1. The One With The Wedding

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sah?"

"SAH!!!"

"Alhamdulillahhh ...."

"Ayo, Bonnie, dicium, dong, tangan suami kamu."

"Hiu, cium keningnya. Pelan-pelan, ya, diam sebentar, difoto dulu."

Pesta pernikahan itu mengambang 70 meter di atas permukaan air laut, sebuah villa seakan hinggap di puncak bukit dengan pemandangan laut sejauh mata memandang. Samudera Hindia berkilauan seperti jutaan permata yang disebarkan, berkerlip-kerlip ditimpa sinar mentari. Angin bertiup lembut, permukaan kolam raksasa dengan warna air sejernih dan sebiru lautan berkecipak kecil. Kolam itu seakan menyatu dengan lautan jauh di bawahnya, seakan tak terhingga seperti bentangan samudera dan hamparan langit. Begitu indah, sampai-sampai aku sempat berpikir ini pernikahan orang lain. Bukan pernikahanku sendiri. Sebab dengan begitu, aku pasti bisa menikmati berada di salah satu vila yang merupakan destinasi pernikahan dan bulan madu paling indah di dunia.

Aku menangis. Tubuhku seakan melayang begitu saja dibawa angin, hanya karena tanganku berpegangan pada lengan pria yang berjalan di sisiku, aku tidak tertiup bersama gaun pengantinku yang sederhana, tapi mencekik (bukan di bagian lehernya, bagian lehernya baik-baik saja. Dia mencekik karena harganya selangit). Pria itu tertawa-tawa seolah dia ikhlas menerima pernikahan ini, padahal menyentuh tanganku yang tampak begitu kecil di lengannya pun tidak. Kami sebenarnya berjalan sendiri-sendiri menuju lingkaran bunga raksasa yang seakan menjadi pintu penghubung antara bumi dan langit, antara kebebasan dan sangkar emas yang menantiku.

Dan aku menangis.

Makanya omonganku agak melantur.

Aku menangis bukan karena bahagia, tapi sebeeel! Umurku baru dua-dua. Ikut Pemilu baru sekali. Kuliah baru kelar, belum pernah kerja, belum pernah serius pacaran, ciuman bibir pakai lidah aja belum pernah. Tahun lalu nonton konser Kpop sama Karin juga masih dianter sama Mami. YouTube dan Instagram followerku baru di angka ribuan, aku belum jadi apa-apa.

Aku masih muda, nikah umur 22 itu ibarat datang ke pesta dan pulang sebelum jam delapan malam. Sebelum cita-citaku jelas aja, aku sudah yakin aku nggak mau nikah sebelum umur 30, aku mau lebih lama menghabiskan hidupku sebagai wanita bebas. Meskipun sebenarnya passion-ku, tuh, rebahan di rumah aja pake piama buluk dan kolor motif Minion, aku punya impian jadi perantau, jadi travel vlogger, backpacker, fotografer, jadi jurnalis, jadi internet personality, apa aja, selain menikah muda.

Harusnya Kak Donnie yang menikah sama CEO pabrik pengalengan sarden terbesar ke-tiga se Asia Tenggara itu, bukan aku. Dia, kan, anak sulung. Mentang-mentang dia laki-laki, jadinya lolos, selalu aja mau menangnya sendiri.

"Ya aku sama Hiu, kan, laki-laki, Bon-Bon, masa iya mau main anggar?! Lo kalau iri pake akal sehat, kek."

Ya mau main anggar juga aku nggak peduli.

Aku tuh belum pernah jatuh cinta, sementara Kak Donnie udah sering jadi mayat hidup gara-gara ditinggal pacarnya. Kenapa mesti aku yang malem-malem didatengin Mami dan dijelasin panjang lebar mengenai krisis keuangan keluarga? Semua orang juga tahu kenapa orang tua nge-share masalah keuangan ke anak-anaknya, kalau kita nggak bisa bantu, mereka nggak akan cerita.

Ya, aku tahu keuangan papi lagi sulit. Aku tahu ini satu-satunya jalan supaya perusahaan papi nggak makin bangkrut. Kalau saja Kakek Adisaloma itu bukan kakek-kakek yang manis dan baik, yang hanya karena aku menawarkan diri mendorong kursi roda lalu mengucapkan sepatah kata yang berkesan tentang cucunya, tidak memintaku menikahi sang cucu sebagai syarat kerjasama yang rupanya sudah berlangsung turun temurun, aku nggak akan memakai gaun pengantin sambil menangisi nasib di usiaku yang belum lewat 22.

Biasanya aku nangis perkara sepele yang kuanggap serius, soal nilai yang nggak sesuai harapan, teman yang sikapnya berubah, gebetan yang menjauh diam-diam karena menemukan gebetan lain yang lebih girlfriend material, dilarang nyobain main ke night club padahal udah dua satu, atau pengajuan dana ganti HP ke papi nggak disetujui.

Masalah terberatku paling cuma nggak bisa tidur sampe larut malam karena kebanyakan main medsos meski tau besok ada kuliah pagi, dan nggak punya motivasi bangun tidur keesokan harinya meski tau ada kuliah pagi.

Mungkin begini rasanya jadi Rupert waktu kuambil dari pet shop, dipilih seperti benda mati, dimiliki tanpa punya pilihan. Kalau aja kesedihanku hilang dengan sekaleng makerel tuna, tongkat dengan ujung bulu ayam, dan dibiarin seharian tidur di atas sofa, bahkan sebuah cincin bermata berlian yang katanya woman's best friend pun nggak mampu bikin aku bahagia. Sahabat macam apa yang tetap mendukung meski sahabatnya nggak bahagia, wahai cincin berlian?

Mulai hari ini, aku sudah jadi seorang istri.

Semua orang di pesta ini mengira air mataku tumpah karena haru dan bahagia. Salah satu perias pengantinku bilang, aku beruntung sekali karena di usia semuda ini sudah menemukan suami kaya raya yang akan mewujudkan semua impianku. Helemano Hiu tidak punya sejarah percintaan yang buruk, dia pekerja keras. Cinta terbesarnya adalah laut dan pantai. Menurut majalah Pebisnis Muda yang pernah kubaca, dia berlibur ke setiap negara dengan ombak terbaik untuk surfing dan menghabiskan waktu luangnya bergabung dengan organisasi pecinta alam dan laut, menggalang dana untuk kelangsungan ekosistem, serta kebersihan laut. Tingginya nyaris dua kali tinggiku, berat badannya nggak mungkin lebih ringan dari tiga kali berat badanku, rambutnya hampir gimbal, panjang, kecokelatan. Suaranya menggelegar, dan dia sengaja selalu memincingkan matanya setiap kali tatapan kami bertemu.

Dia tahu aku takut padanya.

Waktu pertama kali Kak Donnie ngelihat Hiu, dia langsung kasihan padaku.

Waktu pertama kali ngelihat Hiu, aku langsung menggigil di balik punggung mamiku. Mami menyentuh tanganku dan mengusapnya, mengangguk meyakinkanku bahwa aku akan baik-baik aja. Kami berjabat tangan, dan tanganku cuma sepertiga besar tangannya. Mukaku langsung pucat, aku nggak akan bertahan melewati malam pertama. Tulang-tulangku akan hancur.

Seperti namanya, karakter dan sosoknya menyerupai monster. Mukanya dipenuhi rambut. Mulai dari beberapa sentimeter di bawah mata, di atas bibir, rahang, dan dagunya. Semuanya lebat seperti hutan belantara. Warna jambangnya sama dengan rambutnya, cokelat, berhias beberapa rumpun yang dicat pirang terang. Rupanya nggak ada yang berani menyuruhnya merapikan rambut-rambut itu. Pada hari pernikahan, dia hanya menipiskan jambang, dan mengikat rambut gondrongnya menjadi sebuah gelungan rapi.

Pada jumpa pertama, kami nyaris nggak bicara karena dia habis operasi. Kupikir kenapa, nggak tahunya rahangnya patah terantuk batu waktu panjat tebing. Aku dan mami yang taunya olahraga cuma sepeda santai dan zumba hampir lupa bernapas waktu papanya cerita sambil ketawa-ketawa. Pantesan dia disuruh-suruh nikah, kapan aja dia bisa tewas dalam salah satu olahraga favoritnya. Kalau dia mati sebelum punya anak, siapa yang ngewarisin perusahaan senilai miliaran rupiah itu? Belum lagi Adisaloma Group milik kakeknya.

Hiu nggak semuda aku, dia memang sudah saatnya menikah. Usianya 34 tahun. Sayangnya, ia nggak kunjung menemukan pendamping. Dia selalu dikelilingi wanita yang mengincar kekayaannya, begitu kata mamanya sambil ketawa-ketawa persis suaminya. Papi tersenyum kecut, apa bedanya wanita-wanita itu dengan keluarga kami dalam hal mengincar kekayaan?

"Paling enggak ... resort ini bagus banget."

Penutup kepalaku terbang tertiup angin saat aku menoleh.

"Kalau mau dilihat sisi positifnya," kata Hiu, sigap menyahut penutup kepalaku yang ditiup angin laut ke arahnya.

Aku mengangguk.

"Kamu baik-baik aja?" tanyanya.

Aku mengangguk lagi.

Hiu mendesah sambil mendekatiku. Kami berdiri bersisian. "Harusnya papimu menolak permintaan kakek," ujarnya kepada hamparan laut di hadapan kami. "Aku dan papaku nggak bisa nolak, kalian seharusnya bisa."

"Kalau mau ngasih saran, harusnya kemarin, Kak, bukan sekarang," ucapku geram. "Sekarang udah percuma, kita udah menikah, mau diapain lagi?"

Tapi dia malah memasukkan tangannya yang nggak memegang penutup kepalaku ke dalam kantung celana dengan tenang, "Pandangan lurus ke depan," katanya.

Aku mengernyit.

"Aku ke sini karena mamaku bilang aku harus bicara denganmu. Kami semua tahu kamu terpaksa melakukannya, tapi mereka senang-senang saja karena kalian tidak menolak." Laki-laki yang bikin aku mendongak sampai leherku sakit kalau mau ngelihat ujung jenggotnya itu berkata dengan suara pelan (menurut ukurannya, tapi masih bisa mengalahkan desau angin di ketinggian 70 meter di atas permukaan laut) dan datar. "Jangan ngeliatin aku kayak gitu, nanti mereka pikir aku sedang ngancem mau bunuh kamu. Lihat ke depan, dan bersikaplah seolah kita sedang bicara seperti dua orang dewasa."

Aku agak tersentak, tapi buru-buru menatap ke depan.

"Kalau kamu tahu bicaranya orang dewasa itu seperti apa," imbuhnya, yang langsung bikin kepalaku mendongak lagi. Hiu mengeluarkan tangannya dari saku, lalu membuat gerakan seperti akan mencolok sendiri kedua matanya dengan dua jari dan mengarahkannya ke depan. Aku kesal, tapi nggak mau mesti pake koyo kalau nekat ngeliatin mukanya. "Mamaku selalu ingin melihatku menikah dan punya anak, kamu masih muda, rahimmu pasti masih bagus, keluarga dari pihak mamaku sudah menjalin hubungan kerjasama dengan keluarga mamimu dari zaman leluhur, kamu adalah calon yang sempurna .... Mamaku juga bilang, seharusnya sebagai suami aku bisa membantumu tambah tinggi sedikit dengan minum susu dan olahraga supaya kamu bisa mengandung bayi yang nggak terlalu kecil. Kami tidak suka bayi yang kecil-kecil, kami orang Hawaii."

Leherku seperti ada yang mencekik.

"Apa kamu pernah bercinta?"

"Apa?"

"Bercinta," Hiu menatapku sesaat dan mengira kebengonganku sebagai tanda bahwa aku nggak paham. "Bercinta. Seperti ... eum ... dua orang laki-laki dan perempuan, berhubungan seksual—ah, ah, uh, uh, something like that?"

"Aku tahu apa itu bercinta!" sahutku geregetan. Apa, sih, maksudnya pakai nyebut-nyebut ah, ah, uh, uh, terlebih dengan muka datar begitu? Dia pikir aku anak SD nggak tahu bercinta itu apa? "Untuk apa Kakak nanyain itu?"

"Hanya mengecek. Kamu tahu, kan, kalau sepasang suami istri harus bercinta dulu supaya bisa punya bay—aduh!"

Aku mengentakkan kaki menjauh setelah melayangkan pukulan ke perutnya. Mentang-mentang aku pendek, dia meledekku. Sialan. Tawanya berderai mengiringi perjuanganku menyusuri tepian kolam dalam balutan gaun pengantin. Diam-diam aku meringis, aku yang mukul, kenapa tanganku yang sakit? Perutnya keras banget!

Please follow me on other Social Media, terutama instagram, ya 🥰
Instagram lamaku hilang, please add my new account @ kincirmainan_19

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro