10. The One with Karin Enlightening Bonnie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Poni Karin udah panjang.

Aku nggak bisa ngelihat wajahnya yang menunduk karena sedang sibuk menggulir layar telepon genggamku. Aku jarang mengiriminya pesan selama berbulan madu. Dia yang minta supaya aku fokus menjalani liburan bersama Hagrid. Karin tahu benar aku nggak punya perasaan pada Helemano Hiu, siapa tahu berduaan di sana bisa memupuk rasa cintaku kepada laki-laki itu. Mungkin dia membayangkan aku dan Hiu sepenuhnya berduaan di Hawaii, tinggal di resort indah nan romantis, makan malam di tepi pantai seperti pasangan kekasih yang dimabuk asmara, diam-diam saling menggoda, lalu bercinta di bawah sinar rembulan, kemudian ... pop! Cinta tumbuh di antara kami seperti tunas di batok kelapa yang didiamkan saja.

Jujur aja, kalau yang kemarin itu beneran bulan madu, aku pasti akan kesal karena kami hampir nggak punya waktu berdua saja. Sering sekali aku harus pindah ke kamar sebelah pada pagi buta gara-gara Vrancessa yang rutin lari pagi mampir ke resort. Dia harus berpikir kami tidur bersama malam sebelumnya, tak seorang pun tahu Hiu selalu memesan dua kamar berdampingan supaya kami bisa mengelabuhi mereka. Setelah sukses mengganggu waktu istirahat pasangan pengantin baru, biasanya Vrancessa akan memaksaku mandi, menyeretku sarapan, berjemur, atau mengobrol di tepi pantai. Ke mana-mana, sebagian besar keluarganya yang (kelewat) supel akan menawarkan diri menemani kami jalan-jalan. Hiu never said no. It's a no for family to say no to other family, katanya. Sampe brewok Helemano Hiu berhenti tumbuh juga cinta nggak akan bisa tumbuh di antara kami, terutama karena kami sama-sama tidak tertarik melakukannya.

Tadinya Karin excited banget mau lihat foto-fotoku selama di Honolulu dan Kauai, tapi lama-lama senyum dan komentarnya berkurang, kemudian hilang sama sekali.

"Apaan, nih, kok, foto-foto lo isinya air sama langit, air sama langit muluk? Kalau enggak air laut, palingan pohon kelapa, atau elo selfie-selfie doang? Selfie-selfie gini mah di toilet mal juga bisa, kalau di rumah udah bosen. Mana laki lo, Bonnie?" protesnya sambil menggeletakkan ponselku di meja dan menggesernya ke arahku.

"Enak aja, itu selfie juga, kan, belakangnya masih laut lepas, Kariiin," kelitku nggak bermutu sambil menyakui kembali ponselku biar nona detektif satu itu nggak ngecek macem-macem. "Foto-foto yang bagusnya, kan, di kamera yang serius, di hp emang gue iseng-iseng doang—"

"HP udah canggih gini, masih ngeles iseng-iseng doang. Mending pake hp polyponic punya nenek gue ketahuan nggak ada apa-apanya." Karin kemudian mulai tertarik dengan isi tas yang kubawa untuknya. Dari sekian banyak aksesoris yang kubelikan, dia malah lebih tertarik pada kacang Macadamia asli Hawaii. Dia membuka kemasannya dan mulai makan. "Terus gimana ... kalian ... emmm ...."

Butterbeer yang udah terkumpul di dalam mulutku, tinggal nelen, hampir menyembur gara-gara kelakuan Karin. Mukanya kocak banget, apalagi dengan nggak tau malunya, dia bikin gerakan mirip orang lagi gituan dengan menumpuk punggung tangannya.

"Enggak?" serunya kecewa.

"Enggaklah," aku manyun sambil ngaduk-aduk minuman. "Gue nggak cinta, dia juga enggak, masa kita tau-tau mau hoho-hihe. Ngapain? Lagi pula, Hawaii tuh nggak kayak yang lu pikirin, Karin. Daripada bulan madu, lebih kayak piknik keluarga. Keluarganya Hiu yang dari papanya, kan, ada di sana semua."

Karin mencecar, "Jadi kalau nggak ada keluarganya, kalian bakalan tidur bareng, kan? Di sini ... kalian tinggal berdua, kan? Jangan bilang lo tinggal sama ibu bapaknya, terus entar lo alasan ..., kan, ada keluarganya. Emang mereka masuk-masuk ke dalam kamar, tidur bareng berempat sama kalian berdua, gitu?"

"Ya nggak gitu. Kan, nggak ada cintaaa, bagian mananya, sih, lo nggak paham?"

Karin memulai keahlian multitaskingnya: mendengus, diam berpikir, menggigiti kacang seperti tupai. Apa aja kayaknya harus banget ada solusinya di tangan dia. "Aku mau pesen minum dulu," katanya, lalu pergi, dan kembali beberapa menit kemudian dengan Caffe Americano dingin di tangan. "Jadi benar-benar nggak ada yang terjadi di Hawaii?" tanyanya menyambung pembahasan sebelumnya. Itu artinya dia nggak bisa menyimpulkan apa pun selama diam berpikir tadi.

"Sesuatu yang buruk, sih, ada," kesahku. Karin menanti. "Menurut keluarganya, kami kurang mesra, dan itu gawat."

"Kurang mesra gimana? Bukannya mereka selalu ngikutin ke mana kalian pergi?"

"Makanya! Menurut mereka ... pasangan—apalagi yang baru menikah—harus sering berciuman, nggak peduli di depan umum. Gila, kan? Kami nggak berciuman, itu berarti ada yang nggak beres di antara kami."

"Tapi emang, kan?"

"Ya emang, tapi, kan, harusnya mereka nggak ngambil kesimpulan segampang itu. Mereka ngadu ke orang tua Hiu dan semuanya jadi berantakan. Janji mamanya sebelum menikah, mau ngasih waktu sebanyak mungkin sampai kami saling menyukai, dicabut. Kata Hiu mereka takut kita berdua cuma main-main sama pernikahan. Singkat kata, mereka mau lebih, mereka nggak, kan, berhenti hanya dengan pernikahan."

"Maksudnya?"

"They want babies."

Dagu Karin jatuh sampai nyaris menyentuh meja. Air kopi menetes dari mulutnya. Buru-buru dia mengelapnya dan tertawa terpingkal-pingkal. "Terus ... Hiu bilang apa?"

"Kayaknya dia nggak punya masalah dengan itu. Yang akhirnya bakal mengandung, menyusui dan segala macem, kan, gue, bukan dia."

"Oh come on, gue yakin dia nggak kayak gitu. Kalau dia sejahat itu, nggak mungkin dari kemarin dia nganggurin lo."

"Dia nganggurin gue karena emang nggak berminat, Karin. Lo nggak denger, sih, apa yang dia bilang ke mamanya di malam pertama kami jadi suami istri. Dia cuma takut bakal ngeremukin tulang-tulang gue, bukan karena baik, atau apa. Sekarang dia lagi rajin banget nyuruh gue makan supaya gue tambah tinggi, dia itu agak sinting, deh, kayaknya."

"Jadi lo bakal punya anak, dong, sama dia?"

"Dia bilang dia bakal nyari cara buat ngatasin masalah ini, aku disuruh nunggu dan tutup mulut. Gue nggak seharusnya cerita ini ke elo, tapi gue udah nyaris gila ngadepin dia tiap hari. Dia nih orangnya kayak yang menikmati banget nyiksa gue dengan segala kalimat pedas dan panggilan-panggilan hinaannya. Makanya kalo lo bilang gue pasti bisa numbuhin cinta ... no, gue udah males duluan tiap liat mukanya."

"Masa, sih, dia begitu? Gue pernah baca profilnya di majalah bisnis ... kayaknya orangnya oke, kok. Ganteng juga—"

"Ganteng?!" aku hampir menjerit. "Iiihhh lo belum lihat bulu-bulu di sekujur badannya, sih!"

"Jadi lo udah lihat semua bulu di sekujur badannya?!"

"Di DADAAA!!!" pekikku sebel. "Di paha, kaki, gitu maksud gue."

"Ohhh," katanya, terdengar kecewa. "Kirain lo udah lihat juga bulu-bulu lain yang terlarang. Lagian kalau lo udah lihat yang begituan, masa iya nggak terjadi apa-apa .... Hmmm ... tapi, Bon ... mau sekarang kalian belum saling tertarik pun, kalian nggak punya pilihan selain berusaha, kan? Kalian udah menikah, lho. Gue nggak bilang pernikahan itu jalan buntu, tapi kalau kalian berdua aja belum nyoba buat saling buka hati, masa kalian mau nyerah gitu aja?"

"Ya emang, tapi ...."

"Beside ... hanya karena badannya beberapa kali lipat besar badan lo, bukan lantas dia bakalan ngeremukin tulang-tulang lo, Bonnie. Sex doesn't work that way, ada banyak sekali gaya bercinta. Lo bisa berdiri, kayang, nungging ... apalagi kalau badan suami lo extra large gitu, lo bisa diangkat-angkat, diputer-puter, gampang lah itu ... nggak cuma lo di bawah dan dia nimpa badan lo doang. Kalaupun kalian pake gaya itu, lo nggak bakal kegencet, atau gimana. Dia, kan, udah jauh lebih berpengalaman, nggak mungkin lah lo mati gara-gara di-eue. Gila pikiran lo kadang terlalu jauh ke depan ampe offside, deh."

"Kok, gue malah makin serem, ya lo ngomong gitu"—aku beneran bergidik ngebayanginnya—"Tetep aja, gue nggak mau tidur sama Helemano Hiu. Dia udah ngelukain harga diri gue berulang kali, Kariiin ...."

"Dia udah nyelametin perusahaan bokap lo, Bon."

"Harus, ya, lo ngingetin betapa gue ngerasa dikhianati 'dijual' demi kelangsungan perusahaan bokap? Udah gitu, dia bilang katanya kalaupun gue nggak mau nikah ... mereka tetep bakal bantuin. Syarat dari kakeknya itu hanya karena si Hiu kelamaan nggak nikah-nikah. Cewek terakhirnya sebelum setuju nikah sama gue kabur bawa uang yang harusnya buat acara pernikahan mereka. Gue makin ngerasa sia-sia aja gitu."

Karin menggamit tanganku di atas meja dan menggenggamnya. "Please ... nggak ada gunanya lo inget-inget hal buruk yang hanya akan bikin lo nyesel. Siapa tahu ... kalau kalian mau, kalian bisa memperbaikinya. Apa pun latar belakangnya, satu-satunya hal serius dan layak dipertahankan adalah pernikahan kalian."

"Percuma kalau dia nggak punya niat yang sama, yang ada gue makin ditindas, dianggap gue sendiri yang mau ama dia."

"Kalau begitu lo mesti ngomong sama dia. Bilang kalian nggak punya pilihan, pernikahan toh udah terjadi. Kecuali kalian udah berusaha keras, dan tetap nggak berhasil ... itu urusan lain. Bon ... ada yang lebih serem dibanding ngebayangin berhubungan seksual dengan orang yang bisa ngeremukin tulang-tulang lo .... Lo tahu apa? Melahirkan bayi yang nggak sepenuhnya diinginkan oleh orang tua mereka. Gue dokter hewan, Bon, binatang aja kalau ditelantarin kasihan ... apalagi anak manusia. Sebelum lo mutusin untuk menyerah—bercerai, atau nurutin tuntutan mereka buat punya anak—pastiin lo udah ngusahain yang terbaik."

"Gue nggak tahu, Rin ... I don't think it's gonna be easy ...."

"Hmmm ... I know ... tapi gue tahu apa yang easy saat ini dan bisa ngeringanin beban lo," Karin mengedipkan sebelah matanya.

Aku mengerutkan kening.

"Shoppiiinggg!"

Yipiiieee! Ahhh ... bodo amatlah mikir melulu kepalaku bisa botak. Aku memilih ngabisin waktu seharian di mal menggesek kartu kredit suamiku sampai lecet, sampai lupa waktu ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro