Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hal yang paling menakutkan bagiku versi sepuluh tahun adalah tersesat. Warna terbaik adalah biru. Binatang peliharaan terimut adalah kelinci (meskipun aku punya kucing super nakal bernama Rupert). Aku pandai menjahit boneka dari buntalan kapas dan kain sejak umurku delapan tahun, dan boneka buatan tangan terbaikku adalah kelinci biru dengan telinga panjang sampai menyentuh bokongnya. Dia punya sepasang mata biru berkilauan dari kancing baju Mami. Aku adalah anak perempuan cemerlang yang akan mendirikan rumah boneka rancanganku sendiri, sebelum impian itu terlupakan beberapa waktu kemudian karena hobiku berubah.

Setiap kali aku membereskan kamar, aku mengenang boneka kelinci itu, tapi entah sejak kapan aku melupakannya sama sekali. Ke mana hilangnya, sejak kapan dia meninggalkan tangan-tangan kecilku, kenapa aku tidak pernah mengungkit, atau menangisinya ... semua ingatan tentang kelinci biru itu hilang tak berbekas. Memasuki usia puber, aku tak pernah lagi menyukai warna biru. Aku memilih merah muda, ungu, dan kuning pisang. Biru adalah warna Kak Donnie.

Entah bagaimana ingatanku tentang boneka kesayanganku itu raib, sama seperti ingatan tentangku menangisi ban sepeda roda tiga yang melindas tahi ayam dan tak pernah kugunakan lagi meski sudah dicuci. Aku tahu cerita itu karena Mami terus mengulangnya, bukan karena aku mengingatnya. Hilangnya boneka itu tak seorangpun tahu kecuali aku sendiri yang kemudian lupa, tak ada yang bisa membantuku melacaknya.

Namun, hari ini, serentetan kejadian itu seakan terputar kembali di otakku seperti kenangan masa kanak-kanak yang diabadikan Papi sampai aku dan Kak Donnie mulai risih direkam-rekam terus.

Aku tersesat, air mataku mulai menggenang, dan aku ketakutan setengah mati. Seharusnya aku tadi tidak menyelinap dari bangsal anak-anak saat waktunya tidur siang. Besok aku sudah boleh pulang, demamku sudah turun, aku sudah mau makan apa saja yang disuapkan Mami ke mulutku. Roti, bubur, buah-buahan, kecuali sayur mayur. Aku akan langsung pura-pura sakit perut lagi kalau melihat bayam dan teman-temannya.

"Bonnie, Mami mau ke ruang administrasi sebentar, ya? Sore ini kita pulang, Papi lagi on the way dari kantor."

"Yes, Mami," anggukku patuh.

Seperti kebanyakan anak-anak setelah berhari-hari hanya boleh berbaring, dan berpikir kalau bergerak sedikit saja jarum infus di lengan mereka akan terlepas lalu darah muncrat ke mana-mana, menuruti Mami untuk diam di atas ranjang adalah hal yang tidak logis. Apalagi, Mami sama sekali tidak pergi hanya sebentar, jadi kuputuskan untuk menjelajah dan tersesat.

Tadi aku hanya keluar sebentar dari arena bermain yang penuh anak lelaki (aku benci anak lelaki, ngomong-ngomong. Sama dengan anak-anak seusiaku kala itu. Mereka kotor dan bau. Kaki mereka selalu menendang, dan mereka tidak pernah mau meminta maaf kalau menyakiti anak perempuan), menimang-nimang kelinci biruku dan duduk di ayunan taman. Aku mulai bosan dan merindukan Mami, tapi semua pintu gedung-gedung dalam rumah sakit itu tampak sama. Ada huruf-huruf besar yang menamai setiap pintu, tapi aku juga tak ingat aku berasal dari gedung dengan nama apa.

"Pasien Rajawali 1A sudah siuman, nggak ada yang bisa mengatasinya. Dia mengamuk."

"Ada apa, sih?"

"Kecelakaan mobil, adiknya meninggal dunia."

"Semobil?"

"Semobil."

Aku mendekat dan mencoba meraih rok salah satu suster yang berhamburan keluar masuk salah satu gedung, tapi saking sibuknya, aku seolah tak kasat mata. Aku memang mungil. Di kelas, aku selalu masuk jajaran tiga atau lima anak terpendek. Papi selalu meledek tak bisa melihatku di manapun kalau aku berdiri di depannya. Mami terus mengingatkanku untuk minum susu kalau aku mau tambah tinggi.

Tubuh mungilku bergeming di ambang pintu yang dibiarkan menjeblak terbuka. Telinga boneka kelinciku menjuntai menyapu lantai. Di antara derap langkah lalu lalang suster-suster perempuan yang terburu-buru, dan para penjaga pasien yang melongok dari pintu-pintu ruang inap, amukan itu terdengar menyayat-nyayat. Aku meneguk ludah. Sapi-sapi yang dipotong saat usiaku lima tahun dan membuat tidurku terus dihantui mimpi buruk juga terdengar sesedih dan semarah itu. Mereka kecewa, meronta, dan mengamuk.

"Hanya mukjizat yang menyelamatkan Bonnie dari sapi marah yang meloloskan diri itu, Laalit!" jerit Mami saat memarahi Papi.

Aku tidak tahu itu siapa, dan berharap bisa berterima kasih kepadanya. Semoga saja Pak, atau Ibu Mukjizat juga menyelamatkanku kalau monster yang melolong di ruangan Rajawali 1A itu terbebas dan menyerang semua orang, sebab rasa penasaranku tak mampu kutahan. Lolongan itu—sekarang saat aku mengingatnya lagi—begitu mengerikan, sekaligus memilukan. Dan seperti saat Kak Donnie menakutiku tentang hantu anak kecil menangis yang bersembunyi di lemari kamarku, aku ingin melihatnya.

Aku takut, tapi ingin lihat.

Aku takut, tapi langkahku terayun lambat mendekat.

Saat semua orang memutuskan kembali ke balik pintu dan mengurus sanak saudaranya masing-masing, aku menyeret boneka kelinciku. Ini jelas bukan gedung yang kutinggalkan tadi. Seluruh dindingnya dicat putih, tinggi, dan dingin. Gedung yang kutinggalkan berwarna-warni pelangi. Warna-warni yang kusukai, tapi ketika aku sakit, aku hampir tak peduli warna apa yang menghiasi dindingku. Aku hanya membutuhkan mamiku, dan dada harumnya yang hangat dan montok. Kini, aku merindukan dinding-dinding dengan lukisan panda, atau Winnie-the-Pooh itu. Tapi, tetap saja, aku melanjutkan perjalanan yang dalam imajinasiku begitu menyeramkan.

Langkah-langkah kecilku terus berayun semakin dalam menembus lorong rumah sakit sampai suara itu tak lagi menggema di dinding-dinding, tapi langsung membelai gendang telingaku. Aku memikirkan sapi-sapi, hantu-hantu, dan lolonganku sendiri saat Rupert mati. Kasihan sekali monster ini, dia bukannya mengamuk, dia sedang bersedih.

Langkahku terhenti di sana. Di ambang pintu di mana monster itu dikerumuni suster dan dokter. Aku masuk, mengintip di jarak sempit antara satu suster dan suster lainnya. Aku terus melongok, sampai kemudian aku menemukan matanya yang basah, hidungnya yang besar beringus, dan kepalanya yang sangat besar. Dalam pikiran kecilku pun, tentu aku tahu makhluk itu hanya manusia biasa. Manusia biasa yang sangat besar. Kedua sisi bahunya ditahan oleh dua orang dokter, tapi nyaris sia-sia. Dan kalau kakinya tidak dibalut, dia pasti bisa mengusir semua orang dalam satu ayunan. Dia terluka, sungguh kasihan.

Tanpa kusadari, semua mata beralih kepadaku. Monster berambut gimbal itu berhenti meraung, sepasang bola mata sebesar bola bekelku di rumah membulat menatap. Rengekannya terjeda seperti musik jelek yang dimatikan. Jantungku berdegup, mataku memelotot membalas tatapannya. Secara refleks, aku mundur, mundur, dan mundur, seakan kalau tidak, tangan-tangan besarnya yang bisa memegang bola basket dengan satu tangan akan menyahut kepalaku dan melahapnya sekaligus.

Aku sudah mundur cukup jauh, siap berlari keluar ruangan, saat seseorang menangkapku dari belakang.

Sekujur tubuhku menggigil ketakutan. Pak Mukjizat sepertinya tak ada di sekitar situ untuk menolong (dia juga tidak kelihatan saat sapi lepas dulu itu berlari ke arahku). Akan tetapi, saat aku menyadari orang itu tidak menangkapku, melainkan memelukku, rasa takutku perlahan sirna. Dari rambutnya yang panjang, dan wanginya yang manis seperti wangi Mami, aku menganggapnya bukan ancaman. Kubiarkan dia memelukku erat, apalagi saat kusadari dia juga menangis. Oh ... malangnya ... dia pasti ibunya. Ibu si raksasa.

Setelah beberapa saat, ibu raksasa itu terisak.

"Robin ... Robin," katanya.

Sejujurnya, aku merasa sangat iba. Aku belum sepenuhnya paham mengapa mereka semua menangis, tapi aku tak tahan mendengar wanita itu salah memanggil namaku. Tidak ada yang boleh salah memanggil namaku, atau urutan panggilan saat menerima puding susu lezat di sekolah akan berantakan. Aku harus tetap bernama Lanina Bonita, nomor absenku 12, tapi saat pembagian snack yang dipanggil berdasarkan nama panggilan, namaku adalah Bonnie, dan aku mendapat nomor urut dua. Itu berarti aku bisa memilih cup cake, puding susu, atau fruit pie nomor dua terbaik.

Jadi aku meralatnya, "Bonnie," kataku.

Bukan Robin.

Tapi ibu raksasa itu sama sekali tidak menggubrisku. Dia malah menggendongku, dan menunjukkanku kepada si monster, "Lihat, Hiu," katanya. Menempelkan pipinya ke pipiku. Tawanya melebar, dia tampak bahagia. Karena dia tampak senang, aku pun mengalah. Mami bilang, tidak semua orang merasa bahagia setiap hari, alangkah baiknya kalau kita bisa menjadi alasan seseorang untuk berbahagia hari itu.

Aku akan menjelaskannya nanti tentang namaku.

"Robin datang, Robin kecil datang ...."

Monster itu berhenti meraung, dia terisak-isak.

Setelah itu ... aku tidak pernah lagi melihat boneka biru buatan tanganku itu di mana pun.

Please follow me on other Social Media, terutama instagram, ya 🥰
Instagram lamaku hilang, please add my new account @ kincirmainan_19

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro