(8) Matchmaker II

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nona Axelle," panggilan Pak Ben membuat Ify sontak berbalik dan menggerakkan lengan kirinya terlalu keras hingga menimbulkan nyeri. "Anda akan pergi?"

"Oh." Bibir Ify refleks membulat karena terkejut, kemudian tersenyum, "Pak Langit bilang aku nggak perlu kerja, jadi aku akan pergi keluar untuk bertemu teman. Ada apa ya, Pak?"

"Kalau begitu, sopir yang akan mengantar Anda."

Ify gelagapan ketika Pak Ben mulai menggunakan sebuah alat komunikasi khusus pelayan di kediaman Shuwan untuk memanggil seorang sopir untuknya. Sebenarnya, Ify lebih nyaman naik taksi saja, tapi jika sudah begini, mau bagaimana lagi?

Sebelum memutuskan pergi keluar, Ify sempat mencari Dara dan Harry−untuk pamit−yang ternyata tengah sibuk menghabiskan waktu bersama bayi mereka yang menyilaukan, selain karena faktor nama Matahari. Di mata Ify ketampanan bayi lelaki itu benar-benar mengagumkan. Ify sempat bercengkerama dengan Matahari sampai suatu pikiran terbersit.

"Bayi ini lahir dengan sejuta keberuntungan, jika aku dekat-dekat dengannya terlalu lama, mungkin keberuntungan bayi ini akan hangus karena kesialanku."

Pikiran Ify yang merubah raut wajahnya menjadi terlihat muram itu membuat lelaki bersetelan formal di belakangnya mengernyit. Kalau tidak salah, Trio pernah mendengar bahwa bermain dengan bayi akan membawa mood yang baik bagi seseorang. Tapi kenapa Ify justru terlihat murung setelah bertemu dengan keponakannya?

"Heh."

Panggilan kasar itu lantas membuat semua pikiran menyedihkan Ify rontok seperti daun yang berguguran. Dengan malas, matanya berputar ke arah Trio yang mengenakan jas hitam dengan kemeja bermotif garis vertikal di dalamnya, lelaki itu sudah berdiri tepat di sebelah kanannya dengan wajah menyelidik.

"Aku menyuruhmu untuk nggak kerja, mau kemana kamu?"

"Bos nggak memiliki hak untuk tahu kehidupan pribadi karyawannya," sahut Ify. Dengan sengaja bergeser tiga langkah ke sebelah kiri untuk menjauhi Trio, seolah tidak ingin tertular dengan kepribadian gandanya. Dia memanggilku dengan "heh", itu berarti aku lagi ngomong sama si Trio yang sarkas, gumamnya dalam hati.

"Kamu tinggal di rumahku, secara teknis aku berhak tahu kemana kamu mau pergi dengan aset dari rumah ini. Apa aku perlu menyebutkan aset apa saja yang menempel di tubuhmu sekarang?" balas Trio dengan raut wajah datar. Namun, sorot matanya jelas mengejek Ify.

Ify melirik Trio dengan ganas. "Ini kan baju kakakmu, secara teknis juga kamu nggak berhak mengaturku karena hal ini!" balasnya tak mau kalah, tangan Ify sendiri sebenarnya sudah mulai gatal, sepertinya mencakar wajah tampan lelaki sombong ini akan lebih menyenangkan daripada sekedar berdebat.

Baru selesai Ify bicara, mobil yang dimaksud Pak Ben beserta sopir yang siap mengantar Ify datang. Melihatnya membuat Trio diam-diam tersenyum puas.

"Dan ini adalah mobil koleksiku, jadi aku berhak tahu mau kemana kamu membawa mobilku," ungkapnya pongah.

"Hah." Mulut Ify terbuka lebar meratapi kekalahannya, "Pak, apa nggak ada mobil lain? Mobil kak Dara mungkin?" tanya Ify pada seorang sopir yang berlari kecil menghampirinya.

"Tapi, saya diminta Pak Ben untuk pakai mobil ini, Non."

Tanpa disadari Ify, Trio lagi-lagi tersenyum senang. Melihat gadis ini uring-uringan karenanya mungkin akan menjadi kebiasaan barunya. Karena tidak mungkin lagi baginya untuk mengganggu Harry, pria "pencuri" itu sudah memiliki tanggung jawab baru dalam hidupnya.

"Heh. Mau kemana kamu, jawab dulu!" Ify berjalan masuk ke dalam mobil di tengah lamunan Trio. "Cih, dia pikir dia bisa sembunyikan sesuatu dariku," gumamnya sambil melihat mobil sedan itu keluar dari rumahnya.

***

Ify memonyongkan bibirnya sambil terus menggerutu sepanjang mobil berjalan di area kompleks perumahan, bagaimana bisa hidupnya yang sudah rumit akibat darah AB negatifnya ini membawanya bertemu orang sejenis Trio?

Kadang begini, kadang begitu. Ify bisa-bisa ikutan jadi gila kalau terus berinteraksi dengannya. Bagaimanapun caranya, Ify harus hengkang dari rumah mewah keluarga Shuwan. Hidup Cinderella di kehidupan nyata seperti ini rupanya. Tidak waras!

"Non," sapaan sopir itu membuat Ify berhenti dengan segala sumpah serapahnya untuk Trio di dalam pikiran. "Saya senang, Non bisa buat Den Trio jadi seperti dulu."

Heh? Alis Ify mengkerut. "Maksudnya, Pak?"

"Sebelum Nyonya dan Tuan Langit meninggal. Tuan Trio pas kecil itu usil banget, jahilin Non Dara melulu deh, Non. Tuan Trio berhenti usil kalau Non Daranya udah hampir nangis dan mau ngadu ke Nyonya."

Ify bergeming. Mendengar perkataan sopirnya ini membuat timbul sedikit rasa kasihan untuk Trio, walau setelah itu belas kasihannya menghilang ketika menyadari satu hal.

"Tapi, nggak saya juga dong, Pak! Saya baru kenal keluarga mereka kan belum lama, masa udah dijadiin bahan usilan," eluh Ify tidak terima. Emang gue siapanya Trio? Huh!

"Dulu tuh ya, Non," lanjut sopir itu tak mengindahkan keluhan Ify. "Tuan Langit dan Tuan besar dilayani oleh Pak Ben. Karena sifat mereka yang−maaf ya Non−kaku banget. Pak Ben jadi ketularan kaku juga kayak Tuannya."

Nah, kan! Sifat kaku itu menular! Gue nggak boleh keseringan deket-deket sama Trio!

"Trus, Non Dara sama Nyonya dilayani sama pelayan perempuan yang sama. Berhubung Nyonya dan Non Dara nggak terlalu kaku dan orangnya juga ramah, si pelayan itu juga jadi betah dan normal-normal aja."

"Hm..." Ify bergumam malas. Sekarang yang ada di pikirannya adalah apa tujuan sebenarnya si sopir ini menceritakan sejarah keluarga Shuwan padanya?

"Pas Tuan Trio lahir, saya yang dipercayakan untuk melayani dan bermain sama Tuan Trio. Sampai... ya itu, Non..."

Ucapan si sopir yang menggantung membuat Ify mau tak mau jadi penasaran juga, apalagi ada nama si Bos Kaku di dalamnya.

"Itu apa, Pak?" tanya Ify mencoba tidak terdengar terlalu penasaran.

"Tuan Trio mulai aneh pas Tuan Langit dan Nyonya meninggal. Misalnya, jadi sering ke kamar Tuan Langit malam-malam pas semua orang tidur, trus makan makanan favoritnya Tuan Langit walaupun Tuan Trio nggak suka, baca ensiklopedia koleksinya Tuan Langit. Sampai pada akhirnya, Tuan Trio sendiri yang minta ganti pelayan pribadi, Non."

Ify mengedipkan mata, mencoba untuk mencerna semua perkataan sopir itu yang mirip sales saat sedang menawarkan produknya. Tunggu, pikir Ify. Kok kayaknya aku mulai paham kemana arah pembicaraan ini ya?

"Jadi, Pak Ujang ini digantikan sama Pak Ben gitu?" Ify mencoba menarik kesimpulan.

"Betul, Non!" sahut sopir yang bernama Ujang itu dengan semangat. "Saya langsung turun pangkat, dari pelayan yang gajinya lumayan, jadi sopir yang gajinya pas-pasan, huhu... Sedih deh, Non, saya," curhatnya dengan nada seolah sedang menangis. Ya Tuhan!

Ya ampun! Kukira, ada info penting apa gitu tentang Trio. Eh, kenapa aku jadi seolah kecanduan gini buat tahu sesuatu tentang Trio, ya? Gak bener nih! Ify menggelengkan kepalanya, berharap agar pikiran bodohnya itu lenyap.

"Tapi...." Nada suara pak Ujang mendadak jadi serius. "Saya senang, Tuan Trio nggak benar-benar berubah jadi mirip Tuan Langit, Non. Karena setiap Tuan Trio bertingkah seperti Tuan Langit, saya seperti merasa, Tuan Langit kembali hadir di rumah itu dengan menyingkirkan sosok Tuan Trio, Non."

DEG! Mendadak, hati Ify terasa nyeri mendengar perkataan itu.

Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mengendalikan rasa sedihnya, atau rasa takutnya. Tapi, jika Trio memutuskan untuk menciptakan sosok Langit di dalam dirinya. Ify rasa, itu cara yang tidak sehat dan mengancam hidup Trio sendiri.

Tanpa Ify sadari. Rasa belas kasih itu kini benar-benar melekat di benaknya.

***

"Ih, jorok!" seru Ify ketika Sivia menyemburkan Es Jeruk Pontianak dari mulutnya setelah mendengar kisah mengenai Trio. Untung kafe ala penjara ini lagi sepi pengunjung, kalau tidak, Ify mungkin sudah lari meninggalkan temannya ini.

"Jadi, kesimpulannya dia itu punya kelainan kepribadian?" tanya Sivia setelah mengelap bibirnya dengan tisu.

Ify menggeleng. "Mungkin, tapi sepertinya belum parah. Eh, nggak tau juga sih, gue kan kenal belum lama."

"Itu nggak bisa dibiarin tau, Fy! Walau pun gue dan lo sama-sama bukan dokter atau psikolog, tapi denger cerita Pak Ujang bikin gue merinding!" seru Sivia sambil mengusap kedua lengannya.

"Apa... itu cara dia buat ngilangin kesedihan karena kehilangan kakak ya, Vi?"

"Hm..." gumam Sivia dengan wajah berpikirnya, "mungkin sih, Papanya juga nambahin nama dia jadi Trio Langit, kan? Itu bisa jadi faktor pendorong buat Trio menghidupkan Langit di dalam tubuhnya. Tapi, Fy... lo yakin nggak suka sama Trio?" tanya Sivia dengan mata kanannya yang menyipit.

"Dih, apaan sih!" seru Ify tak terima. "Ogah bener!"

"Siapa tahu kan, lo udah bosan sama Alvin trus−"

"Oh, iya!" sela Ify semangat, membuat Sivia lagi-lagi tersedak, untung kali ini tidak keluar lagi isi mulutnya. "Alvin..." gumam Ify membuat Sivia memajukan duduknya. "Gue nggak tahu gimana bisa dekat lagi sama dia, Vi. Dia kelihatan masih care sih sama gue pas di rumah sakit, tapi... intensitasnya kayak berkurang gitu," ujar Ify sambil mengaduk Yin Yang Teanya.

"Lo, nanya cara supaya bisa deket sama cowok ke gue? Lo sakit ya, Fy?"

"Lho, kenapa?" tanya Ify bingung.

Sivia berdecak, karena kesal dengan temannya yang jadi bodoh saat galau, dia pun memilih untuk menyuapkan dulu Mie Penjaranya.

"Ah, pasti karena lo sendiri sampe lulus juga nggak bisa deket kan sama kak Dimas?" tebak Ify yang lagi-lagi membuat Sivia tersedak.

"Bisa nggak, kalau ngomong nggak usah sejelas itu?" tegur Sivia sensi. "Menurut gue sih ya, itu karena kalian udah lama nggak ketemu aja. Coba lo buat pertemuan, trus bahas soal masa kecil kalian yang−menurut versi lo itu−unforgettable. Siapa tahu, itu bisa buat Alvin jadi seperti yang dulu, siapa tahu lho ya, jangan berharap banyak dulu, Fy. Usaha yang keras, tapi jangan berharap, soalnya kalau usaha kita udah keras dan harapan kita juga tinggi, pas hasilnya nggak sesuai keinginan, sedihnya... khan maen!" jelas Sivia dengan wajah seriusnya, lalu dia kembali menyuapkan mie dan membiarkan Ify mencerna baik-baik perkataannya.

"Ah, soal ide gila lo buat jodohin gue sama kak Dimas. Gue sih nggak nolak, tapi−"

"Tapi?" tanya Ify. Dilihatnya wajah Sivia yang mendadak jadi mendung.

"As I said before, gue nggak mau berharap apa-apa. Jadi, lakukan yang mau lo lakukan, gue punya prinsip, kalau jodoh itu nggak akan kemana, dan−"

"Perempuan itu takdirnya dilamar, bukan ngelamar. Iya, kan? Udah hapal gue, Vi."

Sivia dan Ify kemudian tertawa bersama dan memutuskan untuk menyudahi obrolan berat mereka yang membuat pesanannya sudah menangis dan bersorak "Kapan kami dimakan wahai manusiaaa???"

***

"Katanya Non gak kerja, kok kita ke SKO, Non?" tanya Pak Ujang ketika Ify memintanya memberhentikan mobil di dekat gerbang kantor keluarga Shuwan itu.

"Sssst, ini rahasia antara pak Ujang sama Ify, ok?" Setelah mendapatkan anggukan yang tidak begitu meyakinkan dari sopirnya, Ify membuka pintu mobil dan keluar, melihat keadaan halaman kantor di balik semak. Diliriknya arloji di pergelangan kirinya. Menurut informasi dari Ila, hari ini Dimas akan keluar kantor pukul dua siang.

"Nah, itu dia!" gumam Ify antusias ketika mendapati mobil Dimas terlihat dan berjalan ke arah gerbang, tanpa pikir panjang lagi, Ify berjingkat ke arah mobil dan masuk di bagian kursi penumpang sebelah sopir. "Ayo Pak Ujang, ikuti mobil itu! Cepet!" titahnya sambil mengibaskan tangan ke bahu Pak Ujang, matanya masih tertuju ke arah mobil Dimas yang semakin menjauh.

Mobil yang tak kunjung jalan, ditambah dengan kebisuan Pak Ujang membuat Ify menolehkan kepalanya, tidak sabar. "Pak U− HWAAAA!!" seru Ify, saking kagetnya dia sampai membenturkan tubuhnya ke pintu mobil. "Ke-kenapa, Pak Ujang berubah?" gumamnya dengan mata berkedip-kedip heran.

Melihat ekspresi wajah Ify, ditambah dengan mulut gadis itu yang tak kunjung menutup membuat Trio tak bisa menahan senyum gelinya.

"Non," panggilan pelan dari arah kursi penumpang di belakang sontak membuat Ify menoleh. Pak Ujang hanya bisa tersenyum sarat permohonan maaf.

Ah, dasar cowok aneh sialan! Gagal kan aku ngikutin− Eh...

Trio tiba-tiba saja menghidupkan mesin dan mengikuti mobil Dimas pergi. Ify yang tadinya ingin bertanya bagaimana bisa makhluk di sebelahnya itu muncul mengurungkan diri. Visi utamanya kali ini adalah mencari tahu, apakah Dimas dan Sivia layak untuk dijadikan satu atau tidak.

"Mau kemana sih?" gumam Ify sambil menggigit kuku ibu jari kanannya.

Trio melirik sekilas dan berbisik. "Kencan, mungkin."

"Kencan?" tanya Ify nyaris menjerit. "Ih, nggak boleh! Kak Dimas nggak boleh kencan dong! Dia harusnya itu gentle, kalau suka lamar, masa− Ah, lupakan." Sadar bahwa seorang Trio mungkin tidak mengerti bagaimana percintaan diatur dalam agamanya, Ify memilih untuk diam.

"Kenapa kamu mengatur kehidupan orang?"

"Kenapa kamu mau tahu?"

"Karena ini mobilku."

Ify mengerang dalam hati, kalau bukan tangan kirinya yang cedera, Ify tidak akan berpikir dua kali untuk menjabak rambut dan mulut lelaki di sebelahnya ini. "Turunin gue!" serunya kesal.

"Cih, siapa kamu bisa mengaturku?"

Ify mendelik. "Hah, terserah deh!"

Pak Ujang hanya bisa terkekeh sendiri melihat tingkah tuannya yang terlihat kembali normal ketika berada di dekat Ify.

***

"Ngapain sih kita begini?" tanya Trio yang menegakkan duduknya, namun punggungnya justru dipukul oleh Ify dan membuatnya mendesis. Beraninya karyawan ini memukulku? Walau berpikir begitu, Trio menuruti perkataan Ify dan kembali membungkukkan tubuhnya, serta menutupi wajahnya dengan buku menu yang diberi pelayan lima menit lalu.

"Kalau kamu nggak mau sembunyikan wajahmu yang ngeselin itu, sana pulang!" bisik Ify sebal. Kenapa juga makhluk satu ini harus mengikuti pengintaiannya kali ini?

"Sebenarnya, tujuanmu mengikuti Dimas itu apasih?"

"Kenapa kamu mau tahu?" balas Ify tak acuh, matanya memicing ketika seorang perempuan datang ke arah meja Dimas. "Cewek..." gumam Ify tak percaya. "Siapa dia?"

"Adiknya," jawab Trio singkat.

"Ha?" tanya Ify sangsi. "Memangnya kak Dimas punya adik?"

Trio tersenyum meremehkan. "Dimas itu temannya kak Dara, jelas aku tahu dia punya adik."

Mulut Ify membulat. "Kenapa mereka nggak bertemu saja di rumah?" ucapnya, lebih ke arah gumamannya sendiri.

"Ada larangan mereka bertemu di luar rumah?"

"Kamu kenapa sih?" tanya Ify sewot. Lelaki ini seperti listrik yang terus menyambar pada air, apa pun yang diucapkan Ify pasti selalu disanggah. Menyebalkan!

"Kamu yang kenapa, untuk apa mengikuti orang begini? Ini melanggar hukum, tahu!"

"Terserah aku dong!" Ify kembali memfokuskan dirinya pada Dimas, eh, kemana mereka? Ify menoleh ke kanan dan kiri, Dimas dan si perempuan yang ternyata adiknya itu tidak ada. Kesal, Ify lantas menolehkan matanya pada Trio. "Lihat, kan? Mereka pergi. Kamu sih, berisik, ngajak ribut mulu!"

"Heh, kamu tuh−" Belum sempat Triomembalasnya, Ify sudah berlari keluar cafe. "Tangannya... nggakapa-apa?" gumam Trio cemas melihat cara Ify berlari yang serampangan. 


BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro