(4) Part of Family

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mata Ify masih terpaku pada sosok pria bersetelan kemeja putih yang lengannya digulung sesiku, tanpa sadar tangan kanan Ify mulai menyentuh perban lengan kirinya. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Alvin terus meyakinkan diri bahwa tidak ada pendarahan dari tangan Ify yang terbentur meja restoran.

Sementara Alvin masih menjawab telepon di sudut ruang penebusan obat, Dimas meremas tangannya cemas. Saat kecelakaan itu terjadi, tanpa sadar Dimas langsung menelepon atasannya, belum selesai penjelasan yang diberikan si bos sudah menutup sambungan. Ketika Dimas hendak menelepon kembali, nomor bosnya itu tidak dapat dihubungi.

Tadi, nggak dramatis, kan, ya? Biasa aja kan nyampein laporannya? pikir Dimas kalut. Kepanikan yang terjadi pada Alvin jelas menyaratkan bahwa sangat berbahaya jika Ify sampai terluka parah, untungnya saat ini gadis itu baik-baik saja, hanya lengan kirinya cedera dan perlu diperban. Masalahnya sekarang jangan sampai−

"IFY AXELLE!"

Suara melengking dengan bunyi highheels yang menggema di ruangan membuat Dimas mengusap wajahnya gusar. Tuhkan, panik juga si Dara ini.

Udara berlari menuju Ify dengan rambut yang... basah? Kenapa rambut nona pemegang saham terbesar kedua di perusahaan ini basah? Jangan bilang ketika mendapat kabar dia sedang ada di salon atau semacamnya, batin Dimas yang mau tak mau menahan tawa gelinya.

"Aku dapat kabar kalau kamu kecelakaan dan dilarikan ke rumah sakit. Kamu tahu? Aku lagi creambath pas dapat kabar itu!" Dara melirik sebal ke arah Dimas, "kalau kasih kabar itu yang detail, sana belikan aku handuk atau apapun untuk keringkan rambut!"

"Aku mau cerita lengkap, tapi adikmu langsung menutup telepon dan aku nggak bisa menghubungi dia lagi, mungkin handphonenya mati," jawab Dimas santai.

Ify melongo, kenapa Dimas bisa menjawab kritikan atasannya dengan sesantai itu? Apa mereka berteman? Dimas berdiri dari duduknya di sebelah kiri Ify dan mempersilakan Dara untuk menggantikannya duduk.

Dara mengepalkan tinjunya ke udara seolah mengancam Dimas. "Cepat beli, atau aku laporkan Bosmu!"

Sangat menarik, Dimas menurut begitu saja ketika Dara membawa-bawa kalimat bos dalam perkataannya. Sepertinya Langit ditakuti seluruh kantor, termasuk pembimbingnya itu. Dimas terlihat berlari kecil melewati Alvin yang berbalik ke arahnya, Alvin mendekati Ify dan Dara yang masih terus menerus mengoceh.

Ocehan Dara lantas terhenti ketika Alvin bersimpuh di depan Ify, seolah ingin mengikat tali sepatunya. "Kalau aku tinggal, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Alvin pelan, menyiratkan penyesalan yang dalam.

"Memang, kamu mau kemana?" tanya Ify tak rela. "Aku nggak bawa dompet," eluh Ify tak masuk akal.

"Tenang, Fy. Kesehatan kamu terjamin kok sama perusahaan," kata Dara ceria.

Ugh, bukan itu maksudnya.... Aku maunya Alvin tetep disini. Bibir Ify mengerucut.

Alvin terkekeh. "Aku senang kamu kerja di tempat yang bagus. Mana handphone kamu?"

Ify mengulurkan handphonenya tanpa berpikir lagi, Dara yang melihat itu menelengkan kepalanya. Kenapa aku merasa dua orang ini punya sesuatu yang spesial? Duh, bisa berantakan dong rencanaku, eluhnya dalam hati.

"Panggilan cepat nomor satu kamu, DARURAT? Siapa?" Alvin mendongak.

"Oh, itu admin IGD Maya di twitter, nama aslinya Karin, tapi kuubah jadi Darurat. Jadi kalau aku butuh transfusi, orang disekitarku paham bahwa si Darurat ini yang bisa tolong aku," jelas Ify panjang lebar.

Alvin mengangguk paham. "Syukurlah, kamu baik-baik aja." Tangannya terlihat mengetik sesuatu di ponsel Ify.

Aku nggak pernah seutuhnya baik-baik aja sejak kamu pergi, Vin, sejak aku tahu kalau pahlawan aku menjauh dan nggak pernah ngabarin aku... batin Ify sedih.

"Ini," kata Alvin sambil mengembalikan ponsel Ify, "aku udah save nomor aku dan jadiin nomerku sebagai panggilan cepat nomor dua, kebetulan di hotel ada pegawai AB negatif juga, dia bisa jadi jaminan kamu kalau..." Alvin terlihat enggan melanjutkannya. "Aku harap, kejadian ini nggak terulang lagi ya, Fy. Kamu harus kurangi kecerobohanmu itu."

Ify hanya mengangguk sampai tiba-tiba ada tangan yang menyentuh bahu kanannya, Ify menoleh.

"Aku udah cukup untuk jadi jaminan Ify. Kami berdua hidup untuk saling melengkapi," kata Dara yang terdengar agak ketus kali ini. "Aku juga seorang AB negatif," lanjutnya membuat Alvin mengerjap, terkejut.

"Kak Dara," peringat Ify. "Dia Alvin, sahabat kecil aku, kami udah lama nggak ketemu jadi−"

"It's okay Ify, everything will be allright," sela Dara langsung. "Oh iya... Alvin?" ucap Dara ragu sambil menelisik ukiran Tuhan pada wajah Alvin. "Bukannya tadi kamu mau pergi?"

Ify merutuk ibu muda di sebelahnya ini dalam hati, kenapa Dara harus mengusir Alvin secara terus terang begitu sih? Sudah belasan tahun Ify tidak bertemu dengan Alvin dan kejadian ini cukup menjadi bukti bahwa Alvin masih menyayangi Ify seperti dulu. Dan sialnya, momen hangat seperti ini harus dirusak oleh... kakak dari Bosnya. Ugh!

"Ah, iya!" Alvin langsung berdiri dari berlututnya sejak tadi dan mengusap puncak kepala Ify. "Aku pergi dulu ya, hotel nelepon aku, nanti malam aku hubungi."

***

Ify keluar dari bilik toilet dan mendapati Dara tengah memoles bibirnya dengan lipstick merah terang dari pantulan cermin, sambil menempelkan ponsel ke telinga kirinya.

"Dasar, kurang ajar! Kamu menyuruhku cepat-cepat ke rumah sakit untuk transfusi, nggak tahunya Ify baik-baik aja! Dimana kamu sekarang, hah!? Cepat jemput, aku nggak mau pulang sama sopir, aku maunya kamu yang datang ..... Aku tidak peduli, tinggalkan saja rapatmu itu, aku lebih penting, kan? ..... Tri− Oh, Ify, sudah selesai?" Dara langsung memutuskan sambungan teleponnya ketika melihat Ify berdiri di sebelah dan merapikan poninya.

"Kak Dara..." Ify ragu-ragu.

"Ya, honey? Kenapa?" Dara memasukkan lipstick beserta ponselnya ke dalam slingbag.

"Kenapa kak Dara datang?"

"Ahh..." Dara terkekeh. "Langit telepon, dia bilang kamu kecelakaan dan dia nggak tau pasti keadaan kamu gimana, jadi dia suruh aku yang lagi nyalon untuk nyusulin kamu ke sini. The end."

Dara mengakhiri ucapannya sambil berjalan keluar dari toilet. Ify mengikuti Dara tanpa banyak bertanya, kata the end cukup mewakili bahwa Ify-dilarang-tanya-lagi. Sebenarnya Ify masih tidak rela karena kedatangan Dara sedikit banyak menjadi alasan Alvin pergi. Seandainya saja tadi hanya ada Dimas dan Alvin, sudah pasti Alvin takkan membiarkan Ify berdua dengan cowok−yang emosinya−sedatar triplek itu.

"Kamu sama Alvin pacaran?"

Pertanyaan mendadak dari Dara membuat Ify refleks cegukan, reaksi alamiah Ify membuat Dara hanya tersenyum geli. "Kelihatannya, kamu yang suka sama Alvin. Dan Alvin−"

"Kami udah lama nggak ketemu, ini pertemuan kedua kami. Tempo hari, Alvin sibuk banget, jadi, yah..." Ify bergumam misterius. Kenapa juga aku harus kasih tahu Dara? pikir Ify malas.

"Ify," ucap Dara dengan nada serius. Ify pun menghentikan langkah dan memutar tubuhnya menghadap Dara. "Kamu tahu, ada banyak alasan mengapa dua manusia dipertemukan kembali. Tapi, sejauh yang aku pahami, nggak semua berarti bahwa kisah masa lalu bisa terulang lagi."

Ify tertegun, dia tak pernah melihat sisi kepribadian Dara yang sekarang. Selama ini yang Ify tahu, Udara Shuwan adalah wanita yang ceria dan humoris, tapi ternyata dia bisa serius juga.

"Aku tahu, cuma.... Aku nggak bisa membuat hatiku nggak berdesir setiap bertemu dia, Kak," ucap Ify begitu saja, tidak menyadari perubahan ekspresi wajah Dara sekarang.

"Tuhkan, bener! Kamu naksir sama Alvin, kan!?" Dara langsung tertawa geli dan tawanya semakin renyah ketika mendapati wajah Ify yang putih itu memerah, seperti buah tomat baru matang.

Ify memutuskan untuk berjalan meninggalkan Dara yang menyebalkan. Oke, Ify sudah termakan jebakan Dara untuk curhat. Ify bodoh, rutuknya dalam hati. Dara sialan!

Walaupun menggunakan sepatu hak tinggi, Dara tetap dapat menyusul langkah cepat Ify. "Oke, aku minta maaf. Tapi sebagai seorang kakak. Aku serius Ify, kamu nggak tahu apa saja yang sudah dilalui Alvin selama ini, tanpa kamu."

Ify membeku di tempat. Ucapan tadi benar-benar menamparnya, Ify lupa. Sudah berapa tahun Alvin menjalani hidup tanpa Ify? Tanpa mengabari Ify? Bahkan yang lebih mengerikan, mungkin selama ini... Alvin tak pernah berusaha untuk bertemu dengan Ify?

Hanya Ify saja, hanya Ify seorang yang terus berharap untuk bisa bertemu dengan Alvin dan merajut semua kisah masa kecil mereka kembali. Itu sebabnya, Alvin bisa meninggalkan Ify yang tengah terluka dengan mudah. Karena Ify tak lagi berarti bagi Alvin.

"Fy?" Dara menyadari wajah Ify terlihat kosong saat ini. Ucapannya mungkin terlalu kasar, tapi bagaimana pun juga, bukankah lebih baik hidup dalam kenyataan meski terasa berat dan menyakitkan? Daripada hidup dalam angan dan harapan manis yang sebenarnya kosong dan tak nyata. Dara tidak ingin gadis yang sudah dia anggap sebagai bagian keluarganya ini terluka. Ify dan Langit kini sama pentingnya bagi Dara.

"Aku minta maaf kalau terlalu kasar, tapi−"

"Aku harus pulang, Kak," potong Ify datar. Wajahnya yang sempat memerah tadi berubah menjadi kaku dan... matanya mulai berkaca-kaca. Retaknya hati Ify yang penuh kerinduan akhirnya bermetamorfosis menjadi lapisan bening yang siap tumpah kapan pun dari kedua jendela hati Ify itu.

"Oke, kita tunggu Langit jemput dulu, ya."

"Nggak perlu Kak, aku−"

"Allahuakbar Allahuakbar!"

"Isya," gumam Ify setelah mendengar azan dari masjid rumah sakit. "Aku harus sholat, Kak," kata Ify pada Dara yang kelopak matanya melebar.

"Oh, oke," sahut Dara. "Kalau gitu, bisa sekalian nunggu Langit, kan?"

Ify bergeming. Kemudian berjalan meninggalkan Dara tanpa pikir panjang. Waktunya menghadap Tuhan Sang Pencipta dan mengadukan semua yang berkecamuk dalam pikiran Ify. Pertanyaan yang tak bisa seorang pun jawab, mengenai dirinya... dan mungkin, juga tentang Alvin.

***

Di luar masjid, Dara dan Langit−yang sudah datang sepuluh menit lalu−duduk sambil menikmati minuman kalengnya masing-masing. Setidaknya sudah lima belas menit Ify sholat dan gadis itu belum keluar juga.

"Dengar, Ri. Ify itu keluarga kita sekarang. Dan hentikan pikiran kamu soal Ify-bank-darah-buat-Dara, ngerti?" ucap Dara ketika Langit kembali bertanya mengapa Dara begitu peduli pada Ify. Padahal selama ini, urusan utang darah hanya selesai dengan selembar cek saja.

Langit mendesah sambil melempar kaleng minumannya asal ke arah tong sampah, hingga bunyi kaleng yang masuk itu sempat mengusik pendengaran Dara yang langsung mengomel setelahnya.

"Deal. Tapi stop panggil aku 'Ri', aku nggak suka," kata Langit datar.

"Tapi itu kan nama kamu juga!" protes Dara.

"Cuma Mama yang boleh panggil aku pakai nama itu. Dan Mama udah nggak ada."

Dara tidak bisa lagi mendebat Langit, karena mendebat Langit mengenai hal ini akan sama dengan kali sebelumnya, pertengkaran, pelarian, dan pada akhirnya Dara yang harus mengemis pada Langit agar kembali pulang ke rumah mereka yang terasa sepi tanpa Langit di dalamnya.

Maafkan aku, Ri. Seandainya saja dulu aku bisa menyelamatkan saudara kembarku, maka kamu tidak akan tumbuh dalam bayang-bayang Langit.

BERSAMBUNG

Halo, pembaca!
Terimakasih sudah kembali meluangkan waktu untuk part 4 MMIYD. Diklik juga tanda bintang ★ (vote) & komentar, karena itu sangat berarti buatku. Oh, iya, karena sudah memasuki part 4, silakan jadikan MMIYD ke Reading list, jika berkenan. ♡

Sampai jumpa di part 5, ok??

Salam,
Nnisalida.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro