sedang merasakannya sekarang.

Sivia menatap kosong area di depannya, membayangkan kembali bagaimana ekspresi kemarahan sahabatnya itu padanya. "Ify... dia nggak pernah mengizinkan orang lain masuk terlalu dalam ke kehidupan dia. Dan saat ada orang yang berusaha mendobrak pintu yang selama ini Ify tutup, Ify akan marah. Tapi...."

Agnes kembali menghela napasnya. Dia berusaha menyabarkan diri jika ingin mengetahui apa yang menyebabkan kejadian tadi terjadi.

"Gue, yang sejatinya sudah berada dalam kehidupan Ify, justru memaksa dia untuk menerima lagi orang baru. Dan orang itu adalah orang yang mengejar Ify.... Bosnya.... Lelaki yang menyukai dia." Sivia menolehkan kepalanya ke kanan dan menatap Agnes lekat-lekat. "Trio Langit Shuwan."

***

Ify beruntung saat menyadari bahwa tidak Sivia maupun Trio mengejarnya sampai ke pinggir jalan. Setidaknya, Ify mendapatkan waktunya sendiri untuk berpikir jernih. Dia menelan ludahnya lagi, tenggorokannya terasa begitu kering. Kenapa dia harus mendebat Sivia untuk hal yang bahkan belum dia ketahui kebenarannya? Tuhan.... Kenapa aku bisa semudah itu marah sekarang? Apa ini karena Alvin lagi?

Ify menyentakkan kakinya kesal. Tak memedulikan orang-orang di sekitar yang memerhatikannya dengan alis menyatu. Ketika matanya melihat penampakan taksi berwarna putih dari kejauhan, dia pun memajukan dirinya selangkah ke depan sambil mengulurkan tangannya, memberi tanda agar taksi itu berhenti.

Ify mendesah lega ketika taksi itu berhenti tepat di depannya, namun otaknya mendadak kosong saat seorang wanita berpakaian formal membuka pintu taksi terlebih dahulu dan masuk ke dalamnya.

Tanpa menunggu, Ify mengulurkan tangannya lagi hendak menarik gagang pintu namun nahas, taksi itu telah berjalan lebih dulu, membuat Ify kehilangan keseimbangannya. Untungnya, sebuah uluran tangan kekar dapat menahan pinggang Ify, sehingga gadis itu tidak tersungkur ke atas aspal dan ditertawakan semua orang.

"Kamu nggak apa-apa?" Suara itu jelas sangat familier bagi Ify, dia buru-buru menegakkan tubuhnya dan bersikap seolah tidak terjadi apa pun. Bahkan dia menggeser tubuhnya ke kiri sebanyak dua langkah, membuat Trio harus menahan senyumnya.

"Aku bawa mobil," ujar Trio yang terdengar seperti sedang memamerkan diri.

Siapa juga yang peduli? Mobil kek, andong kek! Terserah!

"Aku nggak yakin kamu akan dapat taksi menjelang jam makan siang begini." Trio masih tidak menyerah, jika akal sehat Ify masih berfungsi, semarah-marahnya gadis itu. Dia pasti akan tetap membiarkan Trio mengantarnya pulang.

"Aku bercanda padamu soal pernikahan, tapi... kurasa akan menyenangkan kalau bisa hadir ke acara Alvin dan Fara bersama seorang gadis cantik."

Dia... diundang? Ify mencuri pandang ke arah Trio yang sedang sibuk memainkan kakinya saat ini. Seperti mendapatkan sinyal bahwa sedang diperhatikan, Trio mendadak mengubah pandangannya dari trotoar yang sedang dipijaknya ke sebelah kiri, melemparkan senyum pada gadis yang jelas-jelas tertarik dengan pembicaraan, namun berpura-pura dalam keterdiaman.

Refleks, Ify memanjangkan lehernya, bertingkah seolah mencari taksi dari kejauhan tanpa bersuara. Tatapan Trio yang terus melekat padanya membuat Ify tidak tahan lagi. Dia pun menatap balik Trio dengan tatapan tertajam yang dia bisa.

"Maumu apa sih?!" seru Ify membuat Trio tersenyum memohon maklum pada orang-orang di sekitar. "Penguntit, tukang nguping, sekarang apa lagi?"

"Sopir?" Bibir Trio masih terus melengkung, "aku antar kamu pulang, dan kita bisa bicara−"

"Kita nggak perlu bicara," tukas Ify. Dia bersyukur melihat ada sebuah taksi yang mendekat, kali ini berwarna biru. Oh... Alhamdulillah. Ify memajukan tubuhnya lagi sambil melambaikan tangan, memberi tanda agar taksi itu berhenti, namun....

Trio tak bisa menahan dengkusnya sambil tersenyum lebar, hingga gigi bagian atasnya terlihat. Taksi biru itu terlihat seperti akan berhenti di depan Ify. Nyatanya, dia justru memilih untuk berhenti di depan tiga orang wanita berpakaian formal yang juga tengah berdiri tak jauh dari mereka.

"Apa kubilang, ini menjelang makan siang. Sopir taksi lebih berminat mengantar−"

"Di mana mobilmu?" sela Ify memotong perkataan Trio.

Trio memandang Ify seolah-olah tak mengerti dengan apa yang Ify katakan barusan. Alis kanan Trio terlihat meninggi, memberikan Ify kode untuk mengatakannya dengan lebih terperinci.

"Aish..," desis Ify sebal. Dia memalingkan wajahnya terlebih dulu sambil menggerutu dengan suara yang jelas-jelas dapat didengar Trio. "Aku sudah bilang harusnya dia pergi ke THT, telinganya pasti rusak."

"Apa?" tanya Trio dengan sengaja. "Apa yang rusak?"

"Otakmu!" Ify menghentakan kakinya setelah mengumpat pada makhluk jangkung berparas rupawan itu dan berjalan kembali ke gedung kampus.

***

"Langit, lama tidak berjumpa!"

Ify menatap sosok pria paruh baya yang dikenalnya sebagai Rektor Kampus tengah berdiri di dekat sedan Trio. Tangannya terulur ke arah lelaki yang berjalan di sebelah kanannya dengan bibir yang melengkung dan matanya yang menyipit, pria itu terlihat sangat senang bisa bertemu Trio meski harus menunggu.

"Ada urusan apa datang ke sini?" lanjutnya setelah Trio melepaskan jabat tangan mereka yang cukup singkat.

Ify menyadari Pak Rektor itu sekilas melirik ke arahnya, sebelum kembali bertanya dengan bibir yang lagi-lagi tersenyum.

"Hanya menjemput seseorang yang saya kenal. Pak Yudea tak perlu repot-repot menunggu saya di basement seperti ini."

Pak Yudea kini tersenyum penuh arti ke arah Ify, jenis senyum yang tidak Ify sukai karena banyak pertanyaan penuh jebakan yang biasa muncul setelahnya.

"Pacarmu?"

Benar kan? Ify membatin tak senang. Dia berharap Trio masih cukup waras untuk tidak mengatakan hal-hal yang akan memancing kemarahan Ify di depan Rektor Kampusnya.

"Saya seperti tidak asing denganmu, apa kita pernah bertemu, Nona?"

Tentu saja! Bapak kan yang memindahkan tali di topi toga yang aku pakai pas wisuda.

"Pak Yudea, maaf, tapi kami sedang buru-buru," kata Trio mengambil alih, sadar bahwa Ify tidak berniat untuk bicara, terlebih dengan Rektor yang penuh ingin tahu seperti ini.

"Ah, ya ampun, maaf Nona." Pak Yudea mengalihkan pandangannya ke Trio kembali.

"Lain kali, mampirlah ke kantorku, sejak Papamu meninggal, Dara jarang sekali datang untuk membicarakan lagi mengenai kerja sama Shuwan Grup dengan Yayasan."

Kerja sama?

"Sepertinya, sekretaris saya lupa memberi kabar. Dara tidak lagi mengurusi perusahaan. Dara harus fokus pada anaknya dan saya yang mengambil alih sepenuhnya. Jadi, mari kita atur pertemuan dalam waktu dekat." Trio mengulurkan tangan kanannya yang disambut dengan kedua tangan Pak Yudea.

"Baiklah, saya menantikan hari itu dan..." Yudea kembali melirik ke arah Ify sesaat, sebelum matanya menatap Trio penuh arti, "saya tunggu sebuah undangan segera, Presdir."

Tepat saat Ify hendak membuka mulutnya. Tangan kiri Trio memegangi bahu kiri Ify sehingga Pak Yudea menggeser dirinya agar Trio dapat membuka pintu mobil. Setelah gadis itu masuk, Trio mengitari bagian depan mobil lalu ikut masuk ke dalamnya.

Saat sudah menyalakan mesin, Trio membuka kaca jendela pintu di sebelah Ify.

Membuat Pak Yudea membungkuk untuk melihat Trio terakhir kali.

"Hati-hati di jalan Presdir, dan Nona, Anda sangat beruntung. Saya pikir saya bisa menjodohkan putri saya dengan lelaki di samping Anda. Tapi sepertinya, Presdir sudah membuat keputusan yang sangat tepat."

Pak Yudea melemparkan senyum untuk terakhir kali. Sebelum Trio berujar.... "Terimakasih Pak Yudea, kami pergi sekarang."

***


Lanjutannya di bagian 38.2 ya, part-part akhir memang lumayan panjang, jadi harus dibagi dua.

See you!

151217

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro